Monday 29 November 2010

Mengapa Yogyakarta Disebut Daerah Istimewa?

Sultan HB IX telah menyelamatkan negeri ini, ketika negeri ini masih berumur 5 tahun. Bila tak ada ia, mungkin di PBB Indonesia tetap tak diakui kemerdekaannya.

Dalam tulisan ini dapat dibaca bagaimana Tan Malaka meminta Soekarno untuk mendekati HB IX, lalu pasukan Tan Malaka yang menolak adanya pemerintahan Swapradja di Solo, hingga kenyataan bahwa Ratu Juliana adalah teman sekolah HB IX, hingga hubungan ini mampu menjinakkan Belanda.


Pernyataan SBY (sumber) yang mengatakan: "Tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan baik dengan konstitusi maupun nilai demokrasi,” dalam rapat terbatas untuk mendengarkan laporan dan presentasi dari Mendagri (tanggal 26 November 2010) tentang kemajuan dalam penyiapan empat RUU di Kantor Presiden, membuat gerah banyak pemerhati. Padahal jelas-jelas Sultan terpilih melalui sistem yang ada dan pemerintahan di Yogya bukanlah pemerintahan berbentuk kerajaan. Hingga Sultan Hamengku Buwono X menyatakan kepada pers di kantor Gubernur Kepatihan, Yogyakarta, Sabtu (27/11/2010) :

”Saya tidak tahu yang dimaksud dengan sistem monarki yang disampaikan pemerintah pusat. Pemda DIY ini sama sistem dan manajemen organisasinya dengan provinsi-provinsi yang lain, sesuai dengan Undang-Undang Dasar, UU, dan peraturan pelaksanaannya,” (sumber).


Lalu kitapun (termasuk pemimpin) perlu belajar pada sejarah, mengapa Yogyakarta diberi gelar Istimewa, agar kita paham dan tak bodoh oleh pemikiran sempit.
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X
(foto oleh : Bian Harnansa/Persda Network)


Mengapa Yogyakarta Disebut Daerah Istimewa?
Oleh Anton

Pernyataan SBY dirasa tidak memahami sejarah serta perasaan orang Yogya membuat banyak pihak meradang, begitu juga dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Kenapa SBY bisa tidak mengerti sejarah Yogyakarta dimana Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada waktu itu mempertaruhkan kedudukan politiknya, tidak mempedulikan tawaran Ratu Juliana yang akan memberikan kedudukan Sri Sultan HB X sebagai Pemimpin Koalisi Indonesia-Belanda dan Menggadaikan kekayaannya untuk berlangsungnya Pemerintahan Republik Indonesia. Generasi muda ada baiknya mengetahui asal usul kenapa Yogyakarta diberikan status wilayah Istimewa sebagai konsesi politik dan penghargaan Pemerintahan Republik Indonesia terhadap peranan rakyat Yogya yang gantung leher mempertaruhkan eksistensi Republik Indonesia.

Tak lama setelah Proklamasi 1945, pemimpin pusat macam Sukarno, Hatta, Subardjo dan Amir Sjarifudin menyatakan bahwa "Eksistensi pengakuan pernyataan Pegangsaan harus didukung kekuatan riil di daerah, Belanda atau pihak asing hanya akan mengakui kemerdekaan itu bila kekuatan-kekuatan daerah mendukung" memang pada hari-hari pertama Jawara Banten sudah mendukung pernyataan kemerdekaan RI dengan mengirimkan pendekar-pendekarnya mengamankan Jakarta. Kekuasaan Jepang di seluruh wilayah Banten direbut oleh para pendekar. Tapi kekuasaan pendekar itu bukan jenis kekuasaan formal yang teratur rapi. Begitu juga dengan dukungan jago-jago silat Djakarta dan Bekasi yang kemudian membentuk laskar bersendjata untuk langsung tarung di jalan-jalan Cikini sampai Kerawang. Kekuasaan Informal langsung mendukung Sukarno. Tapi bagaimana dengan kekuasaan formal yang telah didukung administrasi rapi dan memiliki massa pengikut jutaan. Kekuasaan formal itu terletak di Solo dan Yogyakarta.

Solo dan Yogyakarta disebut dengan daerah Voorstenlanden, atau daerah yang diberi kekuasaan khusus oleh Hindia Belanda sebagai buntut perjanjian Giyanti 1755. Setiap terjadi suksesi Belanda sebagai pemerintah pusat bernegosiasi terus menerus dengan raja baru untuk menambah konsesi wilayah dan peraturan-peraturan baru. Lama kelamaan daerah Voorstenlanden hanya sebatas wilayah Yogyakarta dan Surakarta seluruh wilayah Mataram asli semuanya masuk ke dalam pemerintahan Hindia Belanda. Namun wilayah boleh direbut tapi pada hakikatnya rakyat Jawa Tengah dan Sebagian Jawa Timur menganggap raja mereka berada di Solo dan Yogya. Seperti orang Madiun yang lebih berorientasi pada Mangkunegaran atau Blitar yang menganggap Yogya lebih representatif ketimbang Solo. Namun terlepas dari itu semua raja-raja Yogya dan Solo dianggap bagian dari trah resmi raja-raja Jawa.

Pengumuman kemerdekaan Indonesia dilakukan pada sebuah rumah di Pegangsaan ini artinya : Kemerdekaan itu lahir bukan dalam situasi formal. Pemerintahan pendudukan Jepang tidak lagi pegang kuasa di Indonesia setelah Hiroshima dan Nagasaki di bom atom dan Hirohito dipaksa menandatangani surat pernyataan kalah tanpa syarat dihadapan Jenderal MacArthur dan sebarisan perwira AS bercelana pendek. -Pemerintahan Jepang dipaksa oleh pihak sekutu sebagai pemenang perang untuk mengamankan seluruh aset-aset di wilayah Asia yang diduduki Jepang termasuk Indonesia. Namun perwira-perwira samurai itu juga sudah pernah berjanji pada sebarisan kaum Nasionalis untuk memerdekakan Indonesia, tapi tujuan kemerdekaan itu adalah membentuk : Persekutuan bersama Asia Timur Raya. Kemerdekaan itu ditunda beberapa kali sehingga sempat membuat berang Sukarno. Namun pada malam 16 Agustus 1945 Laksamana Maeda dengan garansi dirinya pribadi membantu kemerdekaan Indonesia sebagai bentuk pemenuhan janji. Hanya saja statement kemerdekaan dikesankan bukan dari Jepang.

Dan Sukarno butuh formalitas. Ia butuh rakyat Jawa, hatinya orang Jawa untuk berdiri dibelakang dia setelah pengumuman kemerdekaan. Sementara Tan Malaka sendiri yang belakangan muncul meragukan kemampuan Sukarno menggalang dukungan rakyat secara utuh, Tan Malaka bilang pada Subardjo "Suruh Sukarno cepat cari dukungan di tingkat daerah, dia jangan bermain di wilayah elite melulu". Apabila tidak mendapat dukungan formal minimal di Jawa maka sekutu dengan cepat bisa melikuidir Indonesia.

Barulah pada pagi hari saat Sukarno sedang rapat dengan beberapa menteri datang sebuah surat kawat (telegram) dari Yogyakarta. Sukarno membuka telegram itu dan langsung melonjak dari tempat duduknya. Mukanya yang sedari awal kusut kurang tidur sontak gembira. Di depan menterinya Sukarno berkata "Surat ini adalah langkah awal eksistensi secara de facto bangsa Indonesia, sebuah functie yang bisa mendobrak functie-functie selanjutnya. De Jure kita sudah dapatkan secara aklamasi pada Proklamasi Pegangsaan tapi De Facto surat ini menjadi pedoman kita semua". Surat 5 September 1945 yang berisi maklumat itu berasal dari Sri Sultan yang berisi bahwa :

Monday 22 November 2010

Indahnya Persahabatan Pak Uztad dan Pak Pendeta

Seorang pendeta sedang melakukan perjalanan dengan bus. Karena bus telah nyaris penuh, Pak Pendeta mendapat tempat di bangku belakang, di dekat pintu masuk. Dalam posisi duduknya tersebut Pak Pendeta bisa memperhatikan setiap penumpang yang naik.

Di sebuah halte, bus berhenti. Naiklah seorang uztad. Seraya sedikit mengangkat bagian bawah sarungnya dan menapakkan salah satu kakinya ke tangga bus Pak Uztad berkata, "Bismillah...."

"Ehem!" Pak Pendeta mendehem. "Ini mah bis kota, bukan bismillah..."

Dengan hati mendongkol Pak Uztad masuk ke dalam bus. Tapi sepanjang perjalanan ia berpikir-pikir mencari cara untuk membalas Pak Pendeta.

Begitulah, ketika bus memasuki sebuah daerah, turunlah hujan lebat disertai petir sambar-menyambar.

"Glegar!" tiba-tiba terdengar bunyi petir yang sangat keras. Semua penumpang bus terkejut.

Dalam keterkejutannya Pak Pendeta berseru, "Haleluya!"

"Ehem!" Pak Uztad mendehem. "Itu mah halilintar, bukan haleluya...."

----------

Pak Uztad dan Pak Pendeta ternyata turun di tujuan yang sama. Hanya saja ketika itu hujan sedang turun dengan lebatnya dan jalanan banjir. Karena kasihan melihat Pak Pendeta yang memakai jubah panjang, maka Pak Uztad menggulung kain sarungya sampai ke lutut serta menawarkan untuk menggendong Pak Pendeta. Lalu berjalanlah Pak Uztad menuju teritisan sebuah toko dengan Pak Pendeta bergelayut di belakang punggungnya.

"Wuah, wuah, wuah," kata Pak Pendeta dengan tiba-tiba.

"Ada apa, Pak Pendeta?" tanya Pak Uztad dengan keheranan.

"Baru sekali ini pernah terjadi, ada pendeta naik haji...."

Pak Uztad diam saja seraya memusatkan perhatian untuk melangkah di air. Tapi karena air yang cukup tinggi dan keruh, Pak Uztad tidak menyadari bahwa satu kakinya terperosok ke sebuah selokan. Dia kehilangan keseimbangan dan-byur--terjatuhlah Pak Pendeta dari gendongannya ke air.

"Wuah, wuah, wuah," kata Pak Uztad.

"Ada apa, Pak Uztad?" tanya Pak Pendeta--yang sudah basah kuyup--dengan keheranan.

"Baru sekai ini pernah terjadi ada uztad membaptis pendeta"

---------

Kemudian mereka--sang pendeta dan uztad--melanjutkan perjalanan dengan kereta api malam. Mereka duduk bersehadapan dengan dengan seorang atheis, yang terlebih dulu ada di sana.

Di tengah perjalanan lampu listrik padam, ada sedikit gangguan tekhnis. Karena tak lama kemudian lampu kembali menyala, mereka bertiga pun lega.

Sang Pendeta membuka pembicaraan. "Uztad, apa yang Anda lakukan ketika lampu padam tadi?"

"Saya berdoa kepada Allah, memohon agar lampur segera menyala," kata Uztad. "Kalau Anda?"

"Sama. Saya juga berdoa kepada Tuhan saya agar kita lepas dari derita kegelapan. Dan terkabul!" jawab pendeta.

"Lalu apa yang Anda lakukan?" tanya Ustad dan Pendeta hampir serentak kepada Sang Atheis.

"Oh, saya tadi yang memperbaiki lampu," jawabnya.

Wednesday 17 November 2010

Syair Kesaksian Amuk Krakatau

Krakatau
Orang yang mati ketika itu,
Terlalu banyak bukan suatu,
Ada terselit di pohon kayu,
Ada yang pipih dihimpit perahu.

Inilah sepenggal syair yang ditulis Muhammad Saleh, sekitar tiga bulan setelah Gunung Krakatau meletus pada Agustus 1883. Syair yang seluruhnya terdiri atas 375 bait dalam aksara Arab-Melayu itu adalah laporan pandangan mata yang secara terperinci melukiskan kematian massal akibat letusan tersebut. Syair Lampung Karam bercerita bagaimana daerah seperti Bumi, Kitambang, Talang, Kupang, Lampasing, Umbulbatu, Benawang, Badak, Limau, Rajabasa, Tanjung Karang, Pulau Sebesi, dan Merak hancur lebur diterjang tsunami, lumpur, disertai hujan abu dan batu.

Tertuang dalam bentuk cetak batu (litografi), dokumen klasik itu baru ditemukan lebih dari 120 tahun kemudian. Adalah Suryadi, dosen dan peneliti di Jurusan Asia Tenggara dan Oseania Universitas Leiden, Belanda, yang berhasil mengumpulkan semua bait syair itu. Selama kurang-lebih tiga tahun peminat sastra Melayu klasik itu menghimpun syair yang ditemukan terpisah di enam negara, yaitu Inggris, Belanda, Jerman, Rusia, Malaysia, dan Indonesia. Syair yang tercerai-berai itu kemudian dialihaksarakan ke huruf Latin. Hasilnya bisa disimak dalam buku Syair Lampung Karam: Sebuah Dokumen Pribumi tentang Dahsyatnya Letusan Krakatau 1883, terbitan Komunitas Penggiat Sastra Padang.

Buku setebal 206 halaman ini sarat dengan data yang bisa menguatkan data lain tentang peristiwa Krakatau di masa lampau. Selama ini yang menjadi sumber bacaan penting tentang letusan Gunung Krakatau adalah laporan penelitian lengkap G.J. Symons, The Eruption of Krakatoa and Subsequent Phenomena: Report of the Krakatoa Committee of the Royal So ciety, diterbitkan pertama kali di London pada 1888. Laporan ini menyebutkan letusan Gunung Krakatau di perairan Selat Sunda, Lampung Selatan, pada 26 hingga 28 Agustus 1883, terbilang amat dahsyat. Bunyi letusannya bahkan terdengar sampai Manila, Kolombo, Papua Nugini, dan pedalaman Australia.

Suryadi pertama kali menemukan salah satu edisi Syair Lampung Karam, yaitu edisi 1888, di Perpustakaan Universitas Leiden (Universiteitsbibliotheek Leiden) pada akhir 2007.

"Sebelumnya Syair Lampung Karam pernah dibicarakan oleh Sri Wulan Rudjiati Mulyadi pada 1983, tapi belum mendalam," katanya. Edisi berjudul Inilah Syair Lampung Karam Adanya itu disalin oleh Encik Ibrahim dan diterbitkan oleh Al Hajj Muhammad Tayib di Singapura. Rupanya ini adalah edisi keempat dari teks yang pernah diterbitkan.

Selain di Perpustakaan Universitas Leiden, Surya di menemukan bagian lain eksemplar edisi yang sama di beberapa tempat, yakni perpustakaan pribadi penginjil Methodist Emil Lring di Frankfurt, Jerman, Perpustakaan Universitas Malaya, Malaysia, Perpustakaan SOAS University of London, Inggris, dan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), Jakarta.

Dari hasil penelusuran selama lebih dari setahun diketahui bahwa teks ini pertama kali dicetak di Singapura pada 1883/1884 (tanggal yang pasti tidak diketahui, karena hanya disebut diterbitkan tahun 1301 H, yang jika dikonversikan ke tahun Masehi berarti November 1883-Oktober 1884). Edisi pertama itu berjudul Syair Negeri Lampung yang Dinaiki oleh Air dan Hujan Abu.

"Eksemplar edisi pertama ini antara lain saya temukan di Perpustakaan Lenin di Moskow, Rusia. Juga satu eksemplar lagi pernah disimpan di PNRI, Jakarta," pria berdarah Minang itu menjelaskan.

Kuasa Soeharto atas Gerhana (bagian 2)

Di Mojokerto, tim Jepang dari ILOM (International Latitude Observatory Mizusawa), dipimpin Dr. Sato. Ilmuwan itu yang masih saja merasa dongkol, karena kehilangan delapan buah peralatannya yang penting di Pelabuhan Tanjungperak. Di antaranya satu set kamera kontrol dan sebuah cermin untuk teleskop 20 cm. "Saya sudah urus ke Bea Cukai dan Ekspedisi Samudera Indonesia," ujar Sato kesal. "Semuanya buntu."

sambungan dari bagian 1

Peneliti tuan rumah yang bermodal dengkul
Sementara pihak Indonesia selain Lapan, banyak yang sudah mempersiapkan diri, atau sudah mulai melakukan berbagai penelitian. Hanya LIPI yang tak melakukan penelitian. Menurut Soedito, kepala Biro Humas LIPI, "tenaga LIPI hanya membantu penelitian yang dilakukan ahli Indonesia."

Peneliti dari UGM, Yogyakarta, juga mengambil bagian. Dengan total usulan penelitian yang hendak dilakukan berjumlah 47 buah dengan biaya sekitar Rp 11 juta. Ada di antaranya yang ingin mengukur tinggi manusia tatkala gerhana matahari itu berlangsung atau pengaruh GMT terhadap kekuatan peras tangan.

Tak ketinggalan Pusat Penelitian Penerapan Tenaga Matahari UGM pimpinan Dr. Seno Astroamidjojo. Kelompok ini memanfaatkan berbagai peralatan yang dibuat sendiri dari barang bekas. "Modal kami hanya dengkul," komentar Dr. Seno dengan khasnya. Alat itu berupa pemotret spektrum. Bentuknya mirip gerobak pedati dilengkapi dengan teleskop, yang menurut Seno, dari "zaman baheula". Alat ini digunakan untuk memotret spektrum dari bagian kromosfir dan fotosfir - keduanya lapisan terluar matahari. Melalui percobaan itu ingin diketahui reaksi dari atom, ion, dan elektron yang ada di lapisan itu.

Sebetulnya Seno merencanakan banyak lagi eksperimen. Karena peristiwa GMT ini dianggapnya sangat penting bagi penelitian ilmiah. Tapi proposal yang diajukannya setahun lalu, nyatanya ditolak UGM, termasuk anggaran yang ia usulkan sebesar Rp. 10 juta. "Baru kemarin secara lisan diberitahukan disetujui Rp. 800.000," katanya. "Itu pun uangnya belum saya terima."

Satu keinginan Seno ialah mengulang eksperimen yang membuktikan teori relativitas Einstein - yang antara lain mendalihkan bahwa berkas cahaya akan membelot oleh daya gravitasi massa besar seperti bintang. Eksperimen ini pertama kali dilakukan oleh Eddinton, ahli fisika Inggris, ketika mengamati gerhana matahari di Pulau Principle di Samudra Atlantik pada 1919.

Einstein terbukti benar dan eksperimen itu merupakan suatu puncak penelitian yang unik. Namun kini tak ada ilmuwan yang melakukannya lagi. "Soalnya kini ada cara yang lebih teliti dengan menggunakan gelombang radio," ujar Morris Aizeman dari NSF menjelaskan. "Kalau toh ada orang yang ingin mengulang eksperimen itu, tentu boleh saja," tambahnya, "tapi tak ada lagi nilai ilmiahnya."

Kuasa Soeharto atas Gerhana (bagian 1)

gerhana
Pada peristiwa tanggal 11 Juni 1983 patutlah kita merasa malu. Ketika berbondong-bondong wartawan media cetak dan elektronik serta ilmuwan-ilmuwan asing datang ke Indonesia, bangsa kita dibodohi oleh sebuah aturan. Di depan para wartawan Menteri Penerangan Harmoko (ketika itu masih beberapa bulan menjadi menteri) mengatakan bahwa Presiden meminta rakyat Indonesia agar pada saat gerhana nanti tinggal saja di dalam rumah. Dan tentunya Menpen Harmoko memulainya dengan perkataan, "Bapak Presiden memberi petunjuk...."

Entah apa yang ada di benak pemerintahan rezim totaliter saat itu, namun ada yang membela mungkin Presiden Suharto saat itu kurang mendapat informasi tentang apa sebenarnya gerhana matahari tersebut, ketakutannya sungguh berlebihan. Namun di kemudian hari ketika ketakutan itu tak terbukti, Harmoko mengatakan bahwa Presiden menyuruh rakyat untuk mengurung diri sebenarnya demi untuk melindungi kesehatan mata rakyat, yaitu agar jangan terlalu lama memandang proses gerhana tersebut dengan mata telanjang. Namun itu sepertinya alasan yang dibuat-buat, mengapa tidak pada saat konfrensi pers, ia memberi penjelasan seperti itu. Seakan Harmoko tetap membela "majikannya."

Semua struktur pemerintahan dari unit teratas hingga terkecil "mengamankan" perintah tersebut. Hingga para Camat, Kapolres dan Danramil turun di daerahnya masing-masing mengamankan rakyat agar tidak keluar pada saat terjadinya gerhana total nanti. Dan bila sudah terjadi hal seperti ini, siapa berani melawan. Bumi Indonesia hening dan rakyatnya bersembunyi dalam ketakutan yang spektakular. Seperti ketakutan kanak-kanak yang bersembunyi di bawah kolong tempat tidurnya.

Kebingungan para ahli
Sebelumnya ternyata ada pro dan kontra di antara para ahli mengenai boleh tidaknya masyarakat awam menyaksikan gerhana tersebut. Salah satunya adalah Prof. dr. Sugana Tjakrasuganda, bekas kepala RIS Mata Cicendo Bandung, yang mengimbau agar masyarakat awam tidak usah melihat gerhana matahari tanpa alat pengaman. Ahli mata terkemuka dari Bandung itu menyatakan kebutaan yang diakibatkan karena melihat matahari tersebut tidak ada obatnya. Ia mengkhawatirkan penduduk yang sangat awam di pedesaan bakal menjadi korban kerusakan mata tersebut.

"Karena hari tiba-tiba gelap, mereka ingin melihat matahari. Pada saat itulah matanya rusak dan mereka tidak menyadarinya. Sebab mereka tidak merasakan sakitnya," kata Sugana Tjakrasuganda dan ia menyarankan untuk melihat peristiwa itu melalui televisi saja.

Dan ada juga yang mendukung pendapat tersebut. Menurut Dr. Andrianto Handojo, ketua Jurusan Fisika ITB saat itu, bahwa yang sangat berbahaya sesungguhnya bukan peristiwa gerhananya, melainkan pancaran cahaya matahari yang langsung mengenai mata. Hal ini juga sama berbahayanya dengan menatap matahari dalam keadaan tidak gerhana.

"Pada saat keadaan sekitar kita gelap, pupil mata membesar, berusaha menembus kegelapan. Ketika bagian matahari yang berbentuk sabit itu muncul, terpancarlah cahayanya langsung mengenai mata yang melihat peristiwa gerhana tersebut, padahal pupil mata masih dalam keadaan membesar. Saat inilah yang paling berbahaya. Karena itu berhati-hatilah," nasihat Adrianto.

Berbeda halnya dengan Prof. Dr. Bambang Hidayat, Direktur Observatorium Bosscha di Lembang. Ia termasuk salah seorang ahli yang tak percaya bahwa mata akan buta bila memandang gerhana matahari total.
"Peristiwa ini jarang terjadi, karena itu harus dinikmati dan diamati beramai-ramai." Ia tidak setuju dengan berbagai larangan yang didasarkan informasi yang keliru. "Soalnya pada saat gerhana matahari, tak terjadi radiasi tambahan seperti banyak diduga orang," katanya tegas.

Prof. Dr. Bambang Hidayat dan tokoh astronomi Indonesia lainnya, jengkel menghadapi berbagai anggapan keliru sekitar peristlwa alam yang lazim itu. Kala itu ada kabar yang ditiupkan, berita tentang 3.000-an orang India menjadi buta karena melihat gerhana matahari tahun 1981.

"Saya minta bukti, tapi ternyata sampai sekarang tak dapat diberikan."

Wednesday 10 November 2010

Bukan Bahasa Jawa ataupun Melayu



Hendrikus Colijn, mantan Menteri Urusan Daerah Jajahan, sekitar tahun 1927 - 1928, pernah mengeluarkan pamflet yang menyebut : Kesatuan Indonesia sebagai suatu konsep kosong. Menurutnya, masing-masing pulau dan daerah Indonesia ini adalah etnis yang terpisah-pisah sehingga masa depan jajahan ini tak mungkin tanpa dibagi dalam wilayah-wilayah.

Ini adalah pandangan sinisnya, ketika mengetahui adanya gerakan pemuda-pemuda dari berbagai suku berkumpul dan berbicara. Apalagi sejak tahun 1915 telah berdiri sejumlah besar organisasi kepemudaan bersifat kedaerahan, seperti Tri Koro Darmo yang kemudian menjadi Jong Java (1915), Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Islamieten bond (1924), Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Ambon, Sekar Rukun dan Pemuda Kaum Betawi. Dan jauh sebelumnya telah berdiri pula Boedi Utomo (1908).

Apalagi dengan tertangkapnya laporan kongres yang berjudul Verslag van Het Eerste Indonesisch Jeugdcongress (Laporan Kongres Pemuda Indonesia Pertama) yang diterbitkan oleh panitia Kongres Pemuda. Hal ini diketahui oleh Tabrani ketika ia tengah bersiap meninggalkan Tanah Air untuk berangkat ke Jerman. Dan kelak pada tahun 1973 Tabrani menemukan dokumen kongres itu di Museum Pusat (kini bernama Museum Nasional) dalam kondisinya yang memprihatinkan.


Siapakah Tabrani?

Pemuda ini bernama lengkap Mohammad Tabrani Soerjowitjitro, lahir di Pamekasan, Madura, 10 Oktober 1904. Ketika itu ia berusia 21 tahun, saat memimpin Kongres Pemuda Indonesia pertama yang digelar di Jakarta pada 30 April 1926 hingga 2 Mei 1926. Keputusan yang menetapkan Tabrani menjadi ketua panitia adalah hasil dari pertemuan sebelumnya yang terjadi pada tanggal 15 November 1925 dengan lima organisasi pemuda dan beberapa peserta perorangan yang bertemu di gedung Lux Orientis, Jakarta. Organisasi itu adalah Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Pelajar Minahasa, dan Sekar Roekoen. Dan Tabrani mewakili Jong Java.

Pada hari terakhir Kongres Pemuda pertama ini, Muhammad Yamin (saat itu berusia 22 tahun) menyatakan hanya ada dua bahasa, Jawa dan Melayu, yang berpeluang menjadi bahasa persatuan. Namun Yamin yakin bahasa Melayu yang akan lebih berkembang sebagai bahasa persatuan. Dan peserta kongres saat itu hampir sepakat menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.

Namun Tabrani menentang : "Bukan saya tidak menyetujui pidato Yamin. Jalan pikiran saya ialah tujuan bersama, yaitu satu nusa, satu bangsa, satu bahasa."

Menurut Tabrani, kalau nusa itu bernama Indonesia, bangsa itu bernama Indonesia, "Maka bahasa itu harus disebut bahasa Indonesia dan bukan bahasa Melayu, walaupun unsur-unsurnya Melayu."

Untukmu yang Datang (Obama)

Photo  Credit:  Anthony Almeida
Aku menemukanmu pada tawa,
kelakar yang menyumpal lapar
hingga ia lari menuju gunungan gundah
lalu dengan kekar ia berkata :
“aku adalah tangis yang menyambar-nyambar
namun oleh gelitik pinus-pinus yang nakal kunubuatkan sebuah kabar
oleh utara akan ada kabar datangnya riuh bangau yang menitipkan bayi-bayi jaman. siapkanlah pelukan-pelukan hangat.”
Namun musim lupa daratan ketika genangan liur kita menetes di sumur-sumur kosong
yang isinya telah kita pakai sebagai dian yang menerangi mimpi yang lupa jalan berpulang.

Aku menatapmu pada tawa
tarian nina bobo seusang kain gendongan ibu
rindumu pada negeri kami hanyalah rindu seorang bocah pada tepukan ayah di pantat yang kotor
sementara diam-diam kau suka berkubang, menyingkirkan kerbau-kerbau kami yang lari ke hutan gundul
Lalu kau bangun istana dari pasir emas dan oleh ombak kau titipkan ia menuju negeri impianmu
meninggalkan lubang-lubang yang menganga, kubur-kubur kami oleh kutuk bumi yang marah pada penjaga-penjaga hutan
sebelum kami hanya menjadi nisan yang terlihat cantik dari kotamu, ijinkanlah kami berdoa :
‘tuk pindahkan gunung-gunung kami yang marah menuju lautan keserakahan milik koboi-koboi yang suka mematahkan kaki-kaki yang sedang bangkit dan ingin berdiri di atas kaki sendiri.

Aku mengucapkan selamat datang,
di negeri makmur yang diam-diam digadai saat kami terlena mengajari anak-anak kami membaca, mengeja sejarah yang berulang.
Dan kau berhasil memukau keledai-keledai yang gontai berjalan.
Edi Sembiring
sumber gambar : 
http://viz.dwrl.utexas.edu/taxonomy/term/8