Thursday 31 March 2011

Senjata Itu Bernama Exorbitante Rechten

Lukisan Laat Maar oleh Jerry Thung,
pada pameran "Dari Penjara ke Pigura" (Salihara, Jakarta 17 Oktober - Desember 2008)


Exorbitante Rechten adalah hak menangkap siapa saja yang dianggap membahayakan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda sebelum Perang Dunia II. Hak luar biasa ini dipakai untuk meringkus pemimpin-pemimpin nasional saat itu. Bersama  hak exorbitante rechten ini, ada juga dinamakan pasal "de Haatzaai Artikelen" yaitu pasal-pasal pencegahan rasa benci. Ini adalah pasal karet yang mampu menuduh seseorang telah menyebarkan rasa benci pada pemerintah yang berkuasa. Dan bila tak mempan, maka dipakai hak exorbitante rechten itu sebagai senjata pamungkas.

Pigura di Luar Penjara

Perupa kita memang terbiasa bekerja dengan bahan sejumput. Bertolak dari yang secuil, mereka mengarang-ngarang atau mengembangkan gubahan visual atau sensasi artistik untuk menggugah yang indrawi. Imajinasi personal kiranya adalah alat ampuh untuk itu.


Ya, imajinasi dan peristiwa diracik secara longgar, menurut "logika imajinasi" seniman. Simsalabim, maka lahirlah karyakarya seni rupa yang menampilkan gambaran tokoh dan teks (ber)sejarah. Inilah pameran "Dari Penjara ke Pigura", yang diikuti 30 perupa (Jakarta, Bandung, Yogya, dan Bali), untuk menandai pembukaan Galeri Salihara di Jakarta (17 Oktober6 Desember 2008).

Wednesday 30 March 2011

Gundik Tak Kentut alias Guling

Tak sadar tiap malam kita memeluk gundik tak kentut. Ya, dikenal sebagai Dutch Wife atau (bantal) guling. Guling lahir dari kesepian orang Belanda saat tiba di negeri ini. Guling takkan ditemukan dalam sastra Jawa lama maupun sastra Melayu. Dan guling juga tak ditemukan di Eropah, hanya di beberapa negara Asia Tenggara. 
Guling juga terdapat di negara lain di Asia Tenggara. Variannya di Asia Timur dinamakan “istri bambu”, jukbuin, chikufujin, atau zhufuren yang terbuat dari anyaman bambu. Varian ini kemungkinan memengaruhi Dutch wife, karena keberadaan jukbuin sudah jauh sebelumnya.

Perempuan yang membawa pulang senjA

13009663281768375653
Sunset Woman by Nikhil Gangavane
perempuanku, jangan kau hitung umur dengan guratan di wajahmu. sudah berjuta kali ombak mampu meratakan pantai, saat setiap pagi para umang berjalan mencari hidupnya. selepas menatap fajar di horizon sana, mereka berlomba menguburkkan diri, dalam waktu milik mahluk lainnya.

Senyum dalam Sebotol Bir

Champagne Popping
aku simpan senyummu dalam kitab tua,
sepotong bibir yang tak pernah jemu mengucap namaku
bentuknya sudah mampu mengucap sejarahku
apa lagi lekuk tubuhku,
dan desahnya jangan ditanya, bagai debur ombak yang mampu menyeret bulan

Saturday 26 March 2011

Earth Hour, Mandi Satu Gayung dan Suku Terasing

1301130669696252850
Save Water oleh Muhammad Zulqamar (sumber youtube)

Program mematikan lampu selama satu jam atau Earth Hour yang diterapkan malam ini, tepatnya pada pukul 20.30 hingga 21.30 adalah merupakan gerakan dari WWF (World Wide Fund for Nature, juga dikenal sebagai World Wildlife Fund), organisasi konservasi terbesar di dunia. Program ini merupakan inisiatif global untuk mengajak individu, komunitas, praktisi bisnis, dan pemerintahan di seluruh dunia untuk turut serta mematikan lampu dan peralatan elektronik yang sedang tidak dipakai selama 1 jam. Kampanye ini dilakukan setiap Sabtu di minggu ke-3 bulan Maret setiap tahunnya untuk meningkatkan kesadaran atas perlunya tindakan terhadap perubahan iklim.

Mandi hanya dengan satu gayung air



Mandi hanya dengan satu gayung air? Ternyata bisa dan malah juara.



Film pendek independen buatan orang Indonesia dengan judul Save Water yang dibuat oleh Muhammad Zulqamar menjuarai hadiah utama kompetisi video MyView H2O yang digelar Bank Pembangungan Asia (ADB). 


Film Save Water secara sederhana memperlihatkan bahwa kegiatan mandi dapat juga melestarikan air, tentunya demi kelangsungan lingkungan hidup. Satu gayung sudah cukup untuk memenuhi aktivitas mandi dengan menyenangkan. Kegiatan mandi dalam film ini tak menggunakan dialog-dialog apapun.

Wednesday 23 March 2011

Melawan Lupa, Melawan Rezim Tunasejarah


Melawan Lupa (sumber gambar : dapunta.com)
”Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa, mudah saja. Hancurkan arsipnya!” (Milan Kundera)
Bayangkan, kerja keras yang dilakukan oleh HB Jassin kini dipandang sebelah mata oleh pemerintah yang melupa. Tak usah berharap pemerintah mampu untuk mendirikan pusat dokumentasi yang setekun HB Jasssin sepanjang hayatnya, sedangkan yang sudah ada saja dibiarkan hingga menjadi bubur kertas. Hancur bersama sejarah anak bangsa ini yang sebenarnya sangat berguna bagi kini dan masa mendatang tentunya.

Monday 21 March 2011

Tentang Gusti Nurul, dari Soekarno Hingga Sjahrir

Gusti Nurul

"Tulisannya jelek," kata wanita tua itu, seraya tersenyum kecil. Wanita tua yang kini berumur 89 tahun itu mengakui bahwa hubungan mereka lebih banyak melalui korespondensi. Ia masih bisa membaca kisah masa lalunya, seperti masih bisa dijumpai guratan cantiknya saat ia muda di bibir yang tersenyum. Dan candanya menyiratkan bahwa ia wanita yang punya hak memilih jalan hidupnya.

Terhantar sebuah kado yang dibeli di Jakarta. Isinya macam-macam, sampai tas dan arloji. Bersamanya juga terlampir sepucuk surat tulisan tangan. Siapakah sang pujaan dan pemujanya?

Menari di Depan Ratu Wilhelmina
Pada tahun 1936, di sebuah ruangan yang megah di bawah sinar lampu yang benderang, terlihat seorang gadis dengan pakaian Jawa menari dengan luwes dan indah. Tak ada peralatan musik yang terjajar. Namun sang penari mampu menari walau dengan diiringi oleh musik gamelan pengiring yang diputarkan langsung dari Keraton Solo melalui radio dengan suara terputus-putus. Bila saat ini bisalah disebut peristiwa itu secara teleconference.

Ratu Wilhelmina mengundangnya datang ke Belanda untuk memeriahkan acara pernikahan putrinya, Juliana, dengan Pangeran Bernard. Saat itu sang penari baru berusia 15 tahun. Namun ia tak hanya mahir menari, ia juga seorang penunggang kuda yang hebat dimana kala itu masih tabu atau tak lazim bagi perempuan. Dan ia juga mahir berenang dan bermain tenis. Sungguh siapakah dia?

Dia adalah seorang putri keraton yang bernama lengkap Gusti Raden Ayu Siti Nurul Kamaril Ngasarati Kusumawardhani. Ia adalah putri tunggal pasangan Mangkunegara VII dan Gusti Ratu Timur-putri Sultan Hamengku Buwono VII. Putri keraton ini biasa disapa dengan nama Gusti Nurul, kelahiran 1921. Kecantikannya menjadi buah bibir banyak orang saat itu. Kecantikannya bak Dewi Sumbadra, tokoh yang diceritakan oleh Sunardi DM dalam buku Bharatayudha, dimana digambarkan "Ketampanan manusia di bumi ini dibagi dua, setengah untuk Arjuna dan setengahnya dibagi untuk pria-pria lainnya. Kecantikan wanita di bumi ini juga dibagi dua, setengah untuk Dewi Sumbadra, setengah sisanya terbagi untuk banyak wanita lainnya."

Kekekaguman pada kecantikannya tak hanya jadi kekaguman orang kebanyakan. Gusti Nurul ketika itu juga menjadi buah pembicaraan para pembesar. Ia juga ditaksir mulai Bung Karno sampai Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan juga Kolonel GPH Djatikusumo (Panglima tentara saat itu).

Kekaguman Soekarno pada Gusti Nurul menyebabkan ia mengundangnya ke Istana Cipanas, begitu revolusi usai. Lalu Soekarno memanggil Basuki Abdullah untuk melukis Gusti Nurul. Setelah jadi, lukisan itu pun dipajang di kamar kerja Presiden Soekarno di Cipanas.

Namun Gusti Nurul tak tergoda sama sekali pada mereka. Alasannya sederhana, ia pembenci poligami. Gusti Nurul lah yang memberi inspirasi bagi para pangeran Mataram untuk tidak berpoligami.

"Tulisannya jelek"
Diam-diam saat itu ternyata Sutan Sjahrir juga menaruh perhatian pada Gusti Nurul. Seperti penelusuran Tempointerktif, diketahuil bahwa Sutan Sjahrir pada setiap rapat kabinet yang digelar di Yogyakarta, selalu mengutus sekretaris pertamanya, Siti Zoebaedah Osman, ke Puri Mangkunegaran, khusus mengantar kado yang dibelinya di Jakarta. Bersamanya juga terlampir sepucuk surat tulisan tangan Sjahrir.

Gerundelan

#1

Bentuknya petak, terbajak bagai sawah-sawah yang tengadah. Dan kerbau berlari mencampakan pak tani pada harga gabah yang tinggi. Sementara ibu-ibu menemukan kuping petani dalam sebungkus kecil beras kemasan 1 kilogram, nasinya bagai popcorn. Di tanak dan meledak. Asapnya berputar bagai goyang ngebor si penari yang tak lagi dililit ular, kini gurita telah memeluk pinggulnya dan ingin kembali ke rahim sebagai rahmat. Sudikah?

#2

Ketika mendung berjingkat turun menyapa bumi yang sekarat, kumpulan manusia malah bermain di awan. Kuda-kuda lumping yang melenggang di awang-awang bersama serpihan beling di mulut-mulut yang terucap. Langkahnya bukan maju mundur seperti gadis belia yang ragu-ragu menjual dirinya, sementara ponsel baru itu bagai nyawa yang ingin dirampas. Senyumnya tercetak di kening-kening pejalan yang antri di depan kotak hasutan. Dan disetiap jamnya akan keluar medusa menari-nari dengan kelamin yang menyapa-nyapa.

#3

Wacana bermain petak umpet, waktu berdiri pongah dalam kelompok hasutan. Yang berbicara kini kuping, karena yang bersaksi bukan lagi mata. Sedangkan mulut meraba-raba dalam gelap dan lidah menjadi tongkat yang menepis tabir. Semua sudah bersaksi, semua terperangkap dalam benang kusut untuk merenda perca-perca kain kafan dari potongan-potongan yang kita ambil dari kubur tak bernisan, dari korban penculikan, dari mata yang dipisahkan dari pemiliknya. Dan dari kubur anak sejarah yang rindu pada rahim ibunya. Kemudian kita memberi tanda tangan serta cap jempol darah. Berkalung ari-ari.

#4

Negeri kita tak sempit, luasnya tak lebih dari jalan bagi sang bayi keluar dari vagina. Selanjutnya Indonesia yang baru terhampar luas. Kita lupa membawa buku hidup, seperti manual book dalam setiap kemasan barang. Mungkin karena saat itu kita masih buta huruf, atau lupa bahwa hidup perlu baca. Bayi-bayi hanya punya tangis, karena mereka belum bisa membaca. Memahami bahwa tangis bukan lagi jalan keluar, karena tangisan kini sudah seperti lagu cengeng milik sang raja yang pintar menutupi kebodohannya dengan mencipta lagu. Dan bayi masihlah bodoh untuk mengubah nada tangis menjadi berbeda pada pinta-pinta yang berbeda. Raja bernyanyi dan bayi menangis. Bayi meminta Asi, sementara Raja berlomba memotong suburnya puting ibu pertiwi.

#5

Di rahim bayi tak menatap gelap, dia melihat langit dan awan. Itu sebabnya mereka suka dengan warna awan. Bayi-bayi lahir saat perjamuan kudus disiapkan. Mereka bersulang darah dan berbagi remahan milik kita. Memotong-motong nadi-nadi kita, selanjutnya disambung pada pipa-pipa menuju garasi mobil mereka masing-masing. Bersama ambulan mereka berteriak bagai sirene menyatakan kemanusiaan. Namun lampu sirene satu persatu membunuh burung-burung perdamaian yang terbang di atas kepala-kepala kita, hingga kita lupa membuat telur dadar. Dulu kita teratur makan, kini juga teratur untuk tak makan.

#6

Topengnya tak luntur oleh ludah mereka-mereka di depan rumah rakyat, tak juga berubah oleh tangis-tangis mereka yang menjual ginjal. Tetap dengan senyum tertarik, minta dikasihani, bagai dadu judi melempar wajahnya dengan telur busuk. Kena atau dipenjara. Namun kesemuanya terpenjara karena bidikan panah telah membungkam angin yang ciut untuk menghantarkannya. Dan atas nama kuasa, dia menyatakan ada kutu yang berbahaya di ayam-ayam petelur. Kelompok serangga kecil yang di duga sebagai pasukan haus koin-koin rakyat pada celengan ayam.

Dan kita ramai-ramai bernyanyi, "di sana tempat lahir beta, dibui dibesarkan bunda........"

Suara dan Rakyat

Menurut Kamus Bahasa Indonesia, rakyat itu adalah : (1) penduduk suatu negara: segenap -- Indonesia berdiri di belakang pemerintah; (2) orang kebanyakan; orang biasa (3) anak buah; bawahan.

Pada perjalanan waktu, suara mereka yang digusur, ditindas dan resah hingga turun ke jalan tak pernah didengar, maka yang dimaksud rakyat tentu bukanlah mereka. Karena pemerintah sering berkata : "Jangan sakit hati rakyat," "Dengarkan suara rakyat," hinggga menganggap diri "Wakil Rakyat."

Dan perkataan pemimpin harus merakyat menjadi sebuah teka-teki, apa yang dimaksud dengan merakyat? Menjadi rakyat yang mana?

Ada pula yang perlu digugat defenisi dari :
# rumah Rakyat : Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat
# kedaulatan rakyat : kekuasaan tertinggi ada pada rakyat; demokrasi
# pendidikan rakyat : pendidikan yg ditujukan kepada semua anak dan diselenggarakan oleh atau dengan bantuan pemerintah

Maka defenisi rakyat harus ditinjau ulang, karena dalam kenyataannya terdapat apa yang dikatakan :

# rakyat biasa : orang kebanyakan; bukan bangsawan; bukan hartawan
# rakyat gembel : [Jk] orang (golongan orang ) yang sangat papa, tidak mempunyai tempat tinggal dan tidak mempunyai pekerjaan tetap
# rakyat jelata : rakyat biasa (bukan bangsawan, bukan hartawan); orang kebanyakan
# rakyat kebanyakan : rakyat biasa
# rakyat kecil : orang yang tingkat sosial ekonominya sangat rendah; orang kebanyakan bukan penguasa pemerintahan)

Rakyat itu seharusnya adalah orang kebanyakan, orang biasa. Maka bila ia sudah berada dalam lingkar penguasa, pembuat kebijakan hingga memiliki kemampuan ekonomi, maka ia bukanlah rakyat.

Bila dikatakan "Mari dengar suara rakyat" maka itu adalah hal yang mustahil di republik ini. Karena suara rakyat adalah suara orang-orang yang tak memiliki kemampuan apa-apa, suara yang tak terlibat dalam keputusan politis. Kalaupun dipaksakan ada, suara rakyat seharusnya adalah suara orang kebanyakan, suara orang kelaparan, suara orang yang menanti pekerjaan, suara orang yang butuh pendidikan. Suara kebanyakan yang minta diperjuangkan bukan diperjual belikan dalam pertaruhan kekuasaan.

Ungkapan Vox Populi Vox Dei, suara rakyat suara Tuhan, tak mungkin ada di republik yang bertuhan namun anti rakyat. Dan perkataan suara dan rakyat adalah dua kata yang tak bisa disandingkan lagi. Rakyat dan suara adalah kata-kata yang bertolak belakang.

Sunday 20 March 2011

Cinta dan Perselisihan

Empedocles, seorang filosof dari Sicilia (490-430 SM)

Cinta dan benci begitu berbeda, tapi sungguh tipis jaraknya. Hanya dibatasi oleh selembar rambut. Empedocles, seorang filosof dari Sicilia (490-430 SM), berkeyakinan bahwa ada dua kekuatan yang bekerja di alam. Dia menyebutnya cinta dan perselisihan. 

Cinta mengikat segala sesuatu dan perselisihan memisahkannya. 

Inilah yang mempengaruhi unsur-unsur yang terdapat di dalam tubuh. Pada akhirnya tergantung pada kekuatan mana yang menarik kuat. Akan berbeda sekali bila segalanya dibaluri oleh kasih, kebencian akan melunak dan cinta akan dipenuhi oleh kerasionalitasan.

Terlukis (Telanjang)

13003876701802349209
Venus Verticordia 1864 - 1868 oleh Dante Gabriel Rossetti


Aku hanya bisa geleng-gelengkan kepala, tersenyum dan tak sedikitpun waktu untuk berniat melepaskan pandanganku dari matamu. Aku takut bila mata ini terpejam sejenak, engkau raib atau malah menjadi wujud lain.

Ya, sudah 11 tahun kami tak bertemu. Usia ku sudah menginjak 30 tahun dan engkau setahun lebih muda dariku. Tapi engkau tak berubah. Mata, bibir beserta senyumnya. Apalagi dadamu, hehehe.... Bila melihatnya hilanglah susah. Selanjutnya pasti sendal jepitmu akan melayang ke mukaku, dulu.

Apa yang dulu sering ku ejek padamu, kini sudah tak ada lagi, rambut gaya Nike Ardila itu. Mungkin kau sudah malu, atau mungkin diprotes oleh pacarmu. Pacar?

Aku terdiam, saat kau tanyakan apa yang juga ada dipikiranku untuk kutanyakan padamu, 3 detik yang lalu.

"Pacar? Belum terpikirkan, hehehehe..."

"Bohong! Atau... susah memilih satu dari sekian? Hehehe..."

"Belum nafsu untuk memacari mereka, hehehe..."

Tawa selanjutnya mengalir. Membawa kami ke masa-masa lalu saat begitu akrab di SMA. Tapi bukan sebagai sepasang kekasih. Hal yang tak pernah terpikirkan. Karena yang kami pikirkan hanyalah, bagaimana bisa membuat orang tua percaya pada kami selayaknya kakak dan adik. Bayangkan bila hari libur, tiba-tiba kami sudah ada di Jogya atau di Surabaya. Dan ibunya akan panik saat mendapat kabar itu melalui telpon di stasiun kereta api di sebuah subuh.

"Wah... anak gadis kok senekat kamu. Nanti siapa yang akan menjagamu?"

"Kan ada mas Heru, bu. Kami mau mendaki gunung."

Selanjutnya ibunya akan tenang saat kupingnya mendengar suaraku. Aku seperti biasa mencoba memintaa maaf untuk kesekian kalinya karena lupa pamit oleh alasan mengejar jadwal kereta api. Dan untuk kesekian kali ibunya akan kena damprat ayahnya yang mampu bersikap kasar demi anak semata wayangnya.

********

"Masih melukis?"

"Masih, beberapa pesanan belum bisa aku penuhi."

"Wah, aku mengganggu jadwal kerja mas Heru."

"Ndak apa-apa. Lagian aku ingin rehat sejenak. Penat."

"Aku mau dilukis lagi."

Aku memandangnya. Tersenyum melihat bibirnya. Senyum nakal itu.

Asap dari rokok yang baru kubakar meliuk menuju hidungnya. Dan ia segera meraihnya dari jepitan jariku. Menghisapnya dalam. Dan selanjutnya akan berpindah ke bibirku. Dulu, hal seperti ini merupakan ritual sebelum dirinya aku lukis. Tapi yang terbakar berbeda, daun ganja. Biasanya beberapa menit ke depan, tiada lagi rasa kecanggungan di antara kami.

"Apakah ada model lukisanmu yang juga telanjang?"

"Ada, sedikit. Tapi tak sepertimu. Perut mereka bagai tas pinggang."

"Hahahaa.... mas Heru tak pernah berubah."

Aku memang tak berubah. Menantimu. Hmmm... entah mengapa pertemuan kita di pagi tadi membuat hidupku kembali ada. Sangat berbeda dari apa yang aku rasa kini. Goresan kuasku begitu bernafsu, memindahkan dirimu ke dalam kanvas ini. Lekuk yang aku hapal. Dan kini masih sama. Dengan kulitmu yang bening serta rambut-rambut halusmu. Di tangan.

"Ke mana semua lukisan tubuhku?"

"Terjual habis. Aku sisakam satu di kamarku."

"Jangan-jangan gara-gara lukisan itu, tak ada cewek yang mau mendekatimu."

"Hahahaha... kau benar. Aku katakan wanita ini sudah mati di gunung Semeru hehe..."

"Sialan! Tapi mas..."

"Hmmm...."

"Kau selalu memandang lukisan itu?"

Aku diam.

"Menatapnya sebelum mata mengantuk?"

Aku terhenyak. Malamku hilang memandang dirimu.

"Menyentuhnya saat engkau rindu?"

Aku menelan ludah. Mataku terpejam. Berkelebat sejuta potongan-potongan akan dirimu. Senyummu. Gigi marmutmu. Tawamu yang berderai. Anak-anak rambutmu. Kupingmu. Leher jenjangmu. Punggungmu yang putih. Dadamu yang bulat. Perutmu yang rata. Dan halusnya......

*************

Cahaya dari luar jendela menepis mimpiku. Ternyata hari sudah tinggi. Aku bangkit saat menatap jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Hari ini aku ada janji dengan klien yang meminta untuk dilukis, di sebuah tempat di selatan Jakarta. Dan....

Aku menatapnya..... Rambutnya yang panjang tergerai menutup buah dadanya. Sutra merah meliuk di sekitar pinggangnya. Senyum begitu dingin. Dan matanya damai.... tertutup.

Ini bukan senyum dan mata yang ku dapat semalam, saat kami bercumbu di atas ranjang. Entah mengapa kali ini kami tak mampu menahan semua hasrat itu. Kegilaan di masa-masa SMA tak membuat kami tergoda untuk melakukannya, dulu. Padahal begitu seringnya kami berduaan saat berjalan tak ada ujung pangkal, entah itu menuju kota lain atau memasuki hutan. Mungkin karena seperti sebuah kebutuhan untuk menjadi abang dan adik.

Sebuah dering telpon mengusir lamunanku. Mataku berpindah dari wujud yang tergantung sebagai lukisan di dinding ini. Mencari arah suara berasal. Di atas meja.

"Halo....."

"Ya, bu. Apa kabar ibu?"

"Masih ingat dengan Raden Mas Harto? Tetangga kita dulu. Dia tadi pagi menelpon ibu dan meminta maaf. Nak.... ibu mau kabarkan, Ayu telah meninggal tadi malam. Dan suaminya pagi ini telah tertangkap."

Aku terhenyak. Terlukis sebagai air mata yang mengalir di dekat sebuah pohon tua yang kokoh.

sumber gambar : ArtSunLight

Cinta yang Berkali-kali

13005842851604144866
Cinta oh Cinta

Cinta adalah yang jatuh berkali-kali

Jatuh adalah cinta yang berkali-kali

Jatuh cinta adalah berkali-kali

Maka jika cinta selalu datang dan pergi

Usahlah heran berhari-hari

Ada yang tersenyum berganti-ganti

Ada yang berdiri seperti resah menari

Ada yang mengadu pada tali

Ada yang bersembunyi di balik jeruji

Hingga akhirnya di banyak kisah fiksi,

Cinta selalu menjadi madu yang menagihkan

Melupakan ribuan lebah pemilik sarinya

Dan pencurinya, bersembunyi di balik judul-judul berserak.

...... cinta adalah yang jatuh berkali-kali

sumber gambar : hendrawanku's blog

Ingatan Perempuan Buta

1295151899383855468
Perempuan Tua oleh Rembrandt

 "Pilihanku untuk membawanya kabur lalu mengawininya adalah pilihan terbaik bagiku. Walau ku tahu, ibu pasti tak akan menerima, ia begitu membenciku berpindah agama. Aku kawin lari karena ibu tak menyetujui. Ayahpun hanya bisa terdiam menatap ibu yang menangis sepanjang malam. Dan di sudut kamar, ibu tergantung ketika air matanya telah kering. Di belakangnya jendela melukis malam dengan bulan yang selalu ku tatap dari pulau seberang."

Asap-asap rokok itu sedang tidak menari, tak juga lama terbujur kaku. Silih berganti menyapa hidungnya, mungkin juga bagian dari niat mereka untuk membuatnya tak betah berlama-lama duduk di sini. Tapi mereka tetap menahannya untuk ketidakpuasan jawab atas pertanyaan yang dibangun entah untuk apa. Sementara perih mulai terasa kian menusuk. Ia tak diberi makan.

"Sudah tiga hari lamanya kau begitu memuakkan. Kami masih ada tugas lain yang lebih penting untuk dikerjakan!" hardik lelaki yang mulutnya begitu bau menyengat. Seperti endapan tembakau yang manja bergantung di rongga mulutnya.

"Bukankah sudah aku katakan, aku tak mengenal lelaki yang kau maksud," ucap perempuan itu dengan kesal, kata bapak telah berubah menjadi kau.

"Walah... apa susahnya untuk mengaku. Atau kau ingin hidupmu lebih payah lagi? Busuk di penjara?"

"Hentikan ucapan sinismu itu. Beruntung aku tak mengenal wajahmu, bila aku bisa melihatmu entah apa yang akan ada di benak ibumu, saat sepotong wajah bengismu ku bawa kehadapan ibumu. Hai anak muda, lupakah kau pada wajah teduh ibumu?"

"Bangsat! Perempuan sundal itu tak patut dinamakan ibu! Manusia apa yang tega menjual anaknya pada sekumpulan preman. Untuk diperas sebagai peminta-minta. Aakhhh..." Lelaki muda yang mulutnya bau itu menjerit marah. Ia menendang pintu dan sepertinya berlari menuju ruangan lain.

Jejak-jejak yang tersisa di ruangan ini hanyalah dengus nafas yang tak henti berpacu. Sepertinya teman-temannya bergumam tak jelas. Dengus mereka membakar lebih banyak lagi tembakau yang menggoda.

"Wah... perempuan buta ini ternyata mampu menakuti. Sudah tiga temanku, kau buat lari pada masa silamnya. Seharusnya kami yang menginterogasimu, ternyata kebalikannya."

Perempuan buta itu terdiam. Tentu tak salah ia berucap selama ini. Menegur lelaki dengan suara serak yang tega menggerayangi dirinya saat pertama kali dirinya dibawa ke ruangan ini. Lelaki dengan suara serak itu menghimpitnya ke dinding. Mencekiknya dengan sebelah tangan, teramat keras. Sementara tangan yang lain menelusuri lekuk tubuhnya dengan begitu rakus. Dengus nafasnya terlihat makin berat. Liurnya menetes di sudut bibirnya yang hitam.

"Apa yang kau inginkan dari tubuhku? Bukankah tubuhku sama dengan tubuh ibumu? Apakah kau merindukannya kembali? Perempuan yang kau rindu untuk selalu mengisi malam-malammu, saat ia pulang mabuk dari meja-meja judi. Kau diperbudak nafsu mudamu." Meskipun sakit melingkari lehernya, perempuan itu berusaha menegurnya, menepis agar dengus panas lelaki itu tak kian merangsek masuk ke hidungnya.

Sanin Lupa, Kalau Ternyata Tuhan Tak Boleh Beristri Dua


12951505291191987241
Jakarta Menjadi Gila, karya Imam Abdillah. (sumber ilustrasi : www.jakartaartawards.com)

Suara motor itu sudah tak asing. Seperti biasa ia datang sambil terkekeh-kekeh. Tubuh kurus yang kian menghitam hadir dengan peluh di bajunya. Mungkin kerah bajunya sudah penuh dengan daki, tapi untunglah rambut yang memerah itu menutupi hingga ke bahu.

"Bang, aku bawa uang koinan lagi. Dua ratus lima puluh ribu, hehehe..."

"Wah, lancar juga pendapatanmu. Gimana dengan rencanamu?"

"Rencana yang mana nih bang?"

"Wah, emang banyak kali rencana mu? Ya, rencanamu untuk punya bini muda."

"Hahahaha.... si abang masih ingat saja. Kalau rencana punya motor baru untuk bini sudah berhasil bang. De-pe (down payment) kebetulan hanya Rp.300.000,-. Untung si Gendut punya bos yang mau nerima. Nah, siasat untuk nyogok bini udah berhasil, tinggal dengan rencana selanjutnya, ngawini si Ipeh, hehehe...."

"Binimu emang udah setuju?"

"Mau tak mau dia pasti setuju bang. Paling-paling entar cuma nangis, lalu ngambekkan. Tapi pasti nggak bisa lama. Pasti dia rindu ke pelukanku hehehe.... Lagian rumah udah aku perbaiki, pakai bata merah. Nggak lagi pakai gedek. Dan kemarin udah aku buatkan warung kecil di depan rumah. Nah, sekarang lagi musetin pikiran buat ngumpulin uang untuk nikahan dengan si Ipeh hehehe..."

"Kapan rencana nikahnya?"

"Empat bulan lagi, bang. Kalau pendapatan lancar, pasti cepat terkumpul dananya, bang. Doain ya, bang, hehehehe...."

Selepas menghitung jumlah uang koin yang dibawanya, aku menukarnya dengan lima lembar uang lima puluh ribu rupiah.

**********************

Kian lama Wartel (warung telekomunikasi) ini kian sunyi. Hanya beberapa orang saja yang datang untuk menggunakannya. Paling-paling mereka yang ingin menggunakan fasilitas faksimili. Atau orang tua yang tak memiliki atau tak tahu menggunakan handphone namun ingin menghubungi anak atau saudaranya di perantauan. Seperti biasa, mereka akan meminta ku menekan nomor sesuai dengan nomor tujuan yang ditulis di kertas lusuh.

Padahal ketika awalnya tujuh tahun lalu, begitu susahnya memiliki perijinan dan mengumpulkan modal untuk membuka usaha jasa warung telekomunikasi ini. Malah ada syarat harus disurvei dulu oleh petugasnya, agar antara satu wartel dengan wartel lainnya tak berdekatan. Akhirnya setelah menunggu enam bulan lamanya, aku baru mendapatkan ijin untuk mendirikan wartel dengan 5 KBU (kamar bicara umum).

Hal yang tak terlupakan, di saat awal beroperasinya wartel ini, setiap malam minggu para konsumen ku berjejer antri. Malah terpaksa dibuatkan daftar antri, agar tak ada saling menyerobot. Apalagi ketika tarif murah diterapkan mulai dari jam sembilan malam, antrianpun kian menyibukkan. Waktu pun tak terasa kian larut saat aku menutup wartel dengan senyum ceria.

Senyum itu tak lagi hadir. Disamping suasana yang sepi yang menyebabkan kantuk selalu menggoda, terkadang ucapan sinis konsumen ketika aku menyebutkan sebuah nilai atas biaya percakapan yang terjadi membuat ku tersinggung.

"Kok mahal banget, bang? Ini mah nggak benar lagi. Argo kuda. Masak ngomong baru lima menit aja mahalnya minta ampun. Kok beda jauh dengan pulsa ha-pe (handphone)."

Wah, kalau kata-kata ini datang, mukaku langsung memerah. Seakan aku menjadi perampok pulsa yang berkuda hitam. Aku selalu mencoba menjelaskan, tapi sebelum kata-kata berakhir, suara lonceng di pintu telah berbunyi. Mereka berhembus pergi tanpa pernah kembali untuk menagih penjelasan yang selalu disiapkan di sela-sela heningnya ruangan ini.

Lonceng sakti itu tak lagi berbunyi. Aku namakan lonceng sakti karena ia mampu membuatku bersemangat dan menjadi begitu tampan dengan senyum yang terbuka lebar. Bayangkan saat orang hilir mudik datang, saat itu pula lonceng itu berbunyi akibat gerakan pintu. Saat mereka menyapaku dan menanyakan bilik mana yang bisa digunakan. Saat mereka memohon bantuanku untuk menemukan kode daerah tertentu yang ditekan sebelum nomor telpon tujuan. Saat mereka memintaku untuk berbicara di awal percakapan, karena ayah pasangannya ternyata yang mengangkat telepon di seberang sana.

Ada kalanya aku sekejab menjadi seorang pastor yang mendengarkan pengakuan dosa umatnya. Dari bilik sana beberapa kali terdengar isak tangis dan janji kepada pasangannya di seberang kabel. Ada yang berjanji akan selalu setia dan tak akan mengulangi perbuatannya yang mungkin menyebabkan sang pasangan sudah sekian lama tak pernah mau menerima telponya. Atau pengakuan yang sebenar-benarnya dari seorang cowok pada kekasihnya tentang alasan tidak datangnya ia kemarin.

Terkadang aku ingin memiliki sayap dan menjadi seperti Cupid, sang dewa cinta. Memanah cinta, agar di bilik sana tak terlalu bertepuk sebelah tangan. Terkadang aku ingin menjadi Khalil Gibran, membagikan syair-syair cinta sebagai mantera, sehingga mulut kelu yang susah berucap mampu mengungkapkan perasaannya. Tak hanya sekedar pembicaraan yang ngalor ngidul hingga tak sadar uang di kantong kian mengering.

Aku selalu mengingat muka mereka. Muka si Awan yang seakan masih tertinggal di ujung percakapan dan untuk kesekian kalinya ia tak mampu mengungkapkan perasaannya. Mata si Inong yang selalu memerah seusai melepas rindu dengan ibunya sementara sejujurnya ia ingin hadir malam itu di sisi ibunya yang sekarat di rumah ditemani ayahnya yang tua di Banda Aceh. Dan mulut si Kinanti yang terus menggerutu ketika tak mendapatkan pacarnya di setiap nomor yang ditelponnya. Entah mengapa pacarnya selalu menghilang saat malam minggu.

Di ruangan ini, aku menemukan wajah Indonesia melalui nomor-nomor tujuan. Percakapan berbagai bahasa yang membuat ku mengenal arti berbagai sapaan saat menutup atau membuka percakapan. Aku mendengar tak hanya kata tapi juga gerak tubuh. Ketika menerima pembayaran, aku mendapatkan tak hanya uang tapi juga menemukan kabar Indonesia kecil di ruangan milikku ini.

Tapi kini semua itu telah berlalu. Tehnologi begitu cepat berkembang. Alat komunikasi bukan lagi barang langka dan mewah, kini bisa dimiliki dengan harga murah. Bahkan didukung oleh pulsa-pulsa murah yang tiap hari ditawarkan oleh para providernya.

Lihat, iklan mereka begitu marak di televisi maupun media koran. Bahkan tak tanggung-tanggung, mereka menjanjikan bonus atau gratisan yang menghebohkan. Kalau perusahaan besar seperti mereka sudah menawarkan bonus dan gratisan, bagaimana pula kelak nasib orang-orang seperti aku. Ahh.... akhirnya kami tergilas, padahal dulu kami pernah menyambungkan nusantara dengan modal yang tak sedikit. Menutupi kurang baiknya sarana telepon umum yang disediakan pemerintah.

Aku harus berubah usaha. Atau mengekor mereka-mereka yang menjual pulsa atau aksesoris ha-pe (handphone). Atau mungkin menjual perangkat ha-penya. Hal yang mudah sebenarnya untuk dilakukan, karena tak sesusah dulu saat membuka wartel yang harus memiliki perijinan dan modal yang besar. Aku mencoba merenunginya di ruangan kecil Indonesia yang kian lama kian sepi.

**************

Sudah beberapa hari ini Sanin tak datang, sudah hampir seminggu. Padahal sebenarnya akupun tak membutuhkan uang koin-koin itu sebagai alat tukar, karena kian lama tak lagi banyak yang memakai fasilitas wartelku. Sejujurnya uang koin yang selama ini aku terima, untuk ditukar, bukan untukku. Kebetulan Ci Melan, pemilik warung sembako tak jauh dari sinilah yang membutuhkannya. Aku sudah menyarankan pada Ci Melan untuk berhubungan langsung saja dengan Sanin, tapi Ci Melan takut melihat wajahnya yang sangar. Kata Ci Melan, tak bersuarapun si Sanin, angkot hingga truk-truk besar di pertigaan Mangunjaya tunduk pada arah tangannya.

Ke mana dia? Apakah mungkin rencana perkawinannya dipercepat oleh alasan sesuatu hal? Kalau batal, aku meragukannya. Pendapatannya sungguh memukau. Bayangkan setiap harinya ia mendaptkan uang receh sejumlah Rp.200.000,- hingga Rp.250.000,- sebagai polisi cepek yang mengatur pertigaan yang sangat ramai. Hilir mudik angkutan pribadi, angkutan umum hingga truk-truk besar milik belasan pabrik yang terletak di salah satu jalan di sebelah dalam. Semua tentu memakai jasanya untuk mengatur agar keramaian itu tak membawa kemacetan, karena pertigaan itu lumayan sempit.

Untuk uang yang sebegitu besar setiap harinya tentu tak sepenuhnya ia miliki. Ia akan membaginya pada petugas yang tak segan-segan menyapanya. Atau membelikan teman-temannya yang datang dengan sebungkus rokok atau kopi atau mie kuah. Dan yang mencengangkan durasi yang dilakoninya hanya dari jam 6 pagi hingga 10 siang. Dia telah mendapatkan uang sejumlah itu. Selebihnya yang lain menggantikan posisinya. Jam kerja milik Sanin tak bisa diganggu gugat, walau banyak meminta jam yang sama untuk beberapa hari. Sanin telah membuktikan kengototannya dengan meninggalkan bekas luka dikeningnya.

Ahhh... lima ratus meter lagi ia akan tampak. Dari dalam angkutan umum ini aku akan melihat ia berdiri dengan seragam yang dibelinya dari pasar. Seragam pengatur lalu lintas. Pelan-pelan antrian berjalan menuju arahnya. Dan aku melihatnya berdiri di sana. Di trotoar tengah pembatas jalan.

Dengan seragam hijau (yang menyala saat malam), aku melihat ia berdiri sigap. Tegak menatap sambil memberi hormat. Ujung telunjuk tangan kanannya menyentuh kening. Aku mengeluarkan kepalaku ke balik kaca, sambil memanggil namanya.

Aku yakin ia pasti mendengar. Tapi ia tak menyambut sapaku. Menolehpun tidak. Ia tetap setia dengan sikapnya. Memberi hormat kepada lampu lalu lalu lintas yang menyala. Aku baru sadar ternyata di pertigaan ini baru saja dipasang peralatan lampu lalu lintas.

Seseorang yang duduk di sampingku berucap lirih, "Bang Sanin tak percaya, kalau akhirnya mereka tega memasang lampu lalu lintas itu. Padahal sebelum semua itu ada ia tetap setia mengatur lalu lintas dengan baik, termasuk setoran yang rapi. Tapi.... oleh karena niatnya untuk menikah, ia menjadi stress berat. Malu dengan keluarga dan ribut dengan istrinya yang minta cerai."

Aku menatap tak percaya pada gadis itu. Juga tak percaya ada tuhan baru yang menggantikannya di pertigaan ini. Masih terngiang ucapan Sanin dulu,

"Bang, niat awalku tulus mengatur lalu lintas. Kalau akhirnya diberi recehan aku anggap sebagai rejeki. Aku tak pernah memaksa yang tak memberi. Aku berdiri di tengah persimpangan seperti tuhan yang mengatur lalu lintas hidup."

Nasib kita kini sama, oleh tehnologi kita kalah. Bedanya Samin menjadi gila oleh mimpinya berbini dua. Sanin lupa suatu hal, kalau ternyata tuhan tak boleh beristri dua.

15januari2011

Edi Sembiring

sumber ilustrasi : klik

Wednesday 16 March 2011

Mereka yang Lupa

Tadi pagi ada yang mati sebelum kokok ayam pertama. Langit masih penuh jelaga hitam.

Tadi pagi ada yang mati, namun orang tak perlu repot untuk menguburkannya. Dan mentari tak perlu malu oleh satu-satunya sinar benderang di tengah kampung yang belum tersadar.

Telah tertampar pagi yang sunyi, oleh jeritnya yang senantiasa diam menahan sepi di ranjang yang sama tuanya. Nyata api itu membakar ruang-ruang masa lalu, saat vaginanya robek hingga kini ia sendiri tanpa mereka.

Menuju surga, meninggalkan mereka yang lupa.

Gea (cerpen Anton Chekhov dalam bahasa batak)

Menerjemahkan karya sastra bukan sekedar mengalih-bahasakan karya pengarang asli ke bahasa yang dimengerti oleh si pembaca. Tapi ia juga adalah upaya menafsirkan gagasan (baik itu mengenai benda atau non-benda) berkaitan dengan budaya yang ada dalam karya asli sehingga bisa dipahami oleh budaya si pembaca karya terjemahan. (MULA HARAHAP).
Gea
Oleh: Anton Chekhov
Penerjemah ke dalam bahasa Batak: Sal Hutahaean

Judul asli: A Nincompoop

Tar piga ari na salpu hujou do si Julia Vassiliyevna, i ma guru-parorot ni anakhonhu, tu bilut parsiajaran.

“Pahundul ma jolo, Julia Vassiliyevna,” ningku. “Beta tapature ma dabudabunta. Nang pe ringkot di ho hepeng, alai diingot ho do ruhut ni adat, ai ndang hea disungkun ho garar ni upam. Saonari, huingot nunga satolop hian hita tolupulu rubel sabulan …”

“Opatpulu do.”

“Ndang. Tolupulu do. Husurat do tangkas dison. Tolupulu. Saleleng on pe, i do upa ni guru-parorot hugarar. Saonari, ala dung dua bulan ho, ba …”

“Dua bulan lima ari.”

“Dua bulan do. Husurat do tangkas dison. Dua bulan. Ala ni i onompulu rubel ma sijaloonmu. Alai, orui ma sian i sia rubel, ai tangkas diboto ho, ndada adong diajari ho si Kolya di ari minggu, holan mardalan-dalan do hamu. Adong do muse tolu ari maradian sikola …”

Marrara antong bohi ni si Julia Vassiliyevna i, haohao nang tanganna mamudunmudun rambu ni abitna. Sangkababa pe ndada adong be didok hata.

“Tolu ari maradian sikola, gabe moru ma sampuludua rubel. Hea do muse marsahit si Kolya opat ari, ndada adong parsiajaran disi, holan marmeam-meam sambing do ho dohot si Vanya. Angkup ni i muse, tolu ari ho marsahit, manombo tungkolmu, diloas inanta do ho dang pola mangula uju i. Sampuludua tamba pitu … sampulusia. Oruhon … tading ma opatpulu sada rubel. Tutu?”

Lam tu rarana bohi ni si Julia Vassiliyevna i, marnambur simalolongna, angkahitir nang osangosangna. Mongkol ibana saloni, munsohunsok saloni nari, siala guga ni rohana. Alai tung sangkababa pe ndada adong be didok hata.

“Andorang so ari pesta na salpu, mapuntar do dibahen ho pinggan dohot panginuman: orui ma muse dua rubel nari. Gumodang sian i dope nian arga ni pinggan i, ai tading-tadingan do i, alai padiar ma disi. Ndada dia sipata ia agoan iba. Dungkon ni i, hea hape lalap ho marorot, dipasombu ho si Koyla manjangkiti hau, gabe mabikbik ina ni bajuna: orui ma sampulu nari. Suang songon i muse, ndang dirohahon ho angka ugasan ni dakdanak, gabe sanga ditangko pangurupi na salpu sipatu ni si Vanya. Ingkon radotanmu do sude! Sigararonmu do nang i. Moru ma muse lima rubel nari. Dungkon ni i, di ari sampulu Januari hulehon di ho sampulu rubel …”

Thursday 3 March 2011

Balon Revolusi menuju Korea Utara?


Saat ini rakyat di Korea Utara tak mengetahui perkembangan apa yang terjadi di kawasan Timur Tengah. Penutupan akses jaringan internet dan TV asing serta pengawasan pemberitaan media-media, membuat revolusi yang terjadi di awal-awal tahun ini hingga hari ini tak akan mempengaruhi pemerintahan Korea Utara, walau ditengarai oleh lima organisasi sosial internasional pasca kunjungan mereka ke Korut, bahwa terdapat beberapa daerah di Korea Utara mengalami kelaparan.

Korea Utara menghadapi ancaman kelaparan. Rakyat terpaksa memakan rerumputan dan tumbuh-tumbuhan liar lantaran kurangnya pasokan pangan di negara komunis itu. Berdasarkan laporan pemerintah Korut, 50%-80% produk pangan primer seperti gandum dan jawawut mati karena cuaca buruk dan musim dingin berkepanjangan. (sumber)

Selama ini, Korut bergantung pada pasokan pangan dari Korea Selatan. Setiap tahun, Korsel mengekspor 400 ton beras dan 300 ribu ton pupuk ke Korut melalui jalur laut. Namun Korsel menghentikan ekspor akibat memburuknya hubungan kedua negara pada 2008. Ketika itu, Presiden Korsel Lee Myung-bak mendesak Korut untuk melucuti senjata nuklir mereka.

Untuk membuka mata dan mengajak para warga Korea Utara memberontak, kelompok Fighters for Free North Korea yang berbasis di Seoul, menyatakan akan mengirim sekitar 200.000 selebaran propaganda, beserta uang 1 dolar, serta USB flash drive berisikan video gelombang demonstrasi rakyat melawan penguasa di Timur Tengah pada hari Senin (07/03/11) mendatang.(sumber)

Ratusan ribu balon ini akan terbang dari Seoul memasuki wilayah Korea Utara, dengan harapan rakyat Korea Utara akan membaca dan menerima bantuan dana tersebut. Sementara rekaman video gelombang demo Timteng yang terekam di USB, mungkin tak bisa disaksikan di rumah, karena rakyatnya jarang memiliki fasilitas komputer. Secara diam-diam diharapkan dapat menyaksikannya di komputer sekolah atau kantor secara diam-diam.

Apakah akan berhasil? Kita lihat saja sampai sejauh mana selebaran dan video demo mampu membuat pemberontakan.

Wednesday 2 March 2011

Baduy di Tengah Jaman


Masyarakat Baduy terus bertahan dengan kultur asli mereka. Adat memang penting bagi masyarakat Baduy, di tengah terpaan budaya modern, suku Baduy berupaya bertahan. Mereka menolak listrik masuk wilayahnya. Hukum adat Baduy juga melarang menjual padi, agar mereka tidak kehabisan persediaan di masa sulit. Hasil panen disimpan di dalam lumbung, sebagai persediaan di masa paceklik.