Thursday 30 September 2010

Bermula dari Ucapan para Pelacur



Boeng, Ajo Boeng karya Affandi (1945)
Kata “bung” terdengar sangat heroik bersama letupan tabik “merdeka!” Di setiap pertemuan kaum-kaum berbambu runcing dulu, mereka menyapa tajam, setajam niat untuk membelah negeri dari penjajahan si mata biru. “Bung" adalah para pemuda pejuang berambut panjang dan tangan terkepal. “Bung” menjadi hasutan yang menggiring pemuda-pemuda mengenal arti kata merdeka. “Bung” adalah keberanian, kebebasan dan kemerdekaan itu.

Di kalangan pemimpin kemerdekaan, kata bung juga disematkan di depan Soekarno dan Hatta. Di sela-sela diskusi kaum-kaum gelisah, kata bung menunjuk hidung bagi mereka yang mau berpikir segera dan menyurutkan langkah bagi kaum peragu. Kata “bung” menjadi ruh yang menobatkan diri bahwa kemerdekaan harus direbut dengan cara pasti. Sehingga segerombolan pemuda dengan yakin “menculik” Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok untuk sebuah kepastian : kemerdekaan!

Melalui Radio Pemberontakan, Soetomo berbicara lantang. Sang “bung” menjadi mesiu yang membakar semangat, hingga perlawanan berkobar di Surabaya tanggal 10 November 1945. Bung Tomo adalah bung dengan penuh kepastian, ketika debat telah mengalir panjang dalam penemuan kelamin dari arti kemerdekaan, kata bung menjadi keteguhan. Bangkit dan melawan!

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diterangkan arti "bung" sebagai abang; panggilan akrab kepada seorang laki-laki. Sederhana dan apa adanya. Namun kisah heroik masa lampau menyeret kata bung tak jauh dari kata perlawanan, berkalung derita dan bermandi darah. Dan kata bung ada dalam ketulusan memilih pondasi yang tepat pada mimbar-mimbar pledoi pembelaan di depan pengadilan Hindia Belanda. Bung tak mampu dikurung dalam penjara-penjara dingin, karena di luar sana semangat si bung tetap menyala.

Dinding-dinding tercakar kata, bertulis “Merdeka atau Mati” ataupun di gerbong-gerbong Kereta Api. Kata-kata itu diambil dari penutup pidato Bung Karno, 1 Juni 1945, “Lahirnya Pancasila”. Hingga menggiring beberapa pelukis ambil bagian untuk menambah daftar penyemangat. Mereka ingin membuat poster yang bertendensi mengobarkan semangat juang rakyat, atas permintaan Soekarno. Salah satunya adalah seorang pelukis bernama Affandi.

Sebuah poster yang idenya dari Bung Karno terlukis sebagai gambar orang yang dirantai tapi rantai itu sudah putus. Yang menjadi model saat itu adalah pelukis Dullah. Namun terasa kering, ketika belum ada kata-kata yang tertoreh di poster itu. Soedjojono, bapak seni lukis modern Indonesia, berinisiatif menanyakan kepada Chairil Anwar yang kebetulan baru datang ke sebuah pertemuan.

Tuesday 14 September 2010

Jangan Bodohi Anak Kami

Pembodohan Siswa Tersistematis karangan M. Joko Susilo, PINUS Book Publisher Yogyakarta
Pembodohan Siswa Tersistematis
karangan M. Joko Susilo, PINUS Book Publisher Yogyakarta
Kita sadari bahwa “Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa lain” (Jalan Raya Pos, Jalan Deadels: hlm. 70); sementara “Semua yang terjadi di kolong langit ini adalah urusan setiap orang yang berfikir” (Rumah Kaca, hlm. 38) maka ketahuilah bahwa “Seorang tanpa prinsip adalah sehina-hina orang, setengik-tengiknya” (Rumah Kaca: hlm. 73).

Dan juga sama-sama kita pahami bahwa “Selama penderitaan datang dari manusia, dia bukan bencana alam, dia pun pasti bisa dilawan oleh manusia" (Anak Semua Bangsa: hlm. 204);

Untuk itu aku katakan padamu wahai penguasa, “Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar penglihatanmu setajam elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap tangis manusia; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput” (Bumi Manusia: hlm. 119).

Mari merdekakan negeri, dimulai dengan memerdekakan anak-anak, calon anak-anak panah yang akan menghujam jantung sang Penindas. Untuk itu didiklah mereka dalam kemerdekaan.

"Kami orangtua ini tidak boleh menguasai jiwa anak. Kami cuma berkewajiban memasukkan paham merdeka dan kejujuran dalam jiwa yang masih bersih itu. Kami tidak boleh mempengaruhi dan menguasai batinnya. Dan cinta yang suci itu hanya bisa tumbuh bila batinnya merdeka..." (Menggelinding 1).

Wahai huruf……
Alangkah akan tinggi ucapan
Terima kasihku, bilalah kamu
Menjadi buku terbuka
Bagi manusia yang membacanya

(Menggelinding 1).

Catatan : Semua judul buku di atas adalah karangan Pramoedya Ananta Toer.
Masyarakat yang demokratis harus menyediakan kesempatan pendidikan yang sama bagi semua warganya serta kualitas pendidikan yang sama. Hakikat pendidikan yang demokratis adalah pemerdekaan. Tujuan pendidikan dalam suatu negara yang demokratis adalah membebaskan anak bangsa dari kebodohan, kemiskinan dan berbagai “perbudakan” lainnya. (M. Joko Susilo).
  Edi Sembiring

Humor: Yang Paling Sadis


Ada 4 orang yang bersahabat saat kuliah dulu di Universitas Ngompasiana Ngotjoleria (UNN). Setelah 10 tahun tamat, mereka akhirnya bertemu untuk pertama kalinya. Sebuah reuni yang mungkin tak akbar. Tapi mereka bertemu di sebuah ruangan yang tak terduga, penjara bawah tanah Negeri Ngotjoleria. Mereka terpenjara bukan saja oleh kata-kata di Ngompasiana namun juga terpenjara untuk semua kejahatan yang mereka perbuat.

Di penjara, mereka saling bercerita tentang kehebatan dan kesangaran mereka.

Gipps Hura Hura berkata : wanita tak mungkin bisa masuk melewati jeruji penjara ini, namun andai kata kucing masuk ke sini, akan aku PERKOSA sampai MATI.

Di sebelah kirinya Syanz Tralili Tralala tak mau kalah, ia berkata : andai kucing masuk ke sini akan aku PERKOSA, selanjutnya akan aku kuliti, aku gantung ke empat kakinya agar dia TERSIKSA, hahahahaaaaaa mampus dia.

Di sebelah kanan, Ruji Celengan Gentong tertawa keras. Tawanya memenuhi ruangan, seakan semua dinding penuh dengan mukanya yang bulat. Dia bilang : andai kucing masuk ke sini, akan aku PERKOSA, lalu aku KULITI. Selanjutnya aku aku potong dia hidup-hidup. Aku MUTILASI dia hehhe.... Aku mulai dari memotong ekornya, dst.

Hawa kesadisan kian memenuhi ruangan, suara mereka bergema, padahal calon korban yang dimaksud hanyalah seekor kucing dalam wujud imaginasi. Suara mereka mengalahkan pahitnya tinta-tinta pena yang membuat banyak titik-titik tahi lalat di muka penguasa, hingga yang bersanggulpun diberi kumis Hitler.

Di sudut ruangan yang agak gelap, kawan keempat angkat bicara, tak panjang. Hanya sepotong kata. Namun mampu membuat ketiga lainnya berteriak ketakutan dan ingin muntah. Mereka berlari menuju jeruji dan minta tolong.

Yang ke empat bernama Arifs Bobo Siang hanya berkata : miawwwwwww.....

Tuhan Tak Lagi di Atas

Suatu ketika, Tuhan mengeluh kepada malaikat, karena dikejar-kejar terus oleh doa-doa manusia.

“Dengarkanlah, mereka memintaKu untuk menjaga rumahnya. Menghantarkannya dengan selamat hingga ke tujuan. Membantunya menjawab segala ujian di sekolah. MengharapkanKu agar mampu menaikkan jabatan mereka atau mengelakkan mereka dari tugas rutin kantor bahkan memaksaKu agar teman yang diinginkannya mau menjadi pacarnya atau teman hidupnya.”

Malaikat pertama menyarankan Tuhan agar bersemayam di puncak gunung yang sangat tinggi. Sementara malaikat yang kedua mengusulkan agar Tuhan bertahta di dasar samudera yang paling dalam.

Namun, Tuhan rasa itu percuma, karena manusia mampu ke sana. Doa manusia selalu kepada “Yang Di Atas” atau “Pintanya sedalam lautan.”

Malaikat ketiga unjuk bicara, ia mempersilahkan Tuhan bersemayam di hati manusia. Menurutnya, “pasti tak terjangkau, karena manusia tak pernah menyapa hatinya sendiri. Manusia kadang tak berdamai dengan hatinya sendiri.”

Tuhan ternyata bersemayam di bagian yang paling halus dalam hati manusia yang dinamakan sirr (rahasia) atau disebut juga tahta kesadaran (Manunggaling Kawula Gusti, 1990 : 2140).

Mari berziarah ke dalam hati kita, tahta kesadaran kita. Kesadaran bahwa Tuhan ternyata juga ada di hati-hati mereka yang lapar dan terluka.
Edi Sembiring

Bukan Inlander tapi Budaya Politik JAWA

(Beberapa Catatan Dari Perspektif Sejarah dan Antropologi Atas Buku Amien Rais ‘Selamatkan Indonesia’)*
Oleh : Dr.phil.Ichwan Azhari*

1. Sejarah Berlanjut
Amien menulis bab 1 bukunya dengan judul „Sejarah Berulang“ yang mensimplikasikan dan menarik garis sederhana bahwa apa yang berlangsung di Indonesia saat ini merupakan ulangan semata dari yang terjadi sejak zaman VOC. Uraian ini bagi saya sangat menarik karena jarang ada analis yang memiliki kepekaan historis, menghubungkan akar-akar di masa lalu dengan kelanjutannya di masa kini. Akan tetapi sayang sekali sumber-sumber sejarah yang digunakan Amien sangat miskin dan tendensius menggambarkan semata kehebatan VOC dan keberhasilan eksploitasi ekonomi dan politiknya di Indonesia. Seandainya Amien berkesempatan mempelajari studi-studi sejarah periode ini yang ditulis Furnivall, Ricklefs bahkan sumber-sumber Jawa yang luar biasa banyaknya, maka analisa dan kesimpulan yang ditarik Amien tentang hubungan politik , ekonomi dan kekuasaan VOC dengan raja-raja Jawa akan lebih menarik.

Dalam kajian sejarah mutakhir tentang VOC di Indonesia keadaan VOC berhadapan dengan intrik-intrik kekuasaan politisi Jawa tidaklah sehebat yang digambarkan sumber-sumber Amien dalam bab 1 bukunya. Selama 80 tahun awal keberadaannya di Jawa, VOC masuk dalam jebakan menghadapi ruwetnya kekuasaan raja-raja Jawa yang saling baku hantam, sulit dipercaya, berkhianat, penuh intrik di kraton, melakukan aliansi-aliansi longgar yang kemudian bubar, membuat kesepakatan-kesepakatan tertulis yang kemudian tidak dijalankan, memberontak, menolak adanya satu matahari kekuasaan, membuat kerusuhan, elit-elit politik yang bermuka dua serta sultan-sultan yang lemah dan peragu. VOC sangat lelah dan sangat tidak stabil berhadapan dengan segala intrik politik penguasa Jawa. Dipihak lain VOC berhadapan dengan perang dan persaingan dengan kekuatan-kekuatan dagang Eropa lainnya seperti Inggris, Spanyol, Portugis dan dari dalam digerogoti koruptor, salah urus perusahaan dan bercokolnya banyak pemabuk dan orang-orang tidak profesional yang menjadi jalan bersama menuju kebangkrutan dan pembubaran VOC.

Yang menarik dari periode ini untuk refleksi Indonesia masa kini adalah bahwa koorporat asing (seandainya istilah ini cocok) yang masuk ke Indonesia saat ini jauh lebih dahsyat dari segi kekuatan, profesionalisme, jaringan global dibanding VOC, tapi elit politik Indonesia yang berkuasa menyerupai apa yang berlangsung di berbagai pusat pertikaian politik Jawa sejak awal abad 17. Jika dulu ada pada institusi kraton dan raja-raja, mungkin sekarang ada pada partai, istana, institusi militer, konglomerat, birokrat dari pusat sampai daerah. Ini lebih cocok sebagai sejarah yang berlanjut.

Sisi lain yang perlu dikoreksi dari telaah sejarah Amien adalah terobsesinya dia pada seakan-akan pernah adanya kebesaran masa lalu Indonesia melalui hegemoni Majapahit dan Sriwijaya. Satu obsesi yang merupakan kelanjutan dari obsesi Yamin dan Soekarno dalam merumuskan Indonesia Raya. Padahal refleksi sejarah itu sudah lama dikalangan sejarahwan dianggap sebagai refleksi yang sesat karena kejayaan seperti diimajinasikan itu tidak pernah ada dalam sejarah. Indonesia sebagai sebuah konstruksi negara dan bangsa baru ada pada awal abad 20 dan bukan merupakan warisan dari nenek moyang entah sejak jaman kapan.

2. Bukan Inlander tapi Budaya Politik Jawa
Mental inlander yang terdapat pada para pemimpin politik Indonesia saat ini yang sering disebut-sebut Amien Rais memperlihatkan kurangnya pemahaman penulis tentang dinamika sejarah dan budaya Indonesia. Mental inlander menurut Amien berasal dari masa penjajahan yang menunjuk pada sifat merendah bangsa kita pada Belanda dan mengagung-agungkan bangsa asing (Barat). Bagaimana mungkin mentalitas pada masa penjajahan Belanda itu bisa melompat ke pemimpin masa kini sementara mereka tidak pernah mengalami kehidupan politik pada periode Belanda tersebut?

Di pihak lain para pemimpin politik yang hidup dan mengalami periode inlander itu, seperti misalnya generasi Tan Malaka atau Soekarno Hatta, justru tidak memperlihatkan mental inlander. Mereka telah berhasil mematahkan mental inlander itu pada saat seharausnya mental itu mempengaruhi generasi mereka. Generasi Soekarno Hatta yang dicitrakan positif dalam banyak bagian buku Amien adalah generasi yang tidak masuk dalam kategori inlander, sulit dipahami logika sejarahnya, jika generasi sesudah mereka kerasukan sifat inlander yang tidak mereka kenal dan sama sekali tidak diwariskan generasi sebelumnya.

Oleh karena itu secara historis dan secara kultural sifat-sifat negative para pemimpin yang disebut Amien inlander itu harus dicari padanan yang tepat dan asal usul dari mana sifat itu meresap ke kalangan politisi dan birokrat Indonesia. Saya mencurigai sifat-sifat itu bukan dibawa dari periode jaman penjajahan Belanda, (yang telah berhasil dipatahkan generasi Soekarno-Hatta), tapi justru dari periode pasca pemerintahan Soekarno, yakni pada masa era kekuasaan Soeharto yang sangat bersifat Jawa dan feodalistik.

Budaya Jawa pedalaman yang selama 30 tahun berkuasa secara hegemonik dalam seluruh urat saraf birokrat, politisi dan system politik Indonesia sampai saat ini, merupakan jalan buntu yang menyulitkan bangsa ini keluar dari benang kusut yang dirisaukan oleh Amien dalam bukunya. Sayang sekali mentalitas birokrat dan politisi yang bermental jawanisme ini tidak banyak disorot dan diakui dalam buku Amien. Padahal di UGM cukup banyak antropolog dan budayawan dan juga cukup banyak literature antropologi yang bisa memberi kontribusi kepada Amien terhadap tema ini. Seandainya Amien menelaah ini dengan cermat, saya yakin dia akan memberikan telaah yang jauh lebih bagus dari pada sekedar melemparnya ke keranjang sampah inlander era kolonial, padahal yang sebenarnya terjadi adalah periode pascakolonial yang sarat dengan budaya politik Jawa.

Menganalisa periode merasuknya budaya Jawa dalam perilaku politisi dan birokrat Indonesia tidak harus memberi citra buruk terhadap semua orang Jawa. Dalam kajian antropologi Jawa itu tidak homogen. Ada Jawa pesisir yang lebih egaliter misalnya. Amien Rais dan Juga Gus Dur bukanlah tipe Jawa pedalaman sebagaimana budaya yang dikembangkan Soeharto dalam kehidupan politik Indonesia selama puluhan tahun. Sementara itu tidak sedikit politisi dari luar Jawa yang sudah menjadi Jawa karena keberhasilan Soeharto melakukan jawanisasi budaya politik Indonesia. Oleh karena itu diperlukan suatu sikap oposisi yang terbuka terhadap budaya politik Jawa yang sampai sekarang masih dominan, dan oposisi yang paling efektiv adalah yang dilakukan oleh orang Jawa sendiri.

3. Bukan Tokoh tapi Perombakan Sistem dan Landasan Budaya
Amien selalu menyebut bahwa agenda mendesak bangsa Indonesia adalah munculnya kepemimpinan baru yang segera dapat memperbaiki keadaan yang disebutkan dalam bukunya. Mahatir Muhammad bahkan Ahmadinejad adalah tokoh yang disebut luar biasa dan terkesan bahwa Indonesia akan segera bisa keluar dari keterpurukan jika pemimpin seperti ini bisa muncul di Indonesia dalam waktu dekat. Pandangan seperti ini memperlihatkan syndrome ratu adil, yakni keadaan yang amburadul dan hancur-hancuran sekarang ini akan segera bisa diakhiri jika sang ratu adil datang.

Alkisah, sepuluh tahun yang lalu, sewaktu gelombang reformasi dianggap berhasil menumbangkan Soeharto, orang menganggap inilah era tampilnya kepemimpinan baru yang akan membawa Indonesia keluar dari kehancuran. Ada empat orang pemimpin yang dielu-elukan waktu itu, Amien Rais, Megawati, Gus Dur dan Sultan Hamengkubuwono X. Dua dari empat orang itu kelak pernah bergantian menjadi presiden. Amien Rais pun menduduki posisi sangat strategis sebagai ketua parlemen. Tapi kenapa sang pemimpin tak juga bisa membawa Indonesia keluar dari kemelut bahkan mewariskan kondisi Indonesia seperti sekarang yang diuraikan dalam buku Amien ini ?

Dilihat dari perspektif antropologi, ada yang luput dari pandangan banyak pemimpin dan orang-orang terdidik selama ini. Selalu dianggap bahwa perubahan segampang membalik telapak tangan. Munculnya pemimpin yang kuat dan flamboyan dianggap sudah cukup sebagai instrumen satu-satunya untuk segera mengakhiri kekacaubalauan. Padahal yang lebih mendasar dilakukan adalah kehadiran pemimpin yang segera melakukan perombakan sistem dan perubahan landasan budaya. Sistem dan landasan budaya yang ingin dirubah itu adalah sesuatu yang sudah berlangsung lama, sehingga diperlukan juga waktu untuk merubahnya.

Misalnya, tanpa perombakan sistem dan landasan budaya, bisakah orang sekaliber Mahatir atau Ahmadinejad menjadi presiden Indonesia dan membawa Indonesia seperti Malaysia dan Iran ? Bukankah mereka dalam bulan-bulan pertama pemerintahannya akan penuh kompromi dengan parlemen agar tidak dijatuhkan dalam hitungan bulan ? Mereka akan disibukkan memperkuat basis dukungan partai, tutup mata atas penyelewengan, inefisiensi, asal kekuasaan dalam jangka pendek menjadi lebih stabil sampai akhir periode dan diupayakan terkonsolidasi untuk periode berikutnya. Mereka juga akan berhadapan dengan anak kandung globalisasi : gerakan etnonasionalisme, primordialisme dan konsumerisme yang rakus di dalam negeri yang rapuh.

Salah satu yang mendesak dilakukan pemimpin baru adalah melakukan reformasi melalui jalur pendidikan. Ini tidak pernah dilakukan selama ini. Hasilnya tidak seketika memang. Tapi jalur seperti itulah yang banyak dilakukan negara-negara yang sukses dan berhasil keluar dari lingkaran kemelut. Reformasi melalui jalur pendidikan merupakan investasi yang akan membawa perubahan perombakan sistem dan landasan budaya yang tangguh. Pada saat seperti itu pemimpin baru akan relatif mudah berhasil membawa Indonesia menjadi negara sejahtera.

*Makalah di presentasikan dalam Bedah Buku “Agenda Mendesak Bangsa-Selamatkan Indonesia” Karya Amien Rais.
*Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial (PUSSIS) / Ketua Program Studi Antropologi Sosial, Universitas Negeri Medan.

7 Juni, 2008

Monday 13 September 2010

Hilangnya Foto Soekarno dan Clementis

Jujurlah, To!
Tahun 1984 terbit buku yang disunting oleh Nugroho Notosusanto, Pejuang dan Prajurit. Yang menarik pada buku yang diterbitkan oleh Sinar Harapan itu adalah tidak tampaknya wajah proklamator Sukarno pada waktu pengibaran bendera Merah Putih 17 Agustus 1945 (hal 94).

Yang kelihatannya hanya wajah Hatta. Sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo menelpon penerbit dan menyampaikan protes terhadap hal ini. Menurut Abdurrachman, ini “pemalsuan sejarah”. Pada cetakan berikutnya, wajah Sukarno sudah tampak pada foto tersebut. Upaya semacam ini yakni menghilangkan seorang tokoh yang tidak disukai pada foto yang dimuat dalam buku sejarah adalah sesuatu yang lumrah dalam sejarah Rusia semasa Stalin.

Tahun 2002 Asvi Warman Adam membicarakan hal ini dengan Max Riberu, redaktur Penerbit Sinar Harapan yang ikut dalam proses penerbitan buku tersebut pada tahun 1984. Menurut Max ia bersama Aristides Katoppo dan beberapa orang lainnya menghadap Nugroho Notosusanto yang waktu itu jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Karena sang Menteri yang punya hajat menerbitkan buku, maka penerbitlah yang datang ke kantor Menteri untuk membicarakan hal ini. Mereka membawa beberapa foto yang akan digunakan sebagai ilustrasi buku tersebut dan meminta Pak Menteri untuk memilihnya. Karena foto pengibaran bendera merah putih tanggal 17 Agustus 1945 itu berukuran kecil, maka Nugroho Notosusanto meminta agar foto itu diperbesar. Karena diperbesar itu maka wajah Sukarno terpotong, demikian penuturan Max Riberu. Entah mana yang benar, Abdurrachman Surjomihardjo atau Max Riberu, wallahualam.

Senada dengan ilustrasi di atas terdapat kisah menarik dari Cekoslavia yang ditulis Milan Kundera (The Book of Laughter and Forgetting, Great Britain: Penguin, 1980). Bulan Februari 1948, pemimpin komunis Klement Gottwald keluar di balkon Istananya di Praha untuk berpidato di depan ratusan ribu warga yang berdesak-desak sampai Old Town Square. Gottwald didampingi oleh kamerad Clementis. Ketika itu salju turun dan udara sangat dingin, kepala Gottwald basah. Clementis membuka topinya dan memasangkan ke kepala Gottwald.

Bagian propaganda Partai segera membagikan ratusan ribu foto bersejarah itu ke seluruh negeri. Gottwald yang memakai topi didampingi seorang kamerad di balkon Istana berbicara kepada bangsa. Di atas balkon itu lahir sejarah Partai Komunis Cekoslovakia. Setiap murid tentu mengetahui foto tersebut melalui poster, museum dan buku-buku pelajaran sekolah.

Empat tahun kemudian, Clementis dituduh berkhianat kepada negara dan dihukum gantung. Partai segera menghapus namanya dari sejarah termasuk foto-fotonya. Sejak itu dalam foto resmi hanya Gottwald yang berdiri di atas balkon Istana. Di tempat Clementis berdiri hanya terlihat dinding Istana. Namun yang tetap tinggal adalah topi Clementis yang dipasang di kepala Gottwald.

(Disunting dari MILITERISASI SEJARAH INDONESIA: PERAN NASUTION Oleh Asvi Warman Adam. Tulisan di atas hanya sebuah catatan kaki)

Kepada Marhaen, PULANGLAH!!!

Sitor Situmorang
Dalam sebuah wawancara dengan wartawan Tempo, Sitor Situmorang mengungkapkan pandangannya seputar konflik kebudayaan antara Lekra dan Manikebu. Sitor ketika itu ikut menyeberang bergabung dengan Lekra menyerang Manikebu. Ketika ditanya mengenai alasannya terlibat dalam konflik kebudayaan itu :

“Begini. Konflik tahun 1965 itu sangat dipengaruhi oleh situasi dunia akibat perang dingin Amerika Serikat dan Soviet. Amerika ingin Indonesia memilih salah satunya. Bung Karno tidak mau. Lalu karena Bung Karno didukung oleh komunis Indonesia, Bung Karno dicap komunis. Itu akal-akalan mereka saja. Padahal Bung Karno ingin berjuang dalam garis nasionalis. Dia menunggalkan perlawanan bahwa yang bukan nasionalis itu imperialis. Intelektual muda waktu itu tak setuju dengan strategi Bung Karno. Mereka dimanfaatkan untuk melawan Soekarno. Manikebu itu disusupi CIA. Kami mendukung Bung Karno karena ideologinya jelas: nasionalis. Lalu mereka bilang Bung Karno itu pengekor komunis. Kami balik menyerang, kalau begitu kalian antek-antek Amerika.”

Ketika ditanya lebih lanjut, mengapa konflik politik ini dibawa dalam ranah kebudayaan Sitor menuturkan :
“Karena sastrawan itu bukan malaikat. Manusia, yang kebetulan sastrawan, tak boleh berlagak tak ada urusan dengan politik nasional. Kalau ada yang bilang sastrawan tak boleh berpolitik, itu omong kosong. Pramoedya besar bukan karena dia Lekra, tapi karena karyanya. Kami menghadapi tantangan imperialis, kami melawan. Bagi kami imperialis itu Amerika. Sebab Cina dan Soviet itu negara besar, tapi untuk dirinya sendiri”.

Dalam sebuah karyanya Sitor pernah menulis puisi tentang sebuah seruan, seruan untuk kembali kepada marhaen. Puisi yang mewakili pandangan politiknya ini penuh dengan suasana heroik dan semangat anti penindasan. Berikut ini adalah petikan puisi Bung Sitor yang berjudul Kembali Kepada Marhaen :

Kembali Kepada Marhen
Itulah seruan pertanda zaman :
Dalam Kemajuan, tandanya ada penyelewengan, bahwa
Berjuang itu lebih penting dari memungut hasil
Untuk mana semua harus diikhlaskan.
Ideologi adalah buah perkembangan masyarakat
Revolusi menjadi proses kehidupan rakyat.
Pemimpin lahir – sejak dari Multatuli
Karena penindasan maka menjadi
Kemerdekaan bangsa berakar kemerdekaan rakyat.
Kepada Marhaen kembalilah agar selamat
Tuntut dan tuntut dan laksanakan :
Landreform lalu bagi hasil, dewan perusahaan.
Inilah marhaenisme BUNG KARNO.
Dulu dan sekarang dan kemudian.
Suatu laporan bergaris dan bergairah.
Gerakan kemerdekaan heroik serta hidup – patriot yang pasrah.
Wahai pemimpin kepada Marhaen – Kembalilah

Seruan untuk kembali kepada Marhaen, seruan yang takkan lekang dimakan jaman. Mari kembali membela hak-hak Marhaen. Hak-hak rakyat tertindas yang digusur oleh kepentingan kelompok dan golongan tertentu.

Kepada Marhaen, PULANGLAH ! (Banteng-banteng Pulang Kandang).



bahan bacaan : Klik

Orang Asing

Di kulit tubuh itu ia temukan sebentuk gambar biru, dan orang asing itu berkata, “Aku pernah melupakan seseorang, tapi aku tak tahu setiap orang melupakan seseorang.”(ORANG ASING , Goenawan Mohamad, 2001).
pregnant women by Bridget (http://www.ncdv.org.uk/artsevent.html)
Orang asing itu hadir di sebuah sore, saat aku terburu-buru menutup kitab keraguan. Kuberi tanda pembatas padanya, sembilu yang memerah. Seperti senja yang lamat-lamat tenggelam, akupun gegas berkemas dan mencampakkan buntelan kabar lalu ke dalam rongga waktu yang terbelah seketika.

Orang asing itu selalu mengirimku sepotong fajar, bersama senyum di sudutnya. Dan aku merasakan sebuah kebangkitan, cakar-cakar lemah yang ingin mencari dahan yang kokoh untuk bertahan dari badai yang kian menerjang. Ia mampu menjadi perisai yang memelukku, menahan jutaan tombak yang rakus mencari mangsa.

Orang asing itu tak saja hadir di hatiku, tapi juga di kamarku. Ruang-ruang dingin kami hangatkan bersama canda, memancing laba-laba keluar dari sarangnya. Kami pindahkan gurun yang panas ke kamar ini, lalu kami berfartamorgana. Mencari oase-oase tak berpemilik, lalu kami curi dan sembunyikan. Hingga para musyafir sesat mencari Tuhannya.

Orang asing itu bukan lagi menjadi asing, walau kurasakan ada benda asing yang telah memasuki tubuhku. Ketika ia telah mengetuk hatiku dan memasukinya, ia juga mengetuk tubuhku. Kami menyalakan api unggun, mengusir keraguan. Dan tiang nyalanya menguasai ruangan, hingga kami tak lagi harus membungkus diri bersama logika. Cinta kami memerah.

Di waktu yang mulai tak lagi asing, ia menjadi kabar yang bergema di lorong-lorong panjang. Saat aku memanggilnya, gelap kian pucat dan ratusan kelelawar menyelamatkan diri. Lari dari murkaku. Lalu aku buka tingkap-tingkap langit dan kubakar doa-doaku. Asapnya menggetarkan langit, hingga hujan turun sepanjang musim. Membasahi pipiku dan tanah yang memerah. Gundukan cinta kami yang bernama nisan.

Di sudut kamar, aku merajut waktu. Belajar pada kesabaran sang laba-laba. Kami bersembunyi dalam kesunyian, tak saling menyapa. Sepertinya ia tersenyum padaku saat aku tak lagi terpaku pada hening yang lupa memberi nama. Dan aku harus sekian bulan lamanya berselimut dingin dalam kealpaan lalu.

Orang asing baru itu kini diam-diam hadir. Bukan di kamarku. Bersama tubuhlu yang kian memberat, aku mengandung anaknya. Anak kami. Orang asing baru yang akan menemani hariku walau mungkin akan menjadi tatapan sinis bagi mereka di luar sana.

Wahai Orang Asingku, aku akan pelihara dia dalam keterasingan sikap orang-orang yang mengasingkan diri dari ke alpaan.

sumber gambar klik

Teks Proklamasi Versi Pemuda 1945

“Bahwa dengan ini rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Segala badan-badan pemerintah yang ada, harus direbut oleh rakyat dari orang-orang asing yang masih mempertahankannya.” (sumber : Ayahku Maroeto Nitimihardjo, Mengungkap Rahasia Gerakan Kemerdekaan oleh Hadidjojo.)

Soekarni menyebut di dalam pertemuan di rumah Maeda, teks Proklamasi yang dibuat pemuda tidak disetujui karena isinya terlalu keras. Bunyinya adalah seperti di atas. Tentang teks proklamasi versi pemuda ditulis juga di dalam buku Adam Malik, namun tidak dijelaskan siapa yang membuatnya. Barangkali Soekarni bersama teman-teman Jawa timurnya yang ada di Jakarta. Mungkin juga Adam Malik atau dibuat oleh Husein, wakil pemuda dari Bayah (Husein inilah ternyata Tan Malaka yang asli).

Soekarno dengan memegang kertas putihnya mendapatkan kalimat pertama dari Soebardjo dan Hatta untuk sebuah pernyataan kemerdekaan suatu bangsa. Awalnya diberi judul Maklumat kemudian diganti dengan Proklamasi.

Masalah berikutnya adalah pada kalimat kedua. Kalimat kedua yang asli (versi pemuda) dianggap terlalu keras sehingga perlu diperlunak. Nishijima, seorang staff Maeda, meminta kalimat ini dirubah karena bisa menimbulkan pertumpahan darah yang tak perlu. Hingga akhirnya diperoleh rumusan Proklamasi seperti berikut :

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta

Mengapa dituliskan tahun 05? Di sini ditulis tahun 05 karena ini sesuai dengan tahun Jepang yang kala itu adalah tahun 2605.

Yang sangat menggelitik bila Proklamasi versi pemuda saat itu di bacakan kembali saat ini. Kaum pemuda bangkit berdiri dan bergerak untuk kembali dengan tegas menyatakan kemerdekaannya dan merebut badan-badan pemerintahan yang ada dari tangan asing. Dari campur tangan asing. Dari intervensi asing.

Sangat menggetarkan bila kita bisa berkata :
“Bahwa dengan ini rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Segala badan-badan pemerintah yang ada, harus direbut oleh rakyat dari orang-orang asing yang masih mempertahankannya.”

Wajar bung Karno pernah berkata dalam pidatonya di depan Kongres AS : “Kaki kami telah berada di jalan menuju demokrasi,” lalu melanjutkannya dengan, “Tetapi kami tidak ingin menipu diri sendiri dengan mengatakan bahwa kami telah menempuh seluruh jalan menuju demokrasi,” sambungnya.

Ia sangat sadar bahwa meskipun Indonesia selama bertahun-tahun sudah merdeka, tetapi kepentingan dari Neo-Kolonialisme dan Imperialisme masih terus bercokol di Indonesia. Bagi Soekarno ancaman bagi revolusi Indonesia sebenarnya tidak hanya datang dari luar tetapi muncul dari dalam negeri sendiri. Ia pernah mengatakan bahwa, ”salah satu tingkat dari Revolusi Indonesia adalah mengganyang musuh-musuh Revolusi.”

“Go To Hell With Your Aid.!" Mungkin harus menjadikan pidato Soekarno ini diulang-ulang di telinga pemimpin dan elit politik saat ini, setidaknya untuk mengasah nyalinya agar sedikit lebih berani. Kehancuran Industri Nasional, dan dominasi kuat modal asing di semua sektor kehidupan ekonomi betul-betul telah menempatkan bangsa Indonesia tidak ubahnya menjadi “Bangsa kuli.”

Mentalitas korup dan keinginan memperkaya diri sendiri ditengah kemelaratan dan kemiskinan massal yang melanda penduduk negeri ini, sudah menjadi budaya pejabat di negeri ini. Semoga kita bukan kian menikmati dan terbiasa menjadi bangsa kuli di negeri sendiri, apalagi kuli bagi kaum asing di negeri sendiri. Sebuah renungan bersama dari sebuah tulisan : http://politikana.com/baca/2009/04/23/penanaman-modal-asing memuat hal tragis :

Poster di bawah ini adalah, sebuah iklan mengenai ‘Republic of Indonesia,  pada tanggal 17 January 1969 di harian New York Times, Amerika Serikat. Dalam iklan itu ditulis murahnya harga buruh sebagai salah satu daya pemikat modal investasi asing. Kemudian ada juga pemanis, mengatakan sebagai salah satu negara di muka bumi yang sangat kaya dengan cadangan alamnya. We’re still not sure exactly how rich, only 5 % our country has been geologically prospected.
iklan mengenai ‘ Republic of Indonesia ‘ pada tanggal 17 January 1969 di harian New York Times, Amerika Serikat (sumber http://www.politikana.com/)
Sungguh kado yang indah bagi bangsa yang merayakan kemerdekaannya untuk ke 65 kalinya. Kemerdekaan yang terasa semu. Kemana mencari kemerdekaan untuk beribadah, lepas dari kelaparan, mendapatkan pendidikan seluas-luasnya, kepastian hukum, lepas dari "bom-bom" percobaan pemerintah?

Entahlah, menguap bersama keinginan menipu diri untuk tetap selalu berteriak merdeka.

sumber bacaan : Ayahku Maroeto Nitimihardjo, Mengungkap Rahasia Gerakan Kemerdekaan oleh Hadidjojo.

Ternyata Ada 3 Proklamasi di Indonesia (Kemerdekaan Bukan untuk Peragu)

Proklamasi 1945 di jalan Pegangsaan
Pagi itu di jalan Pegangsaan Timur, Jakarta, sudah dipenuhi dengan orang-orang yang berharap peristiwa besar akan terjadi. Jumat, 17 Agustus 1945, halaman rumah di jalan Pegangsaan Timur no.56 menjadi tempat berkumpulnya para pemuda. Sebuah tiang menjadi tatapan dan mereka berharap mimpinya akan berkibar di ujung tiang itu.

Seseorang memasuki halaman, lalu menuju ke dalam rumah. Sejenak ia mendapatkan keheningan, waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Lalu ia memasuki sebuah kamar dan mendapatinya sedang tertidur pulas. Pelan-pelan ia mengusap kaki seseorang yang terlihat lelah. Lelaki itu baru pulang pagi tadi dari Rengasdengklok.

Lelaki itu terbangun dan memandangnya. Senyumnya begitu lemah, terucap kata, "pating greges." Tamu yang disapanya memberikan obat, setelah memeriksa ada panas di tubuh lelaki yang dibangunkannya.

Dialah seorang dokter bernama dr. R. Soeharto, dan lelaki yang mengatakan dirinya tak enak badan itu adalah Soekarno. Lalu atas persetujuan Soekarno, sang dokter memberinya sebuah suntikan chinine-urethan intramusculair. Lalu Soekarno melanjutkan tidurnya sejenak.

Pukul 9.30 pagi, Soekarno terbangun, tubuhnya terlihat lebih sehat. Ketika berjumpa dengan sang dokter, ia meminta agar Hatta segera dipanggil untuk datang.

Dengan berpakaian rapi, mengenakan pakaian serba putih (celana lena putih dan kemeja putih) dengan potongan yang saat itu popular disebut sebagai "kemeja pimpinan" dengan bersaku empat, Soekarno menyambut Hatta dan segera menuju halaman depan rumahnya. Sebuah teks Proklamasi dibacakan.

Inilah sebuah pernyataan kemerdekaan yang sebelumnya di dalam pidatonya Soekarno ada mengatakan "...sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan tanah air di tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib di tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya..."

Puncak perjuangan yang pada akhirnya harus keluar dari mulut Soekarno, sebuah bukti sejarah bahwa ia memang layak mengambil posisi untuk menyatakan itu. Karena sebelum Proklamasi ini terjadi, sebelumnya juga sudah dibacakan dua proklamasi yaitu Proklamasi Gorontalo 23 Januari 1942 dan Proklamasi Cirebon 15 Agustus 1945. Namun kedua Proklamasi ini tidak diakui sebagai buah pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia dalam arti sebagai hari peringatan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Proklamasi Gorontalo 23 Januari 1942
Kekalahan Belanda oleh Jepang, pada Perang di Laut Jawa, membuatnya menjadi gelap mata. Gorontalo dibumi hanguskan yang dimulai pada tanggal 28 Desember 1941. Adalah seorang pemuda bernama Nani Wartabone (saat itu berumur 35 tahun) memimpin perjuangan rakyat Gorontalo dengan menangkapi para pejabat Belanda yang masih ada di Gorontalo.

Bergerak dari kampung-kampung di pinggiran kota Gorontalo seperti Suwawa, Kabila dan Tamalate, mereka bergerak mengepung kota Gorontalo. Hingga akhirnya Komandan Detasemen Veld Politie WC Romer dan beberapa kepala jawatan yang ada di Gorontalo menyerah takluk pada pukul 5 subuh.

Dengan sebuah keyakinan yang tinggi, pada pukul 10 pagi Nani Wartabone memimpin langsung upacara pengibaran bendera Merah Putih di halaman Kantor Pos Gorontalo. Dan dihadapan massa yang berkumpul, ia berkata :

"Pada hari ini, tanggal 23 Januari 1942, kita bangsa Indonesia yang berada di sini sudah merdeka bebas, lepas dan penjajahan bangsa mana pun juga. Bendera kita yaitu Merah Putih, lagu kebangsaan kita adalah Indonesia Raya. Pemerintahan Belanda sudah diambil oleh Pemerintah Nasional. Agar tetap menjaga keamanan dan ketertiban."

Selanjutnya Nani Wartabone mengumpulkan rakyat dalam sebuah rapat akbar (layaknya peristiwa lapangan Ikada) di Tanah Lapang Besar Gorontalo untuk menegaskan kembali kemerdekaan yang sudah diproklamasikan.

Namun sayangnya ketika Jepang mendarat di Gorontalo, 26 Februari 1942, Jepang melarang pengibaran bendera Merah Putih dan memaksa rakyat Gorontalo untuk takluk tanpas syarat kepada Jepang.

Kisah Nani Wartabone terlalu panjang untuk diungkapan, walau ia di masa Jepang mengalami patah semangat ketika Jepang tak mau diajak berkompromi hingga akhirnya ia kembali ke kampung halamannya di Suwawa dan hidup sebagai petani.

Saat kekalahan Jepang oleh Sekutu, Jepang bersikap lain. Sang Saka Merah Putih diijinkan berkibar di Gorontalo dan Jepang menyerahkan pemerintahan Gorontalo kepada Nani Wartabone pada tanggal 16 Agustus 1945. Sementara rakyat Gorontalo baru mengetahui telah terjadi Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta pada tanggal 28 Agustus 1945.

Nani Wartabone memimpin Gorontalo untuk masa-masa kelam berikutnya, menghadapi pasukan Belanda yang membonceng Sekutu. Dalam sebuah perundingan di sebuah kapal perang sekutu pada tanggal 30 November 1945, Belanda menangkap dan menawannya. Ia dibawa ke Manado dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara atas tuduhan makar pada tanggal 23 Januari 1942 yaitu Proklamasi yang dibacakannya.

Namun di waktu yang berjalan, kekalahan sekutu mengubah nasibnya kelak. Ia kembali ke Gorontalo pada tanggal 2 Februari 1950. Nani Wartabone pada tanggal 6 April 1950 menolak RIS dan memilih bergabung dengan NKRI. Untuk beberapa waktu ia dipercaya sebagai kepala pemerintahan di Gorontalo, hingga Penjabat Kepala Daerah Sulawesi Utara, dan anggota DPRD Sulawesi Utara. Selanjutnya ia memilih untuk kembali tinggal dan bertani di desanya di Suwawa.

Tapi itu juga tak berlangsung lama. Letkol Ventje Sumual dan kawan-kawannya memproklamasikan pemerintahan PRRI/PERMESTA di Manado pada bulan Maret 1957. Ia terpanggil kembali untuk melawan. Namun perlawanan tak seimbang, karena pasukan Nani Wartabone kekurangan persenjataan, hingga mereka memilih untuk bergerilya di dalam hutan, sekedar menghindar dari sergapan tentara PRRI/PERMESTA.

Pada bulan Ramadhan 1958 datanglah bantuan pasukan tentara dari Batalyon 512 Brawijaya yang dipimpin oleh Kapten Acub Zaenal dan pasukan dari Detasemen 1 Batalyon 715 Hasanuddin yang dipimpin oleh Kapten Piola Isa. Bersama pasukan-pasukan dari pusat inilah mereka berhasil merebut kembali pemerintahan di Gorontalo dari tangan PRRI/PERMESTA pada pertengahan Juni 1958.

Perjalanan panjang ini melahirkan sebuah penghargaan yang mungkin dapat dikenang akan kesederhanaan sang petani, kesahajaan dan jiwa patriotiknya. Baru pada jaman Presiden Megawatilah, pada tanggal 7 November 2003, diserahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Nani Wartabone melalui ahli warisnya yang diwakili oleh salah seorang anak laki-lakinya, Hi Fauzi Wartabone (dikarenakan beliau telah tutup usia pada tanggal 3 Januari 1986) di Istana Negara,. Wartabone ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 085/TK/Tahun 2003 tertanggal 6 November 2003.

Proklamasi Cirebon 15 Agustus 1945

Kekalahan Jepang tinggal menghitung hari saja, setelah dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Namun karena Jakarta tidak termasuk jalur perang Jepang dengan Sekutu, maka yang terlihat kekuatan bala tentara Jepang masih utuh.

Suasana Jakarta tetap mencekam bagi para kelompok pergerakan. Ada 4 kelompok illegal menurut Maroeto Nitimihardjo yang tampak saat itu, yaitu kelompok Soekarni, Kelompok Sjahrir, Kelompok Mahasiswa dan Kelompk Kaigun.

Kelompok-kelompok itu mendengar Sjahrir meminta Soekarno dan Hatta untuk mempercepat pernyataan Proklamasi sekembalinya Soekarno dan Hatta dari perundingan di Dalat, Saigon dengan Marsekal Terauchi, wakil kaisar Jepang. Namun Soekarno masih menunggu kepastian dari Laksmana Maeda tentang hal kekalahan Jepang tersebut

Hal ini membuat kelompok-kelompok illegal itu marah dikarenakan mereka melihat keraguan Sjahrir selama ini untuk menjalankan kesepakatan bahwa Sjahrirlah yang harus siap memimpin kemerdekaan dikarenakan ia bersih dari pengaruh Jepang. Hingga membuat kelompok-kelompok illegal ini, tidak termasuk Sjahrir bergerak cepat.

Terjadi beberapa pertemuan antara lain di Jalan Cikini Raya 71, di Lembaga Ecykman dan di Laboratorium Mikrobiologi (di samping pasar Cikini). Wikana dan dr. Darwis ditugaskan untuk mendesak langsung Soekarno-Hatta (tanpa perantara Sjahrir) untuk memproklamirkan kemerdekaan yang berujung dengan "penculikan" atau membawa Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Gerak cepat yang tak ragu-ragu ini akhirnya melahirkan sebuah peristiwa di pagi hari di tanggal 17 Agutus 1945 sebagai hari kemerdekaan.

Di waktu yang berjalan cepat dalam ketidak pastian peristiwa, seorang bernama dr.Soedarsono (ayah dari Juwono Soedarsono) datang bertemu Maroeto Nitimihardjo (seperti pengakuannnya di buku berjudul "Ayahku Maroeto Nitimihardjo Mengungkap Rahasia Gerakan Kemerdekaan" karangan Hadidjojo, anak Maroeto) di sebuah ‘pengungsian' bagi istri dan anaknya yaitu di desa Perapatan, sebelah barat Palimanan, 30 km jauhnya dari Cirebon tempat dr.Soedarsono berasal. Dr.Soedarsono meminta teks Proklamasi yang dibuat Sjahrir yang katanya dititipkan pada Maroeto. Namun Maroeto menyatakan tidak ada.

Hingga dr.Soedarsono menjadi berang dan berkata, "Saya sudah bersepeda 60 kilometer hanya untuk mendengar, Sjahrir tidak berbuat apa-apa. Katakan kepada Sjahrir, saya akan membuat proklamasi di Cirebon."

Dan akhirnya terkabarlah bahwa Proklamasi itu dibuat dan dibacakan oleh dr.Soedarsono pada pagi hari tanggal 16 Agustus 1945 di alun-alun Cirebon yang dihadiri sekitar 150 orang. Sehari sebelum Soekarno membacakan Proklamasi di penggangsaan Timur 56 Jakarta.

Namun kisah yang dipaparkan Maroeto berbeda dengan kisah yang diungkap oleh Des Alwi, anak angkat Sjahrir. Menurutnya, teks proklamasi yang dibacakan Soedarsono adalah hasil karya Sjahrir dan aktivis gerakan bawah tanah lainnya yang melibatkan Soekarni, Chaerul Saleh, Eri Sudewo, Johan Nur, dan Abu Bakar Lubis. Penyusunan teks dilakukan di Asrama Prapatan Nomor 10, Jakarta, pada 13 Agustus 1945. Asrama Prapatan kala itu sering dijadikan tempat nongkrong para anggota gerakan bawah tanah.

Ada sebaris teks proklamasi yang diingat oleh Des Alwi yaitu : "Kami bangsa Indonesia dengan ini memproklamirkan kemerdekaan Indonesia karena kami tak mau dijajah dengan siapa pun juga.

Hal ini dikuatkan dalam sebuah buku berjudul Sjahrir yang dikarang oleh Rudolf Mrazek yang mengatakan bahwa teks proklamasi yang dibacakan oleh dr.Soedarsono diketik sepanjang 300 kata. Namun Sjahrir mengatakan kehilangan teks proklamasi yang disimpannya.

Waktu yang akan membeberkannya, karena dokumentasi Proklamasi Cirebon 15 Agustus 1945 juga tak ada. Maroeto juga ada menceritakan, di suatu kesempatan dr.Soedarsono selalu ketawa bila tentang kisah Proklamasi di Cirebon itu ditanyakan, apalagi bila ditanyakan bunyi proklamasinya. Bahkan dr.Soedarsono menceritakan bahwa Mr. Jusuf, seorang anggota PKI lama yang beristrikan seorang wanita Belanda juga membuat proklamasi di Indramayu, suatu kabupaten dekat Cirebon. Namun dr.Soedarsono tidak menjelaskan kapan Mr. Jusuf membacakan proklamasinya. Bila hal ini benar, maka Maroeto mengatakan bahwa di bulan Agustus 1945 ada 3 Proklamasi yang dibacakan.

Kemerdekaan bukan untuk peragu

Saat itu ada 3 tokoh pula yang dikenal mampu menyatakan kemerdekaan bangsa ini. Selain Soekarno-Hatta, ada Tan Malaka dan Sjahrir yang dapat memimpin kemerdekaan negeri ini. Namun Tan Malaka saat itu entah ada di mana, karena tidak ada kontak, tidak tahu harus menghubungi siapa, karena sebenarnya Tan Malaka pun siap melakukan apa saja demi Kemerdekaan. Tan Malaka harus sembunyi dari intaian inteljen Jepang (Kempetai) dan Polisi rahasia Hindia Belanda.

Sama halnya dengan Sjahrir yang sebenarnya sudah jauh hari disepakati akan memimpin kemerdekaan oleh kelompok-kelompok pemuda radikal, tiba-tiba ia terlihat gamang. Ia menolak memimpin kemerdekaan, hingga harus berdebat dan memaksa Soekarno yang menyatakan. Namun sayang malam itu, tanggal 16 Agustus 1945, di rumah Maroeto bersama pimpinan kelompok pemuda lainnya sepertti Adam Malik, Pandu Kartawiguna, Kusnaeni, Chaerul Saleh ternyata Sjahrir memilih pulang duluan. Padahal mereka menunggu hasil laporan Soekarni dan Soebardjo dari Rengasdengklok. Sjahrir pulang lebih dahulu, karena dia menganggap sudah terlalu malam dan tak mungkin upaya "penculikan" hingga ke Rengasdengklok akan berhasil membujuk Soekarno-Hatta.

Namun seperti kata Maroeto (dari buku Ayahku Maroeto Nitimihardjo Mengungkap Rahasia Gerakan Kemerdekaan" halaman 97) ternyata sejarah menyatakan lain. Proklamasi memang sudah "milik" Soekarno-Hatta. Karena esoknya, pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno membacakan Proklamasi. Sementara saat itu Sjahrir baru bangun dari tidur di rumahnya, di jalan Maluku, Menteng, Jakarta.

Kemerdekaan ternyata bukan milik kaum peragu. Begitu beraninya Nani Wartabone, Dr.Soedarsono, Mr. Jusuf dan Soekarno-Hatta dalam mengambil sikap demi kemerdekaan yang dicita-citakan bersama. Seharusnya begitu pulalah sikap anak-anak bangsa ini dalam mempertahankan kemerdekaan dan mengisinya. Bukan sekedar hanya memimpikan perubahan dan hanya menunggu. Mari bangkit segera, jangan ragu kawan!

Sumber bacaan :
Ayahku Maroeto Nitimihardjo, Mengungkap Rahasia Gerakan Kemerdekaan (Hadidjojo, 2009)
Bung Karno, Serpihan Sejarah yang Tercecer (Roso Daras, 2009)
Nani Wartabone oleh Historica90

Cangkul Soekarno

Ini Cangkulku, Mana Cangkulmu?
Pada perayaan 17 Agustus 1964, kali itu terlihat agak lain, agak unik. Pada saat itu yang menjadi salah satu pasukan pengibar bendera pusaka (paskibra) adalah Megawati Soekarnoputri, anaknya Soekarno.

Dan hal yang unik juga pernah terjadi ketika memperingati perayaan 17 Agustus 1961 di Istana Merdeka, terlihat saat itu Presiden Soekarno didampingi dua putrinya yaitu Rachmawati dan Sukmawati, sedang membuka peti Bendera untuk diserahkan kepada seorang Paskibraka.

Presiden Soekarno didampingi dua putrinya yaitu Rachmawati dan Sukmawati,
pada perayaan 17 Agustus 1961 di Istana Merdeka
Peringatan 17 Agustus di jaman Soekarno selalu ditunggu-tunggu, karena Soekarno biasanya akan berpidato berapi-api. Semua menunggu seruan apa lagi yang akan disampaikan.

Pada setiap peringatan 17 Agustus, Soekarno selalu meninggalkan perenungan, pidato-pidatonya menjadi asupan bagi penyemangat kaum-kaum merdeka. Semua pidato diberi judul, karena ia tahu kata-kata adalah juga senjata untuk menggerakkan rakyat.

Ada 22 kali Soekarno berpidato di setiap peringatan 17 Agustus, diawali dengan berpidato di peringatan 17 Agustus 1945 dan diakhiri 17 Agustus 1966. Hanya saja pidato yang pertama tak berjudul yaitu di tahun 1945, namun cukuplah kita katakan sebagai pernyataan Kemerdekaan bangsa.

Beberapa Pidato 17 Agustus oleh Soekarno diberi judul :
Dari Sabang sampai Merauke ( 1950 ),
Capailah Tata Tenteram Kerta Raharja ( 1951 ),
Harapan dan Keyataan ( 1952 ),
Jadilah Alat Sejarah ( 1953 ),
Berirama dengan Kodrat ( 1954 ),
Tetap Terbanglah Rajawali ( 1955 ),
Berilah isi kepada hidupmu ( 1956 ),
Satu Tahun Ketentuan ( 1957)
Tahun Tantangan ( 1958 ),
Penemuan kembali revolusi kita ( 1959 ),
Laksana malaikat yang menyerbu dari langit, Jalannya revolusi kita, ( Jarek ) ( 1960)
Resopim ( 1961 )
Tahun kemenangan ( Takem ) ( 1962 ),
Genta Suara Republik Indonesia ( Gesuri ) ( 1963 ),
Tahun Vivere Pericoloso ( Tavip ) ( 1964 ),
Capailah Bintang - bintang di langit ( 1965 )
Jangan Sekali-kali meninggalkan Sejarah ( 1966 ).

Selama 22 kali berpidato dalam peringatan 17 Agustus, Soekarno tidak selalu membacakan pidato di depan tangga Istana Merdeka. Pernah 4 kali di dalam Gedung Agung (1946-1949), yaitu istana kepresidenan selama ibukota RI di Yogyakarta. Pernah juga di Lapangan Ikada (sekarang silang Monas). Pernah juga di Stadion Gelora Bung Karno (17 Agustus 1965), dan selebihnya di tangga atau halaman Istana Merdeka.

Bila mengingatnya, seakan menjadi bacaan berseri. Seri kemerdekaan, tahapan-tahapan yang menuntun kita menuju revolusi yang terus bergulir, perubahan-perubahan yang harus cepat dilakukan. Seperti di suatu ketika di 17 Agustus 1962 Bung Karno berkata revolusi Indonesia sekarang sudah naik kepada tingkat self propelling growth : Kita maju atas dasar kemajuan! Kita mekar atas dasar kemekaran!
Dan aku tambahkan, kita maju atas dasar KEMAUAN.

Bagaimana bangsa ini bisa mekar dan maju, bila tak ada lagi kemauan. Dimulai dari kemauan pemimpin yang seharusnya mampu menggetarkan bangunan kesombongan bangsa. Bangsa yang menurut Mochtar Lubis adalah bangsa yang memiliki ciri-ciri :

1. Hipokrit, senang berpura-pura, lain di muka lain di belakang, suka menyembunyikan yang dikehendaki, karena takut mendapat ganjaran yang merugikan dirinya.
2. Segan dan enggan bertanggungjawab atas perbuatannya, putusan dan pikirannya. Atau sering mengalihkan tanggungjawab tentang sesuatu kesalahan dan kegagalan kepada orang lain.
3. Berjiwa feodalis, senang memperhamba pihak yang lemah, senang dipuji, serta takut dan tidak suka dikritik.
4. Percaya pada takhyul dan senang mengkeramatkan sesuatu.
5. Berjiwa artistik dan sangat dekat dengan alam.
6. Mempunyai watak yang lemah serta kurang kuat mempertahankan keyakinannya sekalipun keyakinannya itu benar. Suka meniru.
7. Kurang sabar, cepat cemburu dan dengki.

Hanya 1 ciri yang baik. Selebihnya, mari kita babat habis dan kubur dalam-dalam wajah jelek bangsa Indonesia itu. Kita kubur budaya korupsi yang sudah mengakar, kita kubur pembodohan oleh sistem-sistem yang ada, kita kubur niat-niat separatis. Atas dasar apapun, negara ini diperjuangkan bukan untuk sekelompok orang atau sekelompok pemeluk agama bahkan bukan untuk sekelompok kepentingan politiknya.

Soekarno pun menuliskan pidato-pidatonya dengan menggali dari sejarah dan menatap hari depan dengan mata elangnya. Mari belajar pada masa lalu, belajar pada cita-cita pendiri negeri ini, niscaya keyakinan kita menjadi satu. Bangsa ini memerlukan perubahan, bukan hanya sekedar memerlukan pemimpin.

Ini cangkulku, mana cangkulmu. Mari kita gali sejarah dan belajar padanya.
sumber gambar : catatan kecil ardiansyah