Sunday 26 December 2010

Gus Dur : Minta Dijajah !

gus dur superman (http://budysukamto.com/blog/tag/superman)
Dalam sebuah seminar beberapa tahun lalu ketika Gus Dur masih hidup, beliau bercerita bahwa Belanda bukan sebuah negara yang besar, tidak punya modal, tidak punya pemikir-pemikir ulung, jadi mereka tidak memberikan kontribusi apapun kepada Indonesia, sebaliknya malah merampok habis-habisan.

Lain dengan India yang dijajah Inggris, atau Filipina yang dijajah Amerika. Negara-negara penjajah itu punya sesuatu yang diberikan kepada negara-negara jajahan mereka, misalnya kemampuan berbahasa Inggris, pendidikan, sistim hukum yang lebih teratur, dsb.

Nah, lalu ada pemikiran gila, supaya Inggris dan Amerika memberikan sesuatu kepada Indonesia.
Bagaimana caranya?
Kita nyatakan perang melawan Inggris dan Amerika!
Lho, kenapa begitu?
Logikanya kita kan pasti kalah, jadi nanti akan dijajah lagi oleh Amerika dan Inggris.
Masalahnya sekarang, bukan kalau kita kalah…
Masalahnya, gimana kalau Indonesia yang menang???

Parade Puisi di Kamar Remang

Foto BK di dinding
Desahmu, nikmatku
Hidup di desa damai, di kamar ini surga             
Sampai kapan aku harus begini………
Aku tak mau dimadu, ku tunggu dudamu
Ibu aku salah, maafkan aku
Badanku milikmu, kantongmu aku yang punya
Bang Joni jangan lupakan aku

Semua lelaki sama, hanya jujur di ranjang

Sungguh indah janjimu, perawanku kau renggut      
Jangan pernah berharap cintaku, aku milik semua                     
Anakku, jangan pernah ikuti ibumu
Turunkan sewa kamar, naikkan tarif perjam
Goyang dombreeetttt……..
Sesama sundal dilarang saling memotong Jaga langganan, beri goyangan terbaik
Jangan lupakan kami kaum TERTINDIH

Hidup Soekarno, hidup kaum
Soendal!!! **

Bahasa yang sama hanya di ranjang, desah……
Satu hati satu rasa , sama-sama enak tenaaaann …  
            Hanya satu kata, LELAKI ITU BABI!!
** Yang ini adalah kisah kebingungan seorang pejabat kepolisian yang harus berkata apa kepada Presidennya. Sebab, ia baru saja melihat sesuatu yang bagus untuk dilaporkan, tetapi ia sendiri ragu, apakah itu kabar bagus buat Bung Karno?

Mereka menyaksikan potret Bapak digantung di dinding kamar-kamar yang berderet tadi.
“Di mana aku digantungkan?” desak Bung Karno.

“Di tiap kamar, Pak. Di tiap kamar terdapat potret Bapak, di samping, tentu saja ada tempat tidur, meja lengkap dengan bedak-gincu serta kaca hias,” katanya gugup, sambil sebelah matanya melirik ke arah Bung Karno, menanti dengan hati berdebar, apa reaksinya.

Karena lama tak bereaksi, pejabat kepolisian itu buru-buru menambahkan, “Pak, kami merasa bahagia karena rakyat memuliakan Bapak, tapi dalam hal ini kami masih ragu, apakah wajar kalau gambar Presiden kita digantungkan di dinding rumah pelacuran. Apa yang harus kami kerjakan? Apakah kami harus copot gambar-gambar Bapak dari dinding-dinding itu?”

“Tidak,” Bung Karno cepat menukas. “Biarkan aku di sana. Biarkan mataku yang tua dan letih itu memandangnya!" 

Sepotong kisah Soekarno bersumber dari blog Roso Daras.

Parade Puisi di Toilet (celoteh Dinding)

Apa yang telah kau ucap jangan dikecap
Oh…Jane I love U
 Jangan lupa kirimkan kabarmu, batin ini takkan lupa
 Indahnya tubuhmu, sungguh palsu janjimu
 Deritamu, deritaku
 Bilakah suatu hari kita akan bertemu?
 Setinggi-tingginya burung terbang akhirnya ke toilet juga
 Reformasi mandul, Amien masturbasi
 Jangan beri kami janji, tapi mimpi
 Jangan buang pembalut sembarangan
 SBY, perut kami sudah terlalu sering mules, kami lapar
 Mulutmu bau, seperti kotoranmu
 Besar kecil Rp. 1.000,-
 Dilarang ONANI, apalagi korupsi
 Setelah dipakai, jangan lupa membersihkan
 Jaga kebersihan, demi kemakmuran bersama
 Turunkan harga barang, tinja kami terlalu keras

Saturday 25 December 2010

Coldplay - Have Yourself A Merry Little Christmas

Coldplay - Have Yourself A Merry Little Christmas
Have yourself a merry little Christmas,
Let your heart be light
From now on,
our troubles will be out of sight

Have yourself a merry little Christmas,
Make the Yule-tide gay,
From now on,
our troubles will be miles away.

Here we are as in olden days,
Happy golden days of yore.
Faithful friends who are dear to us
Gather near to us once more.

Through the years
We all will be together,
If the Fates allow
Hang a shining star upon the highest bough.
And have yourself A merry little Christmas now. 

Natal dimata Seorang Komunis Leo Tolsyoy

 
Kisah berikut ini adalah karangan sang maestro sastra Rusia Leo Tolstoy yang berjudul  “Where Love Is, God Is”  ditulis tahun 1885.

“Sebab pada waktu Aku lapar, kalian memberi Aku makan, dan pada waktu Aku haus, kalian memberi Aku minum. Aku seorang asing, kalian menerima Aku di rumahmu. Aku tidak berpakaian, kalian memberikan Aku pakaian. Aku sakit, kalian merawat Aku. Aku dipenjarakan, kalian menolong Aku.”

Adalah seorang tukang sepatu yang bernama Martin Avdeich, dia tinggal di satu apartemen bawah tanah dengan satu jendela kecil. Dari jendela itulah dia bisa melihat orang yang lalu lalang dari kakinya. Martin yang karena pekerjaannya sebagai tukang sepatu, tidaklah sulit buat dia mengenali orang yang lalu lalang itu dari sepatu yang dipakainya.

Martin adalah pekerja keras, dia tidak pernah menipu pelanggannya, dia selalu menggunakan bahan terpilih untuk membuat sepatu, dia juga selalu tepat janji, pendek kata Martin selain pekerja keras juga pekerja yang baik.

Martin pernah mengalami kekecewaan dengan Tuhan saat istri dan anak-anaknya meninggal, di tengah kekecewaannya dia pernah minta supaya Tuhan juga memanggilnya, karena dia sudah tidak melihat arti hidupnya ini. Di saat keadaan yang paling susah itulah dia bertemu orang yang mengingatkan kalau Tuhan sudah memberinya hidup, dan mengingatkan Martin bahwa hidupnya harus diberikan kepada Tuhan.

Di tengah ketidak mengertiannya dan usahanya bagaimana caranya memberikan hidup untuk Tuhan, tiba-tiba dia bermimpi, mendengar suara Tuhan, “Martin … Martin .. berjaga-jagalah Aku akan datang ke tempatmu esok”.

Besoknya Martin menanti-nanti. Kadang-kadang ia berpikir suara itu hanya mimpi, kadang-kadang ia meyakini ia benar-benar mendengar suara itu. Martin duduk di samping jendelanya sambil bekerja. Tiap kali dia menatap ke jalan menunggu Tuhan datang. Akhirnya dari jendelanya Martin melihat orang berpakaian usang, dengan sepatu penuh jahitan dan sebuah sekop di tangan.

Dari sepatunya Martin tahu bahwa orang tua itu Stephanich, orang miskin yang menumpang di rumah orang lain dan melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil seperti membersihkan salju. Ia mulai membersihkan salju di depan jendela Martin. Martin mengamati Stephanich sampai Stepanich meletakkan sekop, dan kelihatan menggigil mencari tempat istirahat dan berlindung dari hawa dingin. Orang tua ini kelihatan sangat rapuh.

Martin mengundangnya masuk. Stephanich begitu gemetar sampai hampir jatuh waktu masuk. “Masuklah ke dalam dan aku punya teh hangat,” demikian seru Martin kepada Stepanich. Stepanich yang ragu-ragu masuk ke rumahnya bertanya apakah Martin sedang menunggu seseorang?

Martin menjawab, “Saya sebenarnya malu untuk mengatakan pada anda bahwa memang saya sedang menunggu Tuhan, seperti yang saya pahami melalui Alkitab bahwa betapa betapa besar kasih Tuhan sampai Dia mau turun ke bumi”. Begitulah Martin bukan hanya memberikan teh tetapi juga bagian makan siangnya yang sangat sederhana. Stephanich pamit dengan air mata di pipi karena rasa terimakasihnya yang dalam.

Martin menunggu lagi. Berbagai orang lewat lalu lalang. Tuhan belum juga muncul. Sampai dilihatnya seorang wanita miskin dengan bayinya. Wanita ini hanya berpakaian musim panas, wanita ini tidak punya uang untuk menebus syal nya yang digadaikan. Martin bangkit dan memanggil wanita itu untuk masuk kerumahnya. Martin menyambut wanita dan bayinya ini. Memasak bubur untuk bayi itu dari persediaannya yang tipis dan memberikan uang kepada wanita itu supaya ia bisa menebus syal yang dia gadaikan untuk memberi makan bayinya. Ia juga memberikan satu-satunya mantel cadangannya yang juga sudah tua dan benangnya yang sudah menipis. Wanita miskin tersebut mengambil pemberian Martin dengan air mata yang berlinang.

Martin, duduk lagi, hari mulai sore. Dia makan sisa makanan yang masih tersedia, bekerja lagi. Tapi dia tetap berkali-kali memandang ke jalan. Menunggu dan menunggu datangnya Tuhan.

Tidak lama seorang wanita tua penjual apel lewat. Punggungnya menggendong kayu bakar, dan tangannya menjinjing keranjang dagangan yang hanya berisi beberapa butir apel. Kayu bakarnya sangat berat sehingga ia berhenti, membetulkan gendongannya. Ia meletakkan keranjangnya di tanah. Tiba-tiba seorang anak laki-laki kecil lari dan mengambil beberapa apel. Tapi nenek ini dengan cekatan menjambret baju anak itu.

Nenek itu menarik rambut anak kecil itu dan berteriak akan membawa dia ke kantor polisi. Martin meminta-minta agar si nenek tidak membawa anak itu ke polisi. Martin akan membayar apelnya.

Akhirnya nenek melepaskan pegangannya dan anak itu langsung melarikan diri. Martin menangkapnya dan berkata, “Mintalah maaf kepada nenek itu, dan saya tidak ingin melihat engkau mengambil apelnya lagi”.

Anak itu minta maaf. Malahan dia menawarkan diri mengangkat kayu bakar si nenek. Mereka berjalan berdampingan.
Martin menunggu lagi, hari mulai malam. “Tampaknya hari sudah gelap”, pikir Martin. Dia membersihkan peralatannya. Menyalakan lampu. Mengambil Alkitabnya. Dan dia merenung menantikan Tuhan. Tetapi sudah malam., apakah Tuhan masih akan datang?

Martin kembali merenung akan mimpinya yang mendengar suara Tuhan, kalau Dia akan datang kerumahnya… Tiba -tiba dia mengalami situasi yang sama dalam mimpinya, dia mendengar lagi suara yang berkata di telinganya “Martin … Martin, apakah kamu tidak mengenal aku?”

“Siapa?” tanya Martin ,

“Aku”,  jawab suara itu. Di tengah kegelapan malam Martin melalui kaca jendelanya samar-samar melihat Stephanich yang tersenyum.

“Ini adalah Aku”, terdengar ada suara itu lagi, dan Martin sama-samar melihat wanita tua dan bayinya dan lenyap.

“Ini adalah Aku”, terdengar suara lagi, dan Martin samar-samar melihat wanita tua dan apelnya bersama dengan anak laki-laki.

Melihat itu jiwa Martin gembira karena dia teringat apa yang tertulis di Alkitabnya, “Sebab pada waktu Aku lapar, kalian memberi Aku makan, dan pada waktu Aku haus, kalian memberi Aku minum. Aku seorang asing, kalian menerima Aku di rumahmu. Aku tidak berpakaian, kalian memberikan Aku pakaian. Aku sakit, kalian merawat Aku. Aku dipenjarakan, kalian menolong Aku.”

Impian Martin menjadi kenyataan, Tuhan memang sudah datang dan makan bersamanya hari itu. Martin akhirnya boleh mengerti, makna ayat ini: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku.” (Matius 25:45).

Cerita ini diambil dari “Where Love Is, God Is” karangan Leo Tolstoy, 1885. Cerita yang dari 14 halaman, dicoba diringkas menjadi 1 halaman, mudah-mudahan pesannya masih bisa kita nikmati sebagai renungan Natal.

Refleksi:
Jikalau 2000 tahun yang lalu Tuhan hadir ke dunia dalam bayi Jesus, saat ini Tuhan bisa hadir diantara kita melalui orang -orang di sekitar kita, bukalah pintu hati kita, sama seperti Martin Avdeich yang selalu menyambut hangat sesamanya.

Keinginan Tuhan datang ke dunia ini adalah untuk menghampiri dan melayani orang-orang yang miskin dan menderita, terutama mereka yang miskin secara rohani.   

“Yesus mendengarnya dan berkata kepada mereka: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.” -Markus  2:17.
sumber : Inspirasijiwa
sumber gambar :  inter-pix.com

Friday 24 December 2010

Oost-indisch doof

Sudah Tercapaikah Cita-cita Proklamasi? (Sumber image : www.rnw.nl/bahasa-indonesia)
Esai ini diikutsertakan dalam sayembara Cita-cita Proklamasi yang diadakan oleh  Radio Nederland Wereldomroep (RNW) atau Ranesi. Dan pemenang pertama adalah tulisan Oost-indisch doof. Berikut ini isi lengkapnya.

Oost-indisch doof 
Oleh: Edi Santana Sembiring
(Diterbitkan di Radio Nederland Wereldomroep (RNW)16 Agustus 2010)

Pada masa dulu, orang Belanda punya suatu ungkapan yang sangat pedas bagi bangsa Indonesia yaitu “Oost-indisch doof,” yang secara harfiah berarti "tuli gaya Hindia-Timur." Oleh Y.B. Mangunwijaya (Ragawidya, 1986) perkataan Oost-indisch doof diartikan untuk menunjuk keseseorang (biasanya pelayan/jongos) yang sungguh-sungguh sadar, bahwa ia dipanggil, tetapi karena tak senang ditambahi pekerjaan atau soal, pura-pura tidak mendengar. Dan saat sang Tuan marah, mereka hanya berkilah, "maaf, saya tidak mendengar perkataan, Tuan."

Istilah ini terasa pedas di hati, ungkapan ‘tuli’ dicap pada mereka-mereka yang punya telinga dan baik pendengarannya, tapi tak mau mendengar perintah. Namun menjadi jenaka oleh alasan berpura-pura tidak mendengar karena malas diberi tugas. Seperti dagelan dalam Srimulat, menjadi sangat menghibur penonton ketika seorang pemain pura-pura tak mendengar atau berperan tuli, namun ketika mendengar kata uang, ia bertanya, “uang? mana?”

Bulan ini kita merayakan kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke 65 tahun, dan ternyata budaya “Tuli gaya Hindia-Timur" masih nyata bersarang tidak saja pada lapisan masyarakat terendah namun juga sudah merasuki para pejabat negeri ini, para abdi (pelayan) masyarakat.

Setiap waktu tertentu kita mendengar jeritan orang-orang yang rumahnya kebanjiran, namun tetap saja banyak masyarakat yang membuang sampah ke kali. Kita mendengar banyak orang menangisi anaknya yang mati karena DBD, namun kita tak pernah ingat menguras dan membersihkan selokan. Suatu kali kita terperangah saat seorang anak SD gantung diri, karena malu tak mampu ikut berdarmawisata atau tak bisa lagi sekolah. Peristiwa itu mungkin tak jauh dari pintu-pintu rumah kita, namun kita selalu menutup pintu hati kita.

Kebanyakan dari kita mendengarnya, namun kita pura-pura tak mendengarnya. Diam seribu bahasa, seakan ini bukan persoalan kita. Untuk apa repot-repot. Toh, semua itu tugas pemerintah yang telah mendapat mandat dari rakyat dan digaji oleh rakyat.

Lalu mata kita berarak pada pemimpin-pemimpin yang telah kita pilih. Apakah mereka juga mendengar?

Mereka begitu berwibawa membuka tangan menyambut para demonstran yang datang ke rumah rakyat, selanjutnya bak berlakon Pontius Pilatus mereka mencuci tangan. Tak ubahnya juga dengan pemerintah yang sibuk membuat resep kemakmuran, namun kita yang dulu makan tidak teratur kini berubah menjadi teratur tidak makan.

Tahun depan kita akan menemukan perayaan ini kembali, namun seperti biasa kita hanya puas dengan suguhan panjat pinang, balap karung atau lomba makan kerupuk. Sementara di atas pentas mereka berlomba memanjat dinding hukum yang membatasi, berlari dengan karung-karung uangnya sambil tak lupa saling berbagi porsi kekuasaan.

Dirgahayu bangsaku, dirgahayu jerit-jerit yang tak pernah sunyi walau kita menutup kuping sekalipun.

Tampilan tulisan “Oost-indisch doof” di situs Radio Nederland Wereldomroep (RNW) klik
Dan pengumuman pada tanggal 27 Agustus 2010, juara pertamanya yang dimenangkan oleh tulisan “Oost-indisch doof “ klik.

LIMA SURAT UNTUK IBU

Bisikan Kata, Teriakan Kota, Antologi Puisi Temu Sastra Jakarta. Penerbit Dewan Kesenian Jakarta dan Bentang Budaya, 2003
LIMA SURAT UNTUK IBU
oleh edi santana

Surat Pertama : Jakarta Bertambah Harum
Kapal telah terantuk di dermaga. Kakiku pincang melangkah di antara sampah-sampah Jakarta. Di antara bualan politik di serambi istana, botol-botol parfum globalisasi, liur-liur yang menetes di pinggiran real estate, map-map lusuh bundelan lamaran, mayat-mayat hidup di kolong-kolong. Udaranya menyesakkan, tidak seperti nafasmu, Bu. Pagi tadi saudara kita juga tiba di kota ini. Aku sambut tidak dengan sirih, tapi lirih yang menetes. Tes. Tes. Tes..... Sungai memeluknya, menghantarkan mayat di tepi ini. Jakarta bertambah harum. Keringat, tangis, liur, bangkai penuh belatung.

Surat Kedua : Siapa Yang Menanak Nasiku Kelak?
Ingatkah ibu pada nasi yang dulu ditanak? Tutupnya naik turun, uap panas menyeruak. Rinduku pun tak bisa tersimpan rapat. Padamu dan manusia berkelamin sepertimu. Aku yakin dia cantik - seperti ibu - dalam gaun pengantin putihnya, setetes darah di sudutnya. Darah itu milik suaminya kini. Aku tak menyisakan apa-apa, perih-perih dari gaun putih di jemuran esok. Airnya menetes pelan, lamat, lambat, mampat benak sesaat. Mungkin pagi-pagi berikutnya, nasi di tanak untuk lelaki yang memeluk tubuh bugilnya. Dan tutupnya naik turun. Siapa yang akan menanak nasiku kelak?

Surat Ketiga : Kelelawar Menari di Purnama
Aku berada di antara keringat-keringat. Di antara dengus-dengus. Di sela-sela mimpi dan ronta tercekat. Tangan tak diam, otak menari gila. Beratus-ratus rantai mengikat jiwa-jiwa pada pilar-pilar roda yang meludahi keping-keping emas. Tiada yang berani berbisik akan gaji tak cukup atau istri yang belum pernah menggoreng ayam, atau anak-anak menanti baju baru di gerbang sore. Ada kelelawar berbaju emas menari cha cha di bumbungan atap. Telinga lebar amat awas. Taringnya meneteskan mazmur-mazmur nabi palsu, ia penetrasikan ruh-ruh kepasrahaan diri. Mandul dan robot berjalan, menanti di akhir bulan, ketika kelelawar menari di purnama.

Surat Keempat : Hewan Itu Tertawa Puas
Dulu si Iwan jadi gila karena menggigit anjing gila. Orang-orang menertawai ulahnya dan jadilah dia gila yang sejati. Dikumpulkan bersama manusia-manusia gila di rumah yang gila. Kemerdekaan ada di sana, kebebasan santapan utama layak dicicipi. Manusia menjadi harimau bagi dirinya. Mereka tercipta berkulit manusia. Mereka bukan bangkai walau jiwa dikucilkan bagai binatang. Dan binatang itu tampil di TV sore. Tertawa puas. Sebuah kemerdekaan tersimpul di bibirnya dari panggung dagelan. Bersama binatang-binatang lain, mereka berhasil memusnahkan manusia-manusia di Legian.

Surat Kelima : Biarlah Aku Kembali Lalui Vaginamu.....
Sepi di antara mimpi. Akal-akal yang palsu terselubung debu waktu. Malam dan siang bagiku kembar. Gendang telinga rindu akan omelan ibu. Memakan hari, memuntahkan syair-syair. Tapi syair-syair takkan menyilaukan betina-betina yang tak berpemilik. Peta harta karun di kain lurik lusuhmu telah menipu, walau Bapak memukul manja pantatku untuk beranjak ke kota ini dan tapaknya jelas terlukis. Mungkin Desember ini aku tak pulang, jangan risaukan aku. Jangan kirimi aku Sinterklas. Aku tak mengidam itu. Yang kuingin bila Tuhan ijinkan, biarlah aku kembali lalui vaginamu dan tidur untuk selamanya di hangat rahimmu. Aku rindu peluk dan kasihmu, Bu. Di situlah kejujuran bersumber dari seorang wanita.

Bekasi, 27 November 2002
Puisi ini masuk dalam Antologi : 
Bisikan Kata, Teriakan Kota, Antologi Puisi Temu Sastra Jakarta. Penerbit Dewan Kesenian Jakarta dan Bentang Budaya, 2003

Wednesday 22 December 2010

Arti Sarinah bagi Sukarno

Sarinah adalah sosok perempuan paruh baya yang mengisi hidup Sukarno kecil. Ia menjadi bagian dari keluarga Sukarno. Ia tidak kawin. Ia tinggal, makan, dan bekerja di rumah keluarga Bung Karno. Sekalipun begitu, Sarinah tidak membayar, tidak pula mendapatkan upah.

Sarinah adalah perempuan desa yang mengajari Sukarno mengenal cinta-kasih. Sarinah mengajari Sukarno untuk mencintai rakyat. Massa rakyat, rakyat jelata. Ajaran-ajaran itu bergulir setiap pagi, bersamaan Sarinah memasak di gubuk kecil yang berfungsi sebagai dapur, di dekat rumah. Sukarno selalu duduk di samping Sarinah. Pada saat-saat seperti itulah Sarinah berpidato,
“Karno, pertama engkau harus mencintai ibumu. Kemudian, kamu harus mencintai rakyat jelata. Engkau harus mencintai manusia umumnya.”
Pidato itu yang dicekokkan Sarinah setiap pagi. Pidato Sarinah itulah yang mengisi otak dan hati Sukarno, sebelum sesuap makanan pun mengisi perutnya. Dalam biografi yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno hanya menyebutkan, bahwa saat masih kecil, ia sering tidur seranjang dengan Sarinah. “(Namun) ketika aku sudah mulai besar, Sarinah sudah tidak ada lagi.”

Dikutip dari Blog ROSO DARAS

Basoeki Abdullah di Mata Soekarno dan Mata-mata Soeharto


1292780684747793618
Basoeki Abdullah
(sumber gambar :  http://www.museumbasoekiabdullah.net/)
Dari nama depannya yang memakai "oe" (ejaan lama Van Ophuijsen), sementara nama belakangnya menggunakan ejaan Soewandi, terlukis bahwa si pemilik nama hidup di dua jaman. Dialah Basoeki Abdullah, sang maestro lukis yang dekat dan hidup di dua pemerintahan yang berseberangan dalam hal pandangan politiknya, Soekarno dan Soeharto.

Bakat melukisnya menurun dari ayahnya yang bernama Abdullah Surio Subroto, seorang pelukis pemandangan elok pada zaman Belanda yang juga pintar menari. Sementara kakeknya adalah tokok pergerakkan yang bernama Dr Wahidin Sudirohusodo. Basoeki Abdullah terlahir di Surakarta, Jawa Tengah, 25 Januari 1915.

Awal ketenaran Basoeki Abdullah lahir dari tangan Ratu Belanda, Juliana. Basoeki Abdullah berhasil memenangkan sayembara melukis potret sang ratu. Dari 81 pelukis dunia yang mengikuti sayembara, hanya 21 orang yang tepat pada waktunya. Dan pemenangnya adalah Basoeki Abdullah. Sayembara melukis ini diadakan pada tanggal 6 September 1948 bertempat di Belanda, Amsterdam, sewaktu penobatan Ratu Juliana.

Sejak itulah Basoeki Abdullah bukan saja dikenal di Indonesia, namun juga oleh dunia dan laris sebagai pelukis potret. Bagi ia, melukis potret yang penting tak hanya kepersisan wajah, tapi juga ekspresi.

Soekarno melukis kilat

Nama Soekarno dan Basoeki Abdullah susah dipisahkan. Keduanya sama-sama menyukai wanita cantik. Ini tampak dari koleksi lukisan dan patung-patung Bung Karno. Dan diantaranya terdapat lukisan-lukisan perempuan telanjang, yang kini disimpan di ruangan khusus di Istana Negara di Bogor. Beberapa adalah buah tangan Basoeki.

1292780886254725229
Pameran Basoeki Abdullah (sumber : Tempointeraktif.com)

Bagi Bung Karno mengkoleksi lukisan mempunyai arti tersendiri. Ia sering duduk berjam-jam mencari inspirasi di depan salah satu lukisannya. Dan minat Bung karno pada kesenian bukan hal baru. Saat Bung Karno dibuang ke Bengkulu, di zaman Belanda, ia sempat membuat grup sandiwara dan menggambar sendiri dekorasinya. Begitu pula saat dibuang ke Ende, sempat menyelesaikan beberapa lukisan. Menurut Guntur Soekarno Putra, ada kira-kira sepuluh lukisan dihasilkan oleh Bung Karno.

Bung Karno juga punya cara sendiri dalam menilai suatu karya seni. Suatu kali diundanglah ke istana pelukis dan pematung Trubus. Ia diminta membuat patung wanita telanjang di halaman Istana. Ketika Bung Karno datang, patung itu ternyata sudah selesai. Bung Karno menatap patung itu, lalu memejamkan mata. Sejenak ia meraba bagian depan patung itu dari atas hingga ke bawah. Lalu dari mulutnya terucap, "Bus, ini belum wanita benar."

Sama halnya ketika Bung Karno menilai sebuah lukisan milik Basoeki. Basoeki melukiskan pertempuran antara Jatayu dengan Rahwana ketika menculik Sinta, Bung Karno merasa tak puas pada hasil lukisan itu. Bung Karno berpendapat, bahwa lukisan itu harus mampu penuh bercerita tentang pertempuran yang suasanya harus menggelora. Dan menurut Bung Karno, Basoeki belum menunjukkan suasana yang menggelora itu. Didorong oleh kegeraman itu, Bung Karno menambahkan lukisan kilat di lukisan itu.

Bagaimana komentar Basoeki Abdullah kalau tahu lukisannya dirubah? Menurut Guntur, biasanya apapun komentar orang, Basoeki tak terlalu mengambil peduli.

Ketertarikan Soekarno pada pelukis Basoeki, membuat ia diangkat menjadi pelukis resmi Istana Merdeka, Jakarta. Bahkan sempat ada kecurigaan beberapa orang, bahwa selera seni Bung Karno kemudian banyak dipengaruhi selera Basoeki Abdullah. Tapi ada satu hal yang perlu diingat, Bung Karno juga mempunyai selera tertentu yang membuatnya tak segan berbeda selera. Bung Karno tak suka dengan Gatotkaca (tokoh wayang kebanggaannya) yang menundukkan kepala. Maka ia pun menciptakan Gatotkaca dengan kepala tegak.

12927817251548759582
Lukisan Balinese Beauty oleh Basoeki Abdullah.
Terjual di Christie, Singapore: 6 Oktober 1996
(sumber gambar : http://www.artnet.com/)

Saat itu, sebagai pemimpin negara baru, Bung Karno sangat berkepentingan menunjukkan kiprah Indonesia di ranah seni. Lukisan-lukisan Basoeki sering diboyong ke luar negeri untuk dipamerkan. Soekarno bahkan datang sendiri saat koleksi Basoeki dipamerkan di Jepang. Begitu pula dengan patung atau tugu yang berdiri megah dan heroik di ibukota, adalah sebuah jiwa seni yang mungkin tak terpikirkan oleh banyak kalangan pemimpin saat itu (mungkin juga hingga saat ini).

Soeharto dan lukisan "tanda tangan"

Soeharto (selanjutnya di panggil Pak harto) dan seni rupa adalah dua dunia yang nyaris tidak ketemu. Kisah hidupnya telah berbicara, di saat Jepang berkuasa, Bung Karno dan ratusan seniman Indonesia ramai terlibat dalam Keimin Bunka Sidhoso (lembaga kesenian milik Jepang), sementara Pak Harto tidak bersentuhan dengan lembaga itu. Hidupnya hanya berkutat dalam dunia militer, profesi ini membuatnya jauh dari dunia berkesenian.

Saat Pak Harto pindah ke Istana di tahun 1968, ia memang tak se"kejam" Jackie Kennedy yang mengganti semua tataan Mamie Eisenhower. Pengunjung istana saat itu masih bisa merasakan suasana Soekarno. Pak Harto ternyata masih tetap menghormati selera seni dari penghuni sebelumnya, Soekarno. Hanya dalam perjalanan tahun-tahun berikutnya beberapa hal mulai berubah. Pelan-pelan lukisan Basoeki Abullah dengan tema perempuan mulai disimpan. Lukisan seorang perempuan, konon isteri seorang jenderal yang memakai kebaya dengan senyum manisnya, tersingkir dari ruang makan Istana Merdeka. Kemudian gambar--gambar Utin Sularto dan Baby Huwae dengan baju tipisnya.

Termasuk patung-patung, diantaranya patung pemanah telanjang yang ada di tengah kolam dekat tiang bendera 17 meter. Patung ini dipindahkan di tahun 1970, Brigjen. Sutikno yang waktu itu masih kepala Rumah Tangga Istana Merdeka beralasan, "Masa saya harus kasih hormat padanya juga."

Posisinya memang dekat dengan tiang bendera. Dan di tahun 1970 inilah perubahan yang sedikit drastis mulai dilakukan terhadap gedung Istana Merdeka, seperti perubahan beranda belakang Istana Merdeka dari yang bergaya kolonial berubah wujud menjadi modren dengan menggunakan kaca karena akan dipasang alat pendingin udara (AC).

Walau Pak Harto tidak dekat dengan seni rupa, namun ia mempunyai ambisi besar akan kesenian. Bila dulu Bung Karno mengangkat pelukis istana sebagai pengurus lukisan di Istana, lain halnya dengan Pak Harto. Lewat Sekretariat Negara - Rumah Tangga Kepresidenan, Pak Harto mendirikan lembaga Sanggar Lukisan Istana Presiden sebagai pihak yang bertanggung jawab. Dalam sanggar itu ada ketua, sekretaris, kurator, pelaksana lapangan, dan sebagainya. Lewat lembaga, ini Pak Harto memelihara benda seni (yang sekitar 70 persen dari jumlah itu adalah peninggalan Presiden Soekarno) di Istana Presiden di seluruh Indonesia.

Pak Harto pun menggagas berdirinya museum Purna Bhakti Pertiwi yang diresmikan pada tanggal 23 Agustus 1993 di atas lahan 20 hektare di depan Taman Mini Indonesia Indah, dalam bentuk bangunan berupa tumpeng. Museum ini adalah tempat untuk menyimpan cenderamata seni rupa, baik dari Indonesia maupun luar negeri yang diberikan sebagai kenang-kenangan. Tak hanya puas sampai di situ, ia pun mendirikan Graha Lukisan. Inilah museum yang khusus menampung karya seni lukis koleksinya, koleksi anak-anak serta segenap menantunya. Gedung ini bertingkat tujuh, menjulang tinggi 41 meter. Bentuknya bagai burung mengepak menghadap matahari yang tenggelam di barat. Museum yang ditangani Titiek ini diresmikan pada 12 April 1997.

Namun ternyata koleksi lukisan Pak harto bukan saja dari pelukis terkenal, terdapat juga berbagai lukisan kodian yang sering diperdagangkan di banyak art shop di Tanah Air, yang sampai sekarang berharga tak lebih dari Rp 200 ribu saja. Entah siapa yang tega "menipu" Pak Harto dengan cenderamata yang murahan seperti itu. Semua itu terpajang di Graha Lukisan demi menghormati si pemberi lukisan. Dari museum ini dibuka hingga Pak Harto menutup mata, ternyata beliau amat jarang datang berkunjung untuk menikmati keindahan koleksinya itu. Berbeda jauh dengan Bung Karno yang menginginkan sebuah lukisan atau patung untuk dinikmati.

Sepertinya Pak Harto hanya seorang kolektor, bukan apresiator seni rupa. Walau terkadang ia pernah meminta kepada pelukis untuk memenuhi keinginanya. Seperti keinginannya di ulang tahun perkawinannya yang ke-40 pada tanggal 26 Desember 1987. Ia memesan kepada Basoeki Abdullah lukisan sekelompok burung merpati putih. Kelak lukisan ini akhirnya menjadi bagian penting dekorasi kediamannya di Cendana pada era 1990-an. Ruangan dengan lukisan ini sering menjadi sorotan kamera televisi ketika menerima tamu maupun pada acara tertentu yang dilakukan di Cendana.

Ketika lukisan ini diterima, Pak Harto meminta anak, mantu dan cucu menorehkan tanda tangannya di setiap sisi puluhan merpati itu dengan sepidol emas. Lazimnya sebuah lukisan, hanya tertoreh nama sang pelukis. Namun kini ternyata bersanding juga nama-nama yang lain. Apakah ini bentuk kekurang mengertian Pak Harto pada apresiasi seni, atau mungkin tak sudi hanya ada satu nama saja yaitu Basoeki Abdullah?

Basoeki gusar bukan main. Pak Harto tampak memahami kemarahan sang pelukis, dan sang Presiden pun merasa berutang. Menyedihkan, utang itu baru terlunasi ketika Basoeki Abdullah wafat pada November 1993. Dalam momentum ini Pak Harto, lewat upaya putrinya Siti Hediati atau Mbak Titiek, meminjami pesawat Pelita Air Service PK-PKJ Lengguru untuk membawa jenazah Basoeki dari Jakarta ke Yogyakarta, sebelum dimakamkan di Desa Mlati.

Tak hanya itu, berlanjut di tahun 1992, Pak Harto meminta Basoeki melukis potret para pemimpin negara yang berkumpul saat KTT Non Blok di Tanah Air. Terlukis wajah-wajah mereka dengan Pak Harto sebagai sentralnya. Namun entah mengapa, ukuran wajah Pak Harto tampak tak lebih besar dibanding dengan tokoh-tokoh lainnya. Hal yang sangat berbeda dengan kebiasaan melukis gaya Basoeki yang terlukis jujur.

Apakah ini permintaan Pak Harto? Atau keinginan orang-orang yang loyal padanya yang ingin menunjukkan bahwa Pak Harto memang lebih besar dari tokoh pemimpin dunia lainnya? Dalam perjalanan kekuasaannya, ia didampingi oleh loyalitas yang tinggi dari 'pasukannya.' Ternyata tak hanya dalam hal urusan politik dan keamanan ada banyak mata-mata, di dunia melukispun tak boleh lepas dari pantauannya.

Tulisan Agus Dermawan T (kritikus dan penulis buku-buku seni rupa) di majalah Tempo bercerita tentang aparat yang memasuki ruang-ruang kreatifitas seniman (pelukis). Terkabar pada tahun 1977 di Galeri Senisono Yogyakarta, dalam pameran "Kepribadian Apa", muncul lukisan Ronald Manulang yang menggambarkan state portrait Pak Harto. Oleh Ronald, lukisan ini sengaja tidak diselesaikan, ada bagian-bagian yang masih kosong. Hingga dengan pastinya ia pun memberi judul lukisan ini dengan judul Presiden yang Tak Pernah Selesai.

Beberapa hari setelah pembukaan pameran, Ronald kedatangan tamu, ia diinterogasi polisi. Mungkin mereka penasaran atau memang hendak meluruhkan mental penggiat seni rupa.

"Presiden yang tak pernah selesai, apa maksudnya?" tanya polisi.

"Oo, itu artinya lukisan saya tentang seorang presiden tak kunjung selesai juga. Susah sekali menuntaskannya," kata Ronald santai.

"Bohong. Ada kecurigaan Saudara memprovokasi masyarakat untuk mendongkel kekuasaan Kepala Negara," kata polisi lagi.

Ronald Manulang terbelalak. Dan sejarah seni rupa tahu, pameran itu ditutup polisi sebelum jadwal berakhir.

Begitu pula di tahun 1980, pelukis Hardi membuat poster berteknik silkscreen yang menggambarkan potret dirinya berbusana ala Bung Karno, lengkap dengan tanda jasanya. Di atas gambar itu ia menuliskan teks : Presiden RI 2001-Suhardi. Ketika karya ini dipamerkan, Hardi langsung ditangkap serta dimasukkan sel beberapa hari. Pada pemeriksaan di kantor polisi, sejumlah "Pak Harto" berkata: "Saudara mengusik ketenangan yang berkuasa."

Hardi dan Ronald Manulang akhirnya sadar, bahwa mata seni Orde Baru adalah mata "orang kebanyakan," mata-mata yang ingin melanggengkan terus kekuasaan Pak Harto. Setidaknya pula, jiwa "seni" Pak Harto mengalir secara komando/terstruktur di "seni" para mata-mata dalam mengkondisikan keamanan ala Orde Baru.

Hidup Basoeki di ujung senapan

Mungkin karena sering melukis pemandangan alam dan perempuan cantik, Sudjojono, salah seorang pendiri

12927814061692120258
Pertemuan 3 seniman : Affandi (kanan),
S Sudjojono (tengah), dan Basoeki Abdullah (kiri).
(sumber : KOMPAS/KARTONO RYADI)

Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia tahun 30-an, pernah menyamakan lukisan model Basoeki Abdullah dengan gambar bintang film Hollywood -- karya-karya tersebut hanya menonjolkan modelnya yang cantik saja, lain tidak. Lukisan-lukisan macam itu, yang dalam sejarah senirupa Indonesia dijuluki Mooi Indi, "Hindia Molek," banyak dikecam sebagai "realisme tanpa jiwa". Namun perseteruan keduanya dapat diakhiri di Ancol pada tahun 1985. Pengusaha Ir. Ciputra mempertemukan Soedjojono dengan Basoeki, juga Affandi, dalam pameran bersama. Dan sayangnya, dalam perjalanan dunia seni rupa Indonesia, kita kehilangan Soedjojono, yang wafat beberapa bulan setelah pertemuan ini.

Bila Sudjojono berpendapat demikian, lain halnya dengan mereka para kolektor hingga pencuri lukisan. Lukisan-lukisan Basoeki Abdullah nilainya begitu besar, tak tanggung-tanggung hingga milyaran rupiah. Misalnya lukisan seorang gadis Bali dengan bunga kemboja tersemat di telinga kanan menangkupkan kedua telapak tangannya. Judul lukisan itu adalah Berdoa. Pada bulan Maret 1995, Balai Lelang Christie di Singapura (balai lelang yang didirikan John Christie di London pada 1766) menawarkan lukisan gadis Bali sedang berdoa itu. Di dalam katalog Christie, lukisan itu diberi judul Bali Girl Praying dan diberi nomor lelang 578.

Lukisan ini pemiliknya adalah Soekarno, presiden pertama Indonesia. Dan menurut Guruh Sukarno Putra, Ketua Yayasan Bung Karno, lukisan itu telah dicuri. Tapi Guruh juga tidak bisa memastikan siapa pencuri lukisan itu dan tidak bisa menuntut pembatalan lelang, karena masa yang diberikan untuk pembatalan (apabila ada yang keberatan) telah berakhir (2 minggu sebelum lelang). Dan akhirnya, menurut catatan lelang 26 Maret 1995, lukisan itu tidak laku dilelang. Dan menurut peraturan Christie, lukisan yang tidak laku akan dikembalikan ke "pemiliknya" alias yang menyerahkan lukisan itu ke Christie. Tentang siapa "pemiliknya," sekali lagi terbentur oleh kontrak yang sifatnya rahasia.

Badan lelang Christie tentu tidak akan menghancurkan reputasi yang dibangun selama 234 tahun sebagai "kerajaan lelang" yang sudah memiliki cabang di 119 negara. Mereka tentu tak mau menjual barang-barang hasil curian. Dan mereka sudah membuat kebijaksanaan dengan menerbitkan katalog pada masa-masa musim lelang dan memberi kesempatan 2 minggu sebelum lelang untuk meneliti lukisan-lukisan lelang mendatang. Apabila ada pihak yang merasa bahwa lukisan tertentu adalah hasil curian atau sampai ke tangan Christie dengan cara tidak sah, bisa mengajukan protes.
12927821021655957534
Lukisan A Nude oleh Basoeki Abdullah
yang dicuri dari Galeri Nasional
(sumber : www.tempointeractive.com/ang/min/01/32/nas1.htm)





Hal ini pernah terjadi pada tahun 1996, dua buah lukisan karya Basoeki Abdullah yang dilelang di Christie, ternyata dicuri dari Galeri Nasional. Pihak Galeri Nasional mengklaim dan bisa membuktikan bahwa benar kedua lukisan itu memang curian. Christie akhirnya mengembalikan kedua lukisan itu, akan tetapi Christie tidak bisa membuka dari siapa badan lelang itu memperoleh lukisan-lukisan tersebut. Karena ini merupakan kontrak dengan balai lelang yang sifatnya rahasia.

Tak hanya sampai di situ, masih banyak perjalanan dari lukisan-lukisan Basoeki Abdullah lainnya yang keberadaannya menjadi incaran banyak orang. Bukan saja untuk dinikmati keindahannya namun nilainya yang menggiurkan. Tak pelak, ketika di suatu malam 5 November 1993, kematiannya di ujung senapan membuat dugaan adanya keinginan si pembunuh untuk mencuri lukisan yang mungkin ada di rumahnya. Tapi setelah diperiksa, ternyata sang pembunuh adalah Amirudin alias Nanda--yang disuruh oleh Wahyudi, tukang kebun Pak Basoeki. Awalnya mereka berencana mencuri uang. Namun karena terkejut akibat Basoeki mengetahui maksudnya, di malam naas itu Basoeki mati di ujung senapan miliknya yang tergantung di dinding.

Keindahan selama 78 tahun yang terus ditebarkannya, harus berakhir dengan tragis di malam itu. Pengabdian yang konsisten bagi seluruh hidup Basoeki pada yang indah di indra dan yang romantis, membuktikan ucapannya, "Saya tak ingin mengkhianati aliran besar (yang memuja keindahan)."
Edi Sembiring
sumber bacaan :

Bukit-bukit perhatian: dari seniman politik, lukisan palsu sampai kosmologi oleh Agus Dermawan T.
Tempointeraktif.com tanggal 09 September 1972
Tempointeraktif.com tanggal 18 Agustus 1979
Tempointeraktif.com tanggal 16 Juni 1984
Tempointeraktif.com tanggal 29 Januari 2001
Tempointeraktif.com tanggal 28 Januari 2008
Tempointeraktif.com tanggal 01 Juli 2009
Tempo.co.id Edisi 32