Monday 13 September 2010

Cangkul Soekarno

Ini Cangkulku, Mana Cangkulmu?
Pada perayaan 17 Agustus 1964, kali itu terlihat agak lain, agak unik. Pada saat itu yang menjadi salah satu pasukan pengibar bendera pusaka (paskibra) adalah Megawati Soekarnoputri, anaknya Soekarno.

Dan hal yang unik juga pernah terjadi ketika memperingati perayaan 17 Agustus 1961 di Istana Merdeka, terlihat saat itu Presiden Soekarno didampingi dua putrinya yaitu Rachmawati dan Sukmawati, sedang membuka peti Bendera untuk diserahkan kepada seorang Paskibraka.

Presiden Soekarno didampingi dua putrinya yaitu Rachmawati dan Sukmawati,
pada perayaan 17 Agustus 1961 di Istana Merdeka
Peringatan 17 Agustus di jaman Soekarno selalu ditunggu-tunggu, karena Soekarno biasanya akan berpidato berapi-api. Semua menunggu seruan apa lagi yang akan disampaikan.

Pada setiap peringatan 17 Agustus, Soekarno selalu meninggalkan perenungan, pidato-pidatonya menjadi asupan bagi penyemangat kaum-kaum merdeka. Semua pidato diberi judul, karena ia tahu kata-kata adalah juga senjata untuk menggerakkan rakyat.

Ada 22 kali Soekarno berpidato di setiap peringatan 17 Agustus, diawali dengan berpidato di peringatan 17 Agustus 1945 dan diakhiri 17 Agustus 1966. Hanya saja pidato yang pertama tak berjudul yaitu di tahun 1945, namun cukuplah kita katakan sebagai pernyataan Kemerdekaan bangsa.

Beberapa Pidato 17 Agustus oleh Soekarno diberi judul :
Dari Sabang sampai Merauke ( 1950 ),
Capailah Tata Tenteram Kerta Raharja ( 1951 ),
Harapan dan Keyataan ( 1952 ),
Jadilah Alat Sejarah ( 1953 ),
Berirama dengan Kodrat ( 1954 ),
Tetap Terbanglah Rajawali ( 1955 ),
Berilah isi kepada hidupmu ( 1956 ),
Satu Tahun Ketentuan ( 1957)
Tahun Tantangan ( 1958 ),
Penemuan kembali revolusi kita ( 1959 ),
Laksana malaikat yang menyerbu dari langit, Jalannya revolusi kita, ( Jarek ) ( 1960)
Resopim ( 1961 )
Tahun kemenangan ( Takem ) ( 1962 ),
Genta Suara Republik Indonesia ( Gesuri ) ( 1963 ),
Tahun Vivere Pericoloso ( Tavip ) ( 1964 ),
Capailah Bintang - bintang di langit ( 1965 )
Jangan Sekali-kali meninggalkan Sejarah ( 1966 ).

Selama 22 kali berpidato dalam peringatan 17 Agustus, Soekarno tidak selalu membacakan pidato di depan tangga Istana Merdeka. Pernah 4 kali di dalam Gedung Agung (1946-1949), yaitu istana kepresidenan selama ibukota RI di Yogyakarta. Pernah juga di Lapangan Ikada (sekarang silang Monas). Pernah juga di Stadion Gelora Bung Karno (17 Agustus 1965), dan selebihnya di tangga atau halaman Istana Merdeka.

Bila mengingatnya, seakan menjadi bacaan berseri. Seri kemerdekaan, tahapan-tahapan yang menuntun kita menuju revolusi yang terus bergulir, perubahan-perubahan yang harus cepat dilakukan. Seperti di suatu ketika di 17 Agustus 1962 Bung Karno berkata revolusi Indonesia sekarang sudah naik kepada tingkat self propelling growth : Kita maju atas dasar kemajuan! Kita mekar atas dasar kemekaran!
Dan aku tambahkan, kita maju atas dasar KEMAUAN.

Bagaimana bangsa ini bisa mekar dan maju, bila tak ada lagi kemauan. Dimulai dari kemauan pemimpin yang seharusnya mampu menggetarkan bangunan kesombongan bangsa. Bangsa yang menurut Mochtar Lubis adalah bangsa yang memiliki ciri-ciri :

1. Hipokrit, senang berpura-pura, lain di muka lain di belakang, suka menyembunyikan yang dikehendaki, karena takut mendapat ganjaran yang merugikan dirinya.
2. Segan dan enggan bertanggungjawab atas perbuatannya, putusan dan pikirannya. Atau sering mengalihkan tanggungjawab tentang sesuatu kesalahan dan kegagalan kepada orang lain.
3. Berjiwa feodalis, senang memperhamba pihak yang lemah, senang dipuji, serta takut dan tidak suka dikritik.
4. Percaya pada takhyul dan senang mengkeramatkan sesuatu.
5. Berjiwa artistik dan sangat dekat dengan alam.
6. Mempunyai watak yang lemah serta kurang kuat mempertahankan keyakinannya sekalipun keyakinannya itu benar. Suka meniru.
7. Kurang sabar, cepat cemburu dan dengki.

Hanya 1 ciri yang baik. Selebihnya, mari kita babat habis dan kubur dalam-dalam wajah jelek bangsa Indonesia itu. Kita kubur budaya korupsi yang sudah mengakar, kita kubur pembodohan oleh sistem-sistem yang ada, kita kubur niat-niat separatis. Atas dasar apapun, negara ini diperjuangkan bukan untuk sekelompok orang atau sekelompok pemeluk agama bahkan bukan untuk sekelompok kepentingan politiknya.

Soekarno pun menuliskan pidato-pidatonya dengan menggali dari sejarah dan menatap hari depan dengan mata elangnya. Mari belajar pada masa lalu, belajar pada cita-cita pendiri negeri ini, niscaya keyakinan kita menjadi satu. Bangsa ini memerlukan perubahan, bukan hanya sekedar memerlukan pemimpin.

Ini cangkulku, mana cangkulmu. Mari kita gali sejarah dan belajar padanya.
sumber gambar : catatan kecil ardiansyah

No comments: