Friday 28 March 2003

Memento Mori

oleh sitok srengenge

Pada parasmu yang pucat
kubaca gurat isyarat:
cambuk angin
musim dingin,
perusuh yang kembali
dengan sisa dengki laskar Stasi

Cahaya terkubur di kota yang tisur,
anak-anak dan perempuan dari Timur
mimpi sekerat roti dan seteguk anggur

Sungguh, kausuguhkan padaku
malam itu:
letus tulang di tungku krematorium
dan kuntum-kuntum gandum yang alum

Selebihnya selingkup selimut,
selembut dan selembab kabut
digetar guruh yang meronta
jauh di relung hutan cemara

Dan kita pun tiarap,
dan napas pun tersekap
Kamar jadi sesunyi ruang kremasi
lenguh luluh terpanggang api birahi

Di balik matamu yang terpejam,
seorang perempuan membakar Mein Kampf diam-diam
Kata-kata perkasa si Fuhrer lantak ke dalam sekam,
seperti bara tubuhmu yang gemeretak padam
Sejarah, remah, gairah, kembali susut ke tanah,
tempat awal dan akhir langkah bertaut di satu noktah

“Bahkan kau yang berjalan dengan khayal
kelak istirah di sebuah negeri oriental:
sejenak jiwa
di sejengkal Jawa.
Tapi sukmaku akan senantiasa mengembara
mencari tanah yang dijanjikan, entah di mana.”

Selapang yang kaubayangkan, ribuan mil,
terbentang antara Eifrat dan Nil
Tapi kaummu merebut,
tapi kaummu terenggut

Burung-burung
lintas di remang bayang gedung,
tapi kaulihat diri sendiri, gamang di kegelapan
bicara dalam bahasa orang Selatan

Langit bagai telungkup nyiru
dengan geletar cahaya sohal
“Aku ingin kembali, Ibu.
Anakmu masih bocah nakal.”

1997
(Dikutip dari Nonsens, Kalam & KITLV, Jakarta, 2000, hal. 104-106)

Sajak Buah-buahan

oleh Saut Situmorang

seorang raja dengan kepala jambu monyet kuping jengkol
sedang ngisap ganja
sebesar M-16 yang diimpor dari Amerika
dalam lemari besi berkaca besi
yang tergantung di dinding kamar mandi istana kerajaan

betapa menyedihkan

laba laba main layangan
di kepala dan kuping yang sudah terlalu masak betul itu
dan lalat lalat hijau loreng loreng
main sembunyi sembunyian di kedua
lobang hidungnya yang mirip lobang kakus berjamur
dari mana menetes lahar berbau amonia

ini adalah sebuah sajak sentimental
yang ingin sekali kelak jadi kekal

seorang raja dengan kepala jambu monyet kuping jengkol
sedang jongkok semedi di sehelai daun keladi
yang terapung di air kuning kencing di bak mandi
monyet monyet berbulu hijau loreng loreng
tegak berdiri mengelilinginya
sambil masturbasi

betapa menyedihkan

di luar
tergantung di pintu

sebuah pengumuman: JANGAN DIGANGGU!
ATAU KULIBAS KAU!!!

Tertanam di Jalan Tak Bertuan

Diriku masih tertanam di jalan tak bertuan, di bawah lintasan mentari yang menatap heran. Saat pagi membisikkan fajar bersama embun-embun memahkotai hidup bermula, udara dingin hantar kabar akan datangnya dirimu lalui sepi jalan ini. Setidaknya aku masih bisa menatapmu, sebelum engkau pergi ke sebuah perigi di tepi hutan melepas bau malam. Ohhh….. ku ingin tatap keluguan wajah pagi di air mukamu, pesona yang terlukis memerah di langit sejak tadi.

Tapi diriku masih tertanam di jalanan tak berujung bersama ilalang bergoyang sendu. Bukan oleh tangis rinduku, tapi teriknya mentari kian tawai ketololanku. Menghujam akal lahirkan bayang-bayang kelam yang menyembah. Waktu pupuki harap, walau diri kian kerontang pada cemas yang menjalar kian liar. Seonggok hati dustai akal, mungkin di siang hari, sang puan akan lalui jalan ini. Jinjing sebakul penganan untuk ayah di huma nanti. Ketika pagi ingkari janji, siang mungkin kabulkan ingin. Aromanya tegas menantang ragu. Semoga wajah di mimpi hadir di saat-saat ini.

Kian diriku tertanam di jalan ini, hari berduka pada gundah yang telah pecah meleleh kotori akal sehat. Muak pada ketololanku, mentari bunuh diri. Menenggelamkan diri di samudera tanda tanya. Untuk waktu yang berjalan bersama ajal, penantian bagaikan bintang yang berkerlip satu-satu. Kian lama kian samar menghilang di kegelapan. Pekatnya ragu terburai menjadi serpihan-serpihan tak terejakan. Tapi ku masih menantinya, berharap engkau lalui jalan ini setelah lelah bekerja di huma di kaki bukit sana. Nyala obor akan tuntun hatimu padaku. Atau kunang-kunang akan tunjukan jalan berpulang laluiku. Lalui seonggok daging yang kian menua ditemani belatung-belatung jinak yang masih menyisakan sekerat hati, mereka enggan menyantapnya. Oleh racun cinta yang tertanam di dalamnya.

Tubuhku tertanam di jalan tak berujung. Akan tetap menjadi kubur tandai jasadku bermukim. Akankah engkau tahu itu? Ketika hari telah kulahap habis akan penantian, di sini pula kubenamkan diri saat cinta bodohi aku. Mungkin ku tak bercermin pada danau peristiwa. Di harimu banyak jiwa sepertiku, yang juga berharap padamu. Ku hanya tubuh kerdil di antara jaman yang kian menggilas. Seperti janji ku dulu, ku nanti kau di sini walau tubuh berkalang tanah. Timbunan cinta akan kebodohan.

16/03/2003

Monday 24 March 2003

setengah telanjang

di waktu hari bergaun hitam ketika bulan samar di cahayanya yang tinggal lima watt, aku setengah telanjang. antara kerinduan dan keraguan. seperti ucap berbekas dari mulutmu, "free to love and love to free." kelak udara kian malam kian berpusar tanpa arah, lelah termangu di titik menuju kutub-kutub yang menganga.

kesadaran datang terlambat, saat kusir tertidur lelah dilarikan kuda-kuda nan binal. kuakui pikiranmu sungguh merdeka, bagai coretan-coretan dinding sejuta huruf. terus menerus aku memenjarakan ingin dan kini tumbuh bisul-bisul hitam di dada. benih-benih yang terus meracuni, mungkin kelak akan pecah satu persatu sebagai perih-perih. atau mungkin berdentang bagai bunyi detik-detik sebelum tahun kemenangan datang. ini kekal tersamar sebagai apa?

tempatku meragu kini hanyalah dinding empat sisi. tempatku merindu hanyalah dering yang kunanti. kunikmati tanya di atas tipisnya kesadaran diri. selimut sejarah membalut tubuh setengah telanjang antara kerinduan dan keraguan. kapan kau kan berkata "bila kau tak merindu usah ganggu malamku." ohh betinaku..... usah malu, aku menanti suaramu untuk dering pertamamu. setelah jariku lelah sekian lama menyentuh milikmu. aku menantikan tawamu yang nakal.

tigakaliempat24maret2003

Sunday 23 March 2003

Lupa yang Binal

“Kau masih ingat hal yang terindah di bulan ini?”
“Terindah seperti apa?”
“Hmm….. saat ada yang menyatakan cintanya padamu.”
“Wah, kalau itu ada banyak sejarah. Tujuh pejantan mengucap cintanya.”
“Tujuh? Sepertinya aku baru belajar berhitung….. Kau ingat, di bulan seperti saat ini, aku ada nyatakan cintaku padamu?”
“Kamu? Yang benar?….. aku lupa. Hihihi…… sory ya sayangku. Aku lupa. Suer!”
“Sialan! Padahal saat itu aku hampir mati mengatakannya.”
“Kok sampai niat mati? Takut ku tolak ya. Dasar penakut!”
“Saat-saat seperti itu, wanita punya kuasa. Menerima atau menolak pria menjadi kekasihnya.”
“Bersoraklah hai putri Sion. Kau tercipta menjadi kaum-kaum tuhan. Ya, tuhan berkelamin betina. Menciptakan mahluk bernama kekasih.”
“Saat itu, aku menyatakannya di telepon, ingat?”
“Hmmm….. kapan ya? Aku lupa nih….. sekali lagi sory ya say.”
“Bodat! Malam itu tanggal 13, ya sama bulannya seperti saat ini.”
“Lagian nembak di telepon. Mau yang praktis aja. Kamu nggak jantan. Mungkin itu sebabnya aku lupa.”
“Dan kau tahu jawaban yang ku terima dari mu?”
“Sudah aku bilang, tanggalnya saja aku lupa. Apa lagi isi rayuanmu.”
“Aku bilang aku sayang kamu. Dan aku tanya maukah kau jadi pacarku?”
“Terus aku jawab apa?”
”Kamu tidak jawab apa-apa. Karena aku pun saat itu punya ultimatum. Andai kau menolakku, tak usah jawab bahwa kau menolakkku. Aku tak mau mendengar kata penolakkan. Biar entah kapan itu, ku ingin mendengar hanya kata iya.”
“Terus, kapan aku jawab iya?”
“Kau juga lupa?”

Belum sempat wanita itu menjawab, ponselnya berdering. Ia bangkit dari pelukan lelaki yang telah menelanjanginya. Duduk di tepian tempat tidur yang mengeluarkan suara reotnya. Dadanya yang bulat berdegup kencang, di layar ia melihat nama seseorang, penelepon. Kemudian suaranya yang berat.

“Halo sayang….”
“Ya sayang. Ada apa?”
“Kamu malam ini tidak pulang?”
“Wah, sepertinya tidak Pa. Aku ada di Bandung, ada urusan dinas. Besok aku pulang. Papa sudah makan kan?”
“Sudah. Oke deh. Hati-hati ya. Papa sayang mama. Have a nice dream.”

Klik……..

Tubuh polos lelaki itu kian memerah. Cemburu. Birahi. Dipeluknya tubuh wanita itu. Di dada, di bawah pinggang. Mereka pasrah pada malam yang membawa aroma terkutuk. Sudah dikutuk sejak berabad-abad jantan dan betina saling memikat. Di ranjang reot yang bernyanyi sumbang, lahirlah nada-nada patah. Nafas-nafas yang saling memburu mengejar titik merah yang berpendar tanpa malu-malu. Karena kemaluan mereka tak lagi lugu dan malu-malu, telah saling menyapa. Dan di sekian waktu yang telah terbakar, wanita itu membisikan sesuatu.

“Aku ingat semua. Tanggal 13 di bulan seperti ini kau nyatakan cintamu. Dan tanggal 31 di bulan seperti ini, aku akhirnya nyatakan iya,” kata wanita itu sambil menelan ludah. Ada nada kepuasan.
“Kau nyatakan iya, setelah aku mengalahkan mu di malam itu. Ya, kepuasan atas ingatan di ranjang ini juga.”

jakarta,10maret2003

Untuk Betinaku

Betinaku,
ku jatuh dalam cengkramanmu
Cakar yang ganas tertancap dalam
di jiwaku, di cintaku, jangan lepaskan lagi
Ukir saja namamu di kulitku
dan darahnya minuman malammu

Betinaku,
ku jatuh dalam cengkramanmu
Ku tak berontak, mata tak berpaling
pesonamu bagai fajar milik sang pagi
Cumbu erat bibirku, isap habis galauku
agar tak ada lagi ragu di hatiku
dan lukaku hanya untukmu

Betinaku,
ku jatuh dalam cengkramanmu
Di tepi liang kubur yang kugali sendiri
Kita tuntaskan permainan ini
sebelum kau koyak dadaku
dan tubuh tertidur pulas di peraduan ajalku
Bersama dirimu yang berlalu
Menggenggam seonggok hatiku

jakarta,16maret2003

Ingat Kota

Engkau saat ini ada di kotaku
mungkin sedang kau nikmati malam yang nyinyir
sok dewasa menjadi kembar kerlip metropolitan
Aku tak sempat menitip pesan
Bukan pada ibu dan ayah di depan jendela
karena di dinding hanya ada tiga pigura. Yang dua
telah lama diturunkan. Aku. Dan adik yang hilang
di antara mimpi-mimpi revolusi kaum miskin

Aku hanya ingin kau lihat :
di etalase itu, masih adakah gaun pengantin wanita?
Mungkin sudah usang, terlipat di sudut lemarinya
setelah ada noda merah di sudut kiri
dan bercak putih itu bukan muntahku

Aku hanya ingin kau lihat :
di sudut perkuburan itu ada sepetak tanah, pasti masih rata
tapi nisannya bertuliskan aku. Galilah.
Akan kau temukan gambarku

Engkau saat ini ada di kotaku
yang dulu ramah kini membakar janji
yang memperanakkanku tak menanti kabar
seperti kota lupa diri

jakarta,11maret2003

Anjing, Kucing dan Berahi Betinaku

Aku bingung menamakan apa semua ini, ketika rumahku tak hanya berpenghuni manusia. Yang bernama anjing dan kucing punya andil makan, berak dan kencing. Yang bernama gonggong dan meong dengan beraninya ganggu mimpiku dan malah usik senggama malamku. Kakiku tak mampu beranjak memijak lantai, iblis betinaku akan menerkam kian rakus. “Sudahlah, mereka itu kan hanya anjing dan kucing. Kita selesaikan saja permainan kita.”

Sejak aku ijinkan pintu rumah dimasuki oleh kucing milik istriku dan anjing milik putraku, yang bernama tikus tak berani muncul. Pencolengan di waktu sunyi tiada lagi. Mahluk kotor yang bersembunyi di celah-celah tatanan kemapanan ruang rumah nan nyaman, menjadi ciut oleh hakim-hakim alam. Rantai makanan menjadi abadi. Peristiwa makan-memakan bukan barbar.

Tapi kini, anjing dan kucing bukan lagi binatang manis. Istri dan putraku terlalu menyayangi masing-masing peliharaannya. Jadilah mereka kaum-kaum berkuasa. Kaum-kaum pecemburu. Terkam menerkam jadi agung dan kian biasa. Aahhhh…. Rumahku jadi sarang-sarang perusuh dan mereka berdiri gagah bertameng istri dan putraku. Bertameng atas nama dan milik siapa. Bersandar pada logika-logika entah menuju ke laut mana. Berputar di sisi kebenaran masing-masing. Aku kian pening oleh arusnya.

Dan malam ini, saat istriku kian birahi di malam saat bulan tersenyum bugil, anjing dan kucing bertarung di arena penciptaan diri. Ohhh….. ributnya engkau binatang jalang. Serta merta aku bangkit, di saat tubuh telanjangku ditutup oleh gelapnya kamar. Tapi tangan betinaku menarik kembali tubuhku ke pelukannya. “Mereka hanya binatang. Biarkan mereka berdebat di alamnya, bermimpi di kuasanya.”

Aku tergeletak pasrah, saat mataku membentur sekelebat bayangan di balik tubuh putih istriku yang duduk di atas selangkanganku. Di dinding ada iringan tikus-tikus pencoleng yang bebas berlari ke sana ke mari menjarah negeri kecilku. Tingkah lakunya tak asing, biadabnya tak ragu di tiap waktu.
Ke mana engkau eksekutorku?

jakarta,10maret2003

Tuesday 18 March 2003

Di Mimpi Ada Cerita

Di mimpi ada cerita,
sungai mengalir deras menderu
Botol yang pecah mencium batu berlumut
Secarik pesan lenyap pada pusaran,
hingga kata-kata karam tak berlabuh di hatimu

Di mimpi ada cerita,
laut yang menjilati pantai
sementara surya mati terbelah dua
Tenggelam di teduhnya rahasiamu
saat kelam mencari bentuk
diriku hanyalah bayangan tak menarik pandangmu

Di mimpi ada cerita,
jalan becek oleh duka semusim
Walaupun bumi lama mengeringkan diri
tapak tak kan lekang oleh angin
Kelak ajal mencium jejak
sebelum bibirku sempat singgah di kakimu

Di mimpiku ada cerita,
ada hayal pingit doa-doa
Ketika mulut kian berbusa oleh pinta-pinta
Cinta telah racuni tubuh
Ku kian dungu olehnya

15maret2003

Saturday 8 March 2003

Cinta Itu Membebaskan Cinta

Ketika angin berlari menuruni bukit, sepasang kaki tua masih melangkah di antara ilalang. Jubah putihnya melambai pelan oleh sentuhan tangan-tangan usil milik sang angin yang berkejaran di antara kedua kakinya. Tongkat kayu penuntun langkah berjalan di depan, menyentuh bebatuan dan padang nan luas. Matanya cekung menatap arah, sinar matahari masih pongah tersenyum. Kening yang basah oleh bulir keringat sedikit mengernyit, menampakkan guratan milik sang wajah tua. Akankah di depan sana perhentian akan berakhir?

Sesampai di kaki bukit ia menemukan sebuah taman. Ia coba menghilangkan penat untuk semusim perjalanan. Di bawah sebuah pohon hijau nan rindang ia duduk di sebuah batu. Dan kakinya coba menyejukkan diri pada air yang mengalir di dekatnya. Sungai itu elok membelah taman. Tak disia-siakannya bening air buat pelepas dahaga, membasuh kepala. Air menetes dari wajahnya yang telah basah, bergelantungan pada janggut lebat yang memutih. Rambut tua yang panjang berkilau oleh butir-butir air yang menempel diterpa garis-garis sinar matahari yang menyelusup dari celah-celah dedaunan pohon rindang tempat bernaung.

Ia menatap takjub pada mahluk hitam yang terbang dan hinggap di atas dahan pohon. Gagah dengan sayap terkembang.

“Siapakah engkau yang terbang tinggi? Agungnya dirimu yang telah mengitari segala lekuk bumi di antara hembusan angin yang berlari,” tanya lelaki tua itu pada mahluk itu. Matanya menatap lekat.

“Aku hanyalah sang Rajawali. Petualang sejati yang mengarungi angkasa. Aku dapatkan kebebasan pada jagat yang mengerami bumi dengan waktu tiada pernah henti,” jawabnya sambil menatap ke bawah.

“Sungguh hebat dirimu wahai mahluk yang cerdas. Engkau tahu rahasia alam dari semua ketinggian. Di matamu tak ada ketidaktahuan. Di bola matamu terhampar segala prilaku hidup. Engkau tak dungu oleh tipuan alam. Aku jatuh cinta padamu, maukah kau jadi kekasihku?” Lelaki tua itu terpesona olehnya, kejujurannya mengucap jernih.

“Wahai lelaki tua, aku adalah bangsa pengembara sepertimu. Aku telah menyaksikan segala dusta pada cinta. Tak ada kesempurnaan pada cinta. Sekuat-kuatnya bertahan pada cinta, tubuh lain selalu mencoba mengganggu sang kekasih. Aku tak patut sombong oleh kecerdasanku, tapi aku menjadi saksi, oleh cinta banyak orang terluka. Jadi buat apa kita mati oleh cinta. Carilah yang lebih hebat dari diriku, carilah kekasih yang mau tinggal bersamamu. Aku tak mau menjadi bodoh oleh cinta, aku mahluk bebas,” ucap sang Rajawali.

“Tapi sang Rajawali, tidakkah kau sadar, kau pun mahluk sombong yang lemah. Di saat engkau lelah terbang jauh, kau pun harus turun ke bumi untuk hinggap di batang-batang pohon,” kata lelaki tua, ada nada sindiran pada ucapnya.

“Pohon-pohon memang kekasihku, tapi mereka adalah mahluk lemah yang bisa diperbudak. Aku tak pernah hiraukan ratap mereka, karena cakarku bisa menancap di dahan manapun. Pesonaku akan melunakkan hati mereka. Selamat berdungu ria dengan pencarian cintamu kawan,” kata sang Rajawali. Sayapnya mulai terkepak dan melayang terbang sebelum mulut tua milik lelaki itu mengucap tanya yang lain.

Makin ke tengah taman, ia jumpai kuntum-kuntum bunga mawar yang tertawa ceria. Binal bergoyang ke sana ke mari, sangat menggoda. Menampakkan helai-helai daun dan bunga yang bermantel bulir-bulir air. Wanginya terbang bersama angin, menepis resah pencarian yang tak kunjung tiba milik sang penglana itu. Mata lelaki tua itu terbelalak oleh lekuk yang sunguh sangat erotis, liurnya menetes kotori janggutnya. Kesempurnaan susunan kelopak bunga, dan mahkota yang bertuliskan keanggunan memikat hati bagi yang memandang padanya.

“Sunguh nyaman di dekatmu wahai sang bunga mawar. Tak pernah ku jumpai kuntum sepertimu di sepanjang perjalananku, kuntum bunga yang ramah tersenyum. Tak ada kesombongan akan keindahan diri, akan kekayaan mahkota yang melekat pada dirimu. Engkau kaya akan damai bukan keindahan fisik belaka. Aku jatuh cinta padamu,” ucap sang lelaki tua pada bunga-bunga mawar yang merekah di tengah taman. Matanya memancarkan berbinar-binar, bagai surya bangun di pagi hari.

“Aku mahluk tak berpemilik. Aku memberikan cinta pada mereka yang meminta. Aku mahluk bebas yang tak mau dikekang. Ditawan oleh cinta sama saja dengan mati di keterasingan jiwa. Bagiku hidup itu indah bila kita semua bisa saling memiliki tanpa ada yang merasa jadi pemilik,” ucap sang bunga mawar, tubuhnya yang dihinggapi duri-duri begoyang pelan.

Belum sempat ia bertanya lagi, seekor kumbang telah hinggap di atas mahkota bunga itu. Mereka berpagutan sungguh mesra. Tak ada yang berontak, tak ada yang dipaksa. Setelah itu kumbang-kumbang pun berpindah pada pesona-pesona yang lainnya.

Tidakkah sang bunga sadar, dirinya hanya menjadi persingahan kumbang-kumbang, hanya untuk menikmati cintanya sesaat dan kemudian berlalu. Sungguh bodoh, batin lelaki tua.

Lelaki itu melangkah kian gegas, matanya meniupkan rasa muak dan mual. Ia tak ingin berlama-lama hidup sendiri, cukuplah sudah sepi menyelimuti hari-hari yang lalu. Untuk waktu yang akan bergulir ke depan, ia butuh kekasih tempatnya menambat jiwa.

Di kejauhan dilihatnya seorang perempuan berjalan ke arahnya. Langkahnya anggun menapak tanah. Tubuhnya yang sempurna memancing perhatiannya. Kian nyata di jarak yang tak lebih dari beberapa langkah darinya.

“Apa gerangan yang membawa sang puan ke sini?” tanya lelaki tua, matanya terbelalak penuh keheranan.

“Angin yang membaui resah dirimu hingga jejakmu ku kenali sebagai jejak yang meracau. Adakah yang kau cari di perhentian ini?” tanya sang puan sambil tersenyum manis. Rambutnya tergerai dipermainkan angin. Lehernya yang jenjang sungguh indah dipandang.

“Aku hanyalah sang musafir yang melangkah di jalan waktu. Matahari menemaniku dan sang rembulan tempat aku bercerita. Mengapa kau ada di taman ini sendiri?” tanya lelaki tua mencari tahu, rasa herannya belum sirna.

“Aku menanti sang kekasih yang kelak datang dan tinggal di hatiku,” kata sang puan.

“Aku datang untukmu, maukah kau jadi kekasihku. Aku sayang kamu,” ucap lelaki tua. Kejujurannya mengucap jernih.

“Secepat itu kau ucap sayang. Apa yang menyebabkan kau mengatakan itu?” tanya sang puan penuh rasa heran.

“Aku sayang padamu di detik saat kita berjumpa tadi. Rasa sayangku timbul oleh ketakutan akan kehilanganmu. Karena aku sadar, aku sang musafir yang ditakdirkan terus melangkah di bawah awan, kelak aku akan meninggalkan taman ini, meninggalkanmu. Tak mendapatkanmu di sisiku akan membuatku sangat kehilangan. Ketika rasa kehilangan itu hadir, tubuh ini akan kian remuk redam. Tak kunjung selesai rindu yang kian membengkak memenuhi dadaku. Nafasku akan sesak oleh rindu dan langkahku akan tertatih, terjerembab. Engkau ada di hatiku saat ini dan nanti,” ucap lelaki tua itu.

“Engkau mengatakan sebelum melakukan. Pergilah ke ujung dunia. Bila engkau terjerembab oleh rindu yang menggunung, kembalilah padaku. Ujilah dahulu rindu milikmu. Tempatmu di sini, bukan di langkah-langkah yang tak kunjung jelas,” ucap sang puan.

“Aku lelaki yang tak ingin di tawan oleh sang puan. Tempatku bukan di sini, tempatku di langkah-langkah waktu. Aku tak ingin terpenjara oleh cinta. Aku tak ingin dungu oleh cinta. Atau maukah sang puan hadir bersama langkahku di pengembaraanku?” tanya lelaki tua penuh harap.

“Tempatku di sini, tempat memenjarakan kaum lelaki yang terpikat olehku. Karena rantai cintaku akan mengekangnya,” ucap sang puan ketus.

“Adakah cinta yang tak mengekang? Aku mencari cinta yang membebaskan cinta,” tanya lelaki tua.

“Carilah dia di jalan tak berujung. Di sana akan kau jumpai tembok tebal yang tinggi dan di baliknya seonggok pembebas menanti manusia sejenismu. Mungkin hanya dia yang layak bagi manusia bebas sepertimu. Benturkan kepalamu pada temboknya, biarlah darah yang mengucur akan melumerkan dinding itu. Dan pengorbananmu akan memikatnya. Atau kau akan mati kehabisan darah sebelum kau rasakan cinta sejati miliknya,” ucap sang puan.

Dan tanpa menunggu masa, lelaki tua itu berjalan pergi ke arah mana telunjuk sang puan menghunjuk. Meninggalkan sang puan dengan rumah tahanannya. Lelaki tua melangkah pasti di kebebasan cinta miliknya.

bekasi,8maret2003

Biarlah hidup bergulir apa adanya……

#hidup1
Ada seorang buta meraba rindu, resahnya menuntun mata hati, walau langkah lalui padang onak duri. Tak ada lelah pada sendi tuanya, tak ada kenihilan pada mimpinya. Berjalan di jalan tak bertuan, kelak dirinya akan berakhir di sebuah ketinggian. Ada batas bidang yang akan menghentikannya. Di sebuah perhentian di tepi jurang dalam, kelak ia akan tahu dirinya jatuh ke dalam teluk kasih atau di jurang dalam penuh belukar. Walau kelak ia jatuh ke dalam jurang dalam penuh belukar, Tuhan masih beri ia kesempatan. Oleh begitu besarnya kasih milik si buta, Tuhan beri ia sayap. Jelmakan ia jadi malaikat, bagi orang banyak. Kasih si buta adalah kasih yang membutakan diri.

#hidup 2
Sekian tahun aku jinakkan singa, ternyata ia ular. Aku bukan pawang ular. Kini aku tak ingin memanah elang betina, sang petualang sejati. Dan aku tak ingin menyimpannya dalam sangkar, seperti yang dilakukan para pejantan. Cukuplah ia ada di pundakku dan cakarnya cengkram kuat pundakku, bagai takut kehilangan diriku.

#hidup 3
Pernah merasa kehilangan sesuatu? Pasti ada rindu. Dan seorang buta ini susah menamakannya. Orang bilang, “itu gila!”
Tapi aku, si buta yang dikatakan gila, hanya bisa ucap,
“sesuatu tak kulihat namun aku merasakannya ada. Sangat jelas di hati langkahnya yang liar. Dan aku rindu ia karena ia tak terlihat namuan ada.” Itu awalnya.

#hidup 4
Apa mungkin ada cinta pada pandangan pertama? Aku menemukan sebuah kisah yang berabad-abad. Adam, si tukang kebun taman Eden, jatuh cinta pada ketelanjangan Hawa yang pertama di sebuah pagi. Bukan hanya pada pandangan tapi pada ketelanjangan. Dan kelak Adam memperkosanya untuk pertama kali.
Aku tak jatuh cinta pada ketelanjangan pertama, tapi pada sebuah kesintingan yang pertama, miliknya.
Ahhh, biarlah hidup mengalir apa adanya……….
Tanpa terbebani sebuah kekalahan yang menanti di ujung sana

jakarta, maret2003

Ia Membangunkanku dengan Sebuah Kecupan

Tahukah kamu hal yang terindah di dunia? Aku akan berbagi cerita untukmu. Beri waktu untuk mendengarkannya sejenak, kelak aku tak mampu mengulanginya. Sebab binar mataku akan lenyap bersama bayangan yang kian entah ke mana. Jangan takut waktumu akan terbuang, ini rahasia hidup yang kelak berguna bagimu. Aku takkan bertele-tele, ceritaku tak seperti cerita-cerita lain yang disusun dengan banyak kata-kata mubajir demi membuat pembacanya terjebak dalam alur yang berjalan. Justru itu akan menimbulkan rasa bosan, nalar kadang lelah melompat-lompat membuat cerita bagai tarian tak sejiwa dengan nada. Sebelum engkau bertambah bosan, aku mulai saja ceritanya.

Menurutku, hal yang terindah di dunia adalah menerima sebuah kecupan di pagi hari. Aku katakan di sini menerima sebuah cium bukan saling berciuman, sebab saling berciuman menyiratkan kesadaran. Dan menerima ciuman yang ku maksud adalah dalam kondisi ketaksadaran, walau ada juga dalam kondisi sadar seperti perawan yang tercengang ketika bibirnya dikecup pertama kali.

Peristiwa ini ku alami pertama kali oleh sebab kecerobohanku, yang lupa mengunci pintu kamarku di sebuah apartemen. Seperti biasa, ia hadir di saat-saat itu. Menyiapkan sarapan kami sebelum sama-sama pergi menuju kantor yang kebetulan letaknya di gedung yang sama.

Kali ini tubuhku tak diguncang, tapi ku bangun oleh kecupannya. Sesuatu yang hangat pelan-pelan menyentuh sisi bibirku, sedikit melumat tepi bibirku. Entah aliran apa namanya membuat kebekuan kian mencair. Selanjutnya hidungku merasakan sebuah wangi yang tak selalu dikenakan angin. Mendapatkan aroma yang segar nan memikat. Melaju bagai anak-anak panah yang manja terbang menuju otakku. Dan otakku menamainya wangi gadisku. Lalu lamat-lamat mata terperintahkan menguak, bersamaan itu pula, saraf-saraf tubuhku menjadi kian hangat. Pipiku tersentuh oleh hangat nafasnya, nafas yang tak memburu. Ketulusan menyelusup pada pori-pori wajahku.

Yang pertama ku tatap adalah bola mata hitam dikelilingi yang putih. Sejenak kemudian kian meredup, menampakkan bulu-bulu halus yang sungguh lentik. Ada sebuah kepasrahan tanpa menyembunyikan ingin. Bibirku latah bergetar, getarnya lamat-lamat mengikuti gerak bibirnya. Kudapati dinding-dinding halus yang entah mengapa juga ikut bergetar. Dan nafasku kini bukan lagi nafas yang lalu. Bibir kami telah sebibir dan hela nafas menjadi detik-detik waktu.

Semenjak itu kami selalu melakukannya. Ya, di pagi hari. Tapi bukan berarti pula ku jaga sifat cerobohku agar ia bisa melakukannya tanpa perlu mengetuk pintu. Karena di pagi itu, saat ia pertama kali membangunkanku dengan kecupan, di meja makan ia melemparkan kata-kata. Berserak di udara bagai badai menampar jendela. Ia marah oleh pintu yang tak dikunci. Tapi apakah ia tahu, kecerobohan itu menelurkan sebuah rahasia hidup. Bermulanya nikmat yang tak bernama.

Aku menduplikatkan kunci pintu, agar ia bisa hadir tanpa mengetuk pintu. Sungguh bodoh mengenyahkan sebuah nikmat. Oleh pagi yang indah, ku bisa lalui hari dengan penuh semangat. Karena kebangkitanku di pagi hari lahir dari sebuah kecupan. Layaknya kecupan agung milik Romeo dan Juliet.

Walau yang terindah adalah saat ia datang bagai angin, tetapi seringkali pula ia tak perlu membuka pintu. Tubuhnya telah terbaring telanjang di sisiku, di malam-malam itu. Sisa lelah senggama kemarin malamnya tak pernah membuatnya alpa untuk memberi kecupan. Aahhhh…. api neraka akan padam oleh cemburunya pada gelora asmara milik kami.
* * * * *
Kali ini bibirnya adalah bibir indah yang terkuak sedikit, menampilkan barisan gigi-gigi putih yang telah rapi. Dulu aku sering mengejeknya, akan kawat gigi yang mengikat erat. Lidahku akan merasa asing pada mahluk yang memagari giginya. Tapi syukurlah, sejak kawat gigi itu dilepas senyumnya kian indah mengukir di wajah yang berpoles kecerdasan.

Saat ini, aku bukan ingin mendahuluinya untuk memberi kecupan. Karena memang dialah yang selalu bangun terdahulu. Tapi kini tidak. Wajahku telah menunduk di atasnya, kini tak ada ruang di antara bibir-bibir kami. Menyentuhnya. Pelan melumat. Nafasku memberi hangat yang berpendar, terhampar di pipinya yang halus. Membasahi tepi bibirnya dengan bibirku. Bibirnya tak latah oleh bibirku. Aku menatap matanya yang terpejam, bukan oleh nikmat atau rasa malu milik wanita. Biarlah ia tetap begitu, tak usah membuka mata. Biar aku yang menaburi kasih. Kini, tak perlu lagi ia susah-susah membangunkanku dengan sebuah kecupan. Cukuplah bibirku yang menemuinya di tiap pagi. Kasihku akan tetap jujur seperti dulu. Walau mungkin kecupanku tak akan mampu bangunkan ia, setelah ku temukan dirinya telanjang memelukku seminggu yang lalu, tanpa menyimpan jiwa lagi. Kekasihku adalah kekasih yang akan kutemukan di pagi hari.

jakarta, 4maret2003