Thursday 28 August 2003

Manusia Indonesia Multi Dimensi :

Otak : sosialis
Hati : humanis
Perut : kapitaslis
Kelamin : liberalis

Trus, Tuhannya siapa ?

Wednesday 27 August 2003

Wah…nyeni

Matahari menangis di tiga sore. Angin lupa berbisik, bersama burung ada waktu yang menetas. Beranak segala kemungkinan. Tak sungkan langit terus berias diri, awan-awan sejenak berdiri. Kadang berlari. Opss…. tubuhnya dihujam burung besi.

Bocah kecil meringis di tiga sore. Lebih beberapa menit. Sejak detik lalu ia lupa bernafas atau mengembuskannya. Di dekat burung ada yang menetas. Plung…menenggelamkan diri. Di telan masa dan massa.

Bocah kecil meringis di tepi sungai. Jongkok di dalam kakus bambu di atas sungai yang menengadah pasrah. Di belakang ada gunung, dihunus petak-petak sawah yang kian merapat. Dari sini terlihat Basoeki memberi bingkai langit biru. Tak lupa pohon kelapa beberapa menyentuhnya. Ada titik-titik. Mungkin itu buahnya. Atau seekor monyet? Mungkin orang memanjat. Ah… hanya Bassoeki yang tahu. Sedikit riak ada pula di aliran sungai. Batu hitam. Riak melingkar. Malingkundang? Oiii… itu bukan pulau, hanya batu. Dan setetes biru. Langit menangis? Basoeki menjerit. Tangannya geram mengusap-usap. Buram. Berlalu. Banyak orang datang dan membelinya. Wah… indah.

Bocah kecil masih meringis. Di atas air yang kini biru mengalir. Mulutnya sinting menari, naik turun. Ia tak mengucap syair. Lupa ada melodi yang menanti dijemput. Hanya ada sejumput nyeri, cacing-cacing mencari mimbar. Gaduh dengan liuk tak tentu. Teaterial. Sesekali berjumpalitan, bergelut, meregang. Dan erangan, menekan. Ngeden. Plung…. Lagi-lagi air memeluknya. Berkecipak., bertepuk tangan. Sambil berdiri, Tejo memberinya judul.

Bocah kecil masih meringis di atas kakus. Sumpah mampus perutnya tak jelas, memberangus. Badannya kian mengering. Oleh hari membakar. Nilai yang kian terpanggang, kadang ada bara. Selalu ada abu. Abu-abu. Gerah, diraupnya air seni di dekat burung yang berceloteh bagai Rendra. Diusapnya pada rambut tebal bergulung milik Saut. Abrakadabra…… otak tumpul biarlah tumpul. Yang bergulung jangan berguling. Yang sumbing tak perlu malu tersungging.

Bocah kecil tak lagi meringis. Hanya menangis punggungi panggung kakus. Di sana ada mantera penjinak milik Sutardji. Sedikit amuk mengusik hawa udara tadi. Tak bau kata ikan-ikan. Tak serak kata udara. Tak, tak, tak. Ilalang bertepuk tangan. Akar rumput geram mencengkram. Di depan langkah, kerbau tertambat menanti. Tersenyum dan berucap, “mbouuw…nyeni”