Esai yang pernah dipublikasikan

Sudah Tercapaikah Cita-cita Proklamasi? (Sumber image : www.rnw.nl/bahasa-indonesia)
Esai ini diikutsertakan dalam sayembara Cita-cita Proklamasi yang diadakan oleh  Radio Nederland Wereldomroep (RNW) atau Ranesi. Dan pemenang pertama adalah tulisan Oost-indisch doof. Berikut ini isi lengkapnya.

Oost-indisch doof 
Oleh: Edi Santana Sembiring
(Diterbitkan di Radio Nederland Wereldomroep (RNW)16 Agustus 2010)
Pada masa dulu, orang Belanda punya suatu ungkapan yang sangat pedas bagi bangsa Indonesia yaitu “Oost-indisch doof,” yang secara harfiah berarti "tuli gaya Hindia-Timur." Oleh Y.B. Mangunwijaya (Ragawidya, 1986) perkataan Oost-indisch doof diartikan untuk menunjuk keseseorang (biasanya pelayan/jongos) yang sungguh-sungguh sadar, bahwa ia dipanggil, tetapi karena tak senang ditambahi pekerjaan atau soal, pura-pura tidak mendengar. Dan saat sang Tuan marah, mereka hanya berkilah, "maaf, saya tidak mendengar perkataan, Tuan."

Istilah ini terasa pedas di hati, ungkapan ‘tuli’ dicap pada mereka-mereka yang punya telinga dan baik pendengarannya, tapi tak mau mendengar perintah. Namun menjadi jenaka oleh alasan berpura-pura tidak mendengar karena malas diberi tugas. Seperti dagelan dalam Srimulat, menjadi sangat menghibur penonton ketika seorang pemain pura-pura tak mendengar atau berperan tuli, namun ketika mendengar kata uang, ia bertanya, “uang? mana?”

Bulan ini kita merayakan kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke 65 tahun, dan ternyata budaya “Tuli gaya Hindia-Timur" masih nyata bersarang tidak saja pada lapisan masyarakat terendah namun juga sudah merasuki para pejabat negeri ini, para abdi (pelayan) masyarakat.

Setiap waktu tertentu kita mendengar jeritan orang-orang yang rumahnya kebanjiran, namun tetap saja banyak masyarakat yang membuang sampah ke kali. Kita mendengar banyak orang menangisi anaknya yang mati karena DBD, namun kita tak pernah ingat menguras dan membersihkan selokan. Suatu kali kita terperangah saat seorang anak SD gantung diri, karena malu tak mampu ikut berdarmawisata atau tak bisa lagi sekolah. Peristiwa itu mungkin tak jauh dari pintu-pintu rumah kita, namun kita selalu menutup pintu hati kita.

Kebanyakan dari kita mendengarnya, namun kita pura-pura tak mendengarnya. Diam seribu bahasa, seakan ini bukan persoalan kita. Untuk apa repot-repot. Toh, semua itu tugas pemerintah yang telah mendapat mandat dari rakyat dan digaji oleh rakyat.

Lalu mata kita berarak pada pemimpin-pemimpin yang telah kita pilih. Apakah mereka juga mendengar?

Mereka begitu berwibawa membuka tangan menyambut para demonstran yang datang ke rumah rakyat, selanjutnya bak berlakon Pontius Pilatus mereka mencuci tangan. Tak ubahnya juga dengan pemerintah yang sibuk membuat resep kemakmuran, namun kita yang dulu makan tidak teratur kini berubah menjadi teratur tidak makan.

Tahun depan kita akan menemukan perayaan ini kembali, namun seperti biasa kita hanya puas dengan suguhan panjat pinang, balap karung atau lomba makan kerupuk. Sementara di atas pentas mereka berlomba memanjat dinding hukum yang membatasi, berlari dengan karung-karung uangnya sambil tak lupa saling berbagi porsi kekuasaan.

Dirgahayu bangsaku, dirgahayu jerit-jerit yang tak pernah sunyi walau kita menutup kuping sekalipun.


Tampilan tulisan “Oost-indisch doof” di situs Radio Nederland Wereldomroep (RNW) klik
Dan pengumuman pada tanggal 27 Agustus 2010, juara pertamanya yang dimenangkan oleh tulisan “Oost-indisch doof “ klik.