Saturday 22 February 2003

Bocah ingin jadi tuhan

Bocah-bocah terkumpul oleh sebuah impian
Bukan menjadi satria di layar kaca
Ucap guru telah herankan mereka :
“sesuatu itu ada karena diciptakan”

Tanah basah oleh hujanan kencing,
merembes ke dalam tanah
Kian menguap menjadi awan
Gelegaarrrr……

Hujan berlari basahi bumi
Mereka berteriak girang :
“kita telah menjadi tuhan”

jakarta,18februari2003

nihil

hujan mencari kering yang sombong
seperti beling melahirkan tetes darah
pada botol asalnya tertulis kenikmatan
pada langit tergantung segala doa-doa
dan menetes……
kembali menjadi pinta yang basi
di mulut yang tengadah

jakarta,18februari2003

Kudeta Sekelompok Sel Merah

Gerimis bunuh diri, terburai di kubangan. Tapak-tapak basah menari enggan saling menyapa, sementara tubuh terpotong-potong pada cermin yang terkapar. Sesekali, jejak-jejak roda hitam membelah, membagi genangan ke kanan dan kiri. Umpatan sudah biasa, memandang sini pada tawa di ruang hangat yang melintas.

Ah… andai saja aku ada di mobil itu, tak perlu ada terapi akupuntur ini. Jarum-jarumnya menusuk di kepala, selimut dingin merapat sangat lekat. Sepekat mendung bergayut menuju malam. Parade payung-payung bagai karnaval menyambut musim penghujan. Tak perlu katak-katak dinobatkan sebagai simbol, cukup payung dan banjir. Atau tubuh-tubuh menggigil di bantaran kali, mengumpat pada Tuhannya oleh rahmat yang kunjung salah alamat. Sudah nyata, Jakarta itu neraka, setelah Bali menjadi surga terjajah.

Badanku kian terhuyung, menjadi aneh bagi mereka yang memeluk rapat pada tungkai-tungkai payung. Bau keringat menjadi tawar, sama lelahnya di kedinginan dan kerja keras siang tadi. Aku harus mencari tempat berteduh, tapi tak ada yang menawarkan. Semua telah terbeli, halte menjadi makanan pedagang, pohon-pohon sudah modren tampak ramping tanpa dahan rimbun yang bercabang.

Sungguh kejam engkau Tuhan, ucap bibirku. Tak ada sedetik berlalu tersisa, tangan kanan menerjang bibirku, tamparan yang melahirkan nada mendesing di telinga. Tangan kanan muak oleh umpatan bibir.

Ternyata engkau lebih Tuhan dari Tuhan itu sendiri tangan, maki bibir. Kali ini bukan lagi tampar dialamatkan, tinju melayang tanpa ragu. Bibir pecah, darah mencair oleh tetes hujan yang tak mau meninggalkan kuasa di setiap detiknya.

Batin di dada berdetak kencang. Ini bukan pengingkaran diri, telah jelas aku lahir di zaman yang salah. Mengais demi hidup dan janji surga. Sungguh mahalkah surga yang ditawarkan oleh Tuhan?

Tubuhku terhuyung ke belakang, saat amuk menjadi laknat. Tangan kiri geram oleh batin yang bernyala-nyala. Niat tangan untuk bertindak lebih anarkis terhalang oleh rusuk-rusuk di dada. Andai ada belati, mungkin hati akan terlempar ke luar dan selanjutnya sudah layak menjadi santapan anjing-anjing. Sungguh murahkah harganya?

Otakku menggeleng bingung. Mencari tahu pada serpihan niat mereka. Tapi mereka bisu, hanya denyut-dsenyut mengalir cepat padanya. Ada sekelompok kata-kata yang berkubangan dalam darah, mengalir di arteri dan aorta. Menyinggahi semua sel sejalin dengan komunikasi yang berlangsung dalam bentuk detak dan gelembung yang tak dapat ditafsirkan. Selebihnya kurir-kurir mengikat panji pada simpul-simpul merah. Oh… kudeta apa yang terjadi?

Otakku kembali menangkap isyarat. Di negeri jutaan sel dalam tubuhku, ada sekelompok sel merah tak terpuaskan. Mereka penat oleh kedunguan jiwa yang terperangkap oleh teori-teori magis. Di saat seluruh indera tak bisa membacanya. Mata tak melihat ada perubahan, penindasan menjadi lukisan yang terkabar di seluruh sel-sel. Telinga tak menangkap suaraNya, akan jawaban doa-doa yang dikumandangkan mulut. Justru jerit-jerit kerakusan dan kesakitan menjadi santapan. Dan mulut muak menjadi alat bagi otak dan pikiran, memelas padaNya yang tak kunjung datang bersama kiamat. Tapi mulut tak berdaya dipasung oleh kesabaran milik nurani, hanya bau bentuk simbol perlawanan yang menjadi kian amis oleh pinta-pinta tua yang berbusa. Mungkinkah Tuhan tak punya telinga?

Jangan ditanya akan keadaan lidah. Ia tak seperti dulu, saat bisa merasakan berbagai rasa. Saat ini hanya getir yang terkecap. Bilapun akan ada hal manis, mungkin lidah akan bunuh diri atau menyerahkan diri untuk terbelah dua pada gigi-gigi yang kian kuning. Ia adalah organ tak berguna, hanya menjadi budak pembentuk kata-kata sabar yang bergumam di rongga mulut.

Sementara hidung tak pernah berbangga diri. Sejak ia ada, sudak tercetak menjadi perusak keindahan wajah. Semua orang mengatakan bentuknya jelek, pesek. Hidung menjadi buruk yang tak bisa disingkirkan. Menyembunyikannya tak mungkin. Kian terpasung menjadi simbol yang memalukan. Oleh keterasingan organ, ia menjadi budak yang setia. Nafas-nafas melaluinya tanpa henti, menjajah setiap sudut miliknya. Kebebasannya hanyalah fungsi belaka, menghirup bau-bauan. Tapi sungguh malang, tubuh telah terlahir di lingkungan miskin nan kumuh. Tak ada aroma sedap yang menjanjikan, hanya wangi sambal terasi itupun milik tetangga. Selanjutnya hidung kian merusak wajah, saat ingus bermain-main di kedua lorongnya. Sungguh bodoh kelakuan budak yang pasrah.

Nuraniku meracau kian kacau, jiwaku pecah berputar pada setiap tanya. Akan kekekalan, akan jati diri, penciptaan dan yang tercipta. Mana alur bermula dan berakhir. Mana kebenaran dan pembenaran. Semua berkubang pada penat dan perih. Pelan-pelan kata sabar menguap di kedinginan. Saat hujan bukan lagi rintik-rintik. Bukan lagi jarum-jarum yang mempenetrasikan kenihilan pada setiap sel-sel tubuh. Kini menjadi pemberontakan yang menguasai isi tubuhku. Lamat-lamat memenuhi rongga mulut dan hidung, menguasai tubuh. Ketika beberapa saat yang lalu, tubuh berontak pada jiwa. Menenggelamkan diri pada arus kemurkaan yang meluap menuju Jakarta. Di sebuah kali ketika gerimis bunuh diri dan telah terburai menjadi genangan-genangan. Jiwa tergenang di kubangan. Bukan untuk dikenang atau dikekang.
Akankah revolusi berarti bunuh diri?

Jakarta hujan,20februari2003

Matinya Seorang Penyair

Pagi pecah berserak, bagaikan gelas yang terjatuh dari tepi meja. Oleh suara nyaring bel di pintu. Tubuh masih menyisakan penat, sisa alkohol masih masih membaui mulut dari pesta melepas bujang, teman sekantorku kemarin malam. Rasa enggan untuk bangkit entah mengapa menjadi jinak, kalah oleh dering yang terus-menerus memburu.

Engkau berdiri di balik pintu. Di balik keajaiban yang dulu menjadi mimpi usang. Seperti hari yang dipaksa sadar oleh pagi, aku kini menyadari kebodohanku. Menatapmu untuk 5 menit yang mencengangkan. Kau hanya tersenyum dibaui oleh wangi tubuh yang ku kenal lama. Walau untuk sekian waktu, kita telah berpisah jauh, sekedar mendengar rinai tawamu di ponselpun tak bisa lagi.

“Sudah lebih 3 tahun kita berpisah, tubuhmu masih seperti yang dulu,” ucapnya menyentak kebekuan nalarku. Menyadari dada tak berbalut baju, aku kikuk, mengajaknya melangkah masuk. Menuju meja makan. Dan ia melempar pandang, menjilati setiap sisi yang ada. Terhenti pada sebuah bidang, menatap gambar yang terjepit di antara bingkai kayu di dinding.

“Kau masih menyimpannya. Hmm…. Tubuhku agak lebih gemukan sekarang ya,” ucapnya, tatapannya pada gambar itu tak mau lepas.

“Emang sudah berapa bulan?” tanyaku. Aku menyadari ini pertanyaan yang bodoh. Tapi ku akui tak tersirat nada menyindir di dalamnya.

“Kosong. Tak ada bayi merah di bulan berikutnya.”

“Apa kabar suamimu?” Untuk ketiga kalinya aku menjadi dungu di pagi ini. Ku khianati janji diri untuk tak pernah mempertanyakan keadaan rumah tangganya, setelah aku menjadi sadar dungu oleh cinta.

Tatapannya menuju mataku, mencuri tahu isi otakku. Berjalan menuju kursi di depan ku, lalu duduk.

“Baik. Dia sedang menata diri, karirnya kian menanjak,” ucapnya pelan. Menunduk dan menatap isi tas kulit di pangkuannya. Mencari sesuatu dan meletakkannya di bibir yang merah. Bibir yang ku kenal baik lekuknya, walau agak berbeda kini dengan sebatang rokok yang baru dinyalakan. Aku meraih sebatang rokok lain dari kotaknya yang telah di letakkan di atas meja di antara kami. Cukup bisa untuk menawarkan mulut yang masih bau di pagi ini.

“Sejak kapan kau menjadi perokok? Gadis yang ku kenal dulu adalah manusia yang anti rokok, termasuk sikapmu yang begitu keras pada kebiasaanku. Waktu ternyata bisa merubah pendirian.” Aku mencoba mencari tahu, memandangnya di balik kepulan asap putih yang tipis .

“Hanya kau yang tak berubah oleh waktu. Seperti orang yang berlari di detik yang sama. Memaksa untuk hidup sendiri. Terimajinasi pada kekalahan. Sungguh penikmat perih sejati,” sindirnya. Gerak bibirnya meniupkan panah-panah asap yang berhamburan membidik dadaku.

Aku gugup, kembali terhenyak sadar untuk pagi yang berjalan lambat. Tersadar telah lama duduk di kursi goyang mimpi yang melenakan, ku akui aku tak bisa bangkit melangkah menjauhi rasa sakit hatiku, untuk 3 tahun lamanya. Dan dia kembali hadir untuk membuka simpul perih itu. Tapi tapi aku tak bisa marah untuk segala kebodohanku.

“Dari mana kau tahu alamatku?” Aku coba alihkan pembicaraan.

“Dari Iwan. Jejakmu tak susah dicari. Apalagi bagi mereka-mereka yang memandang kasihan padamu. Sepertinya kisah kita menjadi kitab suci bagi cinta sejatimu. Dan di pandangan mata mereka tersirat rasa sinis kala menatapku,” ucapnya. Dia hanya melirik aku, selanjutnya kembali tak putus-putusnya memandang gambar dirinya di dinding. Wajahnya ketika ia masih kuliah dulu, cantik tanpa polesan.

Aku kian terhenyak. Duduk dengan kaki kiri yang kian kebas. Siapa lagi tempat berbagi duka kalau bukan teman? Dan bukan salahku, bila cerita itu menyebar di antara teman-teman kami. Melahirkan kelompok yang terus memandang kasihan padaku bila saat bersua.

“Aku dengar kamu menjadi penulis. Bangku kuliah mungkin tak selalu menjanjikan. Kini menjadi wartawan sekaligus penyair picisan. Cerita-ceritamu selalu tentang cinta yang terkoyakkan. Andai buku-bukumu itu ada di depanku, akan aku robek satu sehelai demi sehelai. Sadarkah kau Dika, dukamu telah kau ekploitisir. Semakin menawan perih yang kau tuliskan, semakin tergambar kau manusia yang menenggelamkan diri pada pembunuhan karaktermu. Kau berbeda jauh dari yang ku kenal dulu, the better man that I ever had.”

Ahhh…. kiamat apa yang berkunjung di pagi hari. Ini bukan mimpi dari sisa ketaksadaran kemarin malam. Namun aku tak bisa berontak atau mengakhiri percakapan dengan pertengkaran yang didahului tangan kanan menampar pipinya. Seperti yang lalu, aku telah menjadi manusia penyadar, sadar bersikap akan kesalahan dan keadaan. Aku sadar, inilah kenyataanku sebenarnya.

“Jangan bengong dong. Aku datang bukan untuk menasehatimu, hanya untuk menyadarkanmu. Atau….. kau sedang berimajinasi sebuah kata-kata yang akan kau tuliskan untuk bahan puisimu. Mungkin…. syair-syair – yang kadang ku rasa terlalu berbelit-belit, ngalor-ngidul ke sana kemari – ujungnya tetap rindu dan duka. Perjumpaan semusim dengan kenangan di pagi hari atau matinya seorang penyair di pagi hari. Wake up, aku tak datang untuk membunuhmu. Bangkitlah bersama pagi. Jadilah lelaki. Sudah….. mandi dulu sana.” Sebelum ada ucap yang lain, aku bangkit berdiri. Meninggalkannya yang masih tersenyum indah. Kebenaran akan keindahan yang selalu aku tuliskan di syair-syair ku. Busyettt… aku masih sempat-sempatnya memikirkan segala syair itu.

Di kamar mandi kudapatkan kembali rasa dingin. Dingin yang mengahantui kebekuan hari-hariku. Entah mengapa aku kian tercetak menjadi rapuh sedemikian rupa. Tak seperti ketika aku memperkenalkan diri padanya dulu. Mengenalku sebagai mahasiswa yang punya prinsip dan idealisme. Mencuci otaknya hingga menjadi aktivis kampus yang perduli persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan. Malah suatu ketika aku menyadari, aku bagai baterai kering yang kian lemah, kehilangan power sejak ia beranjak menjadi pemimpin di antara kelompok.

Percintaan yang kian tergambar jelas di bandul waktu, di sela babak-babak menuju kejatuhan rezim otoriter. Bila orde reformasi penuh kisah akan keradikalannya, cintakupun kian menjadi begitu matang menuju kemerdekaannya. Telah kami amini di awal berpacaran, bahwa menjadi kekasih bukan untuk mengekang tapi membebaskan.diri untuk mengekspresikan kedalaman cinta masing-masing. Bukan cinta yang memberi oleh karena balas, tapi cinta yang sadar oleh keinginannya sendiri. Tak ada pengekangan atas nama cinta, tak ada pemaksaan atas nama cinta.

Walau akhirnya setelah tiga tahun kami berpacaran, di kejatuhan rezim berikutnya yang sempat dilanda isu selingkuh, tak pelak pula cintaku entah mengapa kian terpuruk. Aku melihat ada binar mata yang sangat berbeda bila mendengar kabar akan lelaki itu. Dan aku tak mau memasungnya, aku membebaskannya. Memutuskannya, memberi kesempatan untuk berpikir dan merasionalkan hatinya. Itu pilihanku sebagai demokrat sejati. Walau dalam hati, aku berharap kami dapat kembali. Dan mimpi yang terkutuk itu menjadi kian terkutuk. Hingga kini, setelah 3 tahun aku tinggalkan ia bersama kenangan di kota itu, kami kembali bertemu kembali. Bersama pagi yang membawa aroma kebangkitan, kuburku kian terkuak menampakkan mayat hidup dalam aroma kekalahan berkafan kerapuhan.

Kudapati ia sedang membenahi meja makan. Tersaji hidangan sarapan pagi. Ia masih mengenali kegemaranku. Secangkir kopi Nescafe bersama roti panggang dengan bubuk coklat. Untuknya, ia hanya menyeduh secangkir air jeruk hangat.

“Dalam rangka apa kamu datang ke kota ini? Kalau hanya untuk menjengukku, itu suatu mukjizat. Apalagi sejak kau menghilangkan jejak diri,” tanyaku membuka percakapan. Mencoba agar suasana kembali normal. Setidaknya aku tak ingin kelihatan rapuh di matanya.

“Aku bukan menghilangkan jejak. Aku tak ke mana-mana. Masih di kota kita yang dulu. Suamiku menjadi pejabat di sana, dan aku tak mau mengusiknya dengan cerita-cerita kita dulu. Apalagi bila ia tahu kita masih berhubungan,” ucapnya lembut. Di bibirnya tak ada lagi asap putih yang mengepul. Dari sudut mataku, aku masih dapat mengingat kembali beribu kecup yang pernah kami lakukan. Dan masing-masing kami tahu bagaimana membuat pasangan jatuh terlena.

“Kalian bahagia?” tanyaku, walau sebenarnya aku tak ingin mencari tahu lebih jauh keintiman mereka. Karena jawabannya dapat membuyarkan fantasiku.

“Bahagia? Hidup berdua, jalan bersama. Punya hobi baru main bowling. Sedikit demi sedikit mengisi rumah dengan perabotannya, menyesakkan rumah dengan aroma gairah pengantin muda. Dan garasi rumah kami mendapat penghuni baru, sebuah mobil sedan keluaran terbaru,” ucapnya sambil menerawang jauh.

“Bagimana dengan keintiman, maksudku hubungan suami istri. Hmm….. hal yang biologislah. Lebih mesra dari yang kita lakukan dulu?”

Dia tertawa. Tawa yang menyeret hadir segala kenangan, gambaran akan keceriaanya dulu. Tapi tawa itu juga menyindirku, mengejekku yang terlalu puas untuk hubungan kami dulu. Aku menjadi kian bertambah tolol untuk pertanyaan tadi. Sepertinya aku tak bisa menguasai diri.

“Untuk apa kau tahu. Hubungan biologis tetap sama untuk setiap pasangan. Hanya bagaimana cara menikmati dan merasakannya. Pada tahun kedua pernikahan kami. Aku keguguran di bulan ketiga kandungan.” Ada nada sendu di akhir kalimatnya. Aku tak mencoba untuk bertanya lagi, tak ingin ada ketololan lain yang akan terburai di depan meja makan ini.

Ia melihat jam tangannya. Bangkit dan permisi untuk kembali ke hotel. Mengikuti ia yang berjalan ke arah pintu. Tubuh indah itu masih nyata hingga sebuah taksi membawanya hilang di tikungan jalan itu.

Hari ini, aku putuskan tidak masuk ke kantor. Sungguh aku masih belum dapat bangkit dari musim semi yang hadir di pagi ini, ketika benih kerinduan lama terpendam di dasar lapisan salju yang meliputi musim dingin, masa kehampaan tanpa sinar pengharapan. Waktu telah memeliharanya.

Sudah sejak tadi aku tak henti melamun. Di kursi tadi pagi ketika kami bertatap muka dari kenangan yang lama hilang. Dari kursi ini pula aku memandang gambar dirinya di dinding. Bayangan itu nyata di bangku depan meja ini, seperti hadir kembali. Ini bukan ilusi dari mantera-mantera yang aku ciptakan selama ini. Bukan syair dan jalan cerita yang hadir oleh nuzum puitis.

Aku tak berharap dapat bertemu. Ini sudah aku niatkan sejak mendapat kabar akan pernikahannya dulu. Toh, yang sudah terjadi terjadilah. Itu takkan mungkin kembali seperti sedia kala. Walau waktu diputar mundur, takdir telah tercetak biru pada alurnya.

Tapi entah mengapa pula, seperti karunia baru menguasai diriku. Menikmati kesepian melahirkan berjuta-juta syair. Di jalan sunyi ini, aku memilih hidup menjadi penyair. Dan seperti ejekannya tadi, aku tak bisa membohongi diri. Tulisanku tak jauh dari isi yang menguasai ruang tahanan kegalauanku. Semua menyiratkan resah yang menghantui. Bagai hantu yang mengejutkan, tulisanku begitu mencengangkan, mengalir jujur kata-kata yang hidup. Bukan sekedar emosi, tapi proses di bawah alam sadar yang menghantarkan kabar bagai sebuah wahyu.

Memandang kursi di seberang meja makan ini, mengharapkanmu hadir di sana. Saat yang tiba-tiba hadir dan sekejap itu pula berakhir. Entah mengapa aku masih belum bisa menikmati sebuah hadiah yang diberikan oleh pagi. Tak sadar, aku lupa menanyakan alamatnya menginap di kota ini. Atau nomor ponselnya. Setidaknya aku masih bisa memuaskan diri mendengar tawanya di sela percakapan. Atau dengan sedikit cara halus, aku bisa merayu untuk menjadwalkan pertemuan ulang. Setidaknya, aku masih perayu, walau itu hanya ku miliki dalam syair-syair saat ini.

Dering bel pintu menyentak lamunan. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Mungkin itu Harry, temanku sesama wartwan. Sudah tabiatnya datang di saat-saat begini. Teman berbagi suka dan duka. Aku ingin menceritakan kisah di pagi tadi. Mungkin ia akan berkata aku bermimpi atau berhalusinasi.

Aku berani bersumpah ini bukan halusinasi. Bukan mimpi apalagi khayalan. Malah ia kini telah kembali hadir di depanku. Bergaun manis, lebih feminim dari kedatangannya di pagi tadi. Senyum tersungging, menyisakan pemandangan pada sela bibirnya yang merekah. Gigi marmutnya.

Dia mengangkat tangan kiri dan kanan. Bukan untuk merangkul atau memegang ke dua pipiku dan selanjutnya melumat bibirku untuk sesuatu yang tertunda pagi tadi. Itu tak mungkin, karena ke dua tangannya penuh plastik berisi belanjaan.

“Aku sengaja belanja dulu. Buat makan malam kita. Aku tahu kebiasaan burukmu yang malas masak sendiri,” ucapnya sambil menerobos masuk. Aku terhenyak sambil menutup pintu, tertegun mengikuti langkahnya. Ingin saat itu aku memeluk pinggangnya yang ramping dan membelai dadanya yang ranum. Tengkuknya yang putih dengan bulu-bulu halus akan aku jilati sedikit demi sedikit.

Di balik sikapnya yang tegas walau terkadang terkesan ngotot, sikap lembutnya terasa lebih kentara. Ia bangga bercerita bagaimana ia memilih masakan ini, kelebihan cita rasanya. Dan menyajikannya dengan begitu sempurna, lengkap dengan sebatang lilin.

Bagai kekasih yang lama hilang di balik kabut, di balik cahaya lilin ini kian jelas kekasih telah hadir. Cahayanya meniadakan kabar keraguan, garis-garis sinarnya membentuk lekuk-lekuk tubuh yang nyata dan menawan. Menambah suasana akrab lebih terasa romantis. Atau mungkin itu hanya turunan dari rumusan imajinasiku?

Selepas perjamuan malam, kami melanjutkan pembicaraan di sebuah sofa di depan TV. Di sampingnya, aku merasakan nafasnya di setiap kata yang terucap. Wangi tubuhnya kian menghantarkanku pada detik-detik yang terasa kian begitu indah, sepertinya detik tak ingin menjadi menit, dan menit durhaka pada jam. Kami bernostalgia pada lalu, helai-helai kisah yang kami lalui. Tentang kami, teman-teman, kedua orang tua. Terkadang tak sadar, ia bersandar di bahuku, saat aku bercerita panjang akan kebencianku pada rezim otoriter dulu. Suka dukanya ketika anjing-anjing peguasa saat itu menteror mahasiswa baik di kampus atau di kost-kotsan. Andai tak ada pagi, andai tak ada kesadaran, mungkin kami akan terus bersama di sini. Tak boleh ada perpisahan lagi karena aku tak ingin perjumpaan.
* * * * * * *
Mimpi terkadang hadir tidak pada setiap tidur. Ketika usai ketidaksadaran, dunia nyata menerawang di depan mata, menampar akal. Tak ada lagi khayal, kenyataan yang harus dihadapi. Seperti saat ini, di detik ini, tubuhnya tak kudapatkan tertidur pulas di sisiku. Ohhh….. tidakkah episode-episode tadi hanya mimpi. Aku bangkit dan terhenyak mendapati diri polos, tak sehelai benangpun menutupi. Aku berlari mencari jawaban, menyeruak ke luar kamar. Dia tak ada di kursi di depan meja makan, tak ada di dapur, tak ada di sofa. Sejauh mata mencari, tubuhnya tak tersapu pandangan. Aku letih berpikir, tubuhku terhuyung pada sepi yang kian menelanjangi diri. Sebuah belati pajang menghujam kepalaku menembus tubuhku yang termangu. Sebuah pertemuan meninggalkan kenangan yang berbekas di setiap inci tubuhku. Aku terduduk lemas di kursi ini. Hanya bisa menatapmu sebagai gambar diri di dinding itu.

Tak sadar mataku menatap secangkir Nescafe, dua buah roti bakar dan sebuah amplop kecil. Dia masih mempersiapkan semua itu. Di dalam amplop putih itu, aku menemukan secarik kertas. Dan aku mencoba mencari dirinya pada setiaf huruf yang terangkai menjadi kata dan kalimat.

To : Andika sayang
Maafkan aku bila datang sekejap. Dan maafkan pula bila waktu yang sekejap ini dapat membuatmu kembali terluka. Tak ada maksud hatiku untuk melukaimu kembali. Aku hanya ingin menghibur dirimu dan di balik semua kesalahanku aku ingin kau memaafkanku. Biarlah cerita ini menjadi nisan bagi kisah yang kita kuburkan. Hadapilah hidup dengan berjalan di atas tanah bukan menguburkan diri pada sepi. Dan ketika kita masing-masing berjalan pada waktu, mungkin suatu saat kau akan temukan sebuah nisan dan cerita yang tertera adalah kisah yang menjadi kenangan yang telah dilalui. Kau bisa beristirahat di situ lalu berjalan meninggalkannya. Biarlah itu menjadi nisan, bagi kita peziarah.
Aku datang ke kota ini karena sesuatu hal. Tak eloklah bila aku ucapkan di hadapanmu. Mungkin kau akan menjauhiku bagai bangkai atau meludahiku. Aku terkena HIV dan mencoba mencari tempat pengobatan terbaik di kota ini. Tapi itu tak ku dapatkan, dan hari ini aku akan ke London untuk mencari kembali penyembuhannya. Mungkin itu mustahil. Semua ini karena ulah suamiku, oleh kebiasaan sesama pejabat yang menjamu rekannya dari pusat dengan wanita-wanita jahanamm itu.
Andai suatu saat kau temukan nisanku, torehkan dengan sebuah syair untuk ku. Mungkin dari sekian syairmu, itu yang akan terbaik untuk ku. Di kehidupan berikutnya, ajarkan aku akan syair-syair itu. Biarlah kita bersama menciptakan pujian bagi Allah di sorga kelak.
Dari
yang datang dan pergi

Sekelebat otakku melayang, akan rindu perjumpaan. Sebuah keajaiban di pagi hari, pesona tubuhnya nyata mengingatkan waktu lampau. Keinginan untuk mengecup bibir dan memeluk tubuhmu telah terkabul. Semua itu terjadi di ranjang bersama geliat menjelang pagi. Perjalanan yang mungkin akan membangkitkan diriku untuk bersyukur untuk semua saat-saat indah itu. Cukuplah itu dapat membangkitkan diri, berjalan tanpanya kelak. Siap menghadapi kenyataan bila tak ku jumpai dirinya di saat aku terjaga. Seperti mimpi yang hilang di pagi hari. Tapi…. bukan kebangkitan yang kudapatkan kini, sebuah kematian dihadirkan bagiku. Bukan dalam syair-syair, akan tapi dalam hidup menjelang ajal yang kian pasti. Duhai alam……

Jakarta, 18februari2003

“Eli, eli lama sabakhtani”

Gelisah malam merambat, bara yang ditelan waktu ketika masa mencuri detik menuju resah yang kian menua. Tanpa denting, gelas pecah menjadi berjuta sadar dan kembali terhenyak pada kursi kepasrahan, suara reotnya mengiris telinga menjadi serpihan-serpihan kecil.

Dan liur setan menanti tak sabar, ketika akal kian bercabang oleh suburnya gema-gema yang saling bersahutan. Lorong yang menelan kunang-kunang meniupkan kata-kata berserakkan, tak jelas induk dan anak sementara penciptanya bersikukuh pada kesempurnaan nuzum.

Terlalu getir bila boneka-boneka tanah yang dititipkan nafas suci berjalan sendiri di kaki langit. Karena langit kian meruntuh di tepi zaman saat Lucifer diberi tahta oleh iman-iman yang kian memerah dibakar oleh hujanan dengus hidung yang kian berair.

Kaki mengetuk mencari irama yang kehilangan bentuk. Kembali untuk detak yang ke sembilan puluh satu kalinya, biji-biji logam itu berlari menautkan diri. Bergambar sketsa yang berganti ujud, layaknya kelamin yang kian menegang.

Silau berpendar, sangar mencari liang. Jemariku meraba dan selalu berakhir pada tepi yang menajam, lekuk yang tak pasti menitipkan rindu darah. Mungkin ia ingin bercermin padanya, atau kelak sayatannya melahirkan senandung kenikmatan purba yang konon menjadi lagu suci penyembahan akan kutuk yang tak pernah selesai sejak Kain menikam Habel nun jauh di seberang Eden.

Sudah saatnya suara-suara itu harus enyah. Perulangan sandiwara yang berputar tak menemukan sumbu. Oh…. itu telah tertoreh lama di kitab-kitab kumal kaum peziarah, ada sisa ludah di tepi-tepi halamannya. Lakonnya telah aku amini, berkaca pada kata-kata yang saling membayang.

Semakin lama aku tenggelam, kian lamat aku terjerang oleh gelora pusaran panas yang menistakan kekalku. Aku batu yang digiring menuju laut yang tak berbatas, sementara pasir putih di pantai tak mengenal saudara tuanya.

Aku berpijak pada jejak-jejak usang yang melarikanku dari pemandangan akan salib di sebuah bukit. Tak kudengar sayup burung nazar yang kecut pada tubuh terpaku di kayu silang. Punggungku menutupi suara yang berseru, “eli, eli lama sabatani.”

Kian lama dengung tak berujud rupa, bukan putih atau hitam. Memenuhi rongga, enggan berlayar menuju alam lain. Bebal kian menebal, menyamarkan sadar atau mimpi. Saatnya harus bermula, ketika biji-biji logam kian menegang mencari lubang. Tak ada masa, aku harus tikam ular yang bersarang di otakku. Desisnya sangat mendesah, lama terbuai oleh aroma nikmat yang ditawarkan.

Lompatan-lompatan ingin yang kian membunting, menitipkan bayi-bayi jadah pada harapan yang ditanam. Sebelum waktu sempat berpikir, belati telah aku sisipkan pada belahan daging-daging yang kian tersayat. Tak ragu menyentak, memberi ruang baru pada batok putih yang terukir merah pada selaput tipis ari.

Nikmatnya meniadakan resah, biarlah galau terbang mengepakkan sayap. Kian melambung mengibaskan butir-butir merah yang mengotori. Berjuta batang-batang panah menari liar, terburai bersama kekosongan yang menghampiri. Aku bukan naungan kepenatan, sumur dangkal kemuakkan. Telah aku akhiri jalan sesat yang tak terpetakan, entah angin mana yang dulu menghantarkanku terbuai lalui segala jembatan rapuh. Seolah mata tua menuntun tongkat menari di depan sendiri.

Kian dalam kian matilah sepi. Walau syair malam terpercik pada peraduan, tapi dingin tubuh tak mungkin ingkari. Pada permadani telah tersulam onani-onani diri dan sepi tetap ada pada akhir pertarungan. Aku tak ingin ilusi persetubuhan di depan altar pemujaan, tubuh tetap tubuh yang haus penciptaan. Dan aku hentikan janji setan bertanduk akan bidadari pengganti rusukku berikutnya yang hilang. Cukup Adam telah korbankan diri untuk semua lelaki, walau kelak boneka tanah yang bernama wanita lupa akan asalnya.

Mataku berbayang merah, menembus tiap tetes darah yang pelan jatuh setelah sekian detik bergelantungan di atas bulu mataku yang katanya lentik. Udara tak kosong, jelas memerah dari sudut sini, wanginya pun amis.

Hidungku merangkum semua nikmat yang tak ingin kulepas, nyeri hanyalah gula di saat secangkir darah akan hambar tanpanya. Layaknya berdansa berdua, linu di kaki hanyalah akhir di setiap tarian, atau penat di pinggang setelah persetubuhan. Itu bukan halangan atau ketakutan yang menghampiri.

Tapi nikmat tak berlayar lepas, suara-suara di dalam dada nyinyir mencibir. Suara-suara yang mengejek parau.
Dikatakan : aku manusia bebas yang sombong pada kebodohan, untuk apa percaya pada janji surga, toh tak satupun dari kita telah kembali dari sana. Jangan pernah menyalahkan orang lain bila diri tak mampu baui utara dan selatan.

Kian lama kian berpusar, walau dengung telah lenyap tapi dada kian sesak. Oleh berton-ton ejek dan cibir yang menyentak-nyentak dada. Palu godam yang menghantam pilar-pilar kokoh bentuk bangun segi enam ruang kata dan tanya saat saling berdialog dulu.

Entah murka apa yang bisa aku tafsirkan, ketika tanganku mencabut biji-biji logam yang menegang bersolek darah. Tak sampai sedetik berpindah mata menuju dada. Ranum darah merah kembali mengairi, baunya sungguh melegakan nafas yang tersumbat sekian detik lalu. Hujaman pasti tak bertameng ragu.

Crattt…

Erangan hembuskan sumbat berlumut yang bau oleh musim saat kemunafikan menemukan lahar suburnya dulu.. Aku tak mau kalah oleh hasut yang menawan nurani sejak mana moral dan iman telah digusur hingga tak mempunyai sepetak peraduan di hatiku. Ohh….. aku telah melarikan mata hati dari pasung egois dan serakah.

Kematianku adalah kematian menguburkan kealpaan. Nikmat tak bernama yang niscaya akan lahir oleh setubuh iman dan pengharapan. Biarlah kelak akal dan nuraniku tumbuh bersama iman, telah dikabarkan dengan iman hanya sebesar biji sawi dapat memindahkan Sinai bersama sepuluh tauratnya.

Sebelum aku bersetubuh dengan malaikat mungil itu, mulutku sempat berucap.
“eli, eli lama sabakhtani.”

Bekasi, 15 february 2002
“jangan tinggalkan aku Tuhan”

Thursday 13 February 2003

secangkir mungkin

kemungkinan esok adalah kini,
menyita ilusi bagai mimpi tersungkur di pagi hari
dan yang masih bernama mungkin,
terkubur sepi di akar jati, ada belukar di kanan kiri
pucuk-pucuknya hembuskan nafas-nafas pasti,
sementara cacing merah mengotori tanah
butir-butir kenihilan, ragu yang tak pernah samar

entah itu esok, entah itu nanti
berandai-andai, toh tak pernah pasti
karena ombak tenang tak mungkin lahirkan badai,
tapi karang-karang lamat-lamat tenggelam
dan tepi kesabaran kian terjilati
oleh pasang surut kesadaran

mana dia misal atau umpama
kata-kata yang aku lumat,
bersama lidah yang lama aku telan
tak ada lagi akan dan bila
karena kemungkinan telah aku jerang
bersama sepoci keringat
berharap oleh didihnya nalar dan nurani,
lahirkan takdir mendidih, meniupkan kesempurnaan
akan aku seduh bersama sesendok iman

Sekerat cinta untukmu

Sekerat cinta untukmu,
aku hadirkan
di bibir kita yang menyapa
Tak ragu lidahku ukir
kata kasih di langit mulutmu
Engkau mendesis ucap setia
batin menggigil mencari mazmur
Inikah sebuah nubuatan?
ataukah untuk esok dan esok
Kan hadir keratan lain
dari hati yang kian lama tak berbentuk

........dan sekerat cinta untukmu,
telah aku hadirkan
Di dialog terakhir saat Mesias harus terbunuh
Oleh kasih, kematian kulalui
dan iman bangkitkanku
dari kubur merekah yang mencari jalan pulang