Tuesday 14 September 2010

Bukan Inlander tapi Budaya Politik JAWA

(Beberapa Catatan Dari Perspektif Sejarah dan Antropologi Atas Buku Amien Rais ‘Selamatkan Indonesia’)*
Oleh : Dr.phil.Ichwan Azhari*

1. Sejarah Berlanjut
Amien menulis bab 1 bukunya dengan judul „Sejarah Berulang“ yang mensimplikasikan dan menarik garis sederhana bahwa apa yang berlangsung di Indonesia saat ini merupakan ulangan semata dari yang terjadi sejak zaman VOC. Uraian ini bagi saya sangat menarik karena jarang ada analis yang memiliki kepekaan historis, menghubungkan akar-akar di masa lalu dengan kelanjutannya di masa kini. Akan tetapi sayang sekali sumber-sumber sejarah yang digunakan Amien sangat miskin dan tendensius menggambarkan semata kehebatan VOC dan keberhasilan eksploitasi ekonomi dan politiknya di Indonesia. Seandainya Amien berkesempatan mempelajari studi-studi sejarah periode ini yang ditulis Furnivall, Ricklefs bahkan sumber-sumber Jawa yang luar biasa banyaknya, maka analisa dan kesimpulan yang ditarik Amien tentang hubungan politik , ekonomi dan kekuasaan VOC dengan raja-raja Jawa akan lebih menarik.

Dalam kajian sejarah mutakhir tentang VOC di Indonesia keadaan VOC berhadapan dengan intrik-intrik kekuasaan politisi Jawa tidaklah sehebat yang digambarkan sumber-sumber Amien dalam bab 1 bukunya. Selama 80 tahun awal keberadaannya di Jawa, VOC masuk dalam jebakan menghadapi ruwetnya kekuasaan raja-raja Jawa yang saling baku hantam, sulit dipercaya, berkhianat, penuh intrik di kraton, melakukan aliansi-aliansi longgar yang kemudian bubar, membuat kesepakatan-kesepakatan tertulis yang kemudian tidak dijalankan, memberontak, menolak adanya satu matahari kekuasaan, membuat kerusuhan, elit-elit politik yang bermuka dua serta sultan-sultan yang lemah dan peragu. VOC sangat lelah dan sangat tidak stabil berhadapan dengan segala intrik politik penguasa Jawa. Dipihak lain VOC berhadapan dengan perang dan persaingan dengan kekuatan-kekuatan dagang Eropa lainnya seperti Inggris, Spanyol, Portugis dan dari dalam digerogoti koruptor, salah urus perusahaan dan bercokolnya banyak pemabuk dan orang-orang tidak profesional yang menjadi jalan bersama menuju kebangkrutan dan pembubaran VOC.

Yang menarik dari periode ini untuk refleksi Indonesia masa kini adalah bahwa koorporat asing (seandainya istilah ini cocok) yang masuk ke Indonesia saat ini jauh lebih dahsyat dari segi kekuatan, profesionalisme, jaringan global dibanding VOC, tapi elit politik Indonesia yang berkuasa menyerupai apa yang berlangsung di berbagai pusat pertikaian politik Jawa sejak awal abad 17. Jika dulu ada pada institusi kraton dan raja-raja, mungkin sekarang ada pada partai, istana, institusi militer, konglomerat, birokrat dari pusat sampai daerah. Ini lebih cocok sebagai sejarah yang berlanjut.

Sisi lain yang perlu dikoreksi dari telaah sejarah Amien adalah terobsesinya dia pada seakan-akan pernah adanya kebesaran masa lalu Indonesia melalui hegemoni Majapahit dan Sriwijaya. Satu obsesi yang merupakan kelanjutan dari obsesi Yamin dan Soekarno dalam merumuskan Indonesia Raya. Padahal refleksi sejarah itu sudah lama dikalangan sejarahwan dianggap sebagai refleksi yang sesat karena kejayaan seperti diimajinasikan itu tidak pernah ada dalam sejarah. Indonesia sebagai sebuah konstruksi negara dan bangsa baru ada pada awal abad 20 dan bukan merupakan warisan dari nenek moyang entah sejak jaman kapan.

2. Bukan Inlander tapi Budaya Politik Jawa
Mental inlander yang terdapat pada para pemimpin politik Indonesia saat ini yang sering disebut-sebut Amien Rais memperlihatkan kurangnya pemahaman penulis tentang dinamika sejarah dan budaya Indonesia. Mental inlander menurut Amien berasal dari masa penjajahan yang menunjuk pada sifat merendah bangsa kita pada Belanda dan mengagung-agungkan bangsa asing (Barat). Bagaimana mungkin mentalitas pada masa penjajahan Belanda itu bisa melompat ke pemimpin masa kini sementara mereka tidak pernah mengalami kehidupan politik pada periode Belanda tersebut?

Di pihak lain para pemimpin politik yang hidup dan mengalami periode inlander itu, seperti misalnya generasi Tan Malaka atau Soekarno Hatta, justru tidak memperlihatkan mental inlander. Mereka telah berhasil mematahkan mental inlander itu pada saat seharausnya mental itu mempengaruhi generasi mereka. Generasi Soekarno Hatta yang dicitrakan positif dalam banyak bagian buku Amien adalah generasi yang tidak masuk dalam kategori inlander, sulit dipahami logika sejarahnya, jika generasi sesudah mereka kerasukan sifat inlander yang tidak mereka kenal dan sama sekali tidak diwariskan generasi sebelumnya.

Oleh karena itu secara historis dan secara kultural sifat-sifat negative para pemimpin yang disebut Amien inlander itu harus dicari padanan yang tepat dan asal usul dari mana sifat itu meresap ke kalangan politisi dan birokrat Indonesia. Saya mencurigai sifat-sifat itu bukan dibawa dari periode jaman penjajahan Belanda, (yang telah berhasil dipatahkan generasi Soekarno-Hatta), tapi justru dari periode pasca pemerintahan Soekarno, yakni pada masa era kekuasaan Soeharto yang sangat bersifat Jawa dan feodalistik.

Budaya Jawa pedalaman yang selama 30 tahun berkuasa secara hegemonik dalam seluruh urat saraf birokrat, politisi dan system politik Indonesia sampai saat ini, merupakan jalan buntu yang menyulitkan bangsa ini keluar dari benang kusut yang dirisaukan oleh Amien dalam bukunya. Sayang sekali mentalitas birokrat dan politisi yang bermental jawanisme ini tidak banyak disorot dan diakui dalam buku Amien. Padahal di UGM cukup banyak antropolog dan budayawan dan juga cukup banyak literature antropologi yang bisa memberi kontribusi kepada Amien terhadap tema ini. Seandainya Amien menelaah ini dengan cermat, saya yakin dia akan memberikan telaah yang jauh lebih bagus dari pada sekedar melemparnya ke keranjang sampah inlander era kolonial, padahal yang sebenarnya terjadi adalah periode pascakolonial yang sarat dengan budaya politik Jawa.

Menganalisa periode merasuknya budaya Jawa dalam perilaku politisi dan birokrat Indonesia tidak harus memberi citra buruk terhadap semua orang Jawa. Dalam kajian antropologi Jawa itu tidak homogen. Ada Jawa pesisir yang lebih egaliter misalnya. Amien Rais dan Juga Gus Dur bukanlah tipe Jawa pedalaman sebagaimana budaya yang dikembangkan Soeharto dalam kehidupan politik Indonesia selama puluhan tahun. Sementara itu tidak sedikit politisi dari luar Jawa yang sudah menjadi Jawa karena keberhasilan Soeharto melakukan jawanisasi budaya politik Indonesia. Oleh karena itu diperlukan suatu sikap oposisi yang terbuka terhadap budaya politik Jawa yang sampai sekarang masih dominan, dan oposisi yang paling efektiv adalah yang dilakukan oleh orang Jawa sendiri.

3. Bukan Tokoh tapi Perombakan Sistem dan Landasan Budaya
Amien selalu menyebut bahwa agenda mendesak bangsa Indonesia adalah munculnya kepemimpinan baru yang segera dapat memperbaiki keadaan yang disebutkan dalam bukunya. Mahatir Muhammad bahkan Ahmadinejad adalah tokoh yang disebut luar biasa dan terkesan bahwa Indonesia akan segera bisa keluar dari keterpurukan jika pemimpin seperti ini bisa muncul di Indonesia dalam waktu dekat. Pandangan seperti ini memperlihatkan syndrome ratu adil, yakni keadaan yang amburadul dan hancur-hancuran sekarang ini akan segera bisa diakhiri jika sang ratu adil datang.

Alkisah, sepuluh tahun yang lalu, sewaktu gelombang reformasi dianggap berhasil menumbangkan Soeharto, orang menganggap inilah era tampilnya kepemimpinan baru yang akan membawa Indonesia keluar dari kehancuran. Ada empat orang pemimpin yang dielu-elukan waktu itu, Amien Rais, Megawati, Gus Dur dan Sultan Hamengkubuwono X. Dua dari empat orang itu kelak pernah bergantian menjadi presiden. Amien Rais pun menduduki posisi sangat strategis sebagai ketua parlemen. Tapi kenapa sang pemimpin tak juga bisa membawa Indonesia keluar dari kemelut bahkan mewariskan kondisi Indonesia seperti sekarang yang diuraikan dalam buku Amien ini ?

Dilihat dari perspektif antropologi, ada yang luput dari pandangan banyak pemimpin dan orang-orang terdidik selama ini. Selalu dianggap bahwa perubahan segampang membalik telapak tangan. Munculnya pemimpin yang kuat dan flamboyan dianggap sudah cukup sebagai instrumen satu-satunya untuk segera mengakhiri kekacaubalauan. Padahal yang lebih mendasar dilakukan adalah kehadiran pemimpin yang segera melakukan perombakan sistem dan perubahan landasan budaya. Sistem dan landasan budaya yang ingin dirubah itu adalah sesuatu yang sudah berlangsung lama, sehingga diperlukan juga waktu untuk merubahnya.

Misalnya, tanpa perombakan sistem dan landasan budaya, bisakah orang sekaliber Mahatir atau Ahmadinejad menjadi presiden Indonesia dan membawa Indonesia seperti Malaysia dan Iran ? Bukankah mereka dalam bulan-bulan pertama pemerintahannya akan penuh kompromi dengan parlemen agar tidak dijatuhkan dalam hitungan bulan ? Mereka akan disibukkan memperkuat basis dukungan partai, tutup mata atas penyelewengan, inefisiensi, asal kekuasaan dalam jangka pendek menjadi lebih stabil sampai akhir periode dan diupayakan terkonsolidasi untuk periode berikutnya. Mereka juga akan berhadapan dengan anak kandung globalisasi : gerakan etnonasionalisme, primordialisme dan konsumerisme yang rakus di dalam negeri yang rapuh.

Salah satu yang mendesak dilakukan pemimpin baru adalah melakukan reformasi melalui jalur pendidikan. Ini tidak pernah dilakukan selama ini. Hasilnya tidak seketika memang. Tapi jalur seperti itulah yang banyak dilakukan negara-negara yang sukses dan berhasil keluar dari lingkaran kemelut. Reformasi melalui jalur pendidikan merupakan investasi yang akan membawa perubahan perombakan sistem dan landasan budaya yang tangguh. Pada saat seperti itu pemimpin baru akan relatif mudah berhasil membawa Indonesia menjadi negara sejahtera.

*Makalah di presentasikan dalam Bedah Buku “Agenda Mendesak Bangsa-Selamatkan Indonesia” Karya Amien Rais.
*Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial (PUSSIS) / Ketua Program Studi Antropologi Sosial, Universitas Negeri Medan.

7 Juni, 2008

No comments: