Monday 30 June 2003

Malaikat Putih nan Kurus

Puntung kedelapan telah aku ludahi, sementara asap yang menari tak mampu jelmakanmu. Walau antara debar jantung dan nikotin sama ganasnya, rindu tak mampu jadi jantan. Nista berkutang harap-harap, menyembul bagai bisul berputing tiga. Dan nadi mencari kanal, menunggu tengkulak yang mengangkang. Benih-benih telah ditanam setelah tanah lama mematung diri.

Dan mentari tatap sela lubang berkarat, teropong bintangku. Mengukur petak-petak, yang kutanam di musim luka kini berbunga. Kusiangi menanti buntingnya. Bersama rindu yang merajam, bulir-bulirnya tertawa sumbang. Plong! Kosong melompong. Songsong amuk sungsang. Sanggahan tak berakal ketika mata membakar berjuta kata. Di atasnya terhampar kitab-kitab tua. Kayu bakar bagi galau yang pecah bersama malaikat-malaikat yang berhamburan keluar.

Peraduanku hanyalah kekal di kesunyian. Bunyi menjadi ayat-ayat setan, namun senyum tak mampu tepis luka. Bayangan itu menjadi pelangi setelah tangis melaburi doa. Atau pinta di ujungnya, di sebuah perigi. Akan kuculik kau setelah menelanjangi aku. Berlari di antara onak duri yang telah kita persiapkan. Menjilati luka, kita tiupkan desis.

Dan kembali aku hanya onani di sepi yang bugil.

Oh, peraduanku hanyalah kekal di kesunyian. Bersama puntung-puntung lain aku ciptakan sebuah padang. Berkabut di antara jejak-jejak yang datang dan berlalu. Dengarlah langkah-langkah yang ditimbulkannya, tak ada ragu berpaling. Menari sambil berlompatan, bersama amis yang sunyi. Dan terbang singgah di surga dihujani tatapan malaikat-malaikat gosong. Jangan takut, aku hanya akan berhembus menjadi mimpi di malam gadisku. Peraduan abadi. Dikutuk menjadi malaikat putih nan kurus.

No comments: