Puisi yang Pernah Dipublikasikan

Bisikan Kata, Teriakan Kota, Antologi Puisi Temu Sastra Jakarta. 
Penerbit Dewan Kesenian Jakarta dan Bentang Budaya, 2003
Puisi “LIMA SURAT UNTUK IBU” termuat dalam buku antologi : Bisikan Kata, Teriakan Kota, Antologi Puisi Temu Sastra Jakarta. Penerbit Dewan Kesenian Jakarta dan Bentang Budaya, 2003

LIMA SURAT UNTUK IBU
oleh edi santana

Surat Pertama : Jakarta Bertambah Harum
Kapal telah terantuk di dermaga. Kakiku pincang melangkah di antara sampah-sampah Jakarta. Di antara bualan politik di serambi istana, botol-botol parfum globalisasi, liur-liur yang menetes di pinggiran real estate, map-map lusuh bundelan lamaran, mayat-mayat hidup di kolong-kolong. Udaranya menyesakkan, tidak seperti nafasmu, Bu. Pagi tadi saudara kita juga tiba di kota ini. Aku sambut tidak dengan sirih, tapi lirih yang menetes. Tes. Tes. Tes..... Sungai memeluknya, menghantarkan mayat di tepi ini. Jakarta bertambah harum. Keringat, tangis, liur, bangkai penuh belatung.

Surat Kedua : Siapa Yang Menanak Nasiku Kelak?
Ingatkah ibu pada nasi yang dulu ditanak? Tutupnya naik turun, uap panas menyeruak. Rinduku pun tak bisa tersimpan rapat. Padamu dan manusia berkelamin sepertimu. Aku yakin dia cantik - seperti ibu - dalam gaun pengantin putihnya, setetes darah di sudutnya. Darah itu milik suaminya kini. Aku tak menyisakan apa-apa, perih-perih dari gaun putih di jemuran esok. Airnya menetes pelan, lamat, lambat, mampat benak sesaat. Mungkin pagi-pagi berikutnya, nasi di tanak untuk lelaki yang memeluk tubuh bugilnya. Dan tutupnya naik turun. Siapa yang akan menanak nasiku kelak?

Surat Ketiga : Kelelawar Menari di Purnama
Aku berada di antara keringat-keringat. Di antara dengus-dengus. Di sela-sela mimpi dan ronta tercekat. Tangan tak diam, otak menari gila. Beratus-ratus rantai mengikat jiwa-jiwa pada pilar-pilar roda yang meludahi keping-keping emas. Tiada yang berani berbisik akan gaji tak cukup atau istri yang belum pernah menggoreng ayam, atau anak-anak menanti baju baru di gerbang sore. Ada kelelawar berbaju emas menari cha cha di bumbungan atap. Telinga lebar amat awas. Taringnya meneteskan mazmur-mazmur nabi palsu, ia penetrasikan ruh-ruh kepasrahaan diri. Mandul dan robot berjalan, menanti di akhir bulan, ketika kelelawar menari di purnama.

Surat Keempat : Hewan Itu Tertawa Puas
Dulu si Iwan jadi gila karena menggigit anjing gila. Orang-orang menertawai ulahnya dan jadilah dia gila yang sejati. Dikumpulkan bersama manusia-manusia gila di rumah yang gila. Kemerdekaan ada di sana, kebebasan santapan utama layak dicicipi. Manusia menjadi harimau bagi dirinya. Mereka tercipta berkulit manusia. Mereka bukan bangkai walau jiwa dikucilkan bagai binatang. Dan binatang itu tampil di TV sore. Tertawa puas. Sebuah kemerdekaan tersimpul di bibirnya dari panggung dagelan. Bersama binatang-binatang lain, mereka berhasil memusnahkan manusia-manusia di Legian.

Surat Kelima : Biarlah Aku Kembali Lalui Vaginamu.....
Sepi di antara mimpi. Akal-akal yang palsu terselubung debu waktu. Malam dan siang bagiku kembar. Gendang telinga rindu akan omelan ibu. Memakan hari, memuntahkan syair-syair. Tapi syair-syair takkan menyilaukan betina-betina yang tak berpemilik. Peta harta karun di kain lurik lusuhmu telah menipu, walau Bapak memukul manja pantatku untuk beranjak ke kota ini dan tapaknya jelas terlukis. Mungkin Desember ini aku tak pulang, jangan risaukan aku. Jangan kirimi aku Sinterklas. Aku tak mengidam itu. Yang kuingin bila Tuhan ijinkan, biarlah aku kembali lalui vaginamu dan tidur untuk selamanya di hangat rahimmu. Aku rindu peluk dan kasihmu, Bu. Di situlah kejujuran bersumber dari seorang wanita.
Bekasi, 27 November 2002


Dian Sastro for President #2 reloaded. Penerbit ON/OFF, Bentang Budaya dan Akademi Kebudayaan Yogyakarta


Puisi berjudulKubus-kubus” danaku beri langkah” termuat dalam buku antologi puisi berjudul : Dian Sastro for President #2 reloaded. Penerbit ON/OFF, Bentang Budaya dan Akademi Kebudayaan Yogyakarta, 2003

Kubus-kubus
oleh edi santana

Garis-garis datang memagari nafas sunyi. Membentuk
kubus yang tentu sama sisi. Kamarku berbentuk kubus,
jiwaku berwujud kubus, hatiku menyerupai kubus, bayangan
di cermin retak tetap kubus. Isi dompetku bukan lembaran-lembaran lusuh,
tapi kini kubus-kubus yang masih juga lusuh. Gambarmu juga kubus,
sungguh tak elok hidung mancungmu tersihir kubus.

Entah dentang apa waktu menjadi gila. Logikaku terkotak-kotak
sama sisi. Logika kubus. Debar jantung berdentum di delapan sisi.
Sudut-sudutnya runcing menusuk langkah yang bolak-balik. Sekali
berjalan ku harus berguling di tiap sisi. Sulit menjadi petak-petak bermuka sama.
Nyeri-nyeri terlukis dari delapan penjuru angin. Tapi sesal tetap sesal.
Hidup buntung bukan bunting menanti orok.

Aku terpasung tanpa rantai. Oh.... jiwa-jiwaku dipagari delapan sisi yang sama
jahanamnya. Nafasku tersenggal berat. Bulu-bulu hidungku menggelitik nakal
merayu bersin.
Haaatttssyimm.....
Kubus-kubus tak memasung bandul lagi.
Berubah wujud menjadi kubus yang panjang.
Kutu Busuk.
28 november 2002


aku beri langkah
~ untuk E
oleh edi santana

aku memberi langkah padamu
untuk datang padaku
daundaun kering. jejak
bulan dicakar ranting
dengusku

aku beri dada padamu
gersang. hanya ilalang
tidurlah dan bermukim
tunggulah kupukupu durhaka pulang
tenggelam bersama bulan di lautan
debur ombak
nafas kita

aku beri bingkai di wajahmu
lidah melukis cantik
melumat bibir. menetes membasahi
ranum dada. bulat
bergulir dan hilang di rambutrambut akal
menepi bersama buihbuih ombak

oh kasih, tubuh ini tak bertuan
engkaupun kabar dibawa petir
menghujam hati menatap langit
termangu
menunggumu turun berjingkat
meniti pelangi
dan eros usil ganggu langkahmu
awas jatuh!
....cinta!
30 juli 2003


Dian Sastro for President, 2002. Penerbit ON/OFF, Bentang Budaya dan Akademi Kebudayaan Yogyakarta

Puisi berjudul “Menunggu Masanya Bila” dan “barangkali” termuat dalam buku antologi puisi berjudul : Dian Sastro for President, 2002. Penerbit ON/OFF, Bentang Budaya dan Akademi Kebudayaan Yogyakarta

Menunggu Masanya Bila
oleh edi santana

kau tak berdaya saat kau berpengharapan
kau masih tidak mengerti saat jawaban ditelan
tiada lagi keraguan di penantian malam
karena janji yang pasti untukmu
hanyalah terbitnya matahari di pagi hari
dan tiada sadar mengukur ruang hati
sesak melimpah muntahkan penat
tak senarusnya kau begini
ketika obor ditelan lorong gua kerinduan
sisi gelapmu samar di remah-remah cahaya
terpekur di suasana pilu hatimu
sisi ceriamu lenyap di senyap dorongan
lambat laun pun cinta takkan membuatmu hidup
bau jasadmu menyelimuti hangat rindu
siapakah kau, yang menarik-narik nuraniku
di dalam waktu tiada terpakur
saat hanyalah waktu, tapi waktu adalah aku
dan aku masih tetap di sini
menunggu masanya bila

 medan,20 Februari 2002


barangkali
oleh edi santana

barangkali namaku telah kau hapus
dengan bulir didih asmaramu
oleh hembusan kepak birahi

barangkali namaku telah kau hapus
di tepi ingatanmu disebuah titik merah
urutan lembut geser aku di isi hati mu

barangkali namaku telah kau hapus
dengan ucapan nama yang baru
oleh muaknya busa mulut makimu

namaku takkan luntur oleh tangismu
karena tak ada tangis di detik itu
seperti hilangnya gelap di pagi hari
tunggu aku di ujung sore
entah kapan itu..............
7 mei 2002