Friday 21 November 2003

Pinokio Menulis

Jika anda sudah biasa berbohong, mengapa tidak menyalurkan kebiasaan yang penuh dosa itu dengan menulis fiksi?
(Josip Novakovich)


Angin malam itu duduk tergeletak di sudut kamar. Tak mampu berjaga. Sementara lampu redup tak sudi berkhianat. Matanya lelah menatap. Hanya daun jendela memancing pandang, melambai-lambai di luar sana. Dan cicak terbaring menelan ludah untuk tanya yang tak pernah terjawab.

Ia mengusap peluh. Peluh yang tak jujur hadir di malam yang datang dingin. Otaknya berputar bagai memeras anggur-anggur yang tergilas roda waktu. Menetes ke pipi dan menitipnya pada hidung yang kian bersinar. Ia mengusap mata. Mata malasnya.

Ahh…. sudah empat jam. Buntu, batinnya. Membakar tembakau. Menciptakan awan-awan kecil yang mencoba menggoda hayal yang menerawang.

“Apa yang akan aku ucap esok? Mereka sudah menungguku. Aku datang untuk menang,” ucapnya dalam. “Tapi aku harus berkata apa?”

Terbayang olehnya Bukhori akan menepuk dada. Dan mulutnya akan menyala-nyala. Seperti sebuah pertunjukan sirkus keliling di kota-kota kecil. Dan badut Bukhori akan menciptakan bola-bola api dari mulutnya. Mereka terpesoan. Berdiri dan memberi sejuta tepuk.

Atau mungkin Ahmadi akan meninju langit. Memecah awan-awan yang menggumpal. Memberi lautan jawab yang menetes bagi mereka yang lama menengadah di musim-musim berjalan. Jadilah dia malaikat pongah yang lupa akan sayapnya telah lama digadai pada borjuis-borjuis itu.

Sialan! Mengapa otakku terkunci rapat. Ruangan-ruang apa pula yang membius kecerdasanku terperangkap tanpa pintu. Aku telah berkeliling pada semua sudut kota. Telah menyapa pada semua peristiwa. Tapi adakah yang bisa kubaca? Dia bertanya dalam tanya.

Semua sudut terpapar di depan mata. Mata malas. Antara fakta dan fiksi. Atau percampuran kedua kelamin itu. Bila keduanya dituliskan dalam gaya bahasa Ibrani kuno, yang keduanya dituliskan tanpa huruf hidup, keduanya akan ditulis FK dan cara membedakannya tergantung pada cara melafalkannya. Begitu tipis……

Bukakah fiksi bisa menggunakan banyak fakta? Aku bisa bermain-main dalam ruang fakta untuk merangkainya menjadi cerita. Sejarah adalah batu-batu yang kuat untuk membangun pondasinya. Pramoedya bilang, nasion kita tak sadar sejarah. Sejarah itu tempat kita memulai perjalanan. Kalau tempat berangkat itu kita tak tahu, bagaimana kita tahu tujuan kita? Itu sebabnya Pram berkenalan dengan realisme sosialis. Karena realisme sosialis harus mengangkat orang-orang yang tak punya sikap dan menjadi hamba keadaan.

Tapi aku bukan hidup dalam penindasan. Tak melahirkan sikap perlawanan (atau mungkin dendam) oleh akibat penindasan seperti yang dialaminya. Tapi aku punya sedikit sikap memberontak, walau itu memberontak terhadap kemampanan berpikir.

Setidaknya aku bisa mencoba meramu sejarah itu dan memolesnya menjadi sebuah fiksi. Tentu tak membosankan. Karena di saat orang-orang perlu makan dan lapangan kerja, mereka akan muak oleh kehebatan raja-raja di tanah Jawa yang menyisakan feodalisme dalam birokrasi. Artefak-artefak bukan lagi bukti warisan kehebatan budaya, karena turunannya hanyalah budaya kepasrahan ditindas dan dibodohi, sudah mengakar di akar rumput.

Aku harus menemukan sejarah-sejarah baru. Sejarah kolonialis, feodalis, militeristis, dan paham ketunggalan sudah telanjang. Bugil tanpa malu-malu ditatap dan yang menatapnya tak jengah. Aku akan membuat mereka sadar sejarah dan bersatu mengahalaunya. Hanya dalam prosa sejarah akan gampang dicerna.

Tapi jari ini masih tak bersahabat. Diam tak sudi menari, walau nyanyianku adalah nyanyian jiwa yang melantun keluar dari gendang telinga. Sedangkan nadiku terpacu kencang dengan sejuta kata yang ingin tumpah di jemari. Tapi jemari diam. Aku ingin menulis. Menjadi pengarang. Menjadi resi-resi sejarah, julukan yang diberikan Ben Okri (novelis Afrika) bagi pengarang. Karena pengarang adalah barometer zaman. Pengarang adalah orang yang menulis melawan arus zaman, pengibul tentang kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan dan penebar janji-janji yang bisa dipercaya. Aku ingat, ucapan itu dikatakan lantang oleh Gunter Grass pada pidato pengukuhannya sebagai laureat Nobel Sastra 1999.

Oh….. aku kini sudah mulai berdamai. Aliran darah dan oksigen berjalan tenang, bergerak maju. Jari-jemari menjadi kepanjangan otak. Syaraf-syaraf mulai saling memangut, bermesraan. Sebuah emosi ternyata mampu mendorong untuk menulis. Mampu menjiwai alam pikir orang lain. Mampu menjiwai suara seseorang. Jerit orang-orang. Harap yang masih tersisa dari nafas tersenggal-senggal sebelum pintu kubur ditutup.

Mengalir bagai banjir yang menggenangi rumah-rumah di dataran rendah di sekeliling perumahan megah. Menerjang kaki-kaki alas tidur di pinggir kali. Menyapu nafas manusia-manusia yang menjajakan peluh di tepi-tepi jalan karpet mobil mewah. Menenggelamkan hak-hak pemilik negeri hingga terlihat teduh keruh menjadi lautan, terpasung pada waduk angker yang dijaga berabad-abad pada pintu airnya.

Lelaki itu mengamini. Cerita fiksi mirip dengan dusta. Memulainya dengan suatu yang nyata. Mengubah menjadi alur yang bisa diatur bermuara untuk tujuan tertentu. Dan esok, di atas podium itu, membuai jelata dengan kata-kata indah. Ia akan menang pada pemilu kali ini. Wakil dari kaum pendongeng.

Grogol,20nopember2003

Sang Pemimpi

Malam basah. Hujan patahpatah.
Dan di sebuah kafe angin tak sendu.
Hanya waktu berjalan sempoyongan.
Bersamanya ada dentingdenting.
Nyaring menghantam. Bedilbedil yang
menjemput saudara kita.
Lihatlah......bibirnya sumbing
Pagutan kabar bohong beraroma arak.

Musik yang berdentum adalah detak nadi
satusatu. Tarian kejang, kawan menggelepar.
Indonesia Raya dihasut lidah mereka.
"Kami tidur di pusara leluhur"
Langkah enggan berpindah, merekah kubur.
"Jangan halau kami!"

Malam kian kian lelap di bibir basah.
Di tatap curiga lima watt, senyumsenyum
asing menjual kebebasan.
Hidangan penutup sebelum ingkar janji.
Sebelum malam berganti kelamin,
ada sapa, 

"Hai Yusuf sang pemimpi, esok ada apa?" 

Sebelum malam berganti tuhan
dinding menatap, penjara bagi tubuh,
merdeka bagi ruh.

grogol,20/11/03

Friday 7 November 2003

Pada Akhirnya, Lelaki Harus Kembali Sendiri

Jalanan becek. Udara dingin menemani riak-riak kecil, langit tak lagi menangis. Sedu-sedan itu telah berakhir setelah langit terlihat muram sekian lama, awan-awan berat tadi malas menari. Tinggallah tetes-tetes yang malas bunuh diri dari jubah hitam yang membentang.

Bibirnya bergetar. Oleh dingin yang sama kembar dengan akal yang membatu. Gerimis patah-patah. Pedang-pedang tajam tak mampu kikis niat di setiap langkahnya. Hanya menemani sunyi dengan bisik-bisik pelan yang bergelantungan di udara menuju peraduan di bumi basah. Kini setelah berjalan lama akhirnya ia mendapatkan sebuah perhentian, tempat berteduh.

Otaknya tertawa miring. Tak ada guna ia berteduh. Toh tubuh telah basah kuyup. Begitu modrennya kota ini sehingga tak tersisa sejengkal perhentian yang mampu menaungi dari hujan dan panas. Pohon-pohon yang ada tangan-tangannya tak rindang. Kurus memanjang ke atas. Hanya fungsi keindahan dan sedikit kemampuan menyerap udara kotor.

Tapi tak apalah, pikirnya. Setidaknya ia bisa meringankan beban kaki. Pantatnya beralas besi tua, terlihat berkarat. Titik-titik air yang terbawa turun manja. Memeluk besi tua, semburat rona merah terlihat malu-malu. Melukis pantat yang bergetar, kaki gemetar. Dingin yang tak gentar mengganggu.

Kilat menyambar, memperkosa malam. Guntur pongah menggelegar di udara. Gigi yang gemertak, bius angin memutihkan bibir. Ia tak mampu tersenyum tapi matanya menyiratkan tawa. “Akhirnya,” ucapnya dalam. Jantungnya tak lelah berdetak, sekian juta detak menyusun rencana. Dan, “Binggo! Aku berhasil. Aku bebas,” teriakannya menggema. Memenuhi rongga dada. Keluar melalui lobang telinga. Mengancam udara. Dan guntur kecut. Langit hitam kini tak lagi kusut.

Ia masih duduk. Kaki yang gemetar. Bibir putih dengan mata tertawa. Di pekat bola hitam, ada selembar layar putih. Ada cerita yang berjalan pelan. Sebuah rumah indah dengan pagar besar. Perabot mewah memeluk penghuninya. Wanita cantik dengan kacamata membaca novel, tangannya teratur menghantar benda-benda kecil nan gurih ke mulutnya.

Rriiiinng………..

“Halo. Ini ibu ya?”

“Ya. Ada apa Nina?” sepertinya wanita itu mengenal suara di seberang.

“Perutku sakit. Bayi ini nakal. Menendang-nendang terus. Ibu kemari ya.”

“Wah, cubit saja bayimu. Mana suamimu?”

“Ibu ini gimana. Ya sakit perutku. Mas Anton belum pulang.”

“Dasar anak nakal. Belum lahir sudah bikin susah. Sudah, kamu ke mari saja.”

“Mana mungkin. Ini udah jam sebelas malam. Ayah mana?”

“Entah. Dia mengurung di kamarnya. Ayahmu kini aneh. Selepas pensiun dia tak mau keluar rumah.”

“Gedor pintunya. Aku tak mau bayiku lahir di ranjang ini. Kalau ada darah, bisa pingsan aku.”

“Ha? Memangnya kandunganmu sudah berapa bulan?”

“Yah ibu… ya udah hampir sembilan bulan.”

“Sudah, sudah. Jangan panik. Ibu juga dulu seperti kamu. Untung ada ayahmu. Oh… lagi ngapain dia?”

Hening. Hanya suara berjingkat pergi. Dan wanita itu tak lagi mendengarkan rengekan. Kini ia ada di depan pintu. Kamar suaminya.

Tok! Tok! Tok!

“Pak! Paaakkk! Buka! Anakmu mau melahirkan!”

Gedoran pada pintu itu kian lama bukan lagi seperti ketukan. Menyerupai kampak-kampak yang ingin menghancurkan. Tapi tetap masih tak ada jawaban. Tetap diam. Hening menatap.

Wanita itu tak sabar. “Dasar manusia tak berguna!” umpatnya.

Anjing! Bangsat! Maki yang diucap bergetar pada bibir yang masih saja tetap putih. Matanya tak lagi tertawa. Merah membara membakar layar yang terkembang. Dengusnya kasar, dadanya naik turun. Tetes air meronta jatuh dari helai rambutnya. Bergelimangan di bibir. Tak asin. Entah apa rasanya. Tapi, lidah selanjutnya menjilati tepian. Mencari rasa. Memecahkan murka. Menggigit bibir.

Tertunduk, kedua lengannya meremas rambut yang basah. Wajahnya kian basah. Matanya berkubangan, bercermin jarak. Penuh dan menetes. Membelah pipi menjadi banyak keping. Hidungnya menerima sapaan tangis, menangis tersendat-sendat. Entah mengapa pula mulutnya latah ikut berduka. Otaknya berputar menjauhi sumbu, melingkar kembang. Menggeleng-geleng bagai mengguncang benak kesadaran yang tertidur mengigau. Melemparkannya ke dinding-dinding rongga yang mengukung. Dan terhempas. Menggelembung bulat besar. Meletus ganas.

Bajingan! Dasar manusia tak tahu diri!
Kakinya menghantam lantai. Pecah cermin-cermin yang mematut diri, berlarian menghambur sejauh-jauhnya, berserak ketakutan. Berselingkuh bersama genangan lain yang menatap curiga.

Tawa entah lari ke mana dari mata itu. Hanya ada tetes-tetes yang sama beningnya dengan ingatan saat itu. Mengalir cerita lama begitu lugas. Jenih berbayang dari setiap masa yang ada dulu. Pada tetesan masa muda yang penuh gairah. Lajang yang tak berpuan. Bebas menjamah hari dan mencengkram keinginan. Meraup ilmu tanpa ragu seakan hari depan adalah ladang tuaian. Menari dalam langkah di jejak-jejak jaman. Memberontak pada rezim. Menelanjangi kebodohan yang lama dikemas dalam nilai-nilai masyarakat. Memecah tabu, menghantam langit batas. Dinding-dinding yang membutakan pandangan.

Di tetes yang lain, harapan ada di negeri ini. Ambisi ada bagai api yang sangat kalap menyala di musim kemarau yang panjang. Akar-akar rumput kering itu mulai bangkit. Tapi masih tetap kering. Kemakmuran tanah negeri ini tak menyimpan kesuburan yang cepat datang. Kemarau lama mematisurikan dewi sri. Malah terkadang serimbun rumput dianggap sampah dan dibakar. Merah. Menyala. Akar-akar lain ciut. Panasnya menempa dendam yang terkubur diam-diam. Bagai bara di bawah ladang gambut yang terhampar pasrah.

Di masa itu ada tetes lain. Kebahagian ketika melepas lajang. Gadis cantik itu menjadi miliknya. Bening, suci mengucap ikrar. Sepertinya langkah tak lagi panjang., ia terhenti untuk membangun dunia baru. Dunia kecil bernama keluarga. Ada bapak, istri dan anak.

Masa tak terlupakan ada saat ia merawat keduanya. Istrinya yang selalu harus diawasi. Penyakit asamanya selalu kumat. Terkadang di saat malam ia harus melarikan istrinya keluar rumah. Menuju jalanan sepi. Mencari udara segar hingga ke puncak. Dan saat pagi menyapa, ia harus pulang membawa istri, dan anaknya tertidur pulas di kursi belakang. Kemudian bergegas bertarung mencari keping-keping di antara serpihan-serpihan hidup.

Kian waktu terus menetes, kasihnya tak mampu luntur. Istrinya masih tetap istri yang perlu udara segar. Dan anaknya masih anak yang menanti dimanja. Menyiapkan sarapan kesukaannya. Membantu menyelesaikan tugas sekolah. Memenuhi apa yang dibutuhkannya. Semuanya ada disaat dia ada. Dan dia merasa ada untuk mereka. Dia telah mengada..

Dan tetes itu terhenti. Di wajahnya tak terlukis tangis. Kini keras bagai batu yang membesar menemani sungai yang tak pernah henti mengalir. Ia menggeleng-gelengkan kepala. Jejak-jejak itu terantuk-antuk di dinding ingatan. Dan meninggalkan keping hati yang tercecer. Berdarah.

Aah…. mereka telah berubah, batinnya. Istrinya bukan lagi istri yang ramah dan menanti dimanja. Anaknya bukan anak yang bisa mengabdi. Mereka menjadi mahluk aneh di malam hari. Ada dan tak bersembunyi. Sejak ia memasuki masa pensiunnya, mereka mentertawai resah yang dimiliki lelaki itu. Mereka menari-nari di atas tiang-tiang galaunya.

Ketakutannya adalah ketakutan mereka yang tak siap dengan pengasingan dari dunia kerja. Ia ingin beristirahat tapi ingin mengais hidup. Ia ragu pada masa depan. Oleh mulut besar istrinya yang selalu pamer harta. Oleh rengekan anaknya yang tak puas akan gaji suaminya. Sepertinya semua ini tak cukup menjalani sisa-sisa hidup. Tapi ia tak mampu buat apa. Mereka hanya mampu mentertawai.

Di saat gelisah kian datang, tubuhnya kian kurus. Sedikit demi sedikit melemah. Tubuh terkadang panas tak beraturan, lemas. Atas saran dokter pribadinya, ia dinyatakan terkena kangker prostat. Dan harus dioperasi.

Berangkatlah ia ke Singapura, diagnosanya tetap sama. Harus dioperasi. Ia terpana menatap meja operasi. Bagai peti mati yang ingin memeluk. Refleks ia melompat dan berlari menjauhi meja operasi, kursi dorong, dokter dan suster yang terperangah.

Mereka bukan terpana pula. Malah tertawa. Menganggapnya gila. Lelaki tua yang bodoh tanpa pengharapan. Sesungguhnya ia berharap mereka ada menemaninya saat itu. Tapi entah setan apa yang membisikkan istrinya untuk tidak membatalkan kehadirannya pada sebuah arisan kumpulan ibu-ibu gemuk itu. Sedangkan putrinya tak mungkin dibujuk pula, ia tengah hamil dan sibuk mempermasalahkan suaminya yang katanya kurang perhatian.

Lelaki itu sadar ia kini sendiri. Tak ada yang mengenali derita yang dialaminya. Sebenarnya saat menuju operasi ia tersadar. Bukan takut untuk mati. Ia takut istrinya akan lebih kejam memvonis keberadaan dirinya. Cap-cap baru akan jadi ucap yang terus mengiang dan menyakitkan disetiap pertengkaran. Ia tak siap dikatakan lelaki lemah. Lelaki yang tak sejati. Lelaki yang mungkin akan mandul.

Hujan telah berhenti. Langit merah menyiratkan kemegahan hari. Waktu ada di depan. Lelaki itu bangkit untuk melaluinya, ia ingin berjubah detik-detik yang manja menyapa, dan membuat sejarah baru. Biarlah yang lama hanyut dibawa gelombang sungai yang meluap-luap. Setidaknya mereka pasti mengiranya telah mati tenggelam, setelah membaca surat yang ditinggalkannya di ranjang malam tadi.

Dan pagi menuntun langkah tuanya, tak lagi gemetar. Tak lagi gentar. Udara segar membusungkan dadanya, bukan dada yang rapuh menyimpan gunungan resah. Di benaknya hanya ada satu ingatan, “Pada akhirnya, lelaki harus kembali sendiri.”

grogol,9oktober2003

SARA

Matanya lapar menatap halaman-halaman yang berkumpul jadi satu. Liurnya menetes, pada setiap lembar yang dilalui. Kali ini jari telunjuk kanan menghampiri lidahnya lalu membelai tepi halaman. Menerkam kata-kata yang berlari menuju halaman berikutnya.

Saman, Yasmin, Leila, Shakuntala. Leila mampir di New York. Tidak lebih 5 kilometer jaraknya dari Sihar. Dari Sihar dan istrinya. Aahhh…. Ayu kamu nakal, menciptakan kenangan pada mereka yang telah tiga kali berbaring bersama tanpa bersetubuh. Sementara Saman pun kau hadirkan di kota itu. Kini dua lelaki yang ada di hati Leila ada di kota yang sama. Seorang Saman adalah Frater Wisanggeni, buron hingga ke kota ini oleh karena dituduh dalang kerusuhan di Medan tahun 1994.

Ada tangis. Sepertinya Ayu Utami tak menitipkan kata itu di akhir kalimat yang baru dijamahnya. Ia berlari kecil, sementara buku “Larung” ia biarkan terlarung di peraduan. Dari celah pintu yang dibuka pelan-pelan, Sara mencuri pandang. Di sebuah sofa di depan TV, Peter, abangnya, kikuk bagai kerbau bungkuk. Dibelainya rambut gadisnya, Eva, tapi tangis kian menjadi. Sara tertawa tertahan, ia geli. Peter bukan lelaki yang mampu menenangkan, buktinya ketika ia kecil dulu tak mampu ditaklukan ketika merajuk. Atau mungkin kak Eva memanfaatkan kodratnya sebagai wanita untuk mendramatisir suasana. Wanita kan tidak dilarang menangis, hanya pria yang dilarang, hehe….

Sara kembali ke peraduannya. Ia tak berusaha menutup kembali pintu kamarnya. Ia biarkan terbuka sedikit agar udara yang juga usil mau berbagi cerita. Tentang pertengkaran yang ia coba cari tahu, curi tahu.

Eva terisak-isak. Ia mengeluhkan sikap Peter yang kadang tidak pedulian. Tidak ada perhatian, katanya. Sudah sekian tahun berpacaran, Peter tak mampu memanjakannya. Bukan berkeinginan menjadi anak kecil kembali, tapi perhatian terkadang dibutuhkan untuk menciptakan waktu-waktu yang romantis.

Dan sekali lagi, Peter hanya bias mematung. Seperti patung dewa cinta yang tak mampu melepas anak panahnya. Ia tak tahu harus berbuat apa.

* * * *

“Halo, bisa bicara dengan Peter?” tanya suara di seberang.

“Bang Peter lagi di luar kota. Ini dengan kak Eva?” tanya Sara. Sepertinya ia mengenal suara merdu itu.

“Yap. Kapan Peter berangkat. Kok ndak bilang-bilang?” suara Eva terdengar kecewa.

“Berangkatnya tadi pagi-pagi. Mendadak. Menggantikan temannya yang berhalangan,” kata Sara. Ia mencoba meluruskan persoalan.

“Oh gitu. Udah dulu ya, kakak masih ada kerjaan di kantor nih. Eva nggak berangkat kuliah?”

“Ini mau berangkat.”

“Ok. Hati-hati di jalan. Have a nice day. Bye.”

Klik…

Sara diam. Di seberang sana Eva hening. Sara tak habis pikir sikap abangnya. Eva tak sadar, ada dua tetes tangis di pipinya. Sara dapat merasakan kekecewaan perempuan itu. Eva hanyut dalam kesedihannya.

* * * *

Telah dua hari ini Sara tidak ke kampus. Setelah tiga hari yang lalu teman-teman kampusnya marah besar. Mengejeknya yang tak mampu tepati janji. Ulin, Mitha, Artha dan Lina mengejeknya sebagai nenek sihir. Pembohong besar. Tetapi mana ada nenek sihir bertubuh bongsor, takkan bisa terbang dengan terbangnya, pikir Sara.sambil menahan tawa.

Bengkak! Itu kata yang dibencinya sejak kanak-kanak. Selain kata tongos. Mereka mengelilinginya seperti menari. Tarian yang menjulurkan lidah dengan kedua tangan berputar-putar di telinga. Selanjutnya akan ada lagu yang melengkapi pertunjukan. Bernada tinggi yang diakhiri dengan gerakan duduk sambil kaki menendang-nendang. Meraung-raung.

Untunglah Peter menyelamatkan ‘riwayat’ kelam itu. Pahlawannya itu memberi kesempatan untuk tidak dipermalukan lagi. Memang tubuhnya yang gemuk tak mampu berkurang kiloannya. Tapi Peter memberi kesempatan lain. Ia membawa Sara ke dokter gigi. Untuk merapikan giginya yang tongos, nongol, walau harus menggunakan kawat gigi tak apalah. Dari pada diejek sebagai mahasiswi gendut dengan gigi yang tongos pula.

Bukan berarti Sara tak percaya diri. Tapi kenyataan kadang memang bisa melunturkannya. Seperti kerasnya patung tanah liat, bila ribuan ejekan menghantarkan ludah-ludah, sedikit demi sedikit patung itu akan lumer dan tak berbentuk. Hingga rupa dan perasaan sama remuknya.

Untuk sang pahlawan itu pulalah, hari ini Sara mengorbankan perasaannya. Biarlah teman-temannya menganggapnya penipu. Toh, tadi ia juga memberi alternatif lain. Mereka dapat menikmati kue bikinannya di rumahnya. Pasti enak. Tapi lidah mereka lebih mengenal baik makanan-makanan kapitalis itu. Mereka tetap hanya ingin ditarktir, seperti jadwal kebiasaan mereka bergilir untuk saling mentraktir setiap minggunya di tempat tongkrongan mereka di salah satu mall. Dan kali ini giliran jatuh pada Sara.

Sara bukan tak punya uang. Peter selalu bermurah hati menyisihkan gajinya untuk Sara. Sara lebih memilih memakai uang itu untuk membeli seikat bunga. Rangkaian bunga mawar yang indah. Sangat indah. Harganyapun lumayan mahal, dari sebuah toko bunga yang siap mengantar pesanan ke tempat tujuan selama masih di kota yang sama. Untuk Eva.

Duh….kak Eva pasti senang, pikir Sara. Ia membayangkan senyum yang lebar akan terlukis di wajahnya yang cantik ketika membaca nama pada kartu yang terselip di antarannya. Love and thousand kisses, from Peter.

* * * * *

Sore ini matahari membakar senja. Langit merah meradang di ufuk sana. Udara sudah gerah sejak siang tadi. Lama hari-hari tak dikunjungi hujan. Tanah sepi merindukan awan menteteskan kasih.

Sementara itu, suara langkah tak lagi terseret. Kini berjingkat sambil bersenandung. Sara membuka pintu rumah. Ia meninggalkan topeng muram bersama sepatu yang terhampar di keset kaki. Ia tak mau Peter tahu akan kekesalannya di gereja tadi saat latihan koor buat Natal nanti. Mata mereka menuding Sara, suara sumbang itu dirasa milik Sara, sehingga latihan sempat diulang-ulang belasan kali. Dan sara tahu diri dengan menghilang pelan-pelan, keluar dari ruangan dan pergi.

“Kukasihi kau dengan kasih Tuhan. Kukasihi kau dengan kasih Tuhan. Kulihat di wajahmu kemuliaan Raja. Kukasihi kau dengan kasih Tuhan. Bagaimana aku harus mengatakannya. Tentang perasaan di hatiku. Oh, Tuhanku aku sungguh mengasihinya. Kukasihi kau dengan kasih Tuhan…”

Sara berjalan di dalam rumah sambil bersenandung, melewati Peter dan Eva yang duduk di sofa depan TV. Mereka diam. Sepertinya lagi marahan. Dan semoga merekapun tak memintaku untuk menghentikan laguku, kata Sara dalam hati.

Sara menyibukkan diri di dapur. Menyiapkan makan malam. Apalagi ada kak Eva, ia tahu apa kesukaan pacar abangnya ini. Malam ini ia coba memberi suasana yang indah bagi mereka mereka berdua. Sara membuka laci lemari dapur. Untung masih ada sebatang lilin. Candle light dinner. Oh, so sweet…

* * * *

Malam itu langit bersih, awan memeluk dengan mesra pada langit. Bintang berkerjap-kerjap di sudut sana. Sementara selimut malam membawa angin yang bertiup pelan seakan siap membawa mimpi berkubang hingga pagi datang.
Peter tak sabar menanti fajar tiba. Esok adalah hari yang bersejarah bagi hidup Peter. Ia dan Eva akan menikah, setelah mereka berpacaran 3 tahun lebih lamanya. Dan di beranda ini, ia berdua duduk dengan Sara. Meninggalkan kehangatan di dalam sana, percakapan yang tak habis-habisnya dengan mamak, bapak, bibik, kila, nini dan saudara lainnya yang teelah datang dari kampung.

“Sara, abang dan kak Eva banyak berterimakasih padamu. Karenamulah hubungan kami tetap langgeng hingga hari ini. Dan abang dapat berubah, hingga dapat lebih mengenal hati perempuan,” kata Peter sambil menatap mata Sara.

Sara yang duduk di sampingnya jadi kikuk. Ia bingung.

“Alasan apa abang berkata seperti itu?” tanya Sara mencari jawab.

“Hehehe… abang tahu segala perbuatanmu. Mengirim seikat mawar indah ketika aku dan Eva lagi bertengkar. Mengirim coklat kesenangannya saat Eva ulang tahun. Dan lagu itu……lagu itu sangat indah, menyindir kami yang terlalu dikuasai emosi belaka. Lagu itu menghantar kasih yang berkelimpahan. Dan kau beri kami jamuan malam yang indah, malam yang sangat romantis untuk kami berdua.” Peter tersenyum. Ia sangat bangga pada adiknya.

“Ahh…. abang. Dari mana abang tahu semua itu?” Sara tersipu malu. Wah, ketahuan nih.

“Ya, awalnya abang bingung. Eva selalu menelepon setelah menerima kiriman-kirimanmu itu. Padahal aku nggak merasa melakukannya. Tapi di saat-saat itu aku hanya bersyukur, Eva tak lagi marah. Yang penting ia senang. Mungkin aku bukan tipe lelaki romantis. Tanggal kelahirannya saja aku lupa, hehhee….. Sara, kau punya segudang keajaiban. Makanya aku bisa menduga, kau yang melakukan semua itu. Kau punya danau kasih. Kasih yang mungkin belum ditemukan orang lain selain aku. Mengapa tak mencoba cari pacar? Kamu romantis, penuh perhatian, anak yang periang, pinter bikin bikin makanan lagi. Pasti pacarmu akan senang banget.”

“Ahh, mana ada yang mau denganku,” kata Sara malu-malu. Pipinya merah. Seperti tomat yang ranum.

“Hei, jangan langsung nggak pede (percaya diri) gitu. Mungkin saja mereka belum menemukan kelebihanmu. Bukan maksudnya kelebihan berat loh, hehe…. Mungkin suatu saat Arjuna yang kau impikan di semua puisi-puisi dan tulisanmu akan hadir mengunjungi hatimu dan bersemayam selamanya. Tapi… aku pikir-pikir, punya cewek seperti kamu lebih menyenangkan. Tahu perasaan lelakinya. Nggak seperti Eva, emang sih cantik, tapi cepat marah, hehhee….”

“Awas ya, aku kasih tahu sama kak Eva nanti,” ancam Sara sambil tertawa lebar.

“Ya, jangan gitu. Eh….. tapi abang bisa minta tolong lagi nih,”

“Untuk pahlawanku, aku sedia mengabdi,” kata Sara sambil memberi hormat, membungkukkan badannya.

“Hmm, besok pada saat acara pemberkatan nikah, Sara tampil ke depan ya. Sara nyanyi ya, suaramukan bagus. Mau ya sayang,” pinta Peter memelas.

Sara hanya diam. Bengong. Ia panik. Terbayang esok suasana yang bakal dihadapinya. Semua akan menatapnya. Tubuh ajaibnya. Ah… sejak kapan sih Celine dion bertubuh gemuk, pikirnya.

grogol, 9 september 2003