Monday 30 June 2003

Kawin-kawinan

Hari ini sudah ku nyalakan waktu. Sementara dari pagi awan telah ku sisir rapi. Ada yang keriting, ada seperti laut tapi tetap penuh uban. Pada angin ku titip pesan : jangan nakal ya. Ku lukis langit dengan jari-jari kotor, biru kotor, agak luntur. Sekarang tidak lagi menetes. Hmm..... ada yang lupa. Matahari terlihat terlalu garang, sangat tidak lucu. Elok bila ku beri senyum. Di sudut dagunya yang juga bulat ku beri titik. Mungil.

Gadis kecil mematut diri. Di bayangan tumpukan bunga yang tidur. Busuk. Jijik. Lalat-lalat main petak umpat. Ada ulat. Ihh...... dia berlari. Memelukku. Sudah siap? Kita mulai saja ya. Dia menghantuk-hantukkan kepala ke udara. Duk. Duk. Ritual dimulai.

Saat tangan saling bergandengan, kicau-kicau menyala. Riuh di atas pepohonan. Ada Perkutut. Beo. Kutilang. Murai. Camar. Elang. Ayam. Lho kok? Dia menangis, meracuni udara. Merengek-rengek di atas tanah. Nyanyiannya jelek! Aku bengong. Memandang pantat ayam nun jauh di atas. Meringankan tangis dengan permen, hadiah mengemis tadi.

Aku ambil kerikil kecil yang tak tajam dan tak berduri. Hupss. Tak. Petok-petok. Ayam jatuh. Kita mulai lagi ya. Tangan saling bergandengan. Ku jentikkan jari. Dan melantun merdu. Ave Maria dengan suara paruh. Dia tersenyum. Giginya jelek. Tapi senyumnya tak busuk.

Opss. Rok tersingkap. Angin nakal, genit. Ia malu. Celana dalamnya merah jambu. Agak koyak di pinggir. Hihihi.... Aku menutup mulut menahan tawa. Aduh! Pinggangku dicubit. Matahari batuk-batuk. Coba serius lagi. Senyum dikulum, dikumur-kumur.

Di beranda rumah langkah terhenti. Duduk di atas dua kaleng roti, berkarat. Mata mencari mata. Ada peluh menetes. Dia kelilipan. Main mata. Menggeser ke kiri, ke kanan. Mengucek-ngucek. Aku memberi ujung baju. Masih main mata. Serong ke kiri, ke kanan. Aku memberinya nafas. Menghembus mata. Tangannya menutup hidung. Bau. Waduh.

Di bawah pohon ada banyak sampah. Di antara sampah ada banyak kardus. Pada kardus bekas TV yang besar ada dua anak kecil. Bukan pada beling kaca, hanya pada sampahnya. Mereka tak layak buat teman makan malam. Gembel. Hitam. Bau. Berikar. Tak mau jadi sampah. Cintaku suci bukan sampah, sayang.

Inong

Serambi kita tak lagi suci,
dedaunan runtuh, pijakan kaki melangkah.
Bukan oleh badai ada sunyi malam ini,
gelisah merambat membaui detik.
Sejenak terpekur untuk bisu.
Di sini. di sana. ada bisik tertahan
"gigi kita menjadi nisan"

Serambi kita tak lagi damai,
usah harap doa-doa menahan geram.
Menetes dengan lajunya,
menjemput kawan lama yang karam di benak duka.
Ada lautan tangis mengangkang lebar,
terlahir kepala-kepala merah tersenyum hingar
"mereka menitip topi-topi baja"

Kabar lama erat berjabat tangan.
Bukankah tuan sudah buat janji,
Seulawah mengangkasa menuju Jakarta.
Kita bangga berumpun sama.
Elok langkah bercerita, ada duri tertanam lama,
pusaka abadi di pelupuk mata.
Dikutuk menjadi tikus di lumbung sendiri
"siapa yang menanam benci?"

Inong menggelepar di belukar, merintih menatap jerit,
lenyap bersama mereka yang merayap.
Hidup menjadi rimba, bersembunyi di antara pepohonan
kala waktu tak sungkan menitip tangis
"di pipi menetes peluru-peluru"

Resah tak berujung petang, puan-puan menuai perih
membasuhnya menjadi lukisan abadi.
Inong mencari Tuhannya, di serambi
bersama peluru-peluru yang berkumandang

(semoga Tuhan tidak sedang tidur,
ataukah harus dibangunkan dengan tangis jutaan inong-inong?)

sayang, malaikat lupa mencatat dosa

sayang,
malam ini tak mampu kuhadirkan bintang.
peraduan kita adalah jarak,
hingga bahasa menjadi kepak-kepak rindu.
menggigil menahan mimpi.
saat kita menggores pantai dengan jari-jari,
ada aku. kamu. dan toilet kita.
kelak di atasnya kaki-kaki nakal menendang istana pasir.

sayang,
nun jauh di sana malaikat lupa mencatat dosa.
bukunya telah aku curi lama,
sementara doa-doamu membakar lembar lalu.
tiada usah berpaling masa,
langkahku mampu jinakkan waktu.
genggam erat tongkat kurusmu ini
tiada sesat menari di atas langkah lagi.

Malaikat Putih nan Kurus

Puntung kedelapan telah aku ludahi, sementara asap yang menari tak mampu jelmakanmu. Walau antara debar jantung dan nikotin sama ganasnya, rindu tak mampu jadi jantan. Nista berkutang harap-harap, menyembul bagai bisul berputing tiga. Dan nadi mencari kanal, menunggu tengkulak yang mengangkang. Benih-benih telah ditanam setelah tanah lama mematung diri.

Dan mentari tatap sela lubang berkarat, teropong bintangku. Mengukur petak-petak, yang kutanam di musim luka kini berbunga. Kusiangi menanti buntingnya. Bersama rindu yang merajam, bulir-bulirnya tertawa sumbang. Plong! Kosong melompong. Songsong amuk sungsang. Sanggahan tak berakal ketika mata membakar berjuta kata. Di atasnya terhampar kitab-kitab tua. Kayu bakar bagi galau yang pecah bersama malaikat-malaikat yang berhamburan keluar.

Peraduanku hanyalah kekal di kesunyian. Bunyi menjadi ayat-ayat setan, namun senyum tak mampu tepis luka. Bayangan itu menjadi pelangi setelah tangis melaburi doa. Atau pinta di ujungnya, di sebuah perigi. Akan kuculik kau setelah menelanjangi aku. Berlari di antara onak duri yang telah kita persiapkan. Menjilati luka, kita tiupkan desis.

Dan kembali aku hanya onani di sepi yang bugil.

Oh, peraduanku hanyalah kekal di kesunyian. Bersama puntung-puntung lain aku ciptakan sebuah padang. Berkabut di antara jejak-jejak yang datang dan berlalu. Dengarlah langkah-langkah yang ditimbulkannya, tak ada ragu berpaling. Menari sambil berlompatan, bersama amis yang sunyi. Dan terbang singgah di surga dihujani tatapan malaikat-malaikat gosong. Jangan takut, aku hanya akan berhembus menjadi mimpi di malam gadisku. Peraduan abadi. Dikutuk menjadi malaikat putih nan kurus.

Wednesday 4 June 2003

aku akan datang malam ini

"aku akan datang malam ini"
dan aku mematut diri. mengeringkan lautan luas yang masih menggenang. ombaknya menjilati cermin, kian retak oleh deburan yang entah berjarak peristiwa apa. kilau nakal fajar mengetuk-ngetuk sejarah, berbingkai kata dengan lumut yang kian menenung diri. tersisa debu-debu menebal bersama kelam dan saat resah mendaki, kerikil kemungkinan menjungkirbalikkan penat, meluncur bebas menebas onak peraduan. perih....... menerbangkan debu. pada dasarnya aku meraba peti tua, tertoreh sebuah mantra, kata tua 'kasih'. ku teteskan liur pada setiap akhir suku kata dari doa-doa yang menganga. mencari tepi kebodohan jiwa yang terentang di setiap langkah berpijak. budak biarlah hengkang dari penjaranya dan kekasihku meraja di gelisah yang telah kurajang di menit-menit lalu. dan kembali aku mematut diri. di wajah tiada lagi lukisan, senyumku kini adalah kejujuran janji tiada berselingkuh galau.

"aku akan datang malam ini"
bersama pinta-pinta yang melambai-lambai, ku buka tingkap-tingkap sepi. menguapkan bulir-bulir gigil yang onani. tak ada lagi mimpi dan hayal. mentari telah menikam kesadaran. tepat di ujung belatinya. ku susun setiap tapak menjadi bahasa baru. baku bagai detik-detik yang berbaris menuju menit. dan berdentang. buumm..... oh itu sebuah palu godam. menghantam kerdilnya rancangan hari. sendi-sendiku gemeretak memikul otak yang berpusar cepat. ini bukan rancanganku. istana kartu-kartu tarot menelan bom waktu. telah lama membius menjadi materai nafas-nafas. dan di sudutnya laba-laba hitan menenun diri, suntuk pada keruwetannya. rumah jiwa berdinding logika, di setiap pertemuannya ada moral yang memaku. dilaburi pekatnya ideologi yang kini abu-abu, mencoba menjaga dari rayap-rayap zaman. tapi mengapa masih ada hampa? ruang tak bermata, arah yang dituntun si buta. sementara tongkat hanyalah nasib yang menjilati jejak-jejak. ku harus membakar hening dan sampah-sampah diri yang teronggok di setiap kesal yang pasrah. bersama tingkap-tingkap yang telah menganga, asapnya menjadi pertanda dari kubur sepi. di detik yang terkulai, berjuta merpati merangsek masuk. pada cakar-cakarnya terselip berjuta carik kertas, dari kitab-kitab tua, samar tertulis 'damai'

"aku akan datang malam ini"
ya, kekasihku akan datang malam ini. mengetuk pintu yang duduk manis menunggu. saat terkuak, perapianku akan memberi terang menghempas pekat di luar sana. percikannya memberi nada-nada, lagu yang indah buat tarian kita. tarian jiwa yang tak lagi meracau. namun jelaga malam kian sirik dan angin meniupkan kesal membawa rintik-rintik penat penantian. jam di dinding berdentang sombong tak ada niat untuk melayat. penantian telah mendinginkan santapan di meja persembahan. meracuni anggu-anggur yang kini mulai terasa asam. kelu di bibir bergetar menyusun harap. pelan menghantar akal pada peraduan hening, lelap di pangkuan kursi tua. seperti kemarin, kekasihku hadir di mimpi dan berucap, "Aku telah datang malam ini. di hatimu. saat rumah jiwa telah bersih dari luka semusim. manjakan Aku sebagai imanmu."