Thursday 27 January 2011

Doedoek sama rendah berdiri sama tinggi!

1945, Njanjian perdjoeangan itoe ada begini :

Kowee botjah `ndi, lee?
Koelo laree deso,
Kowee `njang `ndi, lee?
Bade datengi kota
Kok kowee `nggowo bendo, lee?
Damel `mbatjok londo
Londo salah opo, lee?
`Mbade `ndjadjah kita
Opo kowee wis wani, lee?
Memang koelo sedjo
Nek londo wis mati, lee?
Kita tetep MERDIKO !

Tiap pagi sekali saja bisa liat bagaimana kelompok demi kelompok pemoeda pemoeda itoe dengen badan bagean atas tinggal terboeka, pada lari dalem barisan (kakias menoeroet istilah Djepang) sembari njanjikan dengen saling bergantian satoe njanjian jang waktoe itoe amat terkenal dalem kalangan pemoeda perdjoeangan.

Tanggal 15 Agoestoes 1945 Djepang menjerah kalah zonder sjarat pada sekoetoe. Tanggal 17 Agoestoes 1945 berikoetnja Indonesia di njatakan berdiri sebege negara jang MERDEKA dan berdaoelat penoeh. Keadaan lantas berobah tjoraknja; segala apa jang dinamaken Djepang, baek jang laskar maoepoen jang Sakoera (preman) pada dikoempoelkan di Poedjon (kaigoen, angkatan laoet) dan di Dampit (rikoegoen, angkatan darat). Sendjata, mobil, roemah pada dirampas.

Dipermoelaan tentoe sadja masih katjaoe balaoe; jang bisa diliat banjak pemoeda² pada gelantoengkan pedang samoerai dipinggang`nja dan sedapat moengkin masing-masing pada persendjatai dirinja dengen revolver dan senapan komplit berikoet peloeroenja. Malah saja ketemoe sobat saja dari stadwacht dahoeloe jang ban peloeroenja dipasang melintang didadanja. Poen tjara berdandan sami mawon. Pakean seragam K.N.I.L, stadwacht, P.E.T.A, seragam dari angkatan Djepang, semoea dipake.

Kedjadian² ini bisa ternampak disemoea permoelaan REVOLOESI disemoea negara. Tetapi lambat laoen keadaan jang keliatan seperti katjaoe balaoe itoe moelai teratoer oleh marika jang tadinja soedah dapet didikan militer, baek sebage militer K.N.I.L, stadwacht maoepoen P.E.T.A. Badan keamanan rakjat diroebah mendjadi Tentara Keamanan Rakjat (T.K.R), jang paling belakangan namanja mendjadi T.N.I. (Tentara Nasional Indonesia) hingga sekarang ini.

Barisan pemoeda revoloesioner ini dibantoe oleh pasoekan bamboe roentjing jang moelai berdiri boleh dibilang di segala pelosok. Malahan anak² sekolah kalaoe lagi maen sama kawan²nja, soedah tida maoe maen “Obor sodor” lagi, tetapi maen perang²an dan dengen bamboe roentjing satoe pada lain.

Api revoloesi moelai berkobar, makin lama makin tjepat njalahnja, makin mendjoelang lebi tinggi dan lebi tinggi, hingga achirnja tarik perhatian doenia di loear sengketaan Belanda dengen Indonesia.

Penghidoepan berdjalan seperti biasa, dilihat dari lahirnja. Tetapi saja tahoe dalem djiwanja masjarakat Indonesia telah bangkit satoe persatoean baroe, perasaan tida maoe anggap atawa dianggap dirinja sebage berkedoedoekan jang lebi rendahan. Sikap noon inggih dilempar djaoeh; dipasar, didjalanan, dimana sadja itoe sifat “onder danigheid”(sikap jang biasa diseboet oleh Belanda) soedah diganti dengen sikap baroe; doedoek sama rendah berdiri sama tinggi!

disadur dari : Tjamboek Berdoeri

Monday 24 January 2011

UFO di Indonesia

Daftar penampakan UFO di Indonesia sebelum 1945 hingga 2005 klik
Daftar penampakan UFO di Indonesia sebelum 2006 hingga 2008 klik

Puisi Soe Hok Gie

Sebuah Tanya
(oleh Gie)

“akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku”

(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi
kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)

“apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”

(lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya. kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)

“apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta?”

(haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. wajah2 yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. seperti kabut pagi itu)

“manisku, aku akan jalan terus membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan bersama hidup yang begitu biru”


"Pesan"

(oleh Gie)

Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran

Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara
mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi

Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?


MANDALAWANGI - PANGRANGO
(oleh Gie)
Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang2mu
aku datang kembali
kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu

walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku

aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta

malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua

"hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya "tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
'terimalah dan hadapilah

dan antara ransel2 kosong dan api unggun yang membara
aku terima ini semua
melampaui batas2 hutanmu, melampaui batas2 jurangmu

aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup

 
Sebuah puisi Gie, yang tak berjudul :
 
 
(Puisi Gie)


ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke mekkah
ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di miraza
tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu sayangku

bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mendala wangi
ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danang
ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra

tapi aku ingin mati di sisimu sayangku
setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu

mari, sini sayangku
kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
tegakklah ke langit atau awan mendung
kita tak pernah menanamkan apa-apa,
kita takkan pernah kehilangan apa-apa”

Thursday 20 January 2011

"Ethok-ethok" Tahun Kelinci 2011

Perbanyaklah senyum di tahun Kelinci. Menurut mitologi Cina, kelinci sanggup menyembunyikan diri di balik jubah kesopanan untuk meluluhkan lawan. Kelinci juga melambangkan keanggunan, sopan-santun, kebaikan dan kepekaan terhadap segala bentuk keindahan. Ia juga memiliki perasaan yang cenderung berubah-ubah, alias moody.

Berbeda dengan shio Naga, Anjing, Macan atau Ayam, yang memilih bertarung sekali-sekali, kelinci tak suka "berperang". Ia bukan tipe orang yang dilahirkan untuk menjadi pejuang. Ia bercokol di belakang layar, karena itu ia cakap bernegosiasi.

Bukan tidak mungkin sang Kelinci memerankan ethok-ethok atau berpura-pura ketika ia menginginkan pamrih dari lawannya. Ada udang di balik burger.

Dengan seni ethok-ethok, menurut guru besar filsafat STF Drijarkara, Franz Magnis-Suseno SJ, seseorang dapat memberi jawaban tanpa isi ataupun yang sedikit tidak tepat atas pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut urusan pribadi. Pada umumnya, seorang Jawa yang sopan menghindari keterusterangan yang serampangan.

Bukan ethok-ethok dan bukan moody di awal tahun kelinci, bila penaikan tarif kereta Kereta Api (KA) kelas ekonomi di kisaran 14-150 persen dengan pertimbangan beban ekonomi masyarakat kelas bawah. "Saya kira itu bukan pembatalan, melainkan penundaan. Menhub sudah mengambil keputusan untuk menunda penaikan," kata Menko Perekonomian Hatta Rajasa.

Bukan ethok-ethok dan bukan moody di awal tahun kelinci, bila penyesuaian harga pangan tidak dibarengi dengan peningkatan daya beli. Sampai-sampai harga cabai ikut nimbrung menekan daya beli.

Dampak ethok-ethok meluber ke saku kalangan industri. Kalangan industri menafikan penerapan tarif dasar listrik (TDL) secara penuh mulai 1 Januari 2011. Selain miskin sosialisasi, keputusan itu dinilai mencederai janji pemerintah soal batas kenaikan tarif (capping) 18 persen.

Meragukan kesungguhan dapat dibaca sebagai ethok-ethok. Ethok-ethok dalam tipikal bahasa birokrasi negara mewujud dalam kata-kata dan kalimat-kalimat eufimistik, umpamanya menaikkan harga yang dihaluskan menjadi harga mengalami penyesuaian, atau kalimat aparat menangkap pelaku kerusuhan menjadi kalimat pihak berwajib telah mengamankan pelaku korupsi.

Penghalusan -baca: penghinaan nalar- kata kerap terjadi, seperti kata kolusi menjadi kesalahan prosedur, desa miskin menjadi desa tertinggal, kampanye menjadi temu kader, dan satu lagi istilah yang kerap diobrolkan dan disuratkabarkan, yakni "usut tuntas kasus Gayus". Bahasa mengalami kekaburan makna dan menganulir misi sucinya yakni mewakili sesuatu yang konkret.

Ethok-ethok bagi publik dan pelaku bisnis mengerucut kepada ungkapan bahasa Jawa: Esuk dhele sore tempe. Umumnya tempe diolah dari kedele pada pagi hari. Sore harinya, kedelai yang dibumbui telah berubah jadi tempe.

Ungkapan itu merujuk kepada perkataan dan pendapat seseorang yang tidak bisa dipegang, berubah-ubah alias plin-plan. Tembunge mencla-mencle.

Mengapa ethok-ethok merasuk dan merusak nalar nurani elite birokrasi? Dari kacamata telaah filsafat postmodern, elite birokrasi telah lama berkencan dengan pembentukan dan pengolahan citra (image-processing). Mereka terperosok dalam "labirin beribu-ribu cermin", meminjam istilah filsuf Jacques Derrida. Subyek terperangkap dan terjebak dalam lautan imaji.

Ethok-ethok yang berkolaborasi dengan pengolahan citra, di mata novelis Milan Kundera, terjelma ke dalam diri agen-agen periklanan, para manajer kampanye politik, para perancang busana, para bintang show business yang mendiktekan norma-norma keindahan dan kepantasan penampilan fisik di hadapan umum. Ini yang disebut sebagai Imagologi!

Akibatnya, imajinasi menjadi tidak terperhatikan, ujung-ujungnya mereka mengekor dan mengembik kepada kekuasaan tanpa mau mempertanyakan secara kritis. Mereka tidak terbakar oleh api yang menjilat-jilat dari kreativitas, namun para birokrat justru silau dan terbakar oleh panas api yang tidak diketahui asalnya.

Inilah tragedi dari figur manusia bertubuh kuda (centaurus) di tahun kelinci 2011. Masih ingin tersenyum? Cukup kesengsem!

sumber : antaranews

Monday 10 January 2011

Facebook Ditutup 15 Maret 2011? Pikir Lagi!

Tulisan berikut ini adalah dari teman di Kompasiana.com, semoga bisa mencerahkan bagi para pengguna FB :

oleh Kimi Raikko

Dunia internet tidak pernah jauh dari kabar bohong atau hoax. Saya sempat tersenyum membaca berita ini yang ditulis di Media Indonesia.

“Facebook telah di luar kendali dan perusahaan ini telah membuat diriku stres dan menghancurkan hidupku. Aku harus mengakhiri semua kegilaan ini,” kata Zuckerberg dalam konferensi pers di Palo Alto, Sabtu (8/1). Zuckerberg seperti dikutip dari Weekly World News, menjelaskan mulai 15 Maret 2011, pengguna atau pemilik akun Facebook tidak akan dapat lagi mengakses akunnya. “Setelah tanggal 15 maret nanti, seluruh server Facebook akan dimatikan,” tambah Vice President of Technical Affairs Facebook Avrat Humarthi.

Mengapa saya tersenyum membaca berita tersebut? Tentu ada beberapa alasan penting:

Pertama, Facebook saat ini memiliki anggota lebih dari 500 juta orang. Bila anda tidak benar-benar gila, menutup sebuah situs dengan penghuni sebanyak itu tentu pekerjaan yang berisiko karena walaupun ada kekuasaan di tangan Mark untuk menutup Facebook, tetapi kekuasaan tersebut tetap terbatas. Mark bukanlah orang yang suka aneh-aneh dan menutup Facebook yang begitu maju adalah termasuk perkejaan aneh.

Kedua, pada tanggal 2 Januari 2011, Facebook baru mendapatkan suntikan dana dari Goldman Sachs dan Investor Rusia. Menurut anda logiskah perusahaan yang baru saja memperoleh dana dari investor sekelas Goldman Sach seminggu kemudian menutup perusahaannya?

Ketiga, kenyataan bahwa informasi tersebut diberitakan oleh sebuah situs yang hampir tidak ada hubungannya dengan dunia sosial media. Situs tersebut lebih kepada entertainment dan selebriti dan pemberitan tersebut tidak didasari oleh sumber yang kompeten. Dan lagi hampir tidak ada situs yang tingkat akuransinya sangat baik memberitakan hal ini. Kita mengetahui, saat Facebook sepakat dengan Goldman and Sachs dan investor Rusia, kesepakatan ini dirilis di situs The New York Times. Bahkan kesepakatan ini dirilis di berbagai media sosial lainnya seperti mashable.com.

Jika akhirnya Facebook menutup situsnya, paling tidak ada clue dari The York Times dan berita yang sama di mashable.com yang cukup intens dalam mengikuti perjalanan Facebook. Bahkan di mashable.com sendiri terdapat bantahan akan berita penutupan Facebook tersebut.

“We have official confirmation from Facebook Director of Corporate Communications Larry Yu that the rumor is false. We asked him via e-mail if Facebook was shutting down on March 15, to which he responded, “The answer is no, so please help us put an end to this silliness.” He added, “We didn’t get the memo about shutting down and there’s lots to do, so we’ll just keep cranking away like always.”

Menarik untuk ditelusuri seperti yang pernah saya tuliskan sebelumnya bahwa Facebook belum juga melakukan IPO. Namun walaupun demikian, Facebook tidak kekurangan dana sedikitpun. Hal ini karena adanya secondary market yang bersedia mengucurkan uang untuk Facebook. Salah satunya adalah Goldman Sachs yang memfasilitasi orang kaya untuk dapat memperoleh jatah saham Facebook.

Sebagaimana dikutip dari The York Times, Facebook telah memperoleh dana $ 500 juta dollar dari Goldman Sachs dan investor Rusia. Dana ini akan meningkatkan nilai Facebook menjadi $ 50 miliar. Sebagai bagian dari kesepakatan dengan Facebook, Goldman Sachs diharapkan dapat meningkatkan investasi di Facebook hingga menjadi sebanyak $ 1,5 miliar, Artinya baru sepertiga dari jumlah yang dijanjikan Goldman Sachs tersebut yang diterima Facebook pada tanggal 2 Januari 2011.

Termasuk bagian kesepakatan antara Facebook dengan Goldman Sachs, Goldman Sachs akan menciptkan suatu alat keuangan yang memungkinkan investor untuk berinvestasi secara tidak langsung di Facebook. Hal ini juga menyebabkan Facebook bisa terhindar dari kewajiban mempublikasikan data keuangannya ke publik sebagai mana diwajibkan oleh Securities and Exchange Commission atau SEC.

Nah dengan data-data keuangan yang begitu banyak dan investasi yang baru saja mengucur dari Goldman Sachs dan investor Rusia, tentu adalah mustahil Facebook akan tutup dalam waktu tiga bulan setelah investasi tersebut dilakukan. Dan melihat nilai kekayaan Facebook yang terus meningkat, per November 2010 di angka 41 miliar dollar AS, tentu suatu hal yang bisa dikategorikan gila bila menutup Facebook yang nilainya terus melambung tersebut.

Kembali kepada pernyataan seperti yang ditulis Media Indonesia terutama kalimat pertamanya, layak untuk kita telusuri apakah benar Facebook sudah di luar kendali Mark Zuckerberg? Sampai saat ini hampir tidak ada data yang saya pegang untuk membenarkan pernyataan Mark tersebut. Gizmodo memberitakan bahwa kehidupan Mark sangat tenang dan nyaman. Anda dapat melihat video berikut ini.

Friday 7 January 2011

Telunjuk Sang Tuan

lukisan karya Agus Suwage
Ruangan ini seperti gurun panas tak berbatas. Entah mengapa tiba-tiba keringat dinginnya menjalar membasahi punggung. Dahinya berkerut menyerupai garis-garis ombak yang berenang menuju tepian. Matanya tak berkedip, sejenak ingin lompat menggelinding jatuh.

Di atas meja ini benda itu teronggok diam. Pemandangan yang mungkin terasa sangat menakutkan, memikirkan bagaimana ia bisa berpindah. Mulutnya tak terkunci, sudah lebih dari menit yang kesembilan bibirnya bergetar tanpa mampu menghasilkan suara apa-apa.

Entah siapa yang nekat mengirimkan benda ini. Atau kalau memang ia sudah terbiasa melakukannya, mengapa pula ia iseng mengirimkan ke alamatnya. Bukankah masih banyak jutaan alamat lain yang bisa dituliskan. Bahkan masih banyak nama lain yang serupa yang bisa ditujukan.

Ia mengeja yang tertulis. Benar, tak salah lagi, paket barang ini memang ditujukan kepadanya : Iwan Supomo. Alamatnya pun tak salah, lengkap dengan kodeposnya. Yang tersisa tentang si pengirim tak ada, hanya beberapa sisa tetes darah.

Sepertinya benda ini sudah mulai mengering. Semula terbungkus dalam sebuah kotak kecil bersampul kertas coklat. Kertas yang dulu menjadi sampul buku-buku saat SD. Dan di dalam kotak terdapat bungkusan plastik bening yang tertutup rapat. Di dalamnyalah benda yang membuat siapapun pasti tercengang bersemayam. Sepotong telunjuk.

Belum lagi ia dapat mengerti maksud benda itu dikirimkan kepadanya, tiba-tiba terdengar suara lain yang minta dipahami. Di seberang seseorang berkata,

“Halo, siang pak Iwan. Tolong diatasi segera demonstrasi yang terjadi. Saya ingin besok semua karyawan harus mulai bekerja. Saya tak ingin produksi kita terhenti. Pecat saja bagi yang membangkang, tak ada ampun bagi para provokator. Cukup hari ini mereka berkoar-koar. Saya tunggu realisasinya.”

Ia hanya mampu mengangguk. Keputusan yang sejak dari tadi pagi belum terpikirkan sudah ditambah lagi dengan datangnya benda yang mengejutkan ini. Ia lalu bangkit dan mengantongi benda itu yang kembali bersemayam di dalam kotaknya. Seperti sebuah kotak pulpen mahal.

*****************

Pemberitaan di televisi kali ini sangat berbeda dibanding beberapa bulan sebelumnya. Bila isu sebelumnya sempat reda oleh demam bola dimana nasionalisme berdiri membelakangi tiang gawang sendiri, yang terjadi kini menjadi buah bibir baru.

Para pengamat politik melihat gebrakan baru dari sang Presiden, saat tiga orang mentri dipecat karena usahanya untuk mensejahterakan rakyat malah menyeret-nyeret rakyat ke perdebatan rumusan siapa yang layak dikatakan miskin. Sementara hukum bergulir seperti mata dadu yang dilempar, susah ditebak. Dan agama yang seharusnya menjadi milik pribadi-pribadi, dijadikan komoditas politik murahan hingga menimbulkan bahaya laten yang baru.

Tak hanya di layar beling atau media cetak, di pasar-pasar para pedagang masih termangu, saat sang Presiden berjalan menghampiri mereka. Operasi pasar membuat para spekulan lari terbirit-birit dan lumbung-lumbung persembunyiannya disita oleh negara. Tak hanya itu, ia akan berjanji memberi tempat yang layak bagi para pedagang, sehingga tak akan ada lagi penggusuran lapak-lapak yang sesukanya terjadi.

Para guru, petani, nelayan dan buruh-buruh pabrik tak lupa dihampiri. Walau tak semua disapa, namun di tengah-tengah mereka sang Presiden berkata akan memperbaiki kehidupan mereka. Ia sudah muak oleh laporan-laporan yang menutupi kelemahan kerja para mentri. Ia bersama para staf ahlinya akan membuat skala prioritas terdepan. Skema terbaru adalah sang Presiden akan menampung langsung segera permasalahan dan membuat penyelesaian terbaik.

Pergunjingan ini tak hanya dikalangan bawah, kalangan wangipun terpesona. Mereka membicarakan raut muka wajah sang Presiden yang serius menatap kekesalan buruh sepatu yang tak mampu membelikan anaknya sepatu buatannya sendiri. Mereka membicarakan payung yang dipakai sang Presiden saat terjebak dalam gerimis ketika berdiri di pematang sawah bersama ratusan petani yang mengelilinginya.

Dan yang terbaru adalah tentang sarung tangan yang dipakai sang Presiden. Lambaian tangannya meneduhkan, bagai kipas mencuri angin.

Thursday 6 January 2011

Ketika Waktu Terlelap

15 Ordnance Street (sumber : www.lilfordgallery.com)
Ia membayangkan ayam-ayam di belakang rumah beratap rumbia itu tak akan lagi berkokok jantan membangunkan tuannya. Ia membayangkan pagi akan sunyi saat ia menimba air untuk mengisi bak penampungan air untuk memandikan ketiga putrinya. Ia membayangkan istrinya menangkap kelima ekor ayam jantan itu sambil menggendong bayi mereka. Lalu menjualnya ke pasar.

Suaranya sayup-sayup terdengar di kamar sebelah. Suara batuk yang terdengar berat. Dan sebentar lagi pintu kamar itu akan terbuka, lalu ia melangkah menuju kamar mandi. Suara dari mulutnya akan terdengar seperti sedang mencoba mengeluarkan sesuatu. Seperti sedang meludah, atau seperti mencampakkan dahak.

Tidurnya malam ini tak kan puas. Dan esok aku akan menjumpainya dalam kondisi setengah mengantuk dan mendapatkan kenyataan ada aroma baru di rumah kami yang kecil. Bau yang menyeruak dari kamar mandi. Bekas kencingnya yang selalu lupa disiram.

Entah mengapa, semenjak kakek ditinggal mati oleh nenek setahun yang lalu, sikapnya terlihat begitu lamban. Ingatannya tak lagi berdiri tegak, seperti tubuhnya yang mencoba selalu bersandar saat menonton TV. Ia tak mampu bertahan lama duduk tegap. Ia tak lagi seperti kisah-kisah yang selalu dituturkannya saat kami selalu bertemu.

Ayah menitipkan kakek pada kami dengan alasan ia ingin menjauh dari saat-saat kematian nenek dulu, di rumah ayah. Ayah menyadari kakek masih terpukul oleh situasi yang di luar dugaannya. Usia kakek 83 tahun dan nenek tak terpaut jauh, 80 tahun. Usia yang sangat jarang dijumpai di negeri ini, apalagi bisa hidup bersama pasangannya hingga usia demikian tanpa ada percekcokan rumah tangga berarti.

**********

Wajah manis ketiganya membuat hari-hari terasa indah. Bahkan menjadi hiasan menawan saat para tetangga datang bertamu, walau mereka hidup di sebuah rumah beratap rumbia dan berlantai tanah. Namun senyum dan tawa ceria mereka, mengosongkan kekalutan.

Ini sudah bulan yang kesembilan ia tak kembali. Dan ini sudah bulan kedua anak mereka yang ketiga lahir. Namun wajahnya tak pernah hadir menatap ketiga anaknya yang masih kecil-kecil. Ketiga putri yang tak pernah merengek-rengek berlebihan. Ketiganya sadar, wajahnya menanti kabar tentang ayah mereka.

Siang itu begitu terik, hingga bayangan sang pembawa kabar tertinggal entah di mana. Sejenak ia berdiri menjadi tanda seru hingga begitu banyak jeda di mulutnya saat mendengar. Lalu ia memberi salam perpisahan dan samar menghilang di ujung jalan.

Selepas kepergiannya, matahari tak mau juga berpindah. Tepat di atas kepala, ia menelanjangi kekalutan. Haruskah  pergi?

Namun ia tak punya lagi pertimbangan lama. Bergegas ia masuk ke dalam rumah, mengangkat bayinya dari dipan bambu dan menggendongnya dengan sebuah kain. Ia berjalan menuju halaman belakang rumah, menuju sebuah kandang dan dengan sebuah harap.

Gadisku di Pulau Seberang

lelap (sumber gambar : www.chanchangirl.blogspot.com)
Malam ini langit begitu kelam, bintang tak ada lagi yang bercanda. Mereka pergi entah ke mana. Langit berjubah hitam begitu dingin, hawanya membuat segala mahluk menggigil. Begitu kencang angin menggoyang-goyangkan dedaunan. Pelepah pohon sawit melambai-lambai, bersorak-sorai bagai sebuah tarian meminta hujan. Mungkin akan turun hujan malam ini. 

Lelaki muda itu mengeluarkan sesuatu dari kantong kiri celananya. Lembaran uang lusuh, beberapa koin recehan. Bibirnya bergerak-gerak menyebut beberapa angka. Menghitung butir-butir keringat. Menyusun carikan-carikan penat. Nafasnya berat terhembus, seperti hari-hari kemarin, hidup seperti memanggul beratus-ratus kilo batu besar. Badan membungkuk pada nasib. Tulang bukan lagi dibanting, sudah hancur. Serpihannya justru mengaburkan mimpi-mimpi. Sebuah mimpi yang mungkin terwujud 1001 tahun lagi, kenyataannya bagai sebuah dongeng Abunawas. Akankah kau masih mau menungguku?

Angin malam ini begitu nakal. Menusuk-nusuk tulang. Kaki masih terasa kebas, terasa sendi-sendi mau lepas. Dia menarik sarung lusuhnya. Baunya sungguh tak sedap. Bau keringat mengenyangkan perut, sungguh nikmat, gantikan lezatnya wangi ikan teri goreng atau terasi bakar. Sungguh nikmat dengan nasih bungkus hangat. Tapi malam ini ia puasa, cukuplah siang tadi ia menikmati. Dan bibirnya tak lagi merasakan asap tembakau pengusir sepi, dadanya terasa sesak sudah sejak tiga minggu yang lalu. Sementara ia harus bisa terus bekerja. Atau ia akan kalah.
 
Kalah? Ini bukanlah sebuah pertarungan, bukan pula sebuah kesombongan. Tapi sebuah janji, dan ia akan kembali untuk memenuhi itu. Aku akan mengawinimu, bisiknya. Gadisnya tersenyum indah, matanya yang kecil mencari kebenaran pada ucapan lelaki itu. Ia tak meragukan, tapi ia menatap sebuah lautan yang luas. Beribu ombak dengan bibir-bibirnya yang begitu ganas. Dan pulau impain nun jauh di sana, di sebuah mimpi yang terkapar, terkubur.

Sungguhkah bijaksana kehidupan yang kita jalani? Adat yang begitu agung, terasa sangat kaku. Untuk sebuah perkawinan, belasan malah bisa puluhan babi harus tersaji. Aku tak mampu untuk itu, tapi aku harus mengawinimu, biarkan aku pergi untuk membayar mimpi, katanya kembali. Jangan ragukan aku, kasihmu ini bukan ahli nujum, tapi aku bisa menciptakan pundi-pundi uang dari butir-butir keringat.  

Gadisnya hanya bisa tersenyum, ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia senasib dengan puluhan mungkin ratusan gadis-gadis lain. Dan para pemuda, pergi berlari jauh dari pulau ini. Mengumpulkan keping-keping keberuntungan dari dompet-dompet mereka yang bernasib baik. Terasa mahal sebuah keinginan, sebuah alur kehidupan mereka. Walau banyak yang kembali melunasi janji-janji. Banyak pula yang tak jelas kabarnya. Anginpun tak pernah kembali membawa jawab atas ratap kerinduan mereka. Angin tak sampai hati mendapati gadis-gadis masih runtuh pada puing-puing harapan.  

Angin masih kembali tak bersahabat, ia membuyarkan lamunan. Bersamaan dengan itu, gumpalan awan hitam berteriak nyaring, menyeringai malam. Jutaan butiran air terjatuh ke tanah. Semua berhamburan. Belasan mahasiswa yang dari sore berkumpul di bawah pohon-pohon sawit itu, tampak jelas di kejauhan berlari mencari perlindungan. Permainan judi mereka buyar, lilin-lilin mereka padam. Tak jauh dari dirinya, di atas sebuah becak, pasangan itu masih mengayuh birahi, mereka tak terusik. Masih berdekapan, makin mendekap, dingin menambah birahi mereka.  

Lelaki itu kembali menarik sarung, badannya melingkar mencari hangat. Ia tak terusik dengan taburan uang di tanah pada permainan mereka. Dentingan uang mereka. Ia tak terusik oleh suara-suara birahi pasangan temannya. Ia sama seperti pasangan itu, menikmati malam di atas sebuah becak. Dan pada tempat parkir sepeda motor kampus ini, mereka berteduh. Atap ini adalah rumah mereka. Ia harus beristirahat, esok adalah kerja dan kerja. Untuk membayar mimpi, hidup.  

Gadis itu masih menunggu. Untuk waktu yang tak pasti. Mungkin ia akan bernasib sama dengan gadis-gadis lain, menjadi penunggu kembalinya mereka para pengembara. Atau mungkin kelak harus menjadi perawan tua. Dan ombak-ombak masih terus berlari-lari, menjilati sang mpu, di sebuah pantai Sorake, Nias.  

catatan perenungan :
sumber gambar : klik