Saturday 25 May 2013

SIBAGANDING SIRAJAGODA


SIBAGANDING SIRAJAGODA
karya  Mansur Samin

Tengah siang
di pojok nun, ke dalam restoran
berbondong para kuli berlesuan
duduk di sebaris bangku
dari bisik dan keluh :
Telah berbulan
tak ada kapal pulang!

Sedang sama menatap ke bandar sana
terkuak pintu muka
bunyi siul mengalun
dari mulut kumis brenteng
Tegap melangkah lagak parlente
bertopi pandan, bercekak pinggang
menatap awas ke tiap ruang
dengan sikap angkuh
menggeser sebuah bangku

Kuli-kuli pada menyisih
terserak pergi
dari pandang yang heran
hati terus bertanya :
Dari mana pula munculnya
ini Sibaganding Sirajagoda
tidakkah dirnya 
sudah lama dipenjara?

Sambil mengunyah kacang
ia buka topi pandannya
tiba-tiba sekepal tinju
menghantam meja
dengan megahnya :

Kasi bir! Sambal udang!
Rokok kowa dan Sate Padang!


Tengah bersantap dengan lahapnya
dari lorong utara
muncul kepala berpet kuning
Simarkamin Sikempetai
kuli-kuli kerumun kembali
menanti apa kan terjadi :
Ini restoran
apakah jadi gelanggang
dua pahlawan?

Dengan gerak mengintai
berpaling Sibaganding
pelan meletakkan bir
tegap berdiri seperti singa
sambil memilin kumisnya :
Sibaganding Sirajagoda
siapa berani boleh coba!

Markamin terdiam
dan duduk tenang :
Teruskan makan, silahkan minum
kedatanganku
bukan buat menangkapmu!

Satu demi satu
Bubar para kuli
dan dari kerumun
terdengar bisik :
Sibaganding Sirajagoda
apa ada tandingannya di kota Sibolga?

Suatu hari
gerimis mendung memucat langit
sedang berteduh para kuli
dari sebuah bendi
turun opsir Nippon
menggandeng nona Indo
belanja ke dalam toko

Akan keluar dari meja kasir
di pintu telah menanti
Sibaganding Sirajagoda
dengan tampannya
bercekak pinggang
topi pandan berkibar
menatap tenang

Setelah bersiul
sebuah senandung
ia melangkah tegap maju
tangan yang hitam berbulu
menarik pinggang Si nona indo
digandeng ke dalam sado
sedang Si opsir
melongo
tak berkutik
Kembali beraksi Sirajagoda
menggeger kota Sibolga
inilah korban kedua puluh dua
perempuan kena tenungnya

Sibaganding Sirajagoda
siapa berani boleh coba

Musim gajian di akhir bulan
para buruh keluar labuhan
satu-satu hilang ke pakter tuak
di tengah celoteh dan cakap
dari pintu samping
muncul Sibaganding
semua jadi hening
ke sebuah meja makan
duduknya mengangkang
jarinya yang bugil
pelan mengelus kumis

Dalam kecemasan itu 
semua dikagetkan dentaman tinju :
Mana tuak baru!
Jengkol! Sambalpari!
Bawa cepat ke mari!
kuli-kuli pada menyisih
menanti apa terjadi

Selagi semua diam
dari lorong selatan
terdengar tawa gaduh
menuju pintu

Sepuluh tentara Nippon
di teritis dekat terali
akan masuk berhenti
semua melongo
menatap awas ke satu pojok

Semua mata, penuh tanya
menanti sikap Sirajagoda
tapi geraknya yang bebas
senyum segar
jari mencukil gigi
mata melirik dan tangan yang hitam
tenang mengangkat gelas

Dari rombongan tentara Nippon
seorang maju melangkah pelan
geraknya bagaikan menohok
mengekarkan lengan
tapi Sirajagoda
bersiul dan biasa
seolah tak terjadi apa-apa

Maka
di akhir teriakan tinggi
berterbangan stoples dan kursi
tuak berhamburan
dan dipojok tiang
sepuluh tentara Nippon
tergeletak tak bergerak

Sibaganding Sirajagoda
dengan tenangnya
membersihkan bajunya
memilin kumisnya
dengan langkah yang pongah
pergi ke luar

Sibaganding Sirajagoda
siapa berani boleh coba

Di hari Sabtu, hari pasaran yang sibuk
berdengung mobil truk dari timur
berloncatan tentara Nippon
menjaga ketat setiap lorong
sekitar pakter tuak
dikepung rapat

Gegerlah setiap pojok :
.........................

bersambung ke bagian 2

Sumber tulisan : LAUT BIRU LANGIT BIRU, BUNGAI RAMPAI SASTERA INDONESIA MUTAKHIR disusun oleh AJIP ROSIDI 1977.



Biografi Mansur Samin :

Penyair yang pernah bekerja sebagai petani, kelasi, kuli pelabuhan, anggota laskar rakyat, guru dan wartawan ini dilahirkan di Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 29 April 1930. Ia menamatkan SMA di Solo dan kemudian lama tinggal di sana, mengajar dan menyelenggarakan berbagai kegiatan kesenian. Ia pernah menjadi anggota redaksi Siaran Sastra RRI Solo, redaktur mingguan Adil (Solo) dan kemudian bekerja pada harian Merdeka.

Kumpulan sajaknya yang sudah terbit ialah Perlawanan (kumpulan sajak, 1966), Kebinasaan Negeri Senja (drama, 1968),  Tanah Air (kumpulan sajak, 1969), Dendang Kabut Senja (kumpulan sajak, 1969),  Sajak-Sajak Putih (1969), Sontanglelo: Sajak-Sajak Cerita Rakyat (1996).

Ia juga banyak menulis cerita kanak-kanak yang banyak dia antaranya sudah terbit sebagai buku, diantaranya : Berlomba dengan Senja, Antara Tiga Pelabuhan, Parut, Lepas, Si Masir, Si  Belang, Luhut, Pesan Sebatang Mangga, Warna, Tagor dari Batangtoru, Empat Saudara, Tidak Putusasa, Urip yang Tabah, Telaga di Kaki Bukit, Hari Cerah, Gadis Sunyi.  Semuanya lebih dari 50 judul.

Di samping kegiatan di lapangan sastera dan teater, Mansur Samin sekali-kali main film.

Pada tanggal 31 Mei 2003, dunia kesusastraan Indonesia kehilangan seorang pujangganya. Mansur Samin wafat pada usia 73 tahun. Jenazahnya dikebumikan keesokan harinya di pemakaman Penggilingan, Jakarta Timur. Pujangga berdarah Batak ini meninggalkan empat orang. Dua di antara putranya adalah aktor Tabah Penemuan dan Tahta Perlawanan. Mereka-lah mengikuti jejak Mansur menjadi seniman. (sumber liputan6.com).

No comments: