Wednesday 30 July 2003

aku beri langkah

aku memberi langkah padamu
untuk datang padaku
daundaun kering. jejak
bulan dicakar ranting
dengusku

aku memberi dada padamu
gersang. hanya ilalang
tidurlah dan bermukim
tunggulah kupukupu durhaka pulang
tenggelam bersama bulan di lautan
debur ombak
nafas kita

aku memberi bingkai di wajahmu
lidah melukis cantik
melumat bibir. menetes membasahi
ranum dada. bulat
bergulir dan hilang di rambutrambut akal
menepi bersama buihbuih ombak

oh kasih! tubuh ini tak bertuan
engkaupun kabar dibawa petir
menghujam hati menatap langit
termangu
menunggumu turun berjingkat
meniti pelangi
dan eros usil ganggu langkahmu
awas jatuh!
....cinta!

biring


-- buat : nini

dari tidurku berembun malam
aku dengar tanah menahan lapar
hampa akan turun pada rangkulnya
suara-suara mengacak awan
di atas sana, malaikat sibuk membuka lembar lama

ngandung…..
nyanyian dan tangis adalah incest
tersusun rapi hikayat lama
babad-babad yang bukan khianat
mengalir bersama lau biang, ada sebelummu
t
u
r
u
n
menetes....
bersama kulcapi yang memetik diri

nini! putri hijau menari di langit. gemulai.
bibirnya merah. bibirmu ada sirih
pergi sana! jangan menunggu lebih renta
jangan lupa sertakan kampil, daun sirih dan pinang
dan tok-tok itu
lambang kemegahanmu
yang memperanakkan manusia-manusia liat

dari tidurku yang tak panjang
aku dengar dengkurmu
terbungkus rapat uis gara
kau pikun pada ucap lantangku
senyummu senyap
menuju rumah Bapa

24juli2003


keterangan gambar :
seorang wanita Karo jaman dulu menjadi sampul buku Indonesia 500 early Postcards. Gambar wanita karo tersebut adalah pilihan yang terbaik dari 500 gambar kartu pos seluruh Indonesia yang dikeluarkan pada zaman kolonial. Buku ini disusun oleh Leo Haks dan Steven Wachlin.

Wednesday 23 July 2003

Hati yang Tak Mau Memberi

Ini hari ketujuh ia tidak ada di sini. Di kamar ini. Kamar miliknya yang entah oleh sebab apa tidak lagi menjadi otoritas miliknya sendiri lagi. Aku telah ada cukup empat bulan lamanya. Tak mampu beri warna yang lain hanya menambah pengap saja. Setidaknya keringat-keringatku telah meracuni kasur kapuknya. Dan di langit-langit masih ada sisa-sisa asap rokok, sementara laba-laba tak mampu rajut waktu.

Ini hari ketujuh pula tak kutemukan suaranya berkata-kata panjang. Yang berteriak mengalahkan suara ceret air kutanak. Nafas harumnya keluar meracuni asap tembakauku. Terlebih ketika asbak ditemukan puntung yang kesekian belas sementara di bibirku yang kian menghitam ada nyala yang lain. Ia katakan, ini sebuah pembunuhan. Lalu pintu terbuka. Entah mengusir asap atau aku. Ia hanya diam di depan pintu. Dan nyala puntung yang manja ikut-ikutan diam.

Ahh…. tentangnya aku menjadi gila. Ini rindu atau entah apa. Aku tak bisa mengeja. Satu persatu aku membalik cerita, menenun tingkah yang berarak menuju apa. Tertampung setetes demi setetes mimpinya yang tiap malam kuperas mencari alas. Logikanya dan logikaku bagai petak-petak di papan catur. Ada saat kuda harus berjingkat maju atau mundur. Tetapi hitam tetap hitam. Dan saat putih harus tersudut, ia hanya bergumam bahwa aku curang. Tak mungkin ada kekalahan di sebuah permainan, karena semua ada jalan keluar. Mungkin bukan saat ini, manusia boleh lupa katanya.

Yang kusuka adalah matanya. Membelalak saat melihat aku lupa membuka sepatu. Ia akan berkacak pinggang, mengukur batas tepi pinggul yang kian menebal. Tak perlu lama untuk menghentikan omelannya, cukup aku katakan, ia terlihat kian gemuk. Ia akan gelisah memegang perut. Mengangkat garis bawah kaosnya yang longgar menampakkan lingkaran kecil di perut. Ia akan meminta pendapatku. Aku tak perlu serius tentang itu, cukup aku tunjuk sampah-sampah yang masih hangat malas tergeletak. Di atasnya terlihat muka-muka kapitalis menghitung rejeki.

Siapa sangka dendam yang mempertemukanku dengannya. Ketika kudapatkan sebuah buku yang kupinjamkan pada Pandit terlihat tak karuan. Sampul yang kumuh di tepi-tepinya. Ada banyak halaman terlihat pernah dilipat, mungkin pertanda batas halaman yang terakhir dibaca. Mungkin ada ratusan tetes air liur yang menempel saat jemari membolak-balik halaman. Aku jijik. Aku geram. Ini bentuk penghinaan atas sebuah karya cipta seseorang. Tak menghargai otak mereka yang kian tua dan kusut.

Namun aku tak bisa memberinya maki atau sekedar ucapan ketus saat ia ada di kamarku. Di kamar Pandit pula. Manusia yang langka ini bercerita apa yang ia baca. Tentang perlawanan Soe Hok-gie terhadap tirani hingga akhir hayatnya. Kematian yang suci setelah melewati hutan di lereng-lereng rendah hingga melewati pasir dan butiran-butiran larva yang menutupi lereng bagianatas dengan kemiringan enam puluh derajat menuju puncak semeru. Dan tulisan yang memikat di sebuah batu nisan, “Nobody knows the trouble I see, nobody knows my sorrow.”

Aku tak bisa memberi komentar akan kesedihannya melihat nasib asmara sang demonstran yang kesepian itu. Hanya bila ada sedikit keberanian, mungkin aku cukup berkomentar, wajahnya terlihat lucu saat berpikir serius. Pipi yang kian membulat dengan sebuah guratan di kening. Mungkin ini yang membuat di esok hari dan esok harinya adalah pertemuan. Bukan karena janji atau rindu yng naïf, tetapi ada detik yang menghantar langkah begitu ringan untuk sebuah kebetulan.

Bukan kebetulan pula hatiku kian melunak saat niat bacanya yang begitu besar memperkosa buku-bukuku satu persatu. Satu persatu buku dipinjam dan selanjutnya ada perdebatan. Tentang penulis yang terlalu berhayal melangkahi logika dan tak berpijak di bumi. Atau suasana batin apa yang kira-kira merangsang penulis hingga orgasme dan menetes mani-maninya menjadi kata-kata indah. Kumpulan halaman yang nikmat untuk digerayangi.

Ya, semuanya kini kami lakukan di atas kasur kapuk ini. Sekali lagi di atas kasur, karena ruang tamu hanyalah seperangkat kasur dan televisi yang menganga dikelilingi rak-rak buku dan sebuah lemari. Entah apa yang menghantarkanku ke sini, meninggalkan tempat semediku dan nyamuk nakal bernama Pandit. Mungkin karena keteledorannya yang lupa mengembalikan semua buku yang dipinjam. Hingga aku merasa seorang pencuri telah membawa lari harta karunku. Rak bukuku ompong. Dan lemari bajuku kedinginan, menggigil ketakutan ketika aku menyeringai sangar mendapatinya kosong. Tapi ini juga ulahku membiarkan ia bebas menilai penampilanku saat ditemukannya daki tidak jatuh setelah kucuci. Ada banyak komentar disusupi niat baiknya untuk mencuci kembali dan memberi garis-garis licin di setiap lipatan.

Mau tak mau aku kerap mendatanginya. Di sebuah kamar di sebuah rumah susun. Walau dengkul terasa mau copot ketika anak-anak tangga tersenyum manis minta diinjak. Berpakaian dan sekedar bersapa. Namun terkadang tertahan oleh sebuah percakapan. Kemudian sebuah percakapan lagi. Dan percakapan lain yang tak kunjung putus untuk akhirnya menutup malam. Karena esok juga ada percakapan lain. Hingga kami lupa akan detik yang masih setia berjalan dan tak terasa genap sudah empat bulan aku tinggal bersamanya.

Tujuh hari bukan waktu yang lama tapi ada rasa yang terus menghitungnya. Mungkin juga mengukur besarnya. Entah besaran apa yang kupakai, nalar lupa akan dimensi-dimensi. Sementara ruang berbicara lain, aku tak bisa menampik. Inikah rindu? Ah…. jangan pernah ada. Aku rindu untuk apa? Hmm…. mungkin rindu pada percakapan. Tapi aku merasa percakapan adalah angin. Tak kuundang tapi datang menghidupi. Ada bersin? Hahaha… itu mungkin hanya tawa panjang ketika sadar pada sebuah diskusi yang memperlebar kebohohan kami.

Kalau itu benar rindu, apa benar aku dikatakan telah jatuh cinta? Cinta? Waduh, setan apa yang memperanakkan logika berketurunan jadah. Cinta itu sampah. Seperti kasih yang menjadi bahasa klasik dan usang. Bukankah Adam dan Hawa telah mempertontonkannya secara bugil. Tak ada dikatakan cinta saat Adam bersetubuh dengan Hawa. Namun mereka tinggal bersama dan bercakap-cakap. Tentang taman dan penghuninya. Dan Adam tak punya pilihan teman hidup selain Hawa.

Jangan-jangan aku kena kutuknya? Aku bersumpah malam itu saat kami berdebat tentang kata cinta. Aku katakan untuk seumur hidupku aku tak pernah jatuh cinta, namun aku telah berpacaran untuk keenambelas kalinya. Tapi bukan berarti pula aku tak punya kesetiaan, aku akan setia untuk sebuah komitmen. Teman hidup yang padanya kuberikan segala kejujuran sikap dan perbuatan.

Lalu ia berteori tentang pendapat seorang filsuf kelahiran. Wina Ludwig Wittgenstein ada berkata bahwa semua penggunaan bahasa, arti dari kata dan kalimat tergantung pada pemakaiannya. Kata yang sama tidak sama artinya bila dipakai dalam lingkungan yang lain serta diucapkan oleh orang lain pula. Kata cinta seorang kaya akan hartanya beda dengan cinta seorang ibu pada anaknya. Kata cinta seorang kekasih memang ada yang murni dan tulus. Cinta yang tulus mungkin dapat berwujud banyak hal, perhatian yang besar, kerinduan, kesetiaan, takut kehilangan. Dan ia memaksa aku mengamini semua itu sebagai cinta. Aku terpana, mengangkat bahu.

Ia diam. Menutup mata. Mungkin menenangkan diri. Saat hening berbicara, aku kian gelisah. Aku mencoba memecah kegalauan. Aku katakan, janganlah terlalu percaya pada cinta, bila cinta itu ada. Bila dikatakan ada cinta pada anak dan orang tua, mengapa ada pembunuhan dan perkosaan di antaranya. Bila ada cinta pada Tuhan, mengapa kaum pengusung cinta mengkotak-kotakkan diri pada Tuhannya, saling bersikutan. Dan sudut-sudutnya yang tajam menikam mati. Bila benar cinta itu ada, mengapa ada kesedihan di saat sepasang kekasih harus berpisah. Bukankah ada luka di setiap ada kata cinta?

Bukan hal yang aneh pula, pada saat berikutnya ia beringas. Ia menamparku dengan sebuah bantal. Di atas kasur ini. Dan menangis di tepinya. Begitu berartikah kata cinta hingga ia meraung-raung?

Walau berjuta kali ia bertanya di setiap menit-menit berikutnya apakah aku telah merasa jatuh cinta, aku hanya menggeleng. Selanjutnya bisa ditebak, mukanya akan tampak begitu jelek dengan bibir yang manyun sambil ngedumel. Tapi itu tak melarutkan seleraku untuk menciumnya, melumatnya. Walau dari bibir ini tak pernah terucap kata yang diinginkannya. Lamat-lamat ia pasrah, seperti mlam yang rela pergi disetiap kabut menuju pagi.

Tujuh hari yang lalu sebelum keberangkatnnya menuju kota kelahirannya, ia masih bertanya untuk terakhir kalinya. Apakah aku mencintainya? Aku tak bergeming. Tak mau beri nada sendu di detik perpisahan. Dan ia hanya menghela nafas mengusir kebebalanku. Namun aku tahu, ia percaya pada kesetiaanku. Percaya pada kedunguanku yang tak mampu mengartikan lukisan abstrak bergambar cinta. Ia memberi kecup, kecupan yang sangat berbeda di saat-saat lalu. Seakan kecup itu akan menjadi prasasti yang terkubur di suatu masa kelak. Dan di ujungnya ada sebuah detik-detik yang latah menjadi dingin. Sunyi.

Aku mengemasi pakaianku. Membiarkan buku-buku menganga di peraduannya. Mengunci rapat pintu kesunyian dan bergegas turun, melangkah di anak-anak tangga yang masih saja tersenyum minta diinjak. Di persimpangan jalan, aku mematung mengalahi tegarnya lampu traffic light yang menyala bergantian. Aku berdiri bersisian. Untuk kesekian lamanya aku mengalahkan kalut.

Akankah aku menyusulnya? Bersanding dengan dirinya di sebuah pernikahan. Namun ia tak mau menikah tanpa kata cinta. Apa yang akan diucapkan saat bersumpah di depan pendeta? Atau membiarkan ia mengakhiri kesetiaanku dengan lelaki pilihan orangtuanya. Dan aku harus berlari mencari sepi lagi.

Di persimpangan aku masih termangu saat traffic light bukan lagi dewa. Ketika jalanan begitu padat dan merangkak. Dari sebuah jendela bis kota aku mendengar suara serak membaca sajak :

.......................
udah itu kita sama termangu
Saling bertanya : Apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti
Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri
Ah! hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi
(Sia-sia oleh Chairil Anwar)

Ratu Babi

Negeri subur ini penuh lumpur. Tak lagi musim kering mampu tiupkan kegersangan. Menjadi permainan yang indah saat udara panas datang. Lumpur-lumpur adalah tempat berkubang. Suaranya menikmatkan, kecipak kesuburan meninabobokkan impian untuk hidup tanpa perlu khawatir akan esok.

Negeri subur ini penuh babi. Entah kapan bermula ternuzum begitu. Saat berjuta-juta leher tergorok di tahun-tahun yang lama lalu, mahluk-mahluk yang katanya paling mulia ini menikmati kutukan darah yang menangis. Dan bersama terperkosanya udara, air dan tanah kian tersihirlah ratusan juta penghuninya menjadi babi-babi korban pembangunan. Terpasung di atas empat kaki.

Mereka berjalan menunduk bukan malu pada diri-dirinya. Menatap ampas-ampas hidup penuh kerakusan. Hidungnya kembang kempis menetes liur. Tapi mereka tetap bisa gemuk. Penuh lemak-lemak yang mematikan. Tubuh bagai timbunan mental-mental jahat dan bilamana terbakar nanti, suaranya memercik damai, menetes minyak-minyak kerakusan yang kian mengotori tanah. Sudah terkabar di neraka akan banyak tarian. Menggeliat, menggerang, menjerit. Tak ada tangis, toh neraka bumi lebih kejam. Dan setelah kematian hanya perulangan.

Warna kulitnya seragam. Ya putih. Sejak ditunggalkannya pandangan hidup, keseragaman adalah mutlak. Atau akan dibuang pada tepi-tepi jurang kematian. Polesan lumpur hanya menutupi kepura-puraan. Putih ya tetap putih. Mungkin hanya bisul yang menitip merah, namun setelahnya pecah dan kembali putih. Isinya tak jauh lebih putih. Walau ada panu atau kurap itu tetap sewarna. Perbedaan hanya tipuan. Siapa yang menyangkal panu tidak putih. Borok samar-samar, putih menjadi angka-angka keberhasilan. Ekor-ekor adalah angka hidup.

Di dongeng malam, induk-induk babi ada bercerita saat semua puting telah penuh oleh mulut-mulut yang rakus. Katanya, dulu ada nabi yang mengusir setan dan memberinya istana baru di tubuh ratusan babi-babi. Namun sungguh malang, mereka mati di jurang dalam. Entah oleh sebab apa. Entah oleh apa pula otak-otak mereka tak mencari jawab. Hanya berkubang di atas lumpur kesuburan negeri dan mengunyah ampas-ampas yang tak perlu diperebutkan.

Kini ada yang menjerit-jerit di antara mereka. Berlari dan melingkari. Suaranya menggema mengusir kantuk dan lamunan. Dengus-dengus yang terkepal meninju rakus. Dan taring-taringnya mengancam setajam ucap dan maki.
“Bangunlah kaumku! Saatnya kita berontak dari kutuk zaman. Kita telah gemuk oleh derita-derita. Kita menjadi pemalas di lumpur subur. Pemimpi di saat siang. Tak cukup hanya ampas. Sebab berharap pada esok adalah kesia-siaan. Mari kita rebut negeri. Lari dari petak-petak logika mereka. Tempat kita ada di belantara pikiran bukan di sini, di pasung kebodohan!”

Mereka berteriak, “revolusi atau menjadi babi panggang kelak!”
Semua tersentak. Bangkit mencari kabar-kabar, sumber-sumber berita. Pada dinding-dinding pagar tertoreh baris-baris huruf. Beredar kitab-kitab yang dulu haram. Ada cerita yang bukan lagi dongeng. Di antara mereka ada setan-setan yang menjelma menjadi babi. Mungkin pula setan yang merasuki. Katanya ada babi ngepet. Babi ngepet?

Kali ini bukan barisan mahluk kesakitan. Semua menoleh ke kanan, ke kiri. Mencari-cari mahluk yang katanya jejadian. Ada yang merapat di barisan induknya. Ada yang merapat di barisan kakeknya. Ada yang merapat di barisan moyangnya. Tapi…. tak ada yang terpisah, tak ada yang berbeda. Semua sama. Semua merapat.

Atas nama kesadaran, mereka simpan semua kabar lama. Berkubang bukan lagi takdir dan tak ada ketakutan menerobos belantara pikiran. Dan kian muncullah babi-babi liar yang turun dari pingitan zaman. Keluar dari belantara hutan di batas-batas arena kubangan. Mereka hitam dan bertaring. Katanya ini adalah warna perlawanan. Dan taringnya lebih tajam dari kutuk-kutuk yang tertoreh di kitab zaman.

Kini ada pemimpin di negeri ini. Ada yang memikirkan mereka. Setelah sebelumnyapun mereka sebenarnya juga punya pemimpin. Namun hingga di detik ini, mereka tak mampu menunjukkannya. Sebab kebodohan yang memimpin dan samar-samar jikalau memang ada yang katanya babi ngepet, mungkin dialah sang pemimpin rezim dulu. Namun tak terjamah. Karena sama dengan yang lainnya putih dan tetap babi.

Namun riak angin perubahan tak bertahan lama. Cuaca kian tak jelas. Kadang mendung berkepanjangan hingga berkubang menjadi tak nikmat lagi. Semua penuh oleh lautan air dibumbui liur-liur ocehan. Semua panik. Belum lagi di lain hari kering berkepanjangan membuat lumpur-lumpur kian langka. Terlihat otot-otot saling beradu. Menggertak dan berkelahi. Ada kaum-kaum tersingkir. Ada yang kembali terpinggirkan.

Sementara mereka yang katanya datang dari belantara pikiran, kian rakus mencari bentuk. Entah perdebatan apa yang diucapkan pada setiap percakapan. Mereka telah diberi simbol-simbol dan kalung-kalung kebesaran menari-nari di leher mereka. Berdentang di setiap detik dan langkah. Suaranya seakan kabar yang tak pasti, terus berubah wujud. Sungguh menakutkan. Dari padanya akan ada sihir-sihir entah apa lagi.

Di sudut sebuah kubangan yang terindah, ada persetubuhan. Percakapan malam diantarai bintang-bintang, sesamar kabut menutupi. Putih turun mencium tanah. Di saat erangan kian laknat, puluhan lilin dijaga nyalanya. Ritual membisu di empat mata angin. Menatap harap, tersembunyi di tabir mulut malam.

Setelah itu, kelak tak ada lagi warna yang berbeda di antara mereka. Semua sama menjadi putih. Gemuk dan pemimpi. Tapi tak ada yang teringat pada perubahan itu. Tak ada yang sadar kaum pingitan zaman itu dulu berwarna hitam. Kesadaran yang ada di diri mereka kini adalah mereka memang babi.

Tapi jati diri sebagai babi mengecutkan nyalinya. Setelah sekian lama dari detik persetubuhan, lahirlah sebuah keturunannya. Ia terkejut sebagai induk babi. Bayinya bukan dirinya. Bayinya berkaki dua. Mirip nenek moyang akal budi di sebuah masa pingitan. Ia pernah melihatnya di belantara pikiran. Walau yang terlahir bukanlah berwarna hitam dan berbulu seperti yang dilihatnya. Cepat-cepat dilarikannya sang keturunan menuju hutan. Pada belantara ia titipkan sang anak untuk sebuah pingitan. Kelak di suatu saat ia akan kembali dan membawanya, memperkenalkannya sebagai keturunannya.

* * * * *

Entah siapa yang mendahuluinya, kepulan debu terlihat menari-nari di angkasa. Awan-awan seakan rebah di daratan. Jutaan babi berlari kencang. Terlihat pemandangan yang binal menerjang. Menerobos akal sehat, terbang bagai panah-panah yang tak sesat arah angin. Derap-derap serempak menitip harap. Membaui udara dengan dengus-dengus nafas, membayang mimpi di mata yang menatap ke depan. Katanya ada sejuta mimpi di balik kabut sana, kini saatnya memilih atau akan tersingkir selamanya oleh permainan jari-jari musim. Di depan, sang pemimpin menarik kendali. Menenung semua logika menuju istana bayang. Dari sebuah janji yang telah diucapkannya.

* * * * *

Sepasang kaki melangkah satu-satu. Menatap hamparan bangkai di bawah sana. Sementara ribuan burung nazar telah berhenti makan. Perut-perut mereka hampir pecah. Liur mereka tak mampu santap semua bangkai.
“Kakek, mengapa mereka menjatuhkan dirinya?”
“Mereka terbuai sebuah janji. Kemakmuran di balik kabut yang menutupi. Oleh sebuah janji dari setan-setan yang merasuki. Suatu saat kelak kau akan mengerti, asal kamu mau belajar pada waktu, bukan pada angin yang membawa kabar sesat.”
“Mereka telah ditipu siapa?”
“Tak ada yang menipu. Angin barat membawa dongeng kebebasaan, angin selatan membaui malam dengan globalisasi. Angin utara mengejek kesederhanaan mereka. Sementara angin timur menawarkan surga yang hanya sepetak. Dan dari surga itu pulalah turun ribuan burung nazar menyantap kepasrahan mereka.”
“Mengapa aku tak sama dengan mereka?”
“Dengankupun kau tak sama. Aku berdiri di atas dua kaki tapi tanganku hampir menyentuh bumi. Ibumu, sang ratu, telah bersetubuh dengan suatu malam. Yang menaungi dan menatap kaummu penuh kerakusan. Negeri ini telah digadaikan pada lalu, dan mereka ingin merampas paksa. Menggiring para pemimpi ke ambang kejatuhan. Sebentar lagi mereka akan datang. Burung-burung nazar pasti akan lari ketakutan menggali lubang-lubang kubur mereka sendiri. Kepulan asap akan membentang negeri, percikan lemak-lemak menari mengiringi mereka yang bernyanyi. Dari mulut sang koboi yang barbar akan bersenandung kata, “gone with the wind blows.”

jakarta,juli2003

Monday 14 July 2003

Doa Seorang Sekuler

Ketika diam, hening berbicara. Dan waktu melukis suasana, memikat gelap untuk mampir tanpa curiga....

Kau nyalakan lilin
Menari-nari beralas raga. Berpendar, meliuk-liuk. Tumbuh menghirup dera untuk masa yang mulai berjalan, sedikit bergegas. Berkemas nafas lalui simpang-simpang yang menitip sejuta bisik. Pintu-pintu zaman telah terbuka, nyata terbaca berkabut tafsir. Tak sulit mengeja, tinggal logika mengendus mana.

Lilinpun mulai mencair
Mengalir membanjiri. Waktu telah durhaka, tak mau berpaling pada lalu. Terbajak mencetak petak-petak kabar. Goresan zaman yang kita titipkan keringat, terkadang ada mimis. Jika dulu ada dinosaurus dan sekarang badak, apakah kita bangga sekedar dari monyet menjadi manusia? Mari mencetak sejarah bukan menanti titipan nisan. Tembok tirani pun perlu mata, jiwa kita dipasung. Ia perlu kata, jerit-jerit digoreskan dengan gigi-gigi menganga. Ia perlu warna..... darah, kita benturkan logika untuk meruntuhkannya.

Lamat-lamat mengecil. Dan mati.
Senyap kembali berselingkuh, setelah Kau jentikan nafas menjauh. Semoga tidak siulan usilMu. Bersabar untuk waktu yang tiada bersahabat. Mungkin bukan detik ini, tapi aku yakin Kau masih punya lilin-lilin lain yang akan Kau nyalakan untuk teman menulis nasib-nasib manusia yang mengais.

Kalimatuka tunirul tariai,
alleluia
Kalimatuka tifirul hayati,
alleluia
sabdaMu jadikan semangat hidupku
amien


13julii2003

Wednesday 2 July 2003

Mak Engket, Mak Erot dan Mak Mega

Entah siapa dia sehingga Koes Plus begitu berharap. Memberi harap akan ada sebuah pertolongan. Dengarlah nyanyiannya :

Mak Engket maukah kau menolongku
tunjukkan jalan ke telaga biru
di sana kekasihku selalu menunggu
aku ingin segera bertemu...
Mak Engket dengarkanlah kata-kataku
ku rindu kekasihku
Mak Engket luluskanlah
permintaanku di sisa hidupku


Lagunya cukup tua, setua jawaban yang tak kunjung didapat. Bukan berarti kita sudah pikun apalagi bangkotan. Biarlah mereka saja yang tahu. Tentang Mak Engket.

Tonny K, sang pencipta, teringat telaga biru, di sana ada tempat bersua yang indah, mungkin takkan terlupakan. Ia ingin bertemu kekasihnya. Tetapi mengapa ada Mak Engket di antara mereka? Ada apa dengan Mak Engket.

Sebuah permintaan di sisa hidup, permintaan yang tidak rakus. Permintaan yang tulus. Ia mempertaruhkan penantian, ia ingin bertemu di telaga biru. Ohhh.... Mak Engket malaikat berkain apa?

Mengapa hanya meminta pada Mak Engket? Mungkinkah manusia lain tidak ada yang tahu jalan? Yang pasti bisa dimengerti, Mak Engket tidak pikun. Ia tidak pelupa. Ia tahu jalan. Ia tidak pelupa. Ia tahu jalan. Ia ramah dan tahu kemauan para pecinta. Ia tahu.......

Di sana kekasihku selalu menunggu. Selalu? Ini menandakan kekasihnya setia menunggu, walau hingga detik itu ia tak pernah ke situ. Ia tak tahu jalan. Ia hanya tahu kekasihnya selalu menuggu. Mengapa berjanji di tempat yang tak pasti? Mengapa Mak Engket yang hanya tahu? Tapi Mak Engket bukanlah nama yang menyeramkan, tak ada ingin menuduhnya sebagai penyamun atau mungkin sejenis dedemit menculik perawan. Ia bukan setan, hanya malaikat entah berkain apa. Mak Engket luluskanlah permintaanku. Ohh... begitu berharapnya.

Seperti Mak Engket, saat ini ada Mak Erot. Ia juga tempat berharap yang baik. Panjang, besar dan tahan lama. Itu yang diketahui Mak Erot. Dan tak perlu memelas-melas untuk pergi ke telaga biru, berenang di sanapun akan terwujud. Ada uang ada panjang. Besar dan tahan lama. Mah Erot mengumumkan dirinya. Ia seakan 'menyandera' kenikmatan. Terbersit padanya ada jalan 'memuaskan' sang kekasih untuk bertemu. Ia tak tulus. Ia perlu fulus dengan akal bulus (atau minyak bulus?) lelaki (oknum lelaki) mempercayakan penisnya. Sebuah rasa tidak PeDe (percaya diri). Tidak berani memiliki apa adanya dan berkata, "inilah aku! Ini PeDe (penis dhewe)"

Ini sebuah penyakit sosial. Ada banyak "orang pintar" yang mengobral jasa untuk itu. Mereka sangat 'pintar.' Mengemas isu sehingga memunculkan kerisauan, rasa percaya diri luntur. Dan pada mereka ada jalan. Dan tak disangka, para perempuan (ini juga oknum) 'terinspirasi' pada nilai kesempurnaan. Seakan panjang, besar dan tahan lama bisa menghantar menuju 'telaga biru.' Terbukti dengan banyaknya minuman vitalitas 'dijajakan' perempuan (sekali lagi oknum) di layar beling. Dan para pria (masih tetap oknum) makin ketakutan melihat kuencengnya putaran pinggul Mak Inul, eh Inul rek!!

Ternyata hari-hari menawarkan banyak perubahan. Gamblang tergambar di muka kita. Tak semisteriusnya Mak Engket milik Koes Plus, semua kini bugil di depan mata, tak risih mengeliat, bergoyang, menggerang. Ada banyak iklan tentang Mak Erot. Di iklan baris, di bibir-bibir, di dinding, di otak-otak kita. Virus yang tak mematikan namun mengkhawatirkan. Ada perubahan nilai yang diurutnya. Anehnya, semakin banyak orang mengaku 'sepintar' Mak Erot. Mengaku diri anaknya, muridnya, cucunya, mungkin tetangganya.

Saya teringat sebentar lagi akan ada pemilu, ada arena jual 'obat.' Berkoar-koar di tengah masa dan massa. Saya dapat kabar, Mak Mega masih akan juga menjual 'obatnya.' Katanya penawar penyakit masyarakat. Korupsi. Kebodohan. Rendah diri namun mau menang sendiri. Ramah hati tapi anarkis. Dan kabarnya pula akan ada 'obat' mujarab pengobat lapar. Janjinya tak hanya di jalan dan di pasar. Media cetak dan elektronik memburunya. Mencari tahu jenis formula obat itu. Sekaligus mencari tahu efek sampingan, cara pakai dan harganya. Olala..... Mak Mega seolah-olah jelmaan Mak Engket (malaikat yang entah berbaju apa).

Sebelum jemu, ada sebuah jeda dan aku akan menyanyi :

Mak Mega maukah kau menolong kami
tunjukkan jalan menuju Indonesia baru
di sana kemakmuran menunggu
kami ingin segera menggapainya...
Mak Mega dengarkanlah suara nurani
kami tak ingin ditindas lagi
Mak Mega bersikaplah jujur
permintaan ini disisa harap menuju revolusi


Akan ada begitu banyak janji. Tidak hanya Mak Mega menual 'obat. Ada Mak Haz, Mak Rasis eh Rais, Mak Sby, Mak dll. Mereka menokohkan diri, mencari panggung sandiwara semusim. Teringat pada pemilu yang lalu, adakah janji yang terkabul selain sebuah janji yang tak terucap yaitu : bohong.

Perebutan yang saling menyikut seperti anjing berebut tulang (atau supaya tak terkesan kasar dipakai saja kata : tongkat estafet). Tak seperti Mak Engket yang tulus. Atau bila pun disandingkan dengan Mak Erot yang mencari fulus, pada Mak Erot selalu ada jalan keluar Diberi fulus dan dihadiahkan olehnya 'surga.' Mak Erot masih realistis dan 'permainannya' tak kasar dan hina. Bagaimana dengan Mak Mega dan kawan-kawan? Bila mereka mendapat mandat (atau tulang) dari rakyat, akan terbayarkah/terpuaskan rakyat?

Meminjam sebuah jerit kaum militan, aku berucap lantang "bersatulah!!!!"
Mari merapat, akan bergema kata : MAK! (baca Maki)
Untuk mereka yang merampas tulang-tulang kita.
Merampas tulang-tulang kawan juang di nisan yang kini menganga.

Memilih untuk tidak memilih adalah hak pilih !!!
(pembelajaran untuk tidak terlalu berharap pada Pemilu atau siap dengan lapang dada menerima pembodohan)

jakarta,2juli2003