Friday 6 September 2002

Haatzaai Artikelen

Di sebuah sore puluhan orang digelandang ke kantor polisi. Disebuah negeri antah berantah nun jauh di sana di bawah awan mendung dipagari cerobong-cerobong asap dan pipa-pipa darah manusia. Entah apa yang akan terjadi pada mereka, tapi yang pasti mimpi mereka terusik malam kemarin. Operasi itu tak bernama segelap malam itu. 

Dibagi dalam dua kamar gelap, dan harus saling berdesak-desakan. Untungnya badan mereka tidak begitu subur dan sudah terbiasa dengan bau keringat. Kebanyakan hanya diam, bingung. Mencari jawab pada pandangan sekelilingnya. Hanya wajah-wajah garang petugas dengan seribu halaman berkas di meja sana.

Satu persatu nama mulai dipanggil. Dua orang di periksa di meja tak jauh dari sel-sel. Jelas terdengar pembicaraan yang terjadi.

Petugas : “Kamu yang bernama Kursi dan Mimbar?”

Dua orang : “Benar pak. Apa salah kami hingga ditangkap? Kami masih ngantuk berat”

Petugas : “Justru kami sudah tidak tidur lebih dari seminggu. Karena kalian-kalian ini. Kurang kerjaan aja. Apa yang kalian lakukan hari Rabu siang, empat hari yang lalu? Di depan istana sang Presiden?”

Kursi : “Kami hanya berdemo. Melakukan protes melalui teaterikal. Bukankah tidak kerusuhan yang timbul. Tidak ada kekerasan yang timbul”

Mimbar : “ Kami tidak ada menghasut, hanya menampilkan sebuah dagelan”

Petugas : “Justru kalian telah mempermalukan kepala negara. Beliau berang melihat photonya dibakar dan kalian mempertontonkan kebencian kalian. Kepala negara malu mendapatkan telepon dari negeri keju sana. Mereka bilang dagelan itu telah menurunkan rating talk show di berbagai stasiun tv mereka. Dan ribuan produser ingin membeli hak paten atas skenario itu. Ini kan memalukan, memangnya penghinaan kepala negara layak dikomersilkan?”

Kursi : “Justru kami anti kapitalis. Kami tak ada konspirasi dengar mereka. Ini hanya konspirasi kaum para rakyat miskin. Para seniman kapitalis, justru telah kehilangan ide dan nafas seni. Mereka rasa demokrasi dan HAM menguntungkan bila di komersilkan melalui film. Atau mungkin kapitalis mempertontonkan sosialis sebagai dagelan mereka”

Petugas : “Aku tak mengerti bahasa-bahasa kalian itu. Yang aku tahu kalian telah meresahkan kepala negara. Menjelek-jelekkan beliau. Saya hanya di tugaskan memeriksa kebenaran akan kejadian di depan istana itu. Kalian yang melakukan bukan?”

Mimbar : “Benar pak, tapi kami punya alasan…”

Petugas : “Simpan alasanmu itu. Untuk saat ini kalian akan dikurung sekian lama. Sampai beliau memberi maaf. Atau tunggu ampunan rezim berikutnya. Saya hanya melaksanakan perintah majikan saya”

Keduanya dipaksa berjalan menuju sel jauh disana. Sepertinya itu bakal menjadi tahanan mereka untuk seterusnya.

Berikutnya seorang pematung di hadapkan pada pemeriksa. Wajahnya berkeringat, ketakutan. Tangannya tak lagi bersahabat, gemetaran.

Petugas : “Mengapa tanganmu? Tangan ini yang membuat patung-patung itu ya?”

Pematung :“Saya memang pematung pak. Tapi hari ini sepertinya tangan saya gelisah. Berontak”

Petugas : “Berarti tanganmu tahu kesalahannya. Tangan kamu pemberontak. Wajar kalau orang bersalah takut didepan petugas”

Pematung :“Tangan saya tak pernah salah pak. Patung segala tokoh politik saya buat mirip, bahkan seperti hidup. Melihatnya saja orang langsung takut dan lumayanlah laku dibeli para pengusaha. Lebih manjur dari katabelece.”

Petugas :“Mengapa patung kepala negara kamu bakar? Kamu mau menghina beliau?”

Pematung :”Tidak pak. Saya tak ada niat menghina beliau. Saya hanya tak tahan..”

Petugas :”Maksud kamu?”

Pematung :”Bagaimana ya….hmmm. Saya sudah sebulan dikejar-kejar hutang. Kayu makin lama makin mahal. Dan sekarang patung-patung itu tak laris seperti dulu, empat tahun yang lalu. Saat rakyat banyak mengharapkan perubahan dan keadilan. Kata orang-orang mereka telah jadi penipu walau sedikit masih ada yang memberhalakannya. Mereka tak mau berharap banyak pada tokoh-tokoh itu, apalagi patungnya. Sementara para pengusaha juga tak ambil pusing, mereka hanya menunggu saat-saat menguntungkan. Patung-patung ini tak lagi dianggap benda kramat.”

Petugas :”Apa hubungannnya dengan pembakaran yang kamu lakukan?”

Pematung :”Sudah seminggu saya tak makan. Hanya bisa memandang patung-patung yang tak laku-laku itu. Dan senyum mereka sepertinya mengejekku. Aku tak tahan kelaparan ditatapi mereka. Sementara mata dan bibir mereka begitu segar. Bekas anggur dan hidangan-hidangan mahal. Dan sepertinya nafas mereka bau oleh janji-janji bohong. Begitu hidupnya patung-patung itu, seakan aku dibiarkan saja kelaparan. Tak sedikitpun ada nurani mereka. Tapi aku sadar mereka hanya patung seperti wujud aslinya yang tetap tak bernurani. Lalu…..aku bakar. Lapar tak tertahan.”

Petugas :”Sudah jelas kamu yang bakar. Kamu mengakuinya. Kamu ditahan untuk penghinaan itu.”

Pematung : “Tapi pak…”

Polisi : “Tak ada tapi-tapi….”

Pematung digelandang ke sel. Tangannya berontak. Sang pemberontak itu berbau minyak tanah. Tangan itu dendam.

Berikutnya diperiksa para pengamen yang dianggap menyebarkan hasutan melalui lagu-lagunya. Padahal mereka tak mengharapkan jabatan dari suatu kejatuhan rezim kelak, hanya recehan-recehan saja. Dan mereka tak bersenjata atau memiliki bom. Mereka tak juga punya massa atau partai, hanya krecekan dan gitar. Tak juga membawa koper untuk penyimpan uang hanya plastik bungkus permen.

Diperiksa pula para pelawak-pelawak dan badut-badut, karena mereka terlampau lucu memerankan para tokoh-tokoh politik itu, hingga susah membedakan mana yang asli dan yang palsu. Para tokoh-tokoh politik itu cemburu, lawakan mereka tak laku lagi. Perhatian masyarakat tumpah ruah pada seniman pelawak-pelawak. Sepertinya guyonan ini lebih segar. Dan mereka tak mau disaingi, mereka memaksa para petugas menagkap para seniman pelawak dan badut jalanan itu.

Para dalang juga ditangkap dan diperiksa. Pementasan wayang banyak diberedel. Ijin dipersulit. Karena simbol-simbol perlawanan telah menggantikan tokoh-tokoh Rahwana, Arjuna, Sinta, Kurawa , Gatot Kaca. Penonton sudah muak dengan cerita-cerita lama, babad yang dianggap usang. Dan prediksi ke depan negeri ini, sedikit banyak dibahas disini. Mereka cemburu, masa depan negeri ini bukan dibahas di pementasan wayang. Dan para dalang negeri ini tak mau diatur dengan teori-teori atau skenario dari Ki dalang itu.

Lima lagi mereka yang kurus dikeluarkan dari sel tahanan sementara. Mata mereka liar, dan cekung. Tapi bukan pemakai narkoba. Beli beras saja tak mampu lagi.

Petugas :”Kalian tahu kesalahan kalian?”

Kurus :”Tidak pak, kami salah apa?”

Petugas :”Kalian melalaikan tugas kalian mengisi perut. Kalian membiarkan perut kalian kelaparan”

Ceking :”Memang kami tak punya uang lagi. Kami tak sanggup beli ubi, apalagi beras”

Krempeng :”Perut kami tak sudi diisi hasil todongan, penjambretan, atau uang kotor lainnya. Kami tak mau menyakiti orang lain demi menyembuhkan sakit perut kami”

Petugas :”Dan kalian telah mengekspos diri kalian ke media-media luar negeri”

Cacingan :”Wah…itu kami baru tahu sekarang pak. Kami tak menolak untuk diphoto bukan karena apa-apa. Mungkin hanya kenang-kenangan bila kami mati nanti. Dan mereka membeli sedikit uang pada kami. Bukankah itu bukan kejahatan, atau uang haram?”

Petugas :”Mereka memberi berita di bawah photo-photo itu. Inilah gambaran perjuangan pemuda Indonesia. Lima orang mogok makan sampai mati. Demi menjatuhkan pemerintahan yang ada. Jelas ini sebuah konspirasi menjelek-jelekkan pemerintah”

Takgendut :”Pak kami tak ada bermaksud begitu. Kami bukan mahasiswa, kami bukan aktivis. Mereka mogok makan karena demo, kami bukan mogok makan, tapi memang tak bisa makan lagi. Apakah tak makanpun dilarang di negeri ini?”

Petugas : “Selain berita yang menjelek-jelekkan itu, suara perut kalian begitu mengganggu kepala negara?”

Kurus :”Itu pemberontakan para cacing-cacing di perut. Mereka mendemo kami. Demi demokrasi kami biarkan saja suara-suara aspirasi mereka. Tapi begitu sensitifkah telinga beliau mendengar jerit perut kami? Mungkin beliau sedih”

Petugas :”Bukan begitu. Tapi mbok ya, kalau perut kalian lagi berbunyi, jangan sebut-sebut nama beliau. Beliau terusik kalau kalian sebut-sebut namanya. Bukankah nenek-nenek kita dulu bilang, kalau kita menyebut nama seseorang berkali-kali, orang yang disebut namanya itu akan bersin-bersin. Dan itu terjadi ketika beliau berpidato di depan para kepala negara pemberi bantuan hutang-hutang, akan perkembangan negeri ini yang dikatakannya berhasil. Beliau bersin-bersin dan yang keluar suara dari mulutnya bukan “haaatsyimm”. Tapi “laaphhaarrr””

Kelimanya bingung, bengong, hingga sampai di perhentian mereka ditahanan. Dihukum oleh pasal penghinaan kepala negara, penyebaran rasa kebencian (Haatzaai Artikelen). Tapi perut mereka tak akan lapar lagi, tapi mereka masih ingat nama beliau. Entah apa yang akan mereka sebut-sebut nanti. Mungkin “tapol” atau “otoriter.”

Dukaku buat penangkapan kaum militan revolusioner. Rezim ini telah memakai kembali pasal karet.

No comments: