Tuesday 2 December 2003

Tak Ada Lagi Lorong yang Menatap Curiga


Banyak bocah berlari-lari. Berkecipak pada genangan air yang tak selesai mematut diri. Membiarkan usia tak cepat berjalan, hanya dunia anak yang tak mengenal hukum, hanya kepatuhan. Bukan karena bodoh mereka harus bersikap seperti itu, orangtua seperti layaknya gembala mengantarkan menuju dataran luas, berkerumunnya rumput-rumput segar. Menghalau menuju impian, menggiring ke arah pemangsa-pemangsa. Kekal peristiwa makan memakan menjadi rimba yang harus diwaspadai

Dan lorong-lorong itu masih menatap curiga. Sesekali tubuhnya tak sunyi kala pejalan kaki pasrah pada tatapnya. Meninggalkan jejak yang bukan satu-satu, patah-patah menuju ujung yang lain. Senyumnya basah, hari lembab sejak hujan enggan berlari jauh. Sudah tiga hari langit menangis, awan-awan diam menyimpan rapat peristiwa. Yang berarak hanya kabar-kabar kosong dan guntur menggelegar garang, kilat memberi tanda seru.

* * * *

Mataku menatap langkah yang berulang. Sesekali gerundelan tak jelas singgah dikupingku. Sementara si Cipluk terus–menerus mengoceh. Entah apa ucapnya, tapi badannya terus bergoyang-goyang, kaki kecilnya seperti menunggang kuda.

Cipluk menjerit. Ia menangis kencang seperti lari kuda saat tubuhnya dipukul. Pantatnya dicubit emak. Sepertinya emak kewalahan antara menyusun barang-barang dan menggendong adik. Mulut emak kian tak jelas menggerutu, yang itu-itu juga. Sudah lebih seminggu emak tak punya cerita yang lain. Tapi aku tak mengerti apakah emak ingin bercerita cerita atau bertanya. Suasana semakin tak jelas saat Cipluk kian bercerita banyak lewat tangsinya yang bersahutan.

Aku berlari menjauh. Tak ingin kena getahnya. Semenit lagi emak bakal melahapku. Tatapan itu, ya tatapan itu. Selanjutnya emak akan mengumpat, yang tetap itu-itu juga.

“Mana bapakmu? Lelaki yang tak bertanggung jawab itu. Kalau sudah begini, siapa yang akan membantu kita? Semua akan hilang. Mampuslah kita!”

Ahh… wajahku memang mirip bapak. Lelaki yang kami rindukan kabarnya. Dan emak selalu menatapku bila rindu, bila marah. Tapi bapak tak hilang. Ia akan kembali. Pasti. Kabarnya ia ada di Penang. Katanya sih di Serawak. Mungkin di Sabah. Ahh…. entah yang mana. Yang pasti bapak ada di seberang sana. Pasti kembali mak!

Liat saja, rumah kami lebih cantik. Tak bocor atapnya seperti dulu. Lantainya tak lagi tanah. Dan emak…. tak lagi berdiam diri hanya di rumah. Emak sudah sibuk berjualan. Sedikit banyak aku kecipratan permen atau kerupuk yang tak lagi garing, masuk angin.

Bapak masih ada. Dia ingat kami. Sudah dua kali mengirim uang sejak dua tahun ia tak lagi mengelus kakiku menjelang tidur, walau ia tak punya dongeng yang indah. Hanya cerita tentang hujan nakal yang membasahinya. Matahari yang tak ramah senyumnya. Dan cerita ada manusia yang menyakiti manusia lain, yang ingin merebut becaknya untuk dibuang.

Ia pasti bangga bila pulang, karena ibu tak boros memakai uang. Pintu rumah akan terbuka untuknya. Pintu yang bukan lagi malas berdiri. Pintu itu tak lagi dari lempengan bekas kaleng-kaleng roti yang dulu disusun rapat bapak. Pintu itu sudah diganti emak. Kayu yang dipasang kuat, walau hanya dari pintu bekas. Kata emak, agar maling tak masuk, maklum tak ada lelaki di rumah ini.

Dan aku akan menatapnya tajam. Merapatkan mulut. Menyusun kata-kata yang terus mengalir tapi tak mampu dimuntahkan.

“Kenapa? Kamu marah? Ahh… kamu seperti bapakmu, bila disindir seperti itu. Nak, cepatlah besar dan banyak belajar. Agar kau jadi lelaki. Lelaki dibutuhkan di rumah ini.”

Aku akan menjadi seperti bapak. Lelaki yang dibutuhkan emak. Yang berjaga di balik pintu di setiap malam. Menjaga lelap emak dan Cipluk. Tapi, bapak belum bercerita banyak tentang orang-orang-orang jahat yang harus diwaspadai. Bapak belum mengajarkan bagaimana menjadi lelaki. Emak tak sempat bercerita. Hanya tingkah lakunya yang penuh rasa was-was. Lagi pula emakkan bukan lelaki.

Cepatlah pulang! Kami butuh bapak. Esok kami mungkin tak di sini lagi. Kami akan diusir dengan kasar, kata emak sejak tiga minggu lalu. Akan ada yang datang. Ratusan. Mungkin ribuan lelaki tegap. Seperti bapak besar dan tegap. Andai ada bapak, kita berdua akan menghadapinya. Melindungi emak dan Cipluk. Rumah kita yang sudah indah tak akan bisa dirusak mereka.

Tapi… atau aku harus menghadapinya sendiri?

* * * * *

Jarinya memutar keras. Dan anak kunci itu kini berpindah tempat di antara celah tas mungil di bahunya. Ia menghela nafas. Tak ada gunanya mengunci rapat, esok mungkin tak lagi disinggahi, pikirnya.

Badannya membungkuk. Meraih tas besar. Agak berat hingga langkahnya tak gemulai. Tertatih di atas sepatu indah berhak tinggi. Bukan hanya sepatunya yang indah, kakinya pun indah. Putih. Kulit bersih yang membalut tubuhnya yang aduhai. Wajar bila mata-mata haus meraup tatap. Seperti ingin mencicipi, mengimpikan wanita seperti itu di ranjang. Pengganti pacarnya, mungkin istrinya.

Senyumnya masih ada. Senyum yang tersisa di antara perasan otak yang berputar kencang. Dan pada yang menatap, ia menitip senyum. Kadang menyapa. Sekedar basa-basi atau entah apalah. Tapi ujung matanya masih mencari seseorang lelaki, yang pernah menemaninya, walau ia tahu lelaki itu tak bisa diharapkan terlalu banyak. Otak mudanya masih ingin berkelana bebas.

Ya, dia ada di sana. Di atas bumbungan atap. Membongkar sisa-sisa rumah. Dadanya yang berisi terbakar panas. Dada yang pernah membakarnya pula, menindih tubuhnya di malam dingin. Dan senyum itu terlempar ke arahnya. Senyum jantan yang mampu merontokkan hati, mendidihkan birahi ganasnya.

“Mau ke mana?” suara jantan itu menyapa.

“Pergi. Mungkin takkan kembali. Mereka jadi datang?”

“Jadi. Bangsat-bangsat itu tak mampu luntur hatinya. Pindah ke mana?” tanya pemuda itu penuh harap. Wajahnya menyimpan ingin. Keinginan untuk tetap bisa selalu melewati malam-malam kosong. Atau dikosongkan untuknya.

“Entahlah…. Tapi, nanti aku kabari. Aku belum tahu mau ke mana,” ucap wanita itu. Ia menelan ludah. Berat mengakhiri percakapan. Tapi ia memaksa langkah untuk tak malas. Tatapan ibunya yang berdiri di dekat sana begitu mengancam. Berjuta maki siap dihunus.

Ia tak mencoba memalingkan wajah, walau sempat ia dengar pemuda itu masih berkata-kata, memanggilnya. Tapi suara itu kini tak lagi memburu, karena ibunya sudah memakinya dari bawah. Biarlah tatapan sinis itu adalah tatapan terakhir dari perempuan-perempuan di sini. Mereka selalu memandangnya hina, sejak banyak lelaki wangi yang mengusik hawa pengap kerumunan rumah-rumah reot datang kepadanya. Atau karena suami-suami mereka terlalu rakus menatap dirinya. Walau di ujung malam, terkadang ada yang memaksanya untuk membuka pintu, ingin tidur bersamanya dari pada dengan istrinya yang selalu memaki kasar.

Langkahnya meninggalkan jejak. Jejak yang tak elok, sarat dengan beban. Biarlah langkah ini tak lekang seperti jalan hidup yang susah berubah. Dan wanita itu menanti harap, pada jejak yang akan diendus lelaki itu. Ia menantinya di ujung langkah. Menantinya di sudut-sudut malam, entah di masa apa yang akan disediakan oleh waktu.

* * * * *

Ini puntung yang kesekian belas. Tak jauh dari kakinya berserak bersama abu-abu yang terkapar. Matanya merah meradang. Marah. Mungkin juga karena sudah tak tidur beberapa hari. Tangannya mengetuk-ngetuk meja. Benaknya menulis segala rencana walau kakinya tak teratur bergetar. Tatapnya mengancam, sesekali ia mendengus kasar.

“Pak, sudahlah. Ayo, kita siapkan barang-barang. Besok tak ada lagi masa. Kau sejak tadi tak jelas berpikir apa, marah-marah sendiri.”

“Bu, kita tak boleh menerima perlakuan mereka. Harus kita lawan!”

“Mau lawan pakai apa? Mereka bersenjata.”

“Tangan kita. Kita punya kemarahan!”

“Kita hanyalah kayu kering yang terikat. Kita akan tersulut marak.”

“Kita punya Tuhan. Akan ada hujan yang meredamnya.”

“Apa Tuhan kita sama dengan mereka? Bukannya mereka telah jadi hamba uang dan kuasa.”

“Mereka dendam….. Ya, aku tahu itu. Sejak aku membawa ratusan warga sini untuk berdemo. Mendukung lawan gubernur yang terpilih sekarang.”

“Kita kalah dan akan terus dikalahkan. Ah, sudahlah. Itu salahmu juga, yang terperdaya oleh janji-janji mereka. Mereka yang bertikai, kita yang terjepit. Siapapun yang kau dukung, kita tetap pada posisi yang salah. Sadarlah, tanah ini tak jelas statusnya.”

“Tapi kitakan bisa meminta waktu. Mengitung ganti rugi yang layak. Apa mereka tak berpikir, kita akan digiring ke mana?”

“Negeri ini tak dipimpin oleh gembala yang baik. Hanya serigala-serigala rakus yang kita beri jubah. Hmm…. kita akan berarak bersama lautan yang lain. Suatu saat iringan itu akan berkumpul di suatu titik.”

“Siapa yang menggiring kita?”

“Jangan tanya siapa. Bukan siapa-siapa. Tapi tanya apa.”

“Ya, apa bu?”

“Hahaha…. Jangan panik. Kau perlu belajar pada cacing.”

“Lho kok?”

“Menggeliat. Cacingpun menggeliat bila dipijak. Walau sangat lemah ia tak pasrah. Dan suara komandonya akan menggiring perut-perut kita untuk berkumpul.”

“Hmm… bahasa yang sama. Bahasa lapar.”

“Siapa bilang sama. Belum tentu. Berhati-hatilah! Kita lapar tapi tak rakus. Ada lapar karena tak pernah puas, serakah. Di antara kita akan ada siluman kerdil yang berselingkuh. Matanya nanar menatap peristiwa. Bila kita lengah, cacing-cacing lain akan menyantap kita di tanah.”

“Kemarin siang ada muka-muka manis menatap duka. Mereka bilang akan membantu, bantuan hukum. Apa mereka siluman yang ibu maksud?”

“Ah, bapaklah yang lebih tahu. Liat sampai mana mereka mau terus beriringan. Mungkin sekedar mencari popularitas.”

“Ada-ada saja kau bu. Bangunan-bangunan ini akan rata, tak ada panggung yang megah buat mereka.”

“Bisa saja mereka yang membuat panggung, atau kita yang jadi panggungnya. Sudahlah, aku hanya memperingatkan untuk berjati-hati. Aku mau mengurus barang-barang kita.”

Kembali senyap. Tak ada lagi ucap di bibirnya. Tak ada lagi sebatang rokok untuk disulut. Sekedar untuk mengusir penat di benak. Sekedar untuk meredakan amarah cacing-cacing yang menari kelaparan, bertalu-talu menabuh genderang perang.

* * * * *

Suara-suara itu hilang berganti dengus-dengus mengancam udara. Bagai dewa-dewa yang berperang di atas kuda kencana mereka merebut jajahan. Membumi hanguskan yang ada. Panji-panji kebesaran membatasi tanah jajahan. Mengibarkan kemenangan bersama debu-debu yang terbang menuju mega-mega yang berarak di atas sana.

Punah sudah peradaban kaum-kaum yang tak rakus. Manusia-manusia yang sudi hidup seadanya. Hari-hari mereka seperti hidup yang diatur oleh bocah-bocah ingusan. Pada permaianan rumah-rumah kardus dan boneka-boneka kertas.

Aku tak seperti lorong-lorong yang menatap curiga. Hanya berdiri memagari hidup yang berjalan. Saat perempuan-perempuan menggiring anak-anaknya menjauhi algojo-algojo yang menggasak para lelaki-lelaki mereka. Saat jerit-jerit mengoyak langit yang mengangkang. Saat harapan pecah berurai bersama darah dan air mata. Mereka dihalau bagai binatang-binatang yang dianggap merugikan. Tubuh mereka, perut mereka yang penuh cacing-cacing lapar.

Entah di mana mereka berada sekarang. Arakan yang tak pernah menemukan damai di setiap perhentiannya. Kembali berserak mencari hidup yang mau menaungi walau itu sesaat. Mencari remahan sisa-sisa hidup yang kinipun diincar tikus-tikus got yang juga kelaparan.

Kini aku terduduk sunyi. Di hadapanku tak ada lagi lorong-lorong yang menatap curiga. Toh semua kerakusan jujur terlihat jelas. Aku mencoba bertahan untuk tetap tegar. Untuk sebuah pesan yang dituliskan di tubuhku, oleh bocah itu.

“Bapak, kami dipaksa pergi. Suatu saat kita akan berkumpul bersama lapar yang menggiring. Carilah kami dalam bahasa lapar.”

Grogol, 7 November 2003


gambar : penggusuran warga taman BMW
sumber gambar klik (http://saksimelawan.blogspot.com/2009/04/pemutaran-film-sesi.html)