![]() |
Sitti Rohaya
(duduk) bersama sang suami, Raden Saleh Sastrawinata, dan putra pertama mereka
|
Sitti Rohaya adalah salah seorang
wanita pintar di Indonesia. Kenapa? Wanita asal Sindang Laut, Jawa Barat ini
berhasil disekolahkan oleh orang Belanda gara-gara jago matematika.
“Setelah ibu Dewi Sartika, ya ibu
Sitti Rohaya ini yang disekolahkan oleh orang Belanda,” kata ibu Sitti
Saundari, yang merupakan menantu ibu Sitti Rohaya ini dari anak kedua.
Suatu hari, seorang pengusaha
ingin menjual tanahnya yang berhektar-hektar di jalan Pisangan, Tebet. Nama
pengusaha ini adalah Mr. Hadi. Beliau pengusaha dari Yogya. Untuk mewujudkan
cita-cita memiliki sekolah, akhirnya Sitti Rohaya membeli sedikit tanah, yakni
sekitar 250 m2 di samping SD BO. Inilah cikal bakal berdirinya SD Gotong
Royong.
Sitti Rohaya menikah dengan Raden
Saleh Sastrawinata. Pria keturunan ningkrat ini asli Cianjur lalu pindah ke
Bandung. Di kota Bandung inilah Sitti Rohaya dan Raden Saleh berjumpa. Mereka
dikarunai dua orang putra. Yang pertama bernama Raden Didi Sunardi. Anak kedua
bernama Raden Dundi Djunaedi. Ibu Sitti Saundari adalah istri Raden Dundi
Djunaedi.
Raden Saleh juga orang pintar.
Menurut ibu Raden Saundari, Raden Saleh adalah salah seorang yang membangun
stasiun kereta api Pasar Minggu. Ia pun sempat menjadi Kepala Stasiun di zaman
Belanda yang dikenal dengan istilah ‘OO’ atau offsetter.
Sepeninggal Raden Saleh, Sitti
Rohaya membangun sekolah di atas tanah yang dahulu adalah rawa-rawa di Pisangan
Baru. Selain siswa yang mampu bayar, wanita ini juga menampung anak-anak yang
nggak mampu. SD Gotong Royong ini memang punya misi sosial, padahal sekolah ini
adalah sekolah swasta. Beda dengan SD sebelahnya, yakni SD BO.
“Ibu Sitti Rohaya sendiri pindah
ke Jakarta dari Bandung sebelum Gestapo,” ujar ibu Sitti Saundari.
Begitu Ali Sadikin menjadi
Gubernur DKI Jakarta, wilayah DKI berubah, termasuk di daerah Pisangan.
Bersamaan dengan perubahan ini, tumbuh beberapa SD Inpres. Nggak cuma SD BO dan
SD Gotong Royong lagi. Ada SD 01 di Bypass atau jalan Ahmad Yani, Jakarta
Pusat. Lalu SD 03 Gang Skip, Jakarta Timur. Ada pula SD Domis yang didirikan
oleh orang Belanda bernama Domispar.
SD BO yang sekarang masih gagah
berdiri.
Munculnya SD-SD baru membuat SD
Gotong Royong kekurangan murid. Sejumlah orangtua murid memasukkan anak-anak ke
SD-SD baru itu. Padahal SD swasta ini nggak terlalu cari untung. Seperti yang sudah
dijelaskan ibu Sitti Saundari, bahwa SD Gotong Royong juga menampung
murid-murid yang orangtuanya nggak mampu.
“Bahkan ibu Sitti Rohaya senang
banget kalo mendapatkan murid pintar tapi miskin dan nggak mampu bayar,” jelas
ibu Sitti Saundari yang kini hidup menjanda, karena suaminya sudah meninggal.
Meski sudah dibuka sekolah SMP
dan SMA, SD Gotong Royong tetap nggak mampu bertahan. Bahkan operasional
sekolah SMA cuma bertahan sampai 5 tahun. Walhasil, sekolah Gotong Royong
ditutup, karena mengalami kebangkrutan. Ini terjadi sekitar tahun 80-an.
“Bekas bangunan sekolah Gotong
Royong kemudian kami jadikan kos-kosan,” ujar ibu Sitti Saundari. “Habis
darimana kami bisa mendapatkan uang kalo nggak membuat kos-kosan?”
Menurut ibu Sitti, kos-kosan di
rumah bekas sekolah Gotong Royong ini menjadi cikal bakal tumbuhnya kos-kosan
di wilayah Pisangan. Seperti juga sekolah yang dikelola almarhum Sitti Rohaya
yang sangat peduli pada orang miskin, kos-kosan ibu Sitti ini juga menampung
para pedagang dan orang-orang kelas bawah. Gara-gara menampung orang miskin,
harga kos-kosan pun jauh lebih murah.
“Kalo di kos-kosan lain harganya
sudah 500 ribuan, di kos-kosan kami cuma 200 ribuan,” ujar ibu Sitti Saundari.
“Bahkan dengan harga segitu, masih ada yang ngicil bayar 50 ribuan segala.”
Ada bahkan penghuni kos seorang
janda yang profesinya pencuci pakaian. Saking kasihan, ibu Sitti Saundari
memberikan keringanan sampai dengan harga kos-kosan per bulannya Rp 100 ribu.
Padahal penghuni yang lain bayar Rp 200 ribu.
Saat ini jumlah kamar kos-kosan
di rumah ibu Sitti berjumlah 15 kamar. Sepuluh kamar di bawah, 5 kamar di atas.
Kalo melihat jumlah kamar, beberapa orang sekitar situ menganggap ibu Sitti
banyak duitnya. Padahal, ya itu tadi, bahwa penghuni kos-kosannya banyak yang
nyicil. Bahkan sering ada penghuni kos yang melupakan cicilan bulan lalu yang
kurang.
“Saya sih nggak cerewet,
paling-paling anak saya yang marah-marah,” ungkap ibu Sitti. “Biasanya kalo ada
penghuni yang nakal, anak saya mengunci pintu kos atau mengusir mereka yang
nggak bayar-bayar. Kasihan juga sih. Habis gimana lagi?”
Gambar dan Sumber Cerita : Diarysitukanggowes.blogspot.com
No comments:
Post a Comment