Sunday 18 April 2010

Lelaki Telanjang di Cermin

Aku adalah seorang perempuan. Mempunyai buah dada dan vagina. Kian lengkap pula dengan rambutku yang panjang sepinggang. Hanya ini yang menandakan kelamin ku sebagai aku, selebihnya aku bertingkah bak kesatria yang tak berpedang. Walau berpedang pun mereka, selebihnya menjadi bayangan banci bagiku.

Di rumah yang tak sepi namun kerap ditemukan laba-laba menenun diri, aku menatap kaca jendela yang buram. Bukan ingin bergenit ria, karena semua cermin di rumah ini telah pecah berpasir-pasir saat amuk tak mau menyingkir. Aku muak menatap diriku di cermin itu di waktu yang lalu. Terlihat bayangan perempuan dengan dada yang ranum dan rambut yang panjang. Walau kadang aku sempat mematut diri dengan menatap vaginaku di tubuh yang telanjang.

Aku teringat saat dulu aku mematut diri di cermin, seorang lelaki memeluk erat tubuhku yang telanjang dan memainkan buah dadaku. Tak lupa ia menghampiri vaginaku. Dengus malam itu adalah basah setelah hujan lama datang. Aku terkapar. Menjadi mimpi gelap saat pagi tak menemukan dirinya di cermin itu. Oh, aku menantikanmu.

Penantian berikutnya hanya membuahkan sepi, walau aku mencoba berhias diri. Meluruskan rambut dengan jari-jari lurusku. Memuluskan kulit tubuh dengan lulur di kamar mandi. Bersenandung indah menepis sepi. Tapi cermin ini tak menitipkan dirimu, bertelanjangpun tak membuat mu hadir. Hingga berhari-hari aku bosan menatap tubuhku sendiri. Dan aku campakkan kursi yang juga menjadi tempat penantianmu. Dan tentangmu hanyalah serpihan-serpihan kaca yang tak lagi mempesonakan.

Aku mirip dengan ibuku, kecantikannya mengalir di tubuhku. Namun aku tak memiliki kekerdilannya dan tangis yang merenda hari. Aku juga tak memiliki kesabarannya. Aku hanya memiliki kerasnya watak ayah, awasnya mata ayah dan kerasnya kemauan ayah. Tapi aku tak ingin memiliki keduanya. Karena keduanya tak mampu melindungiku sebagai anak dan sebagai teman di sepanjang hidupku.

Saat ayah marah, ibu hanya bisa terkapar di sudut rumah. Menangis sejadi-jadinya. Sementara ayah dengan beringasnya mencambukku dengan tali pinggangnya. Ada sebuah korps terkenal di gesper miliknya. Lambang pemilik negeri ini.

Aku akan menangis dan lari memeluk ibu, setelah ayah puas melampiaskan amarahnya. Dan ibu hanya mampu membasahi rambutku dengan air matanya. Tak ada kata-kata, hanya tangis yang berkepanjangan. Dan aku melonglong hingga pagi, merasakan perihnya tubuh saat terbaring tidur. Dan mimpi tak mungkin hadir untuk memeluk manja atau sekedar merasa sama sebagai perih..

Aku malu untuk berenang, saat teman-teman mengajakku bermain di tepi sungai, di dekat barak kami. Bekas pecutan ayah masih berbekas dan akan berbekas lagi oleh pecutan yang lain. Dan mata itu selalu menjadikan malam yang menakutkan untuk setiap malam yang akan kujumpai saat ia pulang dari dinasnya.

Ibu penuh nasehat, dia melarangku bermain di belakang rumah. Di kejauhan sana ada hutan lebat, penuh pepohonan yang jarang dilalui manusia, terkecuali teman-teman kecilku yang berusaha mencari buah hutan. Atau ingin menangkap burung-burung dengan ketapel mereka. Dan biasanya, esoknya mereka akan menunjukan kepadaku hasil tangkapan mereka. Ahh,… aku iri dan ingin seperti mereka.

Mereka mengangguk dan menyatakan akan ada rencana perjalanan berikutnya. Saat itulah untuk pertama kalinya aku menepis nasehat ibu, aku ada di antara teman-temanku dan aku berjalan menuju ke kedalaman hutan itu. Hanya aku seorang yang perempuan dan lima temanku adalah lelaki. Kami bersenandung riang dan temanku memperkenalkan aku pada tumbuh-tumbuhan hutan. Pada anggrek hutan, pada belukar yang mempunyai bunga indah, pada rotan yang memeluk pohon, pada pepohonan besar dengan batang putih. Kata mereka itu pohon raja, dan di atas sana bertahta kaum bunian. Dan mereka berlari meninggalkan ku dalam ketakutan.

Di kabut yang turun tergesa-gesa di sore itu, kami tersesat. Lupa jalan pulang. Dan mereka menangis memanggil ibu dan ayahnya. Aku terdiam. Begitu lemahnya mereka. Kami beristirahat di tepi sungai di atas batu besar. Dan pekat malam mulai turun.

Esok paginya kami mulai berjalan, mencoba mengikuti aliran sungai, semoga ada perkampungan yang akan kami temukan. Kami jalan beriringan tak berjarak, takut terpisah dan hilang ditelan hutan lebat. Aku yang berjalan di belakang menatap bunga indah di atas bukit sana, aku ingin memetiknya, buat ibu pikirku. Kapan lagi aku bisa memberikan sesuatu baginya. Hingga tak sadar aku tinggalkan mereka dan berjalan sendiri. Namun malang, kakiku tergelincir ketika sudah ada di dekat bukit itu dan masuk ke dalam jurang.

Semua gelap terpapar, hanya aku bisa membaui kayu terbakar dan perutku menandai sebuah bau. Sesuatu yang dimasak. Oh, aku sudah di rumah? Aku bangkit bersama nyeri yang menyertai, namun tempat ini hanya gubuk beratapkan rumbia. Aku menatap pintu kecilnya dan sebuah bayangan mendekat. Aku bergeser dan meringkuk ketakutan di sudut ruangan.

Dia menatapku, dan memberiku sebuah cangkir. Wajahnya kaku dan tak bersenyum. “Minumlah, kau sudah lelah.”

Aku memegang cangkir yang dihantarkan ke arahku. Lalu meminumnya. Selanjutnya ia pergi ke luar gubuk ini dan kembali dengan sepiring ubi yang telah membaui ruangan ini. Aku menelan liurku, perutku tanpa dusta bersuara. Aku malu.

Esonya ia berjanji akan menghantarkanku, maka berjalanlah kami melalui pinggiran sungai. Aku menatap tubuhnya yang berjalan di depanku, kekar walau hitam legam. Dan pagi tadi, aku sempat melihat ia membersihkan tubuhnya di tepi sungai dan baru kali ini aku melihat kelamin laki-laki dewasa.

Tak terasa perjalanan kami sudah lebih tiga jam dan kami belum menemukan perkampungan. Kami masih terus berjalan dengan hanya berbekal air dan sebungkus ubi rebus sebagai pengisi perut. Tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara besar.

“Woiii, kau apakan anak ku?” tanyanya, dan itu bukan lagi tanya, karena dewa penolongku sudah terjerembab ke tanah dan diikut dengan tendangan kasar yang mengayun ke arah perutnya. Selanjutnya ada yang menarik tubuhku.

“Ayo pulang,” kata ayah dengan keras. Dia menarik tangaku untuk menjauh. Sayup-sayup aku dengar erangan kesakitan dari mulut lelaki itu yang telah dipukuli dan ditendang oleh teman-teman ayah. Ada yang meneriaki dia dengan sebutan pembunuh ada yang meneriakinya dengan sebutan gila.

Sesampainya di rumah, ibu hanya bisa mengusap rambut panjangku dan tangisnya mengalir membasahi. Dan kembali aku tak bisa tidur dengan bekas-bekas pecutan tali pinggang ayah yang tercetak manis di kulitku.

Dan aku masih mematut diri di jendela yang tak lagi bening, sementara laba-laba masih terus menenun diri. Aku terhenyak dalam keheningan mengingat tentang lelaki yang menyelamatkan hidupku. Pada senyumnya yang kaku, pada tubuhnya yang kekar nan legam, pada kelaminnya. Dan pada setiap cermin ia selalu memelukku.

Dapat dibaca di Kompasiana.com/edisantana

Gambar : Naked Young Woman in Front of the Mirror (Giovanni Bellini)
sumber gambar klik

No comments: