Tuesday 21 January 2003

Sungguh

Sungguh, kami kaum berontak
yang tak mampu eja kata sabar
Ini batin yang berucap
indarkan logika terkukung kotak-kotak
di ketidaksamaan sisi tatap

Sungguh, kami tuan pemilik zaman
yang berjalan muntah pada delapan penjuru
Perubahan tiada titipan musim
Bagai suburnya jerawat milik si muda kasmaran,
kami membatu menikam waktu

Saat harus henti, petik mentari
hentikan sombong yang menyelubungi
Di kegelapan,
tak ada tawa terlalu pongah
tak ada tangis merajam sepi
tak ada gelap bermuka dua
kita sama,
walau lelap di peraduan berbeda
mimpi kita satu jua
merdeka ! penuh........

20januari2003

batin

aku menatap hidup
dengan sebatang rokok
dan secangkir kopi
di kesunyian jalan
yang tak berpulang

19januari2003

penantian raguragu

waktu belum pecah menjadi saat
kala langit telah lama terkoyak
dan seribu perigi tak mampu
telan berjuta-juta helai sayap
kian menghambur di angkasa

milikku hanyalah sebuah perigi
di tepian mimpi hutan sang perawan
ingin tiada lelap, sadarku pada gemersik angin
dibaui oleh rindu jejak sua
yang belum kita bukukan

turunlah hai periku
menarilah engkau malaikatku
kecap dingin milikku
di penantian raguragu

17januari2003

Monday 13 January 2003

Di penat penantian nanti

Pukul 6.05 : menantimu
Di bawah bibir ada rumput-rumput yang tak bernama. Aku mentahbiskannya sebagai umur. Cukup seminggu, ia akan kembali rimbun. Di Senin, kau akan menghadirkan titik-titik hitam, bersama titik-titik hitam lain yang melengkung di atas bibir dan di dagu. Aku tak perlu rimbunan itu, apalagi ilalang di dadamu. Engkau bukan monyet pingitan. Walau engkau sering menepuk-nepuk dada bagai gorilla memikat betina. Aku terkapar di pelukmu. Menghamparkan diri sejak lama.

Pukul 6.15 : masih menantimu
Suaramu di pagi saat sua bagai mentari berlari telanjang. Keringat selingkuh malam, terkutuklah menjadi embun. Aroma kelamin yang bertarung lalu, membaui pagi. Katanya ini aroma kebangkitan. Kesadaran bahwa hidup terus lahir di tetesan detik dari pinggul mentari yang bulat. Milikmu tak bulat. Petak mencetak getar. Apa kabarmu pagi ini sayang?

Pukul 6.25 : gelisah menanti
Aku tak perlu berucap. Cukup bibir berbahasa bibir. Nafasku menghantarkan kabar kerinduan di tiap-tiap malam. Lidahku menjejalimu kubur-kubur. Mengoles habis kerontang semusim yang tak bertuan. Basah di bibirku meracuni bentuk bibirmu. Mengigit dan mengulumnya menjadi bentuk-bentuk peraduan. Katamu di situ ada sisa-sisa tubuhku yang lalu.

Pukul 6.35 : kian gelisah, kian menanti
Selepasnya ku buta. Bisikmu menuntun. Matamu menyeret akalku. Detak jantungmu kabar-kabar yang tak ternubuatkan. Langkahmu pijakan kaki kiri dan kanan. Konon lututku telah lunglai di detik-detik lalu. Ruhku rebah di kedua tangan kekarmu. Seperti aku yang tak berdaya, aku banyak menanam harap. Tuaian itu kelak akan kusemai, tapi entah di musim apa. Saat pemangsa berenang-renang di kubangan awan, kelaminnya mencuri pandang. Sementara waktu telah mengumpulkan ranting-ranting. Kelam bersanding dengan lekuk genit garis tubuh kehidupan.

Pukul 6:45 : penat …. nanti
Nanti ada masa, masa ada kala
Kala ada hadir, hadir ada hari
Hari ada penat
Penat-penat di penantian akanmu. Senyum, rengkuh, bisik dan harap yang kian membunting mengandung bayi kembar bernama cinta dan cinta. Tapi bayi itu tak sungsang, walau badannya hitam berangka ganjil. Teriak nya nyaring berirama jeg-jes. Terulang beratus sperma berjalan tak tentu arah, rahimku tak kau sentuh. Kau biarkan aku terpaku lama mencarimu. Liar mataku membentuk pandang, menihilkan nafas-nafas lain yang bergegas.
Di penat penantian tak terjawab
Di penat hari yang kian menggigil, aku terkapar sungsang mencari bentuk. Di stasiun KA tempat kita berjanji, menantimu menuju langkah mengais kubur keping kehidupan di setiap pagi.

:dan tanganku masih terus bergetar, menggenggam kabar tragedi tabrakan dua KA sembilan bulan lalu. Namamu ada di sana bertinta darah.

12desember2003

Di istana ada sirkus, di sana ada badut

Mari bersulang derita-derita,
perulangan abadi suguhan luka
Jelas tertakik pada daging menganga
Tercengang pada perubahan kau berucap
: apa mungkin?

Stasiun bagai kerubungan lalat bersibuk diri
tapi tak pernah penuh. Lengang di hari
kian tenggelam
Kita terlelap terlalu lama. Igaumu jelas berucap
: merdeka!
Mulut usil itu jangan teriak lagi. Itu bukan
janji.
Abunawaspun punya 1001 mimpi

Beranak mual tercecer pada selingkuh yang dicerca
Kesuburan mengidam makmur
:terkutuklah laknat mulut berbuih
Keringat-keringat itu asin menguning di bulir padi
Tapi dewi kesuburan mati muda,
meratapi anak-anak tanah berkubang lumpur
berbadan dua. Onggokkan cacing bersemayam lama
Subur kan hanya kabar-kabur
Hilang bersama gadis pingitan
Di pelukkan setan ia berbisa
bisa menari, bisa bersandiwara, bisa bersulap,
bisa menipu……..

Mari bersulang derita-derita
merapatlah di api revolusi kita
Dari sini jelas menatap
di istana ada sirkus
di sana ada badut
gadis pingitan tertawa, berselingkuh di atas cerca
perca-perca derita milik kita

Friday 10 January 2003

Tokek……tokek…..bokek….

bersekutu dengan mereka adalah kematian. bandul lamat bergerak.
itu milik buruh. bandul lamat berdentang,
walau kan lahir hanya perulangan abadi
: tokek....bokek....bokek.... (dari penulis)

Sebuah titik kian mengecil. Titik. Kecil. Menerawang ke sumbu kekosongan. Tapi entah mengapa di beberapa detik kemudian, terpecah menjadi titik-titik yang terburai. Terserak. Pecah sebuah keping ketaksadaran. Aku menjadi bagian dari pecahan hidup yang terjaga.

Sialan! Untuk kesekian kalinya mata susah rapat menutup. Gelisah? Tidak, justru aku menanti ujungnya pagi. Ya, esok sebuah pertarungan akan dihadapi. Bersama ribuan jiwa-jiwa yang resah dan marah.

“Bergerak atau mati!”

Itu kata Iwan, sang pemimpin aksi, tadi sore di hadapan buruh-buruh pabrik. Sungguh sebuah pilihan yang tak mengenakkan di kondisi yang kian menjepit. Sempit sudah ruang-ruang mimpi, kini tak berharap banyak hanya mencoba untuk bisa bertahan hidup.

Sebuah syair membakar iman-iman yang kian memerah :

semua naik, kian melambung
menjuntai bersama bual-bual kaum pragmatis
di perut kekuasaan
kita dan mereka kian terpisah
leher kita tergantung di pohon-pohon peradaban
mereka terbang tinggi
bersama sayap-sayap milik nabi palsu
tetes ludah mengenai bibir-bibir kering menengadah
sungguh silau kelamin di bibir mereka
ucapan kian sundal
mereka onani di gerbang perubahan
sebelum ereksi kian jahanam
lempar setan-setan di diri mereka
ke api revolusi
atau di antara mereka
adakah setan penyala api itu?

Tangan-tangan meninju langit. Terkepal.
“Hidup rakyat! Hidup buruh!”
Ombak kegelisahan tak menyusut langkah. Justru jejak-jejak akan terlihat jelas berbaris bagai mata tombak menghujam nadi kesombongan yang berdiri mengangkang. Pemerasan ini harus dihentikan. Pejabat-pejabat itu telah menjadi kucing garong, memecut rakyat untuk mengisi pundi-pundi kekuasaan. Yang terjadi kini, rakyatlah yang harus menanggung beban negara. Tarif-tarif dinaikkan, sementara taraf hidup kami kian jatuh mencium tanah, ditakdirkan mati di atasnya kelak.

Di perjalanan pulang setelah pertemuan, pemanasan aksi untuk esok, aroma kebangkitan membaui langkah milik robot-robot pengusaha. Ternyata perut juga punya bandul kesadaran. Tak jelas parameternya, yang pasti kegelisahaan lebih menakutkan dari kematian. Karena hari ini atau lusa toh mati adalah kado yang istimewa. Di kematian tak ada kegelisahan lagi. Untuk apa buang-buang waktu. Mengakhiri kegelisahaan atau mati. Membunuh kegelisahan atau mati terbunuh.

“Kenaikkan UMR yang 5-7% tak mampu membantu. Justru habis untuk menutupi uang kost yang ikut-ikutan naik. Selebihnya untuk biaya hidup dan transport kita harus bayar pakai apa? Karena dengan gaji selama ini pun habis tanpa sisa untuk hidup sehari-hari,” kata Parmin sambil melangkah gontai.

“Pedagang-pedagang tak bisa menolak untuk tidak menaikkan barang-barang. Aahhh…. Aku tak bisa lagi menyantap ayam goreng siap saji di restauran di tiap saat gajian tiba. Padahal itu ritual yang aku amini untuk mengobati lelah sebulan penuh, sedikitnya ingin mengecap cita rasa yang menjadi menu harian mereka kaum yang mampu itu,” gerutu Sarinah sambil mendekap tas sandang yang sudah tak jelas warnanya.

“Mungkin mulai besok aku mangkin rajin berolahraga. Selain olahraga membongkar peti-peti kemas di gudang, aku akan jalan kaki walau itu memakan hampir sejam lamanya. Ongkos ojek naik, sudah tak tertahan lagi,” tekad Yanto sambil mengelus dada.

“Benar itu To. Ini mungkin juga jalan untuk berhenti merokok. Sebab untuk makan saja hampir tak berbekas. Yah, setidaknya Wulan akan senang bila tak lagi merasakan tengik bekas asap rokok di rongga mulutku. Asam di mulutku akan hilang oleh lisptik di bibirnya,” celotehku sambil bercanda.

“Kau yakin itu? Boro-boro mikir beli alat kosmetik, makan aja udah susah. Mimpi kau….” Canda Sarinah. Kami tertawa melihat cemberut di wajahnya. Sudah lama rasanya tak melihat topeng itu. Wajahnya kini polos tanpa perias muka.


“Kek……tokek……..tokek…..”

Sialan! Suara-suara itu telah lama mengisi ruang ini. Kamar kecil dengan dinding triplek yang ditindih sebuah poster gadis setengah telanjang. Di atas sebuah kasur yang kian menipis menyentuh lantai dingin, aku memandang tepat di atasku. Di langit-langit kamar dekat lampu yang redup. Sebuah tokek besar dikelilingi tiga ekor tokek lainnya.

Ada sebuah rapat sepertinya. Tapi mengapa harus malam ini, di kamar ku pula. Apa tak ada waktu dan tempat lain? Seperti membaca isi pikiranku, mereka diam sesaat. Memandangku tepat di bola hitam mataku. Mencari hening. Mencium gelisah yang membaui malam. Oh….. mungkin mereka mata-mata. Mencari tahu, esok akankah ada demo. Atau seanarkis apa hati-hati yang berkerumun di depan istana. Jangan-jangan ada sebuah penyadap di perut mereka. Merekam isi otakku. Sebab alibi esok akan tercetak di ribuan lembar tuduhan-tuduhan. Akan diteriaki “makar!” Makar untuk sebuah pembelaan diri?

Mata-mata itu mata-mata yang tajam. Membelah batok kepala. Mencoba lebih dekat membaca isinya. Perih kian tak tertahan kupalingkan wajah menjauh mata pisau yang kian menikam. Menatap dinding putih kekuning-kuningan. Oh…. mata-mata lain ada di dinding itu. Kepalaku berputar melayang di empat sisi. Puluhan mata-mata. Ratusan mata-mata. Ribuan mata-mata. Jutaan mata-mata. Mata-mata. Mati……. aku!

“Matilah kau bedebah bangsat!” makiku pedas menghantui malam. Secepat kilat kuambil sapu ijuk dan sambil berdiri di atas kursi aku usir mereka. Sungguh kejam sapuanku. Tapi mereka sungguh lihai, sejahat pandangannya. Lari ke penjuru lain dan menghilang di sisi luar kamar. Sekejap jutaan mata-mata. Ribuan mata-mata. Ratusan mata-mata. Puluhan mata-mata. Lenyap. Menjadi dinding putih yang kekuning-kuningan.

* * * *

Sebuah palu godam memecah titik. Titik kecil yang kian berserak menjadi besar. Menjadi keping-keping. Menjadi cermin yang retak. Menjadi wajah yang berbayang di cermin. Dan dia nyata. Aldian.

“Aduh Al, udah pagi ya….. sudah jam berapa? Kita hari ini mogok kerja kan?” tanyaku sambil mengucek mata. Sepertinya masih ada serpihan-serpihan pandang yang mengendap.

“Iya. Kawan-kawan sudah kumpul di depan pabrik,” katanya.

“Sabar….. aku cuci muka dulu ya. Tak usah mandi, toh mulut-mulut mereka yang di Istana lebih bau lagi. Busuk oleh janji-janji bohong,” kataku sambil bangkit ke luar kamar.

“Tunggu…… jangan tergesa-gesa,” katanya sambil menarik lenganku.

“Ada apa lagi? Kau takut? Pada peluru-peluru yang dibelanjakan dari keringat rakyat?” tanyaku sedikit agak marah.

“Bukan itu. Di tengah kerumunan, pimpinan perusahaan hadir dan mendukung kita….”

“Bagus itu. Walau selama ini mereka menjuluki diri tuhan atas kita. Mungkin persoalan ini telah menciptakan musuh bersama. Kita akan semakin kuat,” potongku mencoba meninju ragu di mukanya.

“Mereka mendukung kita. Tapi…… mereka tak sanggup lagi berdiri. Bos bilang, perusahaan akan ditutup. Bukan untuk selama demo berlangsung, tapi untuk selamanya. Perusahaan sudah tak sanggup lagi bersaing dengan segala persoalannya.” Kata Aldian bagai menujumkan kiamat. Lekat dan memampatkan nafasku.

“Kek……tokek………bokek……..bokek…..”

Bangsat! Seekor tokek besar itu kembali hadir lagi. Kali ini bukan matanya saja yang laknat. Tapi ucapnya sangat jahanam. Bagai paduan suara di parlemen, sebuah nada sumbang membunuh kematian-kematian. Puluhan mulut-mulut di dinding. Ratusan mulut-mulut di dinding. Ribuan mulut-mulut di dinding. Jutaan mulut-mulut di dinding.

“Tokek……….bokek……bokek…..setuju……”

Wednesday 8 January 2003

Kelak Tiada Masa

:untuk kata yang belum terucap

Kekal tiada ujung,
mungkinkah waktu tiada berawal?
Seklumit nafas iris juta ingin,
siapakah pengidam bayi takdir?
Jerit tersibak detik-detik,
tapi senyum ada di keping lain
Ini hari bermuka dua
jangan dendam pada terik
usah duka pada hening
Kelak tiada masa
ku harus berucap
atau,
akan terpanggang hari-hari
....lagi

Cinta Lalu Bernama Nisan

Ini kali bukan saatnya berdusta,
ketika debu masih menemani langkah
Jalan ini tak berpulang
Pantang hati menatap lalu
Amis lama biarlah busuk
Toh itu santapan belatung-belatung jinak
Jiwa-jiwa mereka kekal menjadi nisan,
petunjuk bagi para peziarah,
bantal mereka di saat lelah

Kakiku kaki yang tua
Jejak meracu susuri onak duri
Sudah saatnya kita kembali bersekutu
ya, Rajaku
Terbentang permadani merah
: menuju peraduan engkau....
permaisuriku

Monday 6 January 2003

Cleaning Out My Closet

by Eminem

[Intro]
Where's my snare?
I have no snare in my headphones - there you go
Yeah.. yo, yo

[Eminem]
Have you ever been hated or discriminated against?
I have; I've been protested and demonstrated against
Picket signs for my wicked rhymes, look at the times
Sick as the mind of the motherfuckin kid that's behind
all this commotion emotions run deep as ocean's explodin
Tempers flarin from parents just blow 'em off and keep goin
Not takin nothin from no one give 'em hell long as I'm breathin
Keep kickin ass in the mornin and takin names in the evenin
Leave 'em with a taste as sour as vinegar in they mouth
See they can trigger me, but they'll never figure me out
Look at me now; I bet ya probably sick of me now ain't you momma?
I'ma make you look so ridiculous now

[Chorus: Eminem]
I'm sorry momma!
I never meant to hurt you!
I never meant to make you cry; but tonight
I'm cleanin out my closet (one more time)
I said I'm sorry momma!
I never meant to hurt you!
I never meant to make you cry; but tonight
I'm cleanin out my closet

[Eminem]
Ha! I got some skeletons in my closet
and I don't know if no one knows it
So before they thrown me inside my coffin and close it
I'ma expose it; I'll take you back to '73
before I ever had a multi-platinum sellin CD
I was a baby, maybe I was just a couple of months
My faggot father must have had his panties up in a bunch
cause he split, I wonder if he even kissed me goodbye
No I don't on second thought I just fuckin wished he would die
I look at Hailie, and I couldn't picture leavin her side
Even if I hated Kim, I grit my teeth and I'd try
to make it work with her at least for Hailie's sake

I maybe made some mistakes
but I'm only human, but I'm man enough to face them today
What I did was stupid, no doubt it was dumb
But the smartest shit I did was take the bullets outta that gun
Cuz I'da killed him; shit I woulda shot Kim and them both
It's my life, I'd like to welcome y'all to "The Eminem Show"

[Chorus]

[Eminem]
Now I would never diss my own momma just to get recognition
Take a second to listen for who you think this record is dissin
But put yourself in my position; just try to envision
witnessin your momma poppin prescription pills in the kitchen
Bitchin that someone's always goin throuh her purse and shit's missin
Goin through public housin systems, victim of Munchausen's Syndrome
My whole life I was made to believe I was sick when I wasn't
'til I grew up, now I blew up, it makes you sick to ya stomach
doesn't it? Wasn't it the reason you made that CD for me Ma?
So you could try to justify the way you treated me Ma?
But guess what? You're gettin older now and it's cold when your lonely
And Nathan's growin up so quick he's gonna know that your phony
And Hailie's gettin so big now; you should see her, she's beautiful
But you'll never see her - she won't even be at your funeral!
See what hurts me the most is you won't admit you was wrong
Bitch do your song - keep tellin yourself that you was a mom!
But how dare you try to take what you didn't help me to get
You selfish bitch; I hope you fuckin burn in hell for this shit
Remember when Ronnie died and you said you wished it was me?
Well guess what, I +AM+ dead - dead to you as can be!

[Chorus] - repeat 2X