Saturday 14 April 2012

Lily Suhairy

Penyanyi dan Komponis Lily Suhairy, pimpinan Lily' Band
yang  merupakan ensamble musik Medan yang paling besar dan terkenal di era tahun 50-an


20 OKTOBER 1979


PUKUL dua dinihari, 30 September lalu, di sebuah kamar di Rumah Sakit Kodam II Bukit Barisan, Medan, terdengar suara wanita melagukan "Figurku." Ia menyanyi atas permintaan seorang laki-laki yang terbaring sakit di kamar itu: suaminya, pencipta lagu tersebut.

Dua hari kemudian, 2 Oktober pukul 08.35 WIB, laki-laki itu menghembuskan nafas terakhirnya. Dialah Lily Suhairy, sampai akhir hayatnya, selama 25 tahun memegang pimpinan Orkes Studio RRI Nusantara I Medan.

Mungkin tak banyak yang masih ingat wajah di foto ini. Sudah nasib, pencipta lagu di negeri ini gampang dilupakan -sementara lagu ciptaannya dan para penyanyi yang membawakannya lebih diingat dan dihargai.

Tahun 1970, misalnya, sebuah perusahaan rekaman piringan hitam mengeluarkan satu album band The Rollies. Disertakan juga lagu Selayang Pandang -- yang penciptanya disebut sebagai anonim. Padahal itulah salah satu lagu Lily yang berhasil dan sempat populer di tahun 50-an di seantero tanah air. Waktu itu Lily sempat protes. Tapi karena pihak perusahaan mengaku memang tak tahu betul, dan undang-undang yang ada pun tak mendukung protes seniman jenis itu, komponis itu akhirnya diam.

Perjalanan hidupnya membuatnya lebih percaya kepada musik. Kemudian juga (mudah-mudahan dimaafkan) minuman keras. Yang pertama memperkaya perbendaharaan musik kita dengan 182 lagu dengan warna langgam Melayu yang khas. Yang kedua menggerogoti kesehatannya, kemudian memberinya sakit kuning dan akhirnya merenggut nyawanya.

Lahir di Bogor, 23 Desember 1915, besar di Sumatera Utara. Konon sejak kecil sudah lebih menyukai kesenian daripada harus tekun dengan pelajaran sekolah. Meski begitu sempat menyelesaikan Mulo -- setingkat SMP. Pengetahuan musiknya diperoleh dari seorang Jerman di Medan. Dan minatnya itu diam-diam terus terpupuk ketika 1934 ia bekerja di perusahaan rekaman 'His Master's Voice' di Singapura.

Wednesday 21 March 2012

Dialah yang sebenarnya merasa tak nyaman


Seorang perempuan berkulit putih tak mau duduk berdampingan dengan pria itu dalam sebuah pesawat. Perempuan itu merasa dirinya lebih tinggi derajatnya dari pria hitam itu.

Pramugari : "Ibu silahkan duduk, tak lama lagi kita akan terbang."
Perempuan putih : "Maaf, saya tak ingin duduk berdampingan dengan pria itu. Tolong beri saya tempat duduk yang lain saja."

Pramugari : "Maaf bu, kursi untuk kelas ekonomi tak ada lagi yang kosong. Saya harap ibu dapat duduk di kursi yang diperuntukkan untuk ibu."

Namun perempuan itu tetap tak mau duduk, penerbangan menjadi tertunda. Dan pria hitam itu terdiam, ia hanya mampu tertunduk.

Pilot pesawat berusaha menengahi, ia datang ke barisan sang ibu yang tetap berdiri.

Pilot : "Ada sebuah kursi yang kosong. Namun adanya di barisan kelas bisnis. Tak perlu tambah biaya. Saya mohon maaf bila ada ketidaknyamanan di awal penerbangan ini. Saya persilahkan untuk pindah dan merasakan kenyamanan duduk di kabin kelas bisnis."

Perempuan putih : "Terimakasih, pak. saya akan segera pindah."

Pilot : "Maaf, bu. kursi itu untuk bapak di sebelah ibu. Dialah yang sebenarnya merasa tak nyaman sejak tadi melihat sikap ibu. Maafkan saya."

Sitti Rohaya


Sitti Rohaya (duduk) bersama sang suami, Raden Saleh Sastrawinata, dan putra pertama mereka

Sitti Rohaya adalah salah seorang wanita pintar di Indonesia. Kenapa? Wanita asal Sindang Laut, Jawa Barat ini berhasil disekolahkan oleh orang Belanda gara-gara jago matematika.

“Setelah ibu Dewi Sartika, ya ibu Sitti Rohaya ini yang disekolahkan oleh orang Belanda,” kata ibu Sitti Saundari, yang merupakan menantu ibu Sitti Rohaya ini dari anak kedua.

Suatu hari, seorang pengusaha ingin menjual tanahnya yang berhektar-hektar di jalan Pisangan, Tebet. Nama pengusaha ini adalah Mr. Hadi. Beliau pengusaha dari Yogya. Untuk mewujudkan cita-cita memiliki sekolah, akhirnya Sitti Rohaya membeli sedikit tanah, yakni sekitar 250 m2 di samping SD BO. Inilah cikal bakal berdirinya SD Gotong Royong.

Sitti Rohaya menikah dengan Raden Saleh Sastrawinata. Pria keturunan ningkrat ini asli Cianjur lalu pindah ke Bandung. Di kota Bandung inilah Sitti Rohaya dan Raden Saleh berjumpa. Mereka dikarunai dua orang putra. Yang pertama bernama Raden Didi Sunardi. Anak kedua bernama Raden Dundi Djunaedi. Ibu Sitti Saundari adalah istri Raden Dundi Djunaedi.

Raden Saleh juga orang pintar. Menurut ibu Raden Saundari, Raden Saleh adalah salah seorang yang membangun stasiun kereta api Pasar Minggu. Ia pun sempat menjadi Kepala Stasiun di zaman Belanda yang dikenal dengan istilah ‘OO’ atau offsetter.

Sepeninggal Raden Saleh, Sitti Rohaya membangun sekolah di atas tanah yang dahulu adalah rawa-rawa di Pisangan Baru. Selain siswa yang mampu bayar, wanita ini juga menampung anak-anak yang nggak mampu. SD Gotong Royong ini memang punya misi sosial, padahal sekolah ini adalah sekolah swasta. Beda dengan SD sebelahnya, yakni SD BO.

“Ibu Sitti Rohaya sendiri pindah ke Jakarta dari Bandung sebelum Gestapo,” ujar ibu Sitti Saundari.

Begitu Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI Jakarta, wilayah DKI berubah, termasuk di daerah Pisangan. Bersamaan dengan perubahan ini, tumbuh beberapa SD Inpres. Nggak cuma SD BO dan SD Gotong Royong lagi. Ada SD 01 di Bypass atau jalan Ahmad Yani, Jakarta Pusat. Lalu SD 03 Gang Skip, Jakarta Timur. Ada pula SD Domis yang didirikan oleh orang Belanda bernama Domispar.