Monday 30 June 2003

Inong

Serambi kita tak lagi suci,
dedaunan runtuh, pijakan kaki melangkah.
Bukan oleh badai ada sunyi malam ini,
gelisah merambat membaui detik.
Sejenak terpekur untuk bisu.
Di sini. di sana. ada bisik tertahan
"gigi kita menjadi nisan"

Serambi kita tak lagi damai,
usah harap doa-doa menahan geram.
Menetes dengan lajunya,
menjemput kawan lama yang karam di benak duka.
Ada lautan tangis mengangkang lebar,
terlahir kepala-kepala merah tersenyum hingar
"mereka menitip topi-topi baja"

Kabar lama erat berjabat tangan.
Bukankah tuan sudah buat janji,
Seulawah mengangkasa menuju Jakarta.
Kita bangga berumpun sama.
Elok langkah bercerita, ada duri tertanam lama,
pusaka abadi di pelupuk mata.
Dikutuk menjadi tikus di lumbung sendiri
"siapa yang menanam benci?"

Inong menggelepar di belukar, merintih menatap jerit,
lenyap bersama mereka yang merayap.
Hidup menjadi rimba, bersembunyi di antara pepohonan
kala waktu tak sungkan menitip tangis
"di pipi menetes peluru-peluru"

Resah tak berujung petang, puan-puan menuai perih
membasuhnya menjadi lukisan abadi.
Inong mencari Tuhannya, di serambi
bersama peluru-peluru yang berkumandang

(semoga Tuhan tidak sedang tidur,
ataukah harus dibangunkan dengan tangis jutaan inong-inong?)

No comments: