Thursday 30 September 2010

Bermula dari Ucapan para Pelacur



Boeng, Ajo Boeng karya Affandi (1945)
Kata “bung” terdengar sangat heroik bersama letupan tabik “merdeka!” Di setiap pertemuan kaum-kaum berbambu runcing dulu, mereka menyapa tajam, setajam niat untuk membelah negeri dari penjajahan si mata biru. “Bung" adalah para pemuda pejuang berambut panjang dan tangan terkepal. “Bung” menjadi hasutan yang menggiring pemuda-pemuda mengenal arti kata merdeka. “Bung” adalah keberanian, kebebasan dan kemerdekaan itu.

Di kalangan pemimpin kemerdekaan, kata bung juga disematkan di depan Soekarno dan Hatta. Di sela-sela diskusi kaum-kaum gelisah, kata bung menunjuk hidung bagi mereka yang mau berpikir segera dan menyurutkan langkah bagi kaum peragu. Kata “bung” menjadi ruh yang menobatkan diri bahwa kemerdekaan harus direbut dengan cara pasti. Sehingga segerombolan pemuda dengan yakin “menculik” Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok untuk sebuah kepastian : kemerdekaan!

Melalui Radio Pemberontakan, Soetomo berbicara lantang. Sang “bung” menjadi mesiu yang membakar semangat, hingga perlawanan berkobar di Surabaya tanggal 10 November 1945. Bung Tomo adalah bung dengan penuh kepastian, ketika debat telah mengalir panjang dalam penemuan kelamin dari arti kemerdekaan, kata bung menjadi keteguhan. Bangkit dan melawan!

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diterangkan arti "bung" sebagai abang; panggilan akrab kepada seorang laki-laki. Sederhana dan apa adanya. Namun kisah heroik masa lampau menyeret kata bung tak jauh dari kata perlawanan, berkalung derita dan bermandi darah. Dan kata bung ada dalam ketulusan memilih pondasi yang tepat pada mimbar-mimbar pledoi pembelaan di depan pengadilan Hindia Belanda. Bung tak mampu dikurung dalam penjara-penjara dingin, karena di luar sana semangat si bung tetap menyala.

Dinding-dinding tercakar kata, bertulis “Merdeka atau Mati” ataupun di gerbong-gerbong Kereta Api. Kata-kata itu diambil dari penutup pidato Bung Karno, 1 Juni 1945, “Lahirnya Pancasila”. Hingga menggiring beberapa pelukis ambil bagian untuk menambah daftar penyemangat. Mereka ingin membuat poster yang bertendensi mengobarkan semangat juang rakyat, atas permintaan Soekarno. Salah satunya adalah seorang pelukis bernama Affandi.

Sebuah poster yang idenya dari Bung Karno terlukis sebagai gambar orang yang dirantai tapi rantai itu sudah putus. Yang menjadi model saat itu adalah pelukis Dullah. Namun terasa kering, ketika belum ada kata-kata yang tertoreh di poster itu. Soedjojono, bapak seni lukis modern Indonesia, berinisiatif menanyakan kepada Chairil Anwar yang kebetulan baru datang ke sebuah pertemuan.

Dari mulut Chairil Anwar terdengar kalimat, “Boeng, ajo Boeng!” Dan ketika ditanyakan dari mana idenya, Chairil Anwar, penyair “si binatang jalang” itu bercerita bahwa para pekerja seks di Pasar Senen memanggil setiap pria dengan kata-kata "Bung Sini Bung!" Ternyata kata-kata itu biasa diucapkan pelacur-pelacur di Jakarta yang menawarkan dagangannya pada zaman itu. Para pelacur mencoba merayu para pria dengan kata “bung,” yang ternyata juga kata itu dekat dengan gelora “semangat.” Dan para seniman lukis itu langsung dengan kocak berkesimpulan bahwa Chairil baru saja ber-"bung sini bung!"

Dalam perjalanan waktu kata “bung” tak hanya tampil dalam poster yang disebarluaskan ke segala tempat, tapi juga hadir di dinding-dinding, puisi hingga lagu. Seperti bait akhir dari lagu perjuangan kita, "…mari bung rebut kembali!" Kata “bung" melampaui garis pemisah berdasar kelas, agama, suku, dan juga ras. Kata "bung" membawa ke dalam suasana persatuan, solidaritas, dan nasionalisme.

Hingga suatu ketika pada akhir 1980-an, Harmoko, Menteri Penerangan zaman itu, pernah hendak membangkitkannya lagi. Si menteri yang gemar memulai pembicaraannya dengan kalimat "sesuai petunjuk bapak presiden" itu meminta agar "bung" dijadikan sebagai panggilan nasional lagi. Tapi himbauan itu tidak berdengung. "Bung" rupanya tidak cocok dengan suasana politik yang suram, ekonomi yang senjang, dan keamanan yang terbelenggu. Seperti muaknya pada para mahasiswa yang dulunya berlabel angkatan ‘65 dan ketika berlenggang di gedung dewan, mereka memunggungi rakyat yang ditungganginya. Dan tanpa malu pula mereka memakai kata bung untuk menyebut “sesamanya”.

Chairil Anwar menemukan kata “Bung ayo Bung” dari kisah kelam para pelacur. Chairil menemukan kata “bung” pada mereka yang ingin juga merasakan nikmatnya hidup. Sama seperti kita yang juga ingin mencicipi kemerdekaan itu, walau sudah jelas rantai itu diputuskan. Gambar yang dijelaskan oleh kata “boeng, ayo boeng!”

Rendra menemukan juga keinginan itu sudah bulat dan ia “mengajak” para pelacur untuk mengambil sikap untuk bersatu dan mengibar panji-panji kemarahan yang digambarkan oleh Rendra dengan kutang-kutang pelacur yang berkibar dalam puisi pamflet berjudul Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta :
.......
Saudari-saudariku. Bersatulah
Ambillah galah
Kibarkan kutang-kutangmu dihujungnya
Araklah keliling kota
Sebagai panji yang telah mereka nodai
........
Naikkan tarifmu dua kali
Dan mereka akan klabakan
Mogoklah satu bulan
Dan mereka akan puyeng
Lalu mereka akan berzina
Dengan isteri saudaranya.

Kini angin berhembus lain, ajakan “Boeng, sini Boeng” telah dijawab oleh para pemimpin negeri ini dengan melacurkan dirinya pada kuasa. Bersetubuh pada kepentingan partai dan kelompoknya saja. Bergelimang nafsu kuasa hingga jerit “persetubuhan” yang kentara adalah kepentingan menuju puncak orgasme politik dan berkeringat dusta. Nafas-nafas yang ditawarkan dalam dengus orasi politiknya.

Di setiap pagi terhadir kabar tak pasti. Bukan kepastian seperti poster “Boeng, ajo boeng” bergambar rantai terputus. Kisah itu sudah usang, sama tuanya dengan rantai yang telah berkarat. Kemerdekaan yang sudah lama, namun tak mencerminkan kemerdekaan yang penuh.

Hingga seperti Chairil Anwar “singgah” di sebuah waktu di Pasar Senen, kita pun sejenak datang pada mereka. Pada jelata dan pada sikap pelacoer politik. “Bung, ayo bung, mampirlah untuk berpikir !”
 Edi Sembiring

No comments: