Saturday 14 September 2002

Pada Mulanya Tuhan Menciptakan Uang

Suasana kelas begitu gaduh, murid-murid semua mengangkat tangan. Berlomba menjawab pertanyaan sang guru. Mereka sungguh tampak cerdas, tak ada ketakutan seperti yang diramalkan dahulu. Oleh ahli-ahli pangan, ahli kesehatan dan gizi. Atau para politikus sang juragan kambing hitam. Tak didapatkan kini, apa yang dikatakan lost generation. Yang tumbuh saat ini adalah generasi muda yang cepat berpikir dan bernalar tinggi.

“Tommy Soeharto pak” jawab seorang anak yang pipinya tembem.
“Mengapa, kamu jawab begitu?” tanya gurunya kembali.

“Tommy Soeharto adalah bapak otomotif Indonesia. Ia berusaha memberikan kesempatan pada bangsa kita agar dapat memiliki mobil yang murah harganya. Ia mendirikan industri mobil nasional. Dan sungguh sayang rencana itu tak dapat berjalan, hingga akhirnya ia rela dibungkam di Nusakambangan dengan segala alibi baru yang dijeratkan padanya. Sebuah konspirasi jahat menghadangnya” kata anak berpipi tembem itu dengan berapi-api. Ia membayangkan bila rencana itu berjalan, mungkin ayahnya tak akan pergi ke tempat kerja dengan naik bis kota, berpanas-panasan di dalamnya.

“Pertanyaan berikut. Siapa bapak pangan kita?” tanya sang guru lagi. Murid-murid menunjukkan tangan. Berlomba menjawab. Sang guru menunjuk pada gadis kecil berponi di kursi dekatnya berdiri.

“Bapak Ir. Akbar Tanjung pak” katanya mantap.

“Mengapa kamu bilang begitu?” tanya gurunya, memancing anak itu memberi alasan dan jawabannya.

“Beliau membagi-bagikan sembako pada rakyat miskin. Milyaran rupiah dibelanjakan. Saat itu tak ada yang memperhatikan rakyat miskin, semua sibuk dengan politik, dengan reformasi. Dan bapak kita yang baik ini, peka akan suara-suara perut rakyat dari pada suara-suara demokrasi yang kebakaran jenggot” jawabnya sambil mengelus perut, terasa sudah lapar, tadi pagi dia hanya minum air putih. Kata bapak itu akan memutihkan pikiran kita sepanjang hari.

“Mengapa bapak Wiranto disebut sebagai bapak pemersatu bangsa?” tanya sang guru kembali. Anak yang hitam legam dengan rambut keriting itu telah duluan menunjukkan tangannya.
“Ya kamu Alberto” tunjuk sang guru.

“Atas perjuangannya mempertahankan Timor Timur sampai tetes darah terakhir. Pertempuran terus dikobarkan demi merah putih. Perjuangan untuk tetap merdeka atau kembali dijajah Portugis. Musuh dihancurkan dan dibakar. Ketika referendum kita kalah, beliau memerintahkan pembumi hangusan Timor Timur, agar para separatis itu tak merampok hasil-hasil pembangunan yang kita miliki selama ini di sana” katanya. Terbayang olehnya kuburan Sang Opa masih di sana. Papa dan mamanya sangat rindu akan kampung halaman.

“Mengapa bapak Sutiyoso namanya diabadikan sebagai nama jalan protokol yang mengelilingi Tugu Selamat Datang, menggantikan nama jalan yang lama?”tanya sang guru kembali. Anak yang di sudut sana dengan antusias berdiri, dari awal sepertinya guru tak melihatnya.
“Ya, kamu yang berdiri di sudut” tunjuk gurunya.

“Bapak Sutiyosolah yang membangun Jakarta lebih indah lagi. Menjadi kota yang bermartabad dan manusiawi. Air mancur yang maha karya hadir di tengah-tengah kota. Taman-taman terpagar rapi. Tak ada lagi daerah-daerah kumuh, semua telah digusur demi pembangunan. Tak ada lagi sampah-sampah semua telah dibuang ke sebuah pulau yang disewa. Tak ada lagi gelandangan, semua telah dibuang ke laut. Tak ada lagi kemacetan, karena semua jalanan di depan rumah kita telah dijadikan jalan-jalan tol bebas hambatan. Tak ada judi gelap, karena telah dilokalisir di sebuah pulau kecil miliknya, agar dapat dijaga langsung. Tak boleh lagi sembarangan orang masuk ke Jakarta untuk mencegah kepadatan penduduknya. Tak ada lagi demo-demo di depan istana, karena jalan menuju ke sana telah dipagar tinggi, hingga ratusan meter. Yang paling penting, mensukseskan kepala Negara menyambut pemilu berikutntya” katanya bangga, ternyata ia masih didengar.

“Baiklah itu tadi pemanasan awal membuka cakrawala kalian. Berikutnya mari kita lanjutan pada pelajaran mengarang. Bapak melihat karangan yang terbaik ada pada Aldamegasari, coba kamu ke depan. Silahkan kamu bercerita pada teman-temanmu tentang topik karangan kalian yang menjadi tugas kemarin” kata gurunya sambil kembali duduk di kursinya. Gadis kecil yang bernama Aldamegasari beranjak ke depan. Tangannya menuliskan sesuatu di papan tulis.

“Kita diberi tugas menceritakan tentang Malingkundang. Saya akan mencoba bercerita tentang Malingkundang” katanya dengan mantap.

“Pada jaman dahulu kala di sebuah pulau kecil yang sangat subur, tinggallah di sebuah gubuk seorang anak dan ibunya. Ayahnya telah lama mati, diculik dan dibunuh para perompak. Kehidupan sungguh damai di sana. Alam yang tenang mengajarkan mereka untuk mengucap syukur atas apa yang dapat mereka makan hari itu, atas kehidupan yang masih diberikan. Penduduk lain tak obahnya dengan mereka, mencari hidup dari menangkap ikan dan menjualnya. Tak ada keserakahan, tak ada iri dan dengki. Mereka sama-sama hidup bergantung pada sang pasang dan sang surut. Bintang-bintang menjadi penanggalan akan bulan muda dan tua. Mereka tak diburu oleh uang, mereka tabu untuk berhutang. Karena uang telah lama bersemayam dengan setan.

Ada sebuah sejarah penciptaan bumi yang diturun temurunkan sejak dahulu kala. Menurut cerita nenek moyang mereka dulu, pada mulanya Tuhan menciptakan uang. Lalu ia menciptakan langit dan bumi. Kegelapan masih menyelimuti alam semesta. Lalu Tuhan menciptakan terang. Mulailah Tuhan menciptakan cakrawala, lautan, tumbuh-tumbuhan, benda-benda langit, siang dan malam, binatang-binatang, dan terakhir manusia. Tuhan ingin beristirahat pada hari terakhir penciptaan, ia menyimpan uang ciptaannya di tengah sebuah taman, di dalam buah larangan. Setelah beristirahat, Tuhan berjalan-jalan di taman, mencari dua manusia ciptaannya. Ternyata mereka bersembunyi, bagai seorang pencuri. Mereka takut mengetahui diri mereka telah telanjang. Dan Tuhan marah mengetahui buah larangan telah dimakan. Mereka mencuri uang ciptaanNya. Maka Tuhan meminta kembali uang itu. Melempar uang itu ke udara. Tak terhingga bilangannya memencar berserak ke seluruh pelosok bumi. Jatuh di permukaan tanah dan di dalam tanah. Jatuh pada lautan dangkal dan dalam. Jatuh pada dataran tandus dan subur. Jatuh di tepi pantai dan dataran tinggi. Jatuh pada sungai, danau, sawah, kolam. Dan manusia akan bersusah payah mendapatkannya dengan keringat. Kedua manusia itu di usir keluar dari taman bersama sang ular yang bernama keserakahan.

Penduduk pulau itu tahu Tuhan marah pada keserakahan. Pada kegilaan akan uang. Untuk itu mereka hidup pada kesederhanaan, tidak ada mimpi yang muluk-muluk yang melahirkan iri dan dengki. Tak ada kejahatan di pulau itu. Mereka menikmati alam sebagai sumber kehidupan yang dapat dipakai dan harus dijaga, tentunya dengan keseimbangan alam.

Ketika beranjak dewasa Malingkundang tampak selalu termenung. Di sudut malam ia masih menatap ke arah laut dari jendela kamarnya. Matanya bukan menghitung bulan atau mencari letak rasi-rasi bintang. Bukan pula mengucap sebuah permintaan pada bintang jatuh. Ia menatap sebuah garis di tengah lautan. Gerangan apakah di balik garis horizontal itu. Adakah sebuah kehidupan? Adakah sebuah gadis yang cantik? Cerita-cerita di balik sana dibawa terbang oleh burung-burung camar. Celoteh-celoteh mereka yang bertengger pada dahan kelapa dekat kamarnya terdengar jelas. Sebuah negeri nan makmur terhampar di balik sana. Penduduknya rajin bekerja, bagai semut-semut yang keluar dari lubang-lubang tanah. Berkerumun pada onggokkan kemakmuran. Dan sang gadis di atas sebuah kastil selalu bernyanyi menyambut hari. Bersama-sama burung-burung, ia menciptakan bait-bait puisi perjalanan hidup. Puisi akan kegemerlapan dan kemewahan hidupnya.

Malingkundang jatuh cinta pada kisah-kisah itu. Niatnya telah membatu. Ia berangkat diringi linangan air mata ibunya. Dengan perahu satu-satunya milik ayahnya dulu, ia berangkat menuju negeri seberang. Melampaui karang-karang yang berbaris dan ombak-ombak yang mengayun keras.

Terdamparlah ia di sebuah pantai yang putih. Ia ditolong oleh seorang nelayan yang lama hidup sebatang kara. Malingkundang begitu gembira mendapatkan dirinya masih hidup. Dan bapak angkatnya begitu bahagia mendapatkan teman yang lama diharapkannya. Bagai sebuah pinta yang telah terkabulkan. Malingkundang berbakti pada penolongnya, tapi matanya tak lepas memandang istana itu. Sungguh angkuh letaknya di sebuah tebing yang tinggi. Atapnya berlapiskan emas, dindingnya bertahtahkan berlian.

Masyarakatnya tak ubahnya dengan pulau kelahirannya dulu. Mereka hidup dari nelayan, dari perdagangan. Jauh di tengah pulau mereka memiliki tanah-tanah yang subur, sawah dan ladang membentang luas. Tambang-tambang emas dan minyak banyak berdiri. Mereka semua rajin bekerja tak ada yang malas. Keringat mereka berkilau membasahi tubuh. Benar apa yang dikatakan oleh sang camar. Penduduk negeri ini rajin bekerja, bagai semut-semut pekerja yang berkerumun pada onggokan kemakmuran.

Tapi ia belum melihat sang gadis, sang putri. Kapankah ia akan bernyanyi dari jendela kastilnya? Syahdan terdengar kabar, kalau sang putri telah terkena penyakit. Ia tergeletak berminggu-minggu di ranjangnya. Sang raja sangat berduka sepanjang hari. Ia lelah mencari obatnya pada tabib-tabib istana maupun dari penjuru pelosok negeri. Belum ada yang bisa menyembuhkannya. Sebuah pengumuman tersebar luas pada tembok-tembok pasar. Sebuah janji bagi yang dapat menyembuhkan sang Putri. Dijanjikan akan dinikahkan dengan sang Putri, bila dapat menyembuhkannya.

Malingkundang begitu gembira, sebuah jalan didapatkannya. Tapi ia tak punya obat, sakitnya saja ia tak tahu. Ia terus berpikir, ia termenung di bawah sebuah pohon. Keningnya berkerut, jantungnya berdegup kencang, ia sudah tak sabar. Tapi otaknya buntu. Suara-suara burung camar tak dihiraukannya, terasa sungguh sumbang kini. Sesaat ia tertegun, ia menelan ludah. Sang camar berceloteh tentang mimpi sang putri. Sang putri bermimpi melihat sebuah gemerlapan dari dasar laut. Butiran-butiran yang sangat berkilau yang ditelan oleh binatang laut. Kadang menganga. Kadang mengatup.

Benda apakah itu? pikir Malingkundang. Otaknya berpikir cepat. Beruntung ia punya kelebihan mampu mendengarkan percakapan hewan-hewan. Ia belajar dari ibunya. Sedikitnya ia mengetahui penyebab sakitnya sang putri. Tapi ia tak pernah melihat butiran-butiran itu di dasar laut. Ia penyelam ulung seperti layaknya nelayan-nelayan lainnya. Kakinya cepat berlari bersama otaknya yang menemukan titik cerah. Menyelamlah ia ke dasar yang dalam.

“Hai anak muda, apa yang kau bawa itu? Apakah itu penyembuh penyakit putriku?” tanya sang Raja. Malingkundang telah berdiri di dalam istana, diantar oleh dua orang pengawal isatana.
“Benar tuanku Raja. Ijinkah hambamu menyembuhkan sang Putri” kata Malingkundang dengan sikap hormat, matanya tak sanggup memandang sang Raja.

“Kau tahu hukumannya bila gagal? Kau akan dipancung dan mayatmu akan dicampakkan sebagai makanan ikan-ikan hiu. Tapi bila kau berhasil, akan aku kawinkan dengan putriku, anakku satu-satunya” kata sang Raja memberi ultimatum.
“Saya siap menerima peraturan yang Tuanku tetapkan” kata Malingkundang, tak ada gentar lagi dihatinya.

“Mendekatlah kepadaku, putriku berbaring tak jauh dariku. Sembuhkan ia” kata sang raja, ada sebuah kerinduan mendapatkan putrinya dapat kembali sembuh.

Malingkundang beranjak menghampiri sang Putri. Ia memandang sang Putri. Ada kecantikan yang sungguh tak terbayangkan. Parasnya adalah kumpulan dari segala kecantikan yang dimiliki oleh para wanita di seluruh negeri. Sesempurna pagi yang dirindukan kedatangannya, selembut malam yang setia mendekap penghuni negeri.

“Anak muda, silahkan anda melakukan tugasmu,” suara sang raja mengejutkan lamunannya. Ia bergegas membuka buntelan yang dibawanya. Membawa butiran-butiran indah itu ke hadapan sang Putri. Keindahannya terpancar sungguh. Mata yang indah milik sang Putri mulai terbuka. Memandang yang terhampar dihadapannya. Mimpinya tak lagi mimpi. Mimpinya kini nyata. Keindahan dari dasar laut kini telah hadir. Cemburunya telah lenyap. Kini ia lengkap memiliki semua keindahan yang ada di muka bumi. Kini ia pemilik segala perhiasan gemerlap yang dikandung bumi.

Malingkundang sungguh gembira mendapatkan binar-binar mata itu. Sang putri telah kembali sehat. Dan ia ditakdirkan akan menjadi pendamping sang putri. Sang Putripun tak terlalu kecewa dengan penolongnya. Malingkundang juga lelaki yang gagah, senyumnya sungguh menggoda semua wanita. Rajapun mengumumkan sembuhnya sang Putri, dan akan dilanjutkan pernikahan dengan sang penolong yaitu Malingkundang.

 
Wanita tua terduduk di tepi pantai, matanya memandang kejauhan. Pada garis lurus yang menyentuh langit. Apakabarmu yang di balik sana? Suaranya begitu lirih, kalah oleh debur ombak yang menghempaskan diri ke pantai. Sudah beberapa purnama tiada kabar yang terdengar, hanya celoteh-celoteh sang camar. Akahkah kau menikah dengan anak sang Raja. Menjadi penghuni istana keserakahan. Menjadi salah satu dari mereka. Memeras sang semut-semut pekerja, yang berbaris memanggul cuilan-cuilan kemakmuran menuju gudang harta milik sang Raja. Rakyatnya sungguh telah menjadi budak-budak sang Raja. Mereka dipaksa bekerja dengan segala upeti yang harus diserahkan pada Raja. Lihatlah betapa sombongnya istana, dindingnya bertahtahkan emas dan berlian. Sang putri dicemburui oleh mimpi akan sebuah mutiara yang tak dimiliknya. Ia sungguh rakus akan permata, ia tak ingin ada yang dapat menandingi keindahannya. Menandingi perhiasan yang dimilikinya.

Tidakkah kau dengar nyanyiannya di jendela kamarnya. Gadis di atas sebuah kastil selalu bernyanyi, bersama-sama burung-burung, ia menciptakan bait-bait puisi perjalanan hidup. Puisi akan kegemerlapan dan kemewahan hidupnya. Ia menyanyikan lagu kesombongan. Sementara di bawah sana, rakyatnya rajin bekerja membanting tulang, tak ada yang malas. Keringat mereka berkilau membasahi tubuh berkerumun pada onggokan kemakmuran. Namum itu tak milik mereka. Itu milik sang penguasa negeri. Mereka sudah lama diajarkan oleh mitos dan dogma usang, bahwa mereka tercipta sebagai semut-semut pekerja yang harus mengabdi pada sang ratu, ratu keadilan. Mereka tak mau kualat untuk itu, atau akan dikutuk selamanya.

Siang itu di kejauhan tampak sebuah kapal mewah berlayar mendekati pulau. Layarnya besar dihembus angin, membawa menuju tepi pantai. Seorang lelaki muda dan penumpang lainnya turun. Lelaki muda itu matanya awas. Ia mencari seseorang, dan ia berteriak,

“Ibu, aku pulang”. Lelaki itu menghambur ke arah wanita tua yang duduk di depan gubuknya. Wanita itu sungguh terkejut, ia pun tergopoh-gopoh berlari sambil membuka tangan, menyambut cahaya malamnya.

“Malingkundang anakku. Aku rindu kamu sayang. Kamu baik-baik saja kan?”kata ibunya sambil memeluk, tangis kerinduan tak tertahankan.

“Aku baik-baik saja bu. Aku kini sudah kaya, aku punya calon istri yang cantik Anak seorang Raja” kata anaknya tak kalah kuat mendekap. Ia menunjuk sang Putri, Raja dan Ratu yang telah berjalan menghampiri mereka.

Sang ibu walau ada rasa canggung, tak bisa menolak untuk menyambut mereka. Menyalami sang tamu. Sungguh mereka sangat indah, wanginyapun tak ditemukan di pulau ini. Kulit mereka begitu lembut, tiada kening yang berkerut.

“Aku datang memohon doa restu ibu. Mari kita berangkat ke negeri seberang. Sebuah istana menanti kita,” bujuk Malingkundang.

“Malingkundang, lahir, hidup dan matiku di sini nak. Di sini sungguh damai. Kami tak kekurangan, alam mengajarkan untuk mengucap syukur atas apa yang dimakan hari ini. Di sini tak ada keserakahan, tak ada iri dan dengki. Kami tak diburu oleh uang. Karena uang telah lama bersemayam dengan setan. Kami bukan semut-semut pekerja negerimu, yang menggemukkan penghuni istana dengan keringat rakyatnya. Aku tak mau hidup di atas keringat mereka. Sungguh jiwa mereka telah lama mati oleh pembodohan yang kalian lakukan. Aku bukanlah setan yang menjaga gudang uang kalian. Dan aku tak sudi memiliki anak seperti setan” kata ibunya menolak ajakan Malingkundang.

Malingkundang sungguh malu mendengarkan itu. Harga dirinya jatuh di hadapan Raja, Ratu dan sang Putri. Mukanya merah padam, bibirnya gemetar. Tangannya teracung tinggi, menunjuk langit dan dia berucap keras,

“Ibu, engkau telah menyangkal aku anakmu. Engkau durhaka. Demi langit yang menaungi bumi, aku mengutukmu menjadi seperti yang kau katakan kepada kami. Engkau adalah kami!” Malingkundang marah, ia mengutuk ibunya.

Sekilas cahaya berkelebat memenuhi ibunya. Asap putih mengelilingi jiwanya, jiwanya yang dulu telah terbang jauh, kini jiwa setan merasuki dirinya. Ibunya menjadi seperti mereka, manusia-manusia yang terkutuk pula. Dan ibu Malingkundangpun tak mau berlama-lama lagi di pulau ini, kakinya begitu jijik melihat pulau yang tak terurus.

Matanya rindu pada gemerlap, dan mulutnya haus untuk menghardik dan memerintah semut-semut pekerja. Bersama mereka, ibu Malingkundang berlayar jauh, menuju kegelapan di balik garis yang menyentuh langit. Bagai batas antara surga dan neraka.

13 September 2002

No comments: