Tuesday 2 December 2003

Tak Ada Lagi Lorong yang Menatap Curiga


Banyak bocah berlari-lari. Berkecipak pada genangan air yang tak selesai mematut diri. Membiarkan usia tak cepat berjalan, hanya dunia anak yang tak mengenal hukum, hanya kepatuhan. Bukan karena bodoh mereka harus bersikap seperti itu, orangtua seperti layaknya gembala mengantarkan menuju dataran luas, berkerumunnya rumput-rumput segar. Menghalau menuju impian, menggiring ke arah pemangsa-pemangsa. Kekal peristiwa makan memakan menjadi rimba yang harus diwaspadai

Dan lorong-lorong itu masih menatap curiga. Sesekali tubuhnya tak sunyi kala pejalan kaki pasrah pada tatapnya. Meninggalkan jejak yang bukan satu-satu, patah-patah menuju ujung yang lain. Senyumnya basah, hari lembab sejak hujan enggan berlari jauh. Sudah tiga hari langit menangis, awan-awan diam menyimpan rapat peristiwa. Yang berarak hanya kabar-kabar kosong dan guntur menggelegar garang, kilat memberi tanda seru.

* * * *

Mataku menatap langkah yang berulang. Sesekali gerundelan tak jelas singgah dikupingku. Sementara si Cipluk terus–menerus mengoceh. Entah apa ucapnya, tapi badannya terus bergoyang-goyang, kaki kecilnya seperti menunggang kuda.

Cipluk menjerit. Ia menangis kencang seperti lari kuda saat tubuhnya dipukul. Pantatnya dicubit emak. Sepertinya emak kewalahan antara menyusun barang-barang dan menggendong adik. Mulut emak kian tak jelas menggerutu, yang itu-itu juga. Sudah lebih seminggu emak tak punya cerita yang lain. Tapi aku tak mengerti apakah emak ingin bercerita cerita atau bertanya. Suasana semakin tak jelas saat Cipluk kian bercerita banyak lewat tangsinya yang bersahutan.

Aku berlari menjauh. Tak ingin kena getahnya. Semenit lagi emak bakal melahapku. Tatapan itu, ya tatapan itu. Selanjutnya emak akan mengumpat, yang tetap itu-itu juga.

“Mana bapakmu? Lelaki yang tak bertanggung jawab itu. Kalau sudah begini, siapa yang akan membantu kita? Semua akan hilang. Mampuslah kita!”

Ahh… wajahku memang mirip bapak. Lelaki yang kami rindukan kabarnya. Dan emak selalu menatapku bila rindu, bila marah. Tapi bapak tak hilang. Ia akan kembali. Pasti. Kabarnya ia ada di Penang. Katanya sih di Serawak. Mungkin di Sabah. Ahh…. entah yang mana. Yang pasti bapak ada di seberang sana. Pasti kembali mak!

Liat saja, rumah kami lebih cantik. Tak bocor atapnya seperti dulu. Lantainya tak lagi tanah. Dan emak…. tak lagi berdiam diri hanya di rumah. Emak sudah sibuk berjualan. Sedikit banyak aku kecipratan permen atau kerupuk yang tak lagi garing, masuk angin.

Bapak masih ada. Dia ingat kami. Sudah dua kali mengirim uang sejak dua tahun ia tak lagi mengelus kakiku menjelang tidur, walau ia tak punya dongeng yang indah. Hanya cerita tentang hujan nakal yang membasahinya. Matahari yang tak ramah senyumnya. Dan cerita ada manusia yang menyakiti manusia lain, yang ingin merebut becaknya untuk dibuang.

Ia pasti bangga bila pulang, karena ibu tak boros memakai uang. Pintu rumah akan terbuka untuknya. Pintu yang bukan lagi malas berdiri. Pintu itu tak lagi dari lempengan bekas kaleng-kaleng roti yang dulu disusun rapat bapak. Pintu itu sudah diganti emak. Kayu yang dipasang kuat, walau hanya dari pintu bekas. Kata emak, agar maling tak masuk, maklum tak ada lelaki di rumah ini.

Dan aku akan menatapnya tajam. Merapatkan mulut. Menyusun kata-kata yang terus mengalir tapi tak mampu dimuntahkan.

“Kenapa? Kamu marah? Ahh… kamu seperti bapakmu, bila disindir seperti itu. Nak, cepatlah besar dan banyak belajar. Agar kau jadi lelaki. Lelaki dibutuhkan di rumah ini.”

Aku akan menjadi seperti bapak. Lelaki yang dibutuhkan emak. Yang berjaga di balik pintu di setiap malam. Menjaga lelap emak dan Cipluk. Tapi, bapak belum bercerita banyak tentang orang-orang-orang jahat yang harus diwaspadai. Bapak belum mengajarkan bagaimana menjadi lelaki. Emak tak sempat bercerita. Hanya tingkah lakunya yang penuh rasa was-was. Lagi pula emakkan bukan lelaki.

Cepatlah pulang! Kami butuh bapak. Esok kami mungkin tak di sini lagi. Kami akan diusir dengan kasar, kata emak sejak tiga minggu lalu. Akan ada yang datang. Ratusan. Mungkin ribuan lelaki tegap. Seperti bapak besar dan tegap. Andai ada bapak, kita berdua akan menghadapinya. Melindungi emak dan Cipluk. Rumah kita yang sudah indah tak akan bisa dirusak mereka.

Tapi… atau aku harus menghadapinya sendiri?

* * * * *

Jarinya memutar keras. Dan anak kunci itu kini berpindah tempat di antara celah tas mungil di bahunya. Ia menghela nafas. Tak ada gunanya mengunci rapat, esok mungkin tak lagi disinggahi, pikirnya.

Badannya membungkuk. Meraih tas besar. Agak berat hingga langkahnya tak gemulai. Tertatih di atas sepatu indah berhak tinggi. Bukan hanya sepatunya yang indah, kakinya pun indah. Putih. Kulit bersih yang membalut tubuhnya yang aduhai. Wajar bila mata-mata haus meraup tatap. Seperti ingin mencicipi, mengimpikan wanita seperti itu di ranjang. Pengganti pacarnya, mungkin istrinya.

Senyumnya masih ada. Senyum yang tersisa di antara perasan otak yang berputar kencang. Dan pada yang menatap, ia menitip senyum. Kadang menyapa. Sekedar basa-basi atau entah apalah. Tapi ujung matanya masih mencari seseorang lelaki, yang pernah menemaninya, walau ia tahu lelaki itu tak bisa diharapkan terlalu banyak. Otak mudanya masih ingin berkelana bebas.

Ya, dia ada di sana. Di atas bumbungan atap. Membongkar sisa-sisa rumah. Dadanya yang berisi terbakar panas. Dada yang pernah membakarnya pula, menindih tubuhnya di malam dingin. Dan senyum itu terlempar ke arahnya. Senyum jantan yang mampu merontokkan hati, mendidihkan birahi ganasnya.

“Mau ke mana?” suara jantan itu menyapa.

“Pergi. Mungkin takkan kembali. Mereka jadi datang?”

“Jadi. Bangsat-bangsat itu tak mampu luntur hatinya. Pindah ke mana?” tanya pemuda itu penuh harap. Wajahnya menyimpan ingin. Keinginan untuk tetap bisa selalu melewati malam-malam kosong. Atau dikosongkan untuknya.

“Entahlah…. Tapi, nanti aku kabari. Aku belum tahu mau ke mana,” ucap wanita itu. Ia menelan ludah. Berat mengakhiri percakapan. Tapi ia memaksa langkah untuk tak malas. Tatapan ibunya yang berdiri di dekat sana begitu mengancam. Berjuta maki siap dihunus.

Ia tak mencoba memalingkan wajah, walau sempat ia dengar pemuda itu masih berkata-kata, memanggilnya. Tapi suara itu kini tak lagi memburu, karena ibunya sudah memakinya dari bawah. Biarlah tatapan sinis itu adalah tatapan terakhir dari perempuan-perempuan di sini. Mereka selalu memandangnya hina, sejak banyak lelaki wangi yang mengusik hawa pengap kerumunan rumah-rumah reot datang kepadanya. Atau karena suami-suami mereka terlalu rakus menatap dirinya. Walau di ujung malam, terkadang ada yang memaksanya untuk membuka pintu, ingin tidur bersamanya dari pada dengan istrinya yang selalu memaki kasar.

Langkahnya meninggalkan jejak. Jejak yang tak elok, sarat dengan beban. Biarlah langkah ini tak lekang seperti jalan hidup yang susah berubah. Dan wanita itu menanti harap, pada jejak yang akan diendus lelaki itu. Ia menantinya di ujung langkah. Menantinya di sudut-sudut malam, entah di masa apa yang akan disediakan oleh waktu.

* * * * *

Ini puntung yang kesekian belas. Tak jauh dari kakinya berserak bersama abu-abu yang terkapar. Matanya merah meradang. Marah. Mungkin juga karena sudah tak tidur beberapa hari. Tangannya mengetuk-ngetuk meja. Benaknya menulis segala rencana walau kakinya tak teratur bergetar. Tatapnya mengancam, sesekali ia mendengus kasar.

“Pak, sudahlah. Ayo, kita siapkan barang-barang. Besok tak ada lagi masa. Kau sejak tadi tak jelas berpikir apa, marah-marah sendiri.”

“Bu, kita tak boleh menerima perlakuan mereka. Harus kita lawan!”

“Mau lawan pakai apa? Mereka bersenjata.”

“Tangan kita. Kita punya kemarahan!”

“Kita hanyalah kayu kering yang terikat. Kita akan tersulut marak.”

“Kita punya Tuhan. Akan ada hujan yang meredamnya.”

“Apa Tuhan kita sama dengan mereka? Bukannya mereka telah jadi hamba uang dan kuasa.”

“Mereka dendam….. Ya, aku tahu itu. Sejak aku membawa ratusan warga sini untuk berdemo. Mendukung lawan gubernur yang terpilih sekarang.”

“Kita kalah dan akan terus dikalahkan. Ah, sudahlah. Itu salahmu juga, yang terperdaya oleh janji-janji mereka. Mereka yang bertikai, kita yang terjepit. Siapapun yang kau dukung, kita tetap pada posisi yang salah. Sadarlah, tanah ini tak jelas statusnya.”

“Tapi kitakan bisa meminta waktu. Mengitung ganti rugi yang layak. Apa mereka tak berpikir, kita akan digiring ke mana?”

“Negeri ini tak dipimpin oleh gembala yang baik. Hanya serigala-serigala rakus yang kita beri jubah. Hmm…. kita akan berarak bersama lautan yang lain. Suatu saat iringan itu akan berkumpul di suatu titik.”

“Siapa yang menggiring kita?”

“Jangan tanya siapa. Bukan siapa-siapa. Tapi tanya apa.”

“Ya, apa bu?”

“Hahaha…. Jangan panik. Kau perlu belajar pada cacing.”

“Lho kok?”

“Menggeliat. Cacingpun menggeliat bila dipijak. Walau sangat lemah ia tak pasrah. Dan suara komandonya akan menggiring perut-perut kita untuk berkumpul.”

“Hmm… bahasa yang sama. Bahasa lapar.”

“Siapa bilang sama. Belum tentu. Berhati-hatilah! Kita lapar tapi tak rakus. Ada lapar karena tak pernah puas, serakah. Di antara kita akan ada siluman kerdil yang berselingkuh. Matanya nanar menatap peristiwa. Bila kita lengah, cacing-cacing lain akan menyantap kita di tanah.”

“Kemarin siang ada muka-muka manis menatap duka. Mereka bilang akan membantu, bantuan hukum. Apa mereka siluman yang ibu maksud?”

“Ah, bapaklah yang lebih tahu. Liat sampai mana mereka mau terus beriringan. Mungkin sekedar mencari popularitas.”

“Ada-ada saja kau bu. Bangunan-bangunan ini akan rata, tak ada panggung yang megah buat mereka.”

“Bisa saja mereka yang membuat panggung, atau kita yang jadi panggungnya. Sudahlah, aku hanya memperingatkan untuk berjati-hati. Aku mau mengurus barang-barang kita.”

Kembali senyap. Tak ada lagi ucap di bibirnya. Tak ada lagi sebatang rokok untuk disulut. Sekedar untuk mengusir penat di benak. Sekedar untuk meredakan amarah cacing-cacing yang menari kelaparan, bertalu-talu menabuh genderang perang.

* * * * *

Suara-suara itu hilang berganti dengus-dengus mengancam udara. Bagai dewa-dewa yang berperang di atas kuda kencana mereka merebut jajahan. Membumi hanguskan yang ada. Panji-panji kebesaran membatasi tanah jajahan. Mengibarkan kemenangan bersama debu-debu yang terbang menuju mega-mega yang berarak di atas sana.

Punah sudah peradaban kaum-kaum yang tak rakus. Manusia-manusia yang sudi hidup seadanya. Hari-hari mereka seperti hidup yang diatur oleh bocah-bocah ingusan. Pada permaianan rumah-rumah kardus dan boneka-boneka kertas.

Aku tak seperti lorong-lorong yang menatap curiga. Hanya berdiri memagari hidup yang berjalan. Saat perempuan-perempuan menggiring anak-anaknya menjauhi algojo-algojo yang menggasak para lelaki-lelaki mereka. Saat jerit-jerit mengoyak langit yang mengangkang. Saat harapan pecah berurai bersama darah dan air mata. Mereka dihalau bagai binatang-binatang yang dianggap merugikan. Tubuh mereka, perut mereka yang penuh cacing-cacing lapar.

Entah di mana mereka berada sekarang. Arakan yang tak pernah menemukan damai di setiap perhentiannya. Kembali berserak mencari hidup yang mau menaungi walau itu sesaat. Mencari remahan sisa-sisa hidup yang kinipun diincar tikus-tikus got yang juga kelaparan.

Kini aku terduduk sunyi. Di hadapanku tak ada lagi lorong-lorong yang menatap curiga. Toh semua kerakusan jujur terlihat jelas. Aku mencoba bertahan untuk tetap tegar. Untuk sebuah pesan yang dituliskan di tubuhku, oleh bocah itu.

“Bapak, kami dipaksa pergi. Suatu saat kita akan berkumpul bersama lapar yang menggiring. Carilah kami dalam bahasa lapar.”

Grogol, 7 November 2003


gambar : penggusuran warga taman BMW
sumber gambar klik (http://saksimelawan.blogspot.com/2009/04/pemutaran-film-sesi.html)

Friday 21 November 2003

Pinokio Menulis

Jika anda sudah biasa berbohong, mengapa tidak menyalurkan kebiasaan yang penuh dosa itu dengan menulis fiksi?
(Josip Novakovich)


Angin malam itu duduk tergeletak di sudut kamar. Tak mampu berjaga. Sementara lampu redup tak sudi berkhianat. Matanya lelah menatap. Hanya daun jendela memancing pandang, melambai-lambai di luar sana. Dan cicak terbaring menelan ludah untuk tanya yang tak pernah terjawab.

Ia mengusap peluh. Peluh yang tak jujur hadir di malam yang datang dingin. Otaknya berputar bagai memeras anggur-anggur yang tergilas roda waktu. Menetes ke pipi dan menitipnya pada hidung yang kian bersinar. Ia mengusap mata. Mata malasnya.

Ahh…. sudah empat jam. Buntu, batinnya. Membakar tembakau. Menciptakan awan-awan kecil yang mencoba menggoda hayal yang menerawang.

“Apa yang akan aku ucap esok? Mereka sudah menungguku. Aku datang untuk menang,” ucapnya dalam. “Tapi aku harus berkata apa?”

Terbayang olehnya Bukhori akan menepuk dada. Dan mulutnya akan menyala-nyala. Seperti sebuah pertunjukan sirkus keliling di kota-kota kecil. Dan badut Bukhori akan menciptakan bola-bola api dari mulutnya. Mereka terpesoan. Berdiri dan memberi sejuta tepuk.

Atau mungkin Ahmadi akan meninju langit. Memecah awan-awan yang menggumpal. Memberi lautan jawab yang menetes bagi mereka yang lama menengadah di musim-musim berjalan. Jadilah dia malaikat pongah yang lupa akan sayapnya telah lama digadai pada borjuis-borjuis itu.

Sialan! Mengapa otakku terkunci rapat. Ruangan-ruang apa pula yang membius kecerdasanku terperangkap tanpa pintu. Aku telah berkeliling pada semua sudut kota. Telah menyapa pada semua peristiwa. Tapi adakah yang bisa kubaca? Dia bertanya dalam tanya.

Semua sudut terpapar di depan mata. Mata malas. Antara fakta dan fiksi. Atau percampuran kedua kelamin itu. Bila keduanya dituliskan dalam gaya bahasa Ibrani kuno, yang keduanya dituliskan tanpa huruf hidup, keduanya akan ditulis FK dan cara membedakannya tergantung pada cara melafalkannya. Begitu tipis……

Bukakah fiksi bisa menggunakan banyak fakta? Aku bisa bermain-main dalam ruang fakta untuk merangkainya menjadi cerita. Sejarah adalah batu-batu yang kuat untuk membangun pondasinya. Pramoedya bilang, nasion kita tak sadar sejarah. Sejarah itu tempat kita memulai perjalanan. Kalau tempat berangkat itu kita tak tahu, bagaimana kita tahu tujuan kita? Itu sebabnya Pram berkenalan dengan realisme sosialis. Karena realisme sosialis harus mengangkat orang-orang yang tak punya sikap dan menjadi hamba keadaan.

Tapi aku bukan hidup dalam penindasan. Tak melahirkan sikap perlawanan (atau mungkin dendam) oleh akibat penindasan seperti yang dialaminya. Tapi aku punya sedikit sikap memberontak, walau itu memberontak terhadap kemampanan berpikir.

Setidaknya aku bisa mencoba meramu sejarah itu dan memolesnya menjadi sebuah fiksi. Tentu tak membosankan. Karena di saat orang-orang perlu makan dan lapangan kerja, mereka akan muak oleh kehebatan raja-raja di tanah Jawa yang menyisakan feodalisme dalam birokrasi. Artefak-artefak bukan lagi bukti warisan kehebatan budaya, karena turunannya hanyalah budaya kepasrahan ditindas dan dibodohi, sudah mengakar di akar rumput.

Aku harus menemukan sejarah-sejarah baru. Sejarah kolonialis, feodalis, militeristis, dan paham ketunggalan sudah telanjang. Bugil tanpa malu-malu ditatap dan yang menatapnya tak jengah. Aku akan membuat mereka sadar sejarah dan bersatu mengahalaunya. Hanya dalam prosa sejarah akan gampang dicerna.

Tapi jari ini masih tak bersahabat. Diam tak sudi menari, walau nyanyianku adalah nyanyian jiwa yang melantun keluar dari gendang telinga. Sedangkan nadiku terpacu kencang dengan sejuta kata yang ingin tumpah di jemari. Tapi jemari diam. Aku ingin menulis. Menjadi pengarang. Menjadi resi-resi sejarah, julukan yang diberikan Ben Okri (novelis Afrika) bagi pengarang. Karena pengarang adalah barometer zaman. Pengarang adalah orang yang menulis melawan arus zaman, pengibul tentang kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan dan penebar janji-janji yang bisa dipercaya. Aku ingat, ucapan itu dikatakan lantang oleh Gunter Grass pada pidato pengukuhannya sebagai laureat Nobel Sastra 1999.

Oh….. aku kini sudah mulai berdamai. Aliran darah dan oksigen berjalan tenang, bergerak maju. Jari-jemari menjadi kepanjangan otak. Syaraf-syaraf mulai saling memangut, bermesraan. Sebuah emosi ternyata mampu mendorong untuk menulis. Mampu menjiwai alam pikir orang lain. Mampu menjiwai suara seseorang. Jerit orang-orang. Harap yang masih tersisa dari nafas tersenggal-senggal sebelum pintu kubur ditutup.

Mengalir bagai banjir yang menggenangi rumah-rumah di dataran rendah di sekeliling perumahan megah. Menerjang kaki-kaki alas tidur di pinggir kali. Menyapu nafas manusia-manusia yang menjajakan peluh di tepi-tepi jalan karpet mobil mewah. Menenggelamkan hak-hak pemilik negeri hingga terlihat teduh keruh menjadi lautan, terpasung pada waduk angker yang dijaga berabad-abad pada pintu airnya.

Lelaki itu mengamini. Cerita fiksi mirip dengan dusta. Memulainya dengan suatu yang nyata. Mengubah menjadi alur yang bisa diatur bermuara untuk tujuan tertentu. Dan esok, di atas podium itu, membuai jelata dengan kata-kata indah. Ia akan menang pada pemilu kali ini. Wakil dari kaum pendongeng.

Grogol,20nopember2003

Sang Pemimpi

Malam basah. Hujan patahpatah.
Dan di sebuah kafe angin tak sendu.
Hanya waktu berjalan sempoyongan.
Bersamanya ada dentingdenting.
Nyaring menghantam. Bedilbedil yang
menjemput saudara kita.
Lihatlah......bibirnya sumbing
Pagutan kabar bohong beraroma arak.

Musik yang berdentum adalah detak nadi
satusatu. Tarian kejang, kawan menggelepar.
Indonesia Raya dihasut lidah mereka.
"Kami tidur di pusara leluhur"
Langkah enggan berpindah, merekah kubur.
"Jangan halau kami!"

Malam kian kian lelap di bibir basah.
Di tatap curiga lima watt, senyumsenyum
asing menjual kebebasan.
Hidangan penutup sebelum ingkar janji.
Sebelum malam berganti kelamin,
ada sapa, 

"Hai Yusuf sang pemimpi, esok ada apa?" 

Sebelum malam berganti tuhan
dinding menatap, penjara bagi tubuh,
merdeka bagi ruh.

grogol,20/11/03

Friday 7 November 2003

Pada Akhirnya, Lelaki Harus Kembali Sendiri

Jalanan becek. Udara dingin menemani riak-riak kecil, langit tak lagi menangis. Sedu-sedan itu telah berakhir setelah langit terlihat muram sekian lama, awan-awan berat tadi malas menari. Tinggallah tetes-tetes yang malas bunuh diri dari jubah hitam yang membentang.

Bibirnya bergetar. Oleh dingin yang sama kembar dengan akal yang membatu. Gerimis patah-patah. Pedang-pedang tajam tak mampu kikis niat di setiap langkahnya. Hanya menemani sunyi dengan bisik-bisik pelan yang bergelantungan di udara menuju peraduan di bumi basah. Kini setelah berjalan lama akhirnya ia mendapatkan sebuah perhentian, tempat berteduh.

Otaknya tertawa miring. Tak ada guna ia berteduh. Toh tubuh telah basah kuyup. Begitu modrennya kota ini sehingga tak tersisa sejengkal perhentian yang mampu menaungi dari hujan dan panas. Pohon-pohon yang ada tangan-tangannya tak rindang. Kurus memanjang ke atas. Hanya fungsi keindahan dan sedikit kemampuan menyerap udara kotor.

Tapi tak apalah, pikirnya. Setidaknya ia bisa meringankan beban kaki. Pantatnya beralas besi tua, terlihat berkarat. Titik-titik air yang terbawa turun manja. Memeluk besi tua, semburat rona merah terlihat malu-malu. Melukis pantat yang bergetar, kaki gemetar. Dingin yang tak gentar mengganggu.

Kilat menyambar, memperkosa malam. Guntur pongah menggelegar di udara. Gigi yang gemertak, bius angin memutihkan bibir. Ia tak mampu tersenyum tapi matanya menyiratkan tawa. “Akhirnya,” ucapnya dalam. Jantungnya tak lelah berdetak, sekian juta detak menyusun rencana. Dan, “Binggo! Aku berhasil. Aku bebas,” teriakannya menggema. Memenuhi rongga dada. Keluar melalui lobang telinga. Mengancam udara. Dan guntur kecut. Langit hitam kini tak lagi kusut.

Ia masih duduk. Kaki yang gemetar. Bibir putih dengan mata tertawa. Di pekat bola hitam, ada selembar layar putih. Ada cerita yang berjalan pelan. Sebuah rumah indah dengan pagar besar. Perabot mewah memeluk penghuninya. Wanita cantik dengan kacamata membaca novel, tangannya teratur menghantar benda-benda kecil nan gurih ke mulutnya.

Rriiiinng………..

“Halo. Ini ibu ya?”

“Ya. Ada apa Nina?” sepertinya wanita itu mengenal suara di seberang.

“Perutku sakit. Bayi ini nakal. Menendang-nendang terus. Ibu kemari ya.”

“Wah, cubit saja bayimu. Mana suamimu?”

“Ibu ini gimana. Ya sakit perutku. Mas Anton belum pulang.”

“Dasar anak nakal. Belum lahir sudah bikin susah. Sudah, kamu ke mari saja.”

“Mana mungkin. Ini udah jam sebelas malam. Ayah mana?”

“Entah. Dia mengurung di kamarnya. Ayahmu kini aneh. Selepas pensiun dia tak mau keluar rumah.”

“Gedor pintunya. Aku tak mau bayiku lahir di ranjang ini. Kalau ada darah, bisa pingsan aku.”

“Ha? Memangnya kandunganmu sudah berapa bulan?”

“Yah ibu… ya udah hampir sembilan bulan.”

“Sudah, sudah. Jangan panik. Ibu juga dulu seperti kamu. Untung ada ayahmu. Oh… lagi ngapain dia?”

Hening. Hanya suara berjingkat pergi. Dan wanita itu tak lagi mendengarkan rengekan. Kini ia ada di depan pintu. Kamar suaminya.

Tok! Tok! Tok!

“Pak! Paaakkk! Buka! Anakmu mau melahirkan!”

Gedoran pada pintu itu kian lama bukan lagi seperti ketukan. Menyerupai kampak-kampak yang ingin menghancurkan. Tapi tetap masih tak ada jawaban. Tetap diam. Hening menatap.

Wanita itu tak sabar. “Dasar manusia tak berguna!” umpatnya.

Anjing! Bangsat! Maki yang diucap bergetar pada bibir yang masih saja tetap putih. Matanya tak lagi tertawa. Merah membara membakar layar yang terkembang. Dengusnya kasar, dadanya naik turun. Tetes air meronta jatuh dari helai rambutnya. Bergelimangan di bibir. Tak asin. Entah apa rasanya. Tapi, lidah selanjutnya menjilati tepian. Mencari rasa. Memecahkan murka. Menggigit bibir.

Tertunduk, kedua lengannya meremas rambut yang basah. Wajahnya kian basah. Matanya berkubangan, bercermin jarak. Penuh dan menetes. Membelah pipi menjadi banyak keping. Hidungnya menerima sapaan tangis, menangis tersendat-sendat. Entah mengapa pula mulutnya latah ikut berduka. Otaknya berputar menjauhi sumbu, melingkar kembang. Menggeleng-geleng bagai mengguncang benak kesadaran yang tertidur mengigau. Melemparkannya ke dinding-dinding rongga yang mengukung. Dan terhempas. Menggelembung bulat besar. Meletus ganas.

Bajingan! Dasar manusia tak tahu diri!
Kakinya menghantam lantai. Pecah cermin-cermin yang mematut diri, berlarian menghambur sejauh-jauhnya, berserak ketakutan. Berselingkuh bersama genangan lain yang menatap curiga.

Tawa entah lari ke mana dari mata itu. Hanya ada tetes-tetes yang sama beningnya dengan ingatan saat itu. Mengalir cerita lama begitu lugas. Jenih berbayang dari setiap masa yang ada dulu. Pada tetesan masa muda yang penuh gairah. Lajang yang tak berpuan. Bebas menjamah hari dan mencengkram keinginan. Meraup ilmu tanpa ragu seakan hari depan adalah ladang tuaian. Menari dalam langkah di jejak-jejak jaman. Memberontak pada rezim. Menelanjangi kebodohan yang lama dikemas dalam nilai-nilai masyarakat. Memecah tabu, menghantam langit batas. Dinding-dinding yang membutakan pandangan.

Di tetes yang lain, harapan ada di negeri ini. Ambisi ada bagai api yang sangat kalap menyala di musim kemarau yang panjang. Akar-akar rumput kering itu mulai bangkit. Tapi masih tetap kering. Kemakmuran tanah negeri ini tak menyimpan kesuburan yang cepat datang. Kemarau lama mematisurikan dewi sri. Malah terkadang serimbun rumput dianggap sampah dan dibakar. Merah. Menyala. Akar-akar lain ciut. Panasnya menempa dendam yang terkubur diam-diam. Bagai bara di bawah ladang gambut yang terhampar pasrah.

Di masa itu ada tetes lain. Kebahagian ketika melepas lajang. Gadis cantik itu menjadi miliknya. Bening, suci mengucap ikrar. Sepertinya langkah tak lagi panjang., ia terhenti untuk membangun dunia baru. Dunia kecil bernama keluarga. Ada bapak, istri dan anak.

Masa tak terlupakan ada saat ia merawat keduanya. Istrinya yang selalu harus diawasi. Penyakit asamanya selalu kumat. Terkadang di saat malam ia harus melarikan istrinya keluar rumah. Menuju jalanan sepi. Mencari udara segar hingga ke puncak. Dan saat pagi menyapa, ia harus pulang membawa istri, dan anaknya tertidur pulas di kursi belakang. Kemudian bergegas bertarung mencari keping-keping di antara serpihan-serpihan hidup.

Kian waktu terus menetes, kasihnya tak mampu luntur. Istrinya masih tetap istri yang perlu udara segar. Dan anaknya masih anak yang menanti dimanja. Menyiapkan sarapan kesukaannya. Membantu menyelesaikan tugas sekolah. Memenuhi apa yang dibutuhkannya. Semuanya ada disaat dia ada. Dan dia merasa ada untuk mereka. Dia telah mengada..

Dan tetes itu terhenti. Di wajahnya tak terlukis tangis. Kini keras bagai batu yang membesar menemani sungai yang tak pernah henti mengalir. Ia menggeleng-gelengkan kepala. Jejak-jejak itu terantuk-antuk di dinding ingatan. Dan meninggalkan keping hati yang tercecer. Berdarah.

Aah…. mereka telah berubah, batinnya. Istrinya bukan lagi istri yang ramah dan menanti dimanja. Anaknya bukan anak yang bisa mengabdi. Mereka menjadi mahluk aneh di malam hari. Ada dan tak bersembunyi. Sejak ia memasuki masa pensiunnya, mereka mentertawai resah yang dimiliki lelaki itu. Mereka menari-nari di atas tiang-tiang galaunya.

Ketakutannya adalah ketakutan mereka yang tak siap dengan pengasingan dari dunia kerja. Ia ingin beristirahat tapi ingin mengais hidup. Ia ragu pada masa depan. Oleh mulut besar istrinya yang selalu pamer harta. Oleh rengekan anaknya yang tak puas akan gaji suaminya. Sepertinya semua ini tak cukup menjalani sisa-sisa hidup. Tapi ia tak mampu buat apa. Mereka hanya mampu mentertawai.

Di saat gelisah kian datang, tubuhnya kian kurus. Sedikit demi sedikit melemah. Tubuh terkadang panas tak beraturan, lemas. Atas saran dokter pribadinya, ia dinyatakan terkena kangker prostat. Dan harus dioperasi.

Berangkatlah ia ke Singapura, diagnosanya tetap sama. Harus dioperasi. Ia terpana menatap meja operasi. Bagai peti mati yang ingin memeluk. Refleks ia melompat dan berlari menjauhi meja operasi, kursi dorong, dokter dan suster yang terperangah.

Mereka bukan terpana pula. Malah tertawa. Menganggapnya gila. Lelaki tua yang bodoh tanpa pengharapan. Sesungguhnya ia berharap mereka ada menemaninya saat itu. Tapi entah setan apa yang membisikkan istrinya untuk tidak membatalkan kehadirannya pada sebuah arisan kumpulan ibu-ibu gemuk itu. Sedangkan putrinya tak mungkin dibujuk pula, ia tengah hamil dan sibuk mempermasalahkan suaminya yang katanya kurang perhatian.

Lelaki itu sadar ia kini sendiri. Tak ada yang mengenali derita yang dialaminya. Sebenarnya saat menuju operasi ia tersadar. Bukan takut untuk mati. Ia takut istrinya akan lebih kejam memvonis keberadaan dirinya. Cap-cap baru akan jadi ucap yang terus mengiang dan menyakitkan disetiap pertengkaran. Ia tak siap dikatakan lelaki lemah. Lelaki yang tak sejati. Lelaki yang mungkin akan mandul.

Hujan telah berhenti. Langit merah menyiratkan kemegahan hari. Waktu ada di depan. Lelaki itu bangkit untuk melaluinya, ia ingin berjubah detik-detik yang manja menyapa, dan membuat sejarah baru. Biarlah yang lama hanyut dibawa gelombang sungai yang meluap-luap. Setidaknya mereka pasti mengiranya telah mati tenggelam, setelah membaca surat yang ditinggalkannya di ranjang malam tadi.

Dan pagi menuntun langkah tuanya, tak lagi gemetar. Tak lagi gentar. Udara segar membusungkan dadanya, bukan dada yang rapuh menyimpan gunungan resah. Di benaknya hanya ada satu ingatan, “Pada akhirnya, lelaki harus kembali sendiri.”

grogol,9oktober2003

SARA

Matanya lapar menatap halaman-halaman yang berkumpul jadi satu. Liurnya menetes, pada setiap lembar yang dilalui. Kali ini jari telunjuk kanan menghampiri lidahnya lalu membelai tepi halaman. Menerkam kata-kata yang berlari menuju halaman berikutnya.

Saman, Yasmin, Leila, Shakuntala. Leila mampir di New York. Tidak lebih 5 kilometer jaraknya dari Sihar. Dari Sihar dan istrinya. Aahhh…. Ayu kamu nakal, menciptakan kenangan pada mereka yang telah tiga kali berbaring bersama tanpa bersetubuh. Sementara Saman pun kau hadirkan di kota itu. Kini dua lelaki yang ada di hati Leila ada di kota yang sama. Seorang Saman adalah Frater Wisanggeni, buron hingga ke kota ini oleh karena dituduh dalang kerusuhan di Medan tahun 1994.

Ada tangis. Sepertinya Ayu Utami tak menitipkan kata itu di akhir kalimat yang baru dijamahnya. Ia berlari kecil, sementara buku “Larung” ia biarkan terlarung di peraduan. Dari celah pintu yang dibuka pelan-pelan, Sara mencuri pandang. Di sebuah sofa di depan TV, Peter, abangnya, kikuk bagai kerbau bungkuk. Dibelainya rambut gadisnya, Eva, tapi tangis kian menjadi. Sara tertawa tertahan, ia geli. Peter bukan lelaki yang mampu menenangkan, buktinya ketika ia kecil dulu tak mampu ditaklukan ketika merajuk. Atau mungkin kak Eva memanfaatkan kodratnya sebagai wanita untuk mendramatisir suasana. Wanita kan tidak dilarang menangis, hanya pria yang dilarang, hehe….

Sara kembali ke peraduannya. Ia tak berusaha menutup kembali pintu kamarnya. Ia biarkan terbuka sedikit agar udara yang juga usil mau berbagi cerita. Tentang pertengkaran yang ia coba cari tahu, curi tahu.

Eva terisak-isak. Ia mengeluhkan sikap Peter yang kadang tidak pedulian. Tidak ada perhatian, katanya. Sudah sekian tahun berpacaran, Peter tak mampu memanjakannya. Bukan berkeinginan menjadi anak kecil kembali, tapi perhatian terkadang dibutuhkan untuk menciptakan waktu-waktu yang romantis.

Dan sekali lagi, Peter hanya bias mematung. Seperti patung dewa cinta yang tak mampu melepas anak panahnya. Ia tak tahu harus berbuat apa.

* * * *

“Halo, bisa bicara dengan Peter?” tanya suara di seberang.

“Bang Peter lagi di luar kota. Ini dengan kak Eva?” tanya Sara. Sepertinya ia mengenal suara merdu itu.

“Yap. Kapan Peter berangkat. Kok ndak bilang-bilang?” suara Eva terdengar kecewa.

“Berangkatnya tadi pagi-pagi. Mendadak. Menggantikan temannya yang berhalangan,” kata Sara. Ia mencoba meluruskan persoalan.

“Oh gitu. Udah dulu ya, kakak masih ada kerjaan di kantor nih. Eva nggak berangkat kuliah?”

“Ini mau berangkat.”

“Ok. Hati-hati di jalan. Have a nice day. Bye.”

Klik…

Sara diam. Di seberang sana Eva hening. Sara tak habis pikir sikap abangnya. Eva tak sadar, ada dua tetes tangis di pipinya. Sara dapat merasakan kekecewaan perempuan itu. Eva hanyut dalam kesedihannya.

* * * *

Telah dua hari ini Sara tidak ke kampus. Setelah tiga hari yang lalu teman-teman kampusnya marah besar. Mengejeknya yang tak mampu tepati janji. Ulin, Mitha, Artha dan Lina mengejeknya sebagai nenek sihir. Pembohong besar. Tetapi mana ada nenek sihir bertubuh bongsor, takkan bisa terbang dengan terbangnya, pikir Sara.sambil menahan tawa.

Bengkak! Itu kata yang dibencinya sejak kanak-kanak. Selain kata tongos. Mereka mengelilinginya seperti menari. Tarian yang menjulurkan lidah dengan kedua tangan berputar-putar di telinga. Selanjutnya akan ada lagu yang melengkapi pertunjukan. Bernada tinggi yang diakhiri dengan gerakan duduk sambil kaki menendang-nendang. Meraung-raung.

Untunglah Peter menyelamatkan ‘riwayat’ kelam itu. Pahlawannya itu memberi kesempatan untuk tidak dipermalukan lagi. Memang tubuhnya yang gemuk tak mampu berkurang kiloannya. Tapi Peter memberi kesempatan lain. Ia membawa Sara ke dokter gigi. Untuk merapikan giginya yang tongos, nongol, walau harus menggunakan kawat gigi tak apalah. Dari pada diejek sebagai mahasiswi gendut dengan gigi yang tongos pula.

Bukan berarti Sara tak percaya diri. Tapi kenyataan kadang memang bisa melunturkannya. Seperti kerasnya patung tanah liat, bila ribuan ejekan menghantarkan ludah-ludah, sedikit demi sedikit patung itu akan lumer dan tak berbentuk. Hingga rupa dan perasaan sama remuknya.

Untuk sang pahlawan itu pulalah, hari ini Sara mengorbankan perasaannya. Biarlah teman-temannya menganggapnya penipu. Toh, tadi ia juga memberi alternatif lain. Mereka dapat menikmati kue bikinannya di rumahnya. Pasti enak. Tapi lidah mereka lebih mengenal baik makanan-makanan kapitalis itu. Mereka tetap hanya ingin ditarktir, seperti jadwal kebiasaan mereka bergilir untuk saling mentraktir setiap minggunya di tempat tongkrongan mereka di salah satu mall. Dan kali ini giliran jatuh pada Sara.

Sara bukan tak punya uang. Peter selalu bermurah hati menyisihkan gajinya untuk Sara. Sara lebih memilih memakai uang itu untuk membeli seikat bunga. Rangkaian bunga mawar yang indah. Sangat indah. Harganyapun lumayan mahal, dari sebuah toko bunga yang siap mengantar pesanan ke tempat tujuan selama masih di kota yang sama. Untuk Eva.

Duh….kak Eva pasti senang, pikir Sara. Ia membayangkan senyum yang lebar akan terlukis di wajahnya yang cantik ketika membaca nama pada kartu yang terselip di antarannya. Love and thousand kisses, from Peter.

* * * * *

Sore ini matahari membakar senja. Langit merah meradang di ufuk sana. Udara sudah gerah sejak siang tadi. Lama hari-hari tak dikunjungi hujan. Tanah sepi merindukan awan menteteskan kasih.

Sementara itu, suara langkah tak lagi terseret. Kini berjingkat sambil bersenandung. Sara membuka pintu rumah. Ia meninggalkan topeng muram bersama sepatu yang terhampar di keset kaki. Ia tak mau Peter tahu akan kekesalannya di gereja tadi saat latihan koor buat Natal nanti. Mata mereka menuding Sara, suara sumbang itu dirasa milik Sara, sehingga latihan sempat diulang-ulang belasan kali. Dan sara tahu diri dengan menghilang pelan-pelan, keluar dari ruangan dan pergi.

“Kukasihi kau dengan kasih Tuhan. Kukasihi kau dengan kasih Tuhan. Kulihat di wajahmu kemuliaan Raja. Kukasihi kau dengan kasih Tuhan. Bagaimana aku harus mengatakannya. Tentang perasaan di hatiku. Oh, Tuhanku aku sungguh mengasihinya. Kukasihi kau dengan kasih Tuhan…”

Sara berjalan di dalam rumah sambil bersenandung, melewati Peter dan Eva yang duduk di sofa depan TV. Mereka diam. Sepertinya lagi marahan. Dan semoga merekapun tak memintaku untuk menghentikan laguku, kata Sara dalam hati.

Sara menyibukkan diri di dapur. Menyiapkan makan malam. Apalagi ada kak Eva, ia tahu apa kesukaan pacar abangnya ini. Malam ini ia coba memberi suasana yang indah bagi mereka mereka berdua. Sara membuka laci lemari dapur. Untung masih ada sebatang lilin. Candle light dinner. Oh, so sweet…

* * * *

Malam itu langit bersih, awan memeluk dengan mesra pada langit. Bintang berkerjap-kerjap di sudut sana. Sementara selimut malam membawa angin yang bertiup pelan seakan siap membawa mimpi berkubang hingga pagi datang.
Peter tak sabar menanti fajar tiba. Esok adalah hari yang bersejarah bagi hidup Peter. Ia dan Eva akan menikah, setelah mereka berpacaran 3 tahun lebih lamanya. Dan di beranda ini, ia berdua duduk dengan Sara. Meninggalkan kehangatan di dalam sana, percakapan yang tak habis-habisnya dengan mamak, bapak, bibik, kila, nini dan saudara lainnya yang teelah datang dari kampung.

“Sara, abang dan kak Eva banyak berterimakasih padamu. Karenamulah hubungan kami tetap langgeng hingga hari ini. Dan abang dapat berubah, hingga dapat lebih mengenal hati perempuan,” kata Peter sambil menatap mata Sara.

Sara yang duduk di sampingnya jadi kikuk. Ia bingung.

“Alasan apa abang berkata seperti itu?” tanya Sara mencari jawab.

“Hehehe… abang tahu segala perbuatanmu. Mengirim seikat mawar indah ketika aku dan Eva lagi bertengkar. Mengirim coklat kesenangannya saat Eva ulang tahun. Dan lagu itu……lagu itu sangat indah, menyindir kami yang terlalu dikuasai emosi belaka. Lagu itu menghantar kasih yang berkelimpahan. Dan kau beri kami jamuan malam yang indah, malam yang sangat romantis untuk kami berdua.” Peter tersenyum. Ia sangat bangga pada adiknya.

“Ahh…. abang. Dari mana abang tahu semua itu?” Sara tersipu malu. Wah, ketahuan nih.

“Ya, awalnya abang bingung. Eva selalu menelepon setelah menerima kiriman-kirimanmu itu. Padahal aku nggak merasa melakukannya. Tapi di saat-saat itu aku hanya bersyukur, Eva tak lagi marah. Yang penting ia senang. Mungkin aku bukan tipe lelaki romantis. Tanggal kelahirannya saja aku lupa, hehhee….. Sara, kau punya segudang keajaiban. Makanya aku bisa menduga, kau yang melakukan semua itu. Kau punya danau kasih. Kasih yang mungkin belum ditemukan orang lain selain aku. Mengapa tak mencoba cari pacar? Kamu romantis, penuh perhatian, anak yang periang, pinter bikin bikin makanan lagi. Pasti pacarmu akan senang banget.”

“Ahh, mana ada yang mau denganku,” kata Sara malu-malu. Pipinya merah. Seperti tomat yang ranum.

“Hei, jangan langsung nggak pede (percaya diri) gitu. Mungkin saja mereka belum menemukan kelebihanmu. Bukan maksudnya kelebihan berat loh, hehe…. Mungkin suatu saat Arjuna yang kau impikan di semua puisi-puisi dan tulisanmu akan hadir mengunjungi hatimu dan bersemayam selamanya. Tapi… aku pikir-pikir, punya cewek seperti kamu lebih menyenangkan. Tahu perasaan lelakinya. Nggak seperti Eva, emang sih cantik, tapi cepat marah, hehhee….”

“Awas ya, aku kasih tahu sama kak Eva nanti,” ancam Sara sambil tertawa lebar.

“Ya, jangan gitu. Eh….. tapi abang bisa minta tolong lagi nih,”

“Untuk pahlawanku, aku sedia mengabdi,” kata Sara sambil memberi hormat, membungkukkan badannya.

“Hmm, besok pada saat acara pemberkatan nikah, Sara tampil ke depan ya. Sara nyanyi ya, suaramukan bagus. Mau ya sayang,” pinta Peter memelas.

Sara hanya diam. Bengong. Ia panik. Terbayang esok suasana yang bakal dihadapinya. Semua akan menatapnya. Tubuh ajaibnya. Ah… sejak kapan sih Celine dion bertubuh gemuk, pikirnya.

grogol, 9 september 2003

Thursday 28 August 2003

Manusia Indonesia Multi Dimensi :

Otak : sosialis
Hati : humanis
Perut : kapitaslis
Kelamin : liberalis

Trus, Tuhannya siapa ?

Wednesday 27 August 2003

Wah…nyeni

Matahari menangis di tiga sore. Angin lupa berbisik, bersama burung ada waktu yang menetas. Beranak segala kemungkinan. Tak sungkan langit terus berias diri, awan-awan sejenak berdiri. Kadang berlari. Opss…. tubuhnya dihujam burung besi.

Bocah kecil meringis di tiga sore. Lebih beberapa menit. Sejak detik lalu ia lupa bernafas atau mengembuskannya. Di dekat burung ada yang menetas. Plung…menenggelamkan diri. Di telan masa dan massa.

Bocah kecil meringis di tepi sungai. Jongkok di dalam kakus bambu di atas sungai yang menengadah pasrah. Di belakang ada gunung, dihunus petak-petak sawah yang kian merapat. Dari sini terlihat Basoeki memberi bingkai langit biru. Tak lupa pohon kelapa beberapa menyentuhnya. Ada titik-titik. Mungkin itu buahnya. Atau seekor monyet? Mungkin orang memanjat. Ah… hanya Bassoeki yang tahu. Sedikit riak ada pula di aliran sungai. Batu hitam. Riak melingkar. Malingkundang? Oiii… itu bukan pulau, hanya batu. Dan setetes biru. Langit menangis? Basoeki menjerit. Tangannya geram mengusap-usap. Buram. Berlalu. Banyak orang datang dan membelinya. Wah… indah.

Bocah kecil masih meringis. Di atas air yang kini biru mengalir. Mulutnya sinting menari, naik turun. Ia tak mengucap syair. Lupa ada melodi yang menanti dijemput. Hanya ada sejumput nyeri, cacing-cacing mencari mimbar. Gaduh dengan liuk tak tentu. Teaterial. Sesekali berjumpalitan, bergelut, meregang. Dan erangan, menekan. Ngeden. Plung…. Lagi-lagi air memeluknya. Berkecipak., bertepuk tangan. Sambil berdiri, Tejo memberinya judul.

Bocah kecil masih meringis di atas kakus. Sumpah mampus perutnya tak jelas, memberangus. Badannya kian mengering. Oleh hari membakar. Nilai yang kian terpanggang, kadang ada bara. Selalu ada abu. Abu-abu. Gerah, diraupnya air seni di dekat burung yang berceloteh bagai Rendra. Diusapnya pada rambut tebal bergulung milik Saut. Abrakadabra…… otak tumpul biarlah tumpul. Yang bergulung jangan berguling. Yang sumbing tak perlu malu tersungging.

Bocah kecil tak lagi meringis. Hanya menangis punggungi panggung kakus. Di sana ada mantera penjinak milik Sutardji. Sedikit amuk mengusik hawa udara tadi. Tak bau kata ikan-ikan. Tak serak kata udara. Tak, tak, tak. Ilalang bertepuk tangan. Akar rumput geram mencengkram. Di depan langkah, kerbau tertambat menanti. Tersenyum dan berucap, “mbouuw…nyeni”

Wednesday 30 July 2003

aku beri langkah

aku memberi langkah padamu
untuk datang padaku
daundaun kering. jejak
bulan dicakar ranting
dengusku

aku memberi dada padamu
gersang. hanya ilalang
tidurlah dan bermukim
tunggulah kupukupu durhaka pulang
tenggelam bersama bulan di lautan
debur ombak
nafas kita

aku memberi bingkai di wajahmu
lidah melukis cantik
melumat bibir. menetes membasahi
ranum dada. bulat
bergulir dan hilang di rambutrambut akal
menepi bersama buihbuih ombak

oh kasih! tubuh ini tak bertuan
engkaupun kabar dibawa petir
menghujam hati menatap langit
termangu
menunggumu turun berjingkat
meniti pelangi
dan eros usil ganggu langkahmu
awas jatuh!
....cinta!

biring


-- buat : nini

dari tidurku berembun malam
aku dengar tanah menahan lapar
hampa akan turun pada rangkulnya
suara-suara mengacak awan
di atas sana, malaikat sibuk membuka lembar lama

ngandung…..
nyanyian dan tangis adalah incest
tersusun rapi hikayat lama
babad-babad yang bukan khianat
mengalir bersama lau biang, ada sebelummu
t
u
r
u
n
menetes....
bersama kulcapi yang memetik diri

nini! putri hijau menari di langit. gemulai.
bibirnya merah. bibirmu ada sirih
pergi sana! jangan menunggu lebih renta
jangan lupa sertakan kampil, daun sirih dan pinang
dan tok-tok itu
lambang kemegahanmu
yang memperanakkan manusia-manusia liat

dari tidurku yang tak panjang
aku dengar dengkurmu
terbungkus rapat uis gara
kau pikun pada ucap lantangku
senyummu senyap
menuju rumah Bapa

24juli2003


keterangan gambar :
seorang wanita Karo jaman dulu menjadi sampul buku Indonesia 500 early Postcards. Gambar wanita karo tersebut adalah pilihan yang terbaik dari 500 gambar kartu pos seluruh Indonesia yang dikeluarkan pada zaman kolonial. Buku ini disusun oleh Leo Haks dan Steven Wachlin.

Wednesday 23 July 2003

Hati yang Tak Mau Memberi

Ini hari ketujuh ia tidak ada di sini. Di kamar ini. Kamar miliknya yang entah oleh sebab apa tidak lagi menjadi otoritas miliknya sendiri lagi. Aku telah ada cukup empat bulan lamanya. Tak mampu beri warna yang lain hanya menambah pengap saja. Setidaknya keringat-keringatku telah meracuni kasur kapuknya. Dan di langit-langit masih ada sisa-sisa asap rokok, sementara laba-laba tak mampu rajut waktu.

Ini hari ketujuh pula tak kutemukan suaranya berkata-kata panjang. Yang berteriak mengalahkan suara ceret air kutanak. Nafas harumnya keluar meracuni asap tembakauku. Terlebih ketika asbak ditemukan puntung yang kesekian belas sementara di bibirku yang kian menghitam ada nyala yang lain. Ia katakan, ini sebuah pembunuhan. Lalu pintu terbuka. Entah mengusir asap atau aku. Ia hanya diam di depan pintu. Dan nyala puntung yang manja ikut-ikutan diam.

Ahh…. tentangnya aku menjadi gila. Ini rindu atau entah apa. Aku tak bisa mengeja. Satu persatu aku membalik cerita, menenun tingkah yang berarak menuju apa. Tertampung setetes demi setetes mimpinya yang tiap malam kuperas mencari alas. Logikanya dan logikaku bagai petak-petak di papan catur. Ada saat kuda harus berjingkat maju atau mundur. Tetapi hitam tetap hitam. Dan saat putih harus tersudut, ia hanya bergumam bahwa aku curang. Tak mungkin ada kekalahan di sebuah permainan, karena semua ada jalan keluar. Mungkin bukan saat ini, manusia boleh lupa katanya.

Yang kusuka adalah matanya. Membelalak saat melihat aku lupa membuka sepatu. Ia akan berkacak pinggang, mengukur batas tepi pinggul yang kian menebal. Tak perlu lama untuk menghentikan omelannya, cukup aku katakan, ia terlihat kian gemuk. Ia akan gelisah memegang perut. Mengangkat garis bawah kaosnya yang longgar menampakkan lingkaran kecil di perut. Ia akan meminta pendapatku. Aku tak perlu serius tentang itu, cukup aku tunjuk sampah-sampah yang masih hangat malas tergeletak. Di atasnya terlihat muka-muka kapitalis menghitung rejeki.

Siapa sangka dendam yang mempertemukanku dengannya. Ketika kudapatkan sebuah buku yang kupinjamkan pada Pandit terlihat tak karuan. Sampul yang kumuh di tepi-tepinya. Ada banyak halaman terlihat pernah dilipat, mungkin pertanda batas halaman yang terakhir dibaca. Mungkin ada ratusan tetes air liur yang menempel saat jemari membolak-balik halaman. Aku jijik. Aku geram. Ini bentuk penghinaan atas sebuah karya cipta seseorang. Tak menghargai otak mereka yang kian tua dan kusut.

Namun aku tak bisa memberinya maki atau sekedar ucapan ketus saat ia ada di kamarku. Di kamar Pandit pula. Manusia yang langka ini bercerita apa yang ia baca. Tentang perlawanan Soe Hok-gie terhadap tirani hingga akhir hayatnya. Kematian yang suci setelah melewati hutan di lereng-lereng rendah hingga melewati pasir dan butiran-butiran larva yang menutupi lereng bagianatas dengan kemiringan enam puluh derajat menuju puncak semeru. Dan tulisan yang memikat di sebuah batu nisan, “Nobody knows the trouble I see, nobody knows my sorrow.”

Aku tak bisa memberi komentar akan kesedihannya melihat nasib asmara sang demonstran yang kesepian itu. Hanya bila ada sedikit keberanian, mungkin aku cukup berkomentar, wajahnya terlihat lucu saat berpikir serius. Pipi yang kian membulat dengan sebuah guratan di kening. Mungkin ini yang membuat di esok hari dan esok harinya adalah pertemuan. Bukan karena janji atau rindu yng naïf, tetapi ada detik yang menghantar langkah begitu ringan untuk sebuah kebetulan.

Bukan kebetulan pula hatiku kian melunak saat niat bacanya yang begitu besar memperkosa buku-bukuku satu persatu. Satu persatu buku dipinjam dan selanjutnya ada perdebatan. Tentang penulis yang terlalu berhayal melangkahi logika dan tak berpijak di bumi. Atau suasana batin apa yang kira-kira merangsang penulis hingga orgasme dan menetes mani-maninya menjadi kata-kata indah. Kumpulan halaman yang nikmat untuk digerayangi.

Ya, semuanya kini kami lakukan di atas kasur kapuk ini. Sekali lagi di atas kasur, karena ruang tamu hanyalah seperangkat kasur dan televisi yang menganga dikelilingi rak-rak buku dan sebuah lemari. Entah apa yang menghantarkanku ke sini, meninggalkan tempat semediku dan nyamuk nakal bernama Pandit. Mungkin karena keteledorannya yang lupa mengembalikan semua buku yang dipinjam. Hingga aku merasa seorang pencuri telah membawa lari harta karunku. Rak bukuku ompong. Dan lemari bajuku kedinginan, menggigil ketakutan ketika aku menyeringai sangar mendapatinya kosong. Tapi ini juga ulahku membiarkan ia bebas menilai penampilanku saat ditemukannya daki tidak jatuh setelah kucuci. Ada banyak komentar disusupi niat baiknya untuk mencuci kembali dan memberi garis-garis licin di setiap lipatan.

Mau tak mau aku kerap mendatanginya. Di sebuah kamar di sebuah rumah susun. Walau dengkul terasa mau copot ketika anak-anak tangga tersenyum manis minta diinjak. Berpakaian dan sekedar bersapa. Namun terkadang tertahan oleh sebuah percakapan. Kemudian sebuah percakapan lagi. Dan percakapan lain yang tak kunjung putus untuk akhirnya menutup malam. Karena esok juga ada percakapan lain. Hingga kami lupa akan detik yang masih setia berjalan dan tak terasa genap sudah empat bulan aku tinggal bersamanya.

Tujuh hari bukan waktu yang lama tapi ada rasa yang terus menghitungnya. Mungkin juga mengukur besarnya. Entah besaran apa yang kupakai, nalar lupa akan dimensi-dimensi. Sementara ruang berbicara lain, aku tak bisa menampik. Inikah rindu? Ah…. jangan pernah ada. Aku rindu untuk apa? Hmm…. mungkin rindu pada percakapan. Tapi aku merasa percakapan adalah angin. Tak kuundang tapi datang menghidupi. Ada bersin? Hahaha… itu mungkin hanya tawa panjang ketika sadar pada sebuah diskusi yang memperlebar kebohohan kami.

Kalau itu benar rindu, apa benar aku dikatakan telah jatuh cinta? Cinta? Waduh, setan apa yang memperanakkan logika berketurunan jadah. Cinta itu sampah. Seperti kasih yang menjadi bahasa klasik dan usang. Bukankah Adam dan Hawa telah mempertontonkannya secara bugil. Tak ada dikatakan cinta saat Adam bersetubuh dengan Hawa. Namun mereka tinggal bersama dan bercakap-cakap. Tentang taman dan penghuninya. Dan Adam tak punya pilihan teman hidup selain Hawa.

Jangan-jangan aku kena kutuknya? Aku bersumpah malam itu saat kami berdebat tentang kata cinta. Aku katakan untuk seumur hidupku aku tak pernah jatuh cinta, namun aku telah berpacaran untuk keenambelas kalinya. Tapi bukan berarti pula aku tak punya kesetiaan, aku akan setia untuk sebuah komitmen. Teman hidup yang padanya kuberikan segala kejujuran sikap dan perbuatan.

Lalu ia berteori tentang pendapat seorang filsuf kelahiran. Wina Ludwig Wittgenstein ada berkata bahwa semua penggunaan bahasa, arti dari kata dan kalimat tergantung pada pemakaiannya. Kata yang sama tidak sama artinya bila dipakai dalam lingkungan yang lain serta diucapkan oleh orang lain pula. Kata cinta seorang kaya akan hartanya beda dengan cinta seorang ibu pada anaknya. Kata cinta seorang kekasih memang ada yang murni dan tulus. Cinta yang tulus mungkin dapat berwujud banyak hal, perhatian yang besar, kerinduan, kesetiaan, takut kehilangan. Dan ia memaksa aku mengamini semua itu sebagai cinta. Aku terpana, mengangkat bahu.

Ia diam. Menutup mata. Mungkin menenangkan diri. Saat hening berbicara, aku kian gelisah. Aku mencoba memecah kegalauan. Aku katakan, janganlah terlalu percaya pada cinta, bila cinta itu ada. Bila dikatakan ada cinta pada anak dan orang tua, mengapa ada pembunuhan dan perkosaan di antaranya. Bila ada cinta pada Tuhan, mengapa kaum pengusung cinta mengkotak-kotakkan diri pada Tuhannya, saling bersikutan. Dan sudut-sudutnya yang tajam menikam mati. Bila benar cinta itu ada, mengapa ada kesedihan di saat sepasang kekasih harus berpisah. Bukankah ada luka di setiap ada kata cinta?

Bukan hal yang aneh pula, pada saat berikutnya ia beringas. Ia menamparku dengan sebuah bantal. Di atas kasur ini. Dan menangis di tepinya. Begitu berartikah kata cinta hingga ia meraung-raung?

Walau berjuta kali ia bertanya di setiap menit-menit berikutnya apakah aku telah merasa jatuh cinta, aku hanya menggeleng. Selanjutnya bisa ditebak, mukanya akan tampak begitu jelek dengan bibir yang manyun sambil ngedumel. Tapi itu tak melarutkan seleraku untuk menciumnya, melumatnya. Walau dari bibir ini tak pernah terucap kata yang diinginkannya. Lamat-lamat ia pasrah, seperti mlam yang rela pergi disetiap kabut menuju pagi.

Tujuh hari yang lalu sebelum keberangkatnnya menuju kota kelahirannya, ia masih bertanya untuk terakhir kalinya. Apakah aku mencintainya? Aku tak bergeming. Tak mau beri nada sendu di detik perpisahan. Dan ia hanya menghela nafas mengusir kebebalanku. Namun aku tahu, ia percaya pada kesetiaanku. Percaya pada kedunguanku yang tak mampu mengartikan lukisan abstrak bergambar cinta. Ia memberi kecup, kecupan yang sangat berbeda di saat-saat lalu. Seakan kecup itu akan menjadi prasasti yang terkubur di suatu masa kelak. Dan di ujungnya ada sebuah detik-detik yang latah menjadi dingin. Sunyi.

Aku mengemasi pakaianku. Membiarkan buku-buku menganga di peraduannya. Mengunci rapat pintu kesunyian dan bergegas turun, melangkah di anak-anak tangga yang masih saja tersenyum minta diinjak. Di persimpangan jalan, aku mematung mengalahi tegarnya lampu traffic light yang menyala bergantian. Aku berdiri bersisian. Untuk kesekian lamanya aku mengalahkan kalut.

Akankah aku menyusulnya? Bersanding dengan dirinya di sebuah pernikahan. Namun ia tak mau menikah tanpa kata cinta. Apa yang akan diucapkan saat bersumpah di depan pendeta? Atau membiarkan ia mengakhiri kesetiaanku dengan lelaki pilihan orangtuanya. Dan aku harus berlari mencari sepi lagi.

Di persimpangan aku masih termangu saat traffic light bukan lagi dewa. Ketika jalanan begitu padat dan merangkak. Dari sebuah jendela bis kota aku mendengar suara serak membaca sajak :

.......................
udah itu kita sama termangu
Saling bertanya : Apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti
Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri
Ah! hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi
(Sia-sia oleh Chairil Anwar)

Ratu Babi

Negeri subur ini penuh lumpur. Tak lagi musim kering mampu tiupkan kegersangan. Menjadi permainan yang indah saat udara panas datang. Lumpur-lumpur adalah tempat berkubang. Suaranya menikmatkan, kecipak kesuburan meninabobokkan impian untuk hidup tanpa perlu khawatir akan esok.

Negeri subur ini penuh babi. Entah kapan bermula ternuzum begitu. Saat berjuta-juta leher tergorok di tahun-tahun yang lama lalu, mahluk-mahluk yang katanya paling mulia ini menikmati kutukan darah yang menangis. Dan bersama terperkosanya udara, air dan tanah kian tersihirlah ratusan juta penghuninya menjadi babi-babi korban pembangunan. Terpasung di atas empat kaki.

Mereka berjalan menunduk bukan malu pada diri-dirinya. Menatap ampas-ampas hidup penuh kerakusan. Hidungnya kembang kempis menetes liur. Tapi mereka tetap bisa gemuk. Penuh lemak-lemak yang mematikan. Tubuh bagai timbunan mental-mental jahat dan bilamana terbakar nanti, suaranya memercik damai, menetes minyak-minyak kerakusan yang kian mengotori tanah. Sudah terkabar di neraka akan banyak tarian. Menggeliat, menggerang, menjerit. Tak ada tangis, toh neraka bumi lebih kejam. Dan setelah kematian hanya perulangan.

Warna kulitnya seragam. Ya putih. Sejak ditunggalkannya pandangan hidup, keseragaman adalah mutlak. Atau akan dibuang pada tepi-tepi jurang kematian. Polesan lumpur hanya menutupi kepura-puraan. Putih ya tetap putih. Mungkin hanya bisul yang menitip merah, namun setelahnya pecah dan kembali putih. Isinya tak jauh lebih putih. Walau ada panu atau kurap itu tetap sewarna. Perbedaan hanya tipuan. Siapa yang menyangkal panu tidak putih. Borok samar-samar, putih menjadi angka-angka keberhasilan. Ekor-ekor adalah angka hidup.

Di dongeng malam, induk-induk babi ada bercerita saat semua puting telah penuh oleh mulut-mulut yang rakus. Katanya, dulu ada nabi yang mengusir setan dan memberinya istana baru di tubuh ratusan babi-babi. Namun sungguh malang, mereka mati di jurang dalam. Entah oleh sebab apa. Entah oleh apa pula otak-otak mereka tak mencari jawab. Hanya berkubang di atas lumpur kesuburan negeri dan mengunyah ampas-ampas yang tak perlu diperebutkan.

Kini ada yang menjerit-jerit di antara mereka. Berlari dan melingkari. Suaranya menggema mengusir kantuk dan lamunan. Dengus-dengus yang terkepal meninju rakus. Dan taring-taringnya mengancam setajam ucap dan maki.
“Bangunlah kaumku! Saatnya kita berontak dari kutuk zaman. Kita telah gemuk oleh derita-derita. Kita menjadi pemalas di lumpur subur. Pemimpi di saat siang. Tak cukup hanya ampas. Sebab berharap pada esok adalah kesia-siaan. Mari kita rebut negeri. Lari dari petak-petak logika mereka. Tempat kita ada di belantara pikiran bukan di sini, di pasung kebodohan!”

Mereka berteriak, “revolusi atau menjadi babi panggang kelak!”
Semua tersentak. Bangkit mencari kabar-kabar, sumber-sumber berita. Pada dinding-dinding pagar tertoreh baris-baris huruf. Beredar kitab-kitab yang dulu haram. Ada cerita yang bukan lagi dongeng. Di antara mereka ada setan-setan yang menjelma menjadi babi. Mungkin pula setan yang merasuki. Katanya ada babi ngepet. Babi ngepet?

Kali ini bukan barisan mahluk kesakitan. Semua menoleh ke kanan, ke kiri. Mencari-cari mahluk yang katanya jejadian. Ada yang merapat di barisan induknya. Ada yang merapat di barisan kakeknya. Ada yang merapat di barisan moyangnya. Tapi…. tak ada yang terpisah, tak ada yang berbeda. Semua sama. Semua merapat.

Atas nama kesadaran, mereka simpan semua kabar lama. Berkubang bukan lagi takdir dan tak ada ketakutan menerobos belantara pikiran. Dan kian muncullah babi-babi liar yang turun dari pingitan zaman. Keluar dari belantara hutan di batas-batas arena kubangan. Mereka hitam dan bertaring. Katanya ini adalah warna perlawanan. Dan taringnya lebih tajam dari kutuk-kutuk yang tertoreh di kitab zaman.

Kini ada pemimpin di negeri ini. Ada yang memikirkan mereka. Setelah sebelumnyapun mereka sebenarnya juga punya pemimpin. Namun hingga di detik ini, mereka tak mampu menunjukkannya. Sebab kebodohan yang memimpin dan samar-samar jikalau memang ada yang katanya babi ngepet, mungkin dialah sang pemimpin rezim dulu. Namun tak terjamah. Karena sama dengan yang lainnya putih dan tetap babi.

Namun riak angin perubahan tak bertahan lama. Cuaca kian tak jelas. Kadang mendung berkepanjangan hingga berkubang menjadi tak nikmat lagi. Semua penuh oleh lautan air dibumbui liur-liur ocehan. Semua panik. Belum lagi di lain hari kering berkepanjangan membuat lumpur-lumpur kian langka. Terlihat otot-otot saling beradu. Menggertak dan berkelahi. Ada kaum-kaum tersingkir. Ada yang kembali terpinggirkan.

Sementara mereka yang katanya datang dari belantara pikiran, kian rakus mencari bentuk. Entah perdebatan apa yang diucapkan pada setiap percakapan. Mereka telah diberi simbol-simbol dan kalung-kalung kebesaran menari-nari di leher mereka. Berdentang di setiap detik dan langkah. Suaranya seakan kabar yang tak pasti, terus berubah wujud. Sungguh menakutkan. Dari padanya akan ada sihir-sihir entah apa lagi.

Di sudut sebuah kubangan yang terindah, ada persetubuhan. Percakapan malam diantarai bintang-bintang, sesamar kabut menutupi. Putih turun mencium tanah. Di saat erangan kian laknat, puluhan lilin dijaga nyalanya. Ritual membisu di empat mata angin. Menatap harap, tersembunyi di tabir mulut malam.

Setelah itu, kelak tak ada lagi warna yang berbeda di antara mereka. Semua sama menjadi putih. Gemuk dan pemimpi. Tapi tak ada yang teringat pada perubahan itu. Tak ada yang sadar kaum pingitan zaman itu dulu berwarna hitam. Kesadaran yang ada di diri mereka kini adalah mereka memang babi.

Tapi jati diri sebagai babi mengecutkan nyalinya. Setelah sekian lama dari detik persetubuhan, lahirlah sebuah keturunannya. Ia terkejut sebagai induk babi. Bayinya bukan dirinya. Bayinya berkaki dua. Mirip nenek moyang akal budi di sebuah masa pingitan. Ia pernah melihatnya di belantara pikiran. Walau yang terlahir bukanlah berwarna hitam dan berbulu seperti yang dilihatnya. Cepat-cepat dilarikannya sang keturunan menuju hutan. Pada belantara ia titipkan sang anak untuk sebuah pingitan. Kelak di suatu saat ia akan kembali dan membawanya, memperkenalkannya sebagai keturunannya.

* * * * *

Entah siapa yang mendahuluinya, kepulan debu terlihat menari-nari di angkasa. Awan-awan seakan rebah di daratan. Jutaan babi berlari kencang. Terlihat pemandangan yang binal menerjang. Menerobos akal sehat, terbang bagai panah-panah yang tak sesat arah angin. Derap-derap serempak menitip harap. Membaui udara dengan dengus-dengus nafas, membayang mimpi di mata yang menatap ke depan. Katanya ada sejuta mimpi di balik kabut sana, kini saatnya memilih atau akan tersingkir selamanya oleh permainan jari-jari musim. Di depan, sang pemimpin menarik kendali. Menenung semua logika menuju istana bayang. Dari sebuah janji yang telah diucapkannya.

* * * * *

Sepasang kaki melangkah satu-satu. Menatap hamparan bangkai di bawah sana. Sementara ribuan burung nazar telah berhenti makan. Perut-perut mereka hampir pecah. Liur mereka tak mampu santap semua bangkai.
“Kakek, mengapa mereka menjatuhkan dirinya?”
“Mereka terbuai sebuah janji. Kemakmuran di balik kabut yang menutupi. Oleh sebuah janji dari setan-setan yang merasuki. Suatu saat kelak kau akan mengerti, asal kamu mau belajar pada waktu, bukan pada angin yang membawa kabar sesat.”
“Mereka telah ditipu siapa?”
“Tak ada yang menipu. Angin barat membawa dongeng kebebasaan, angin selatan membaui malam dengan globalisasi. Angin utara mengejek kesederhanaan mereka. Sementara angin timur menawarkan surga yang hanya sepetak. Dan dari surga itu pulalah turun ribuan burung nazar menyantap kepasrahan mereka.”
“Mengapa aku tak sama dengan mereka?”
“Dengankupun kau tak sama. Aku berdiri di atas dua kaki tapi tanganku hampir menyentuh bumi. Ibumu, sang ratu, telah bersetubuh dengan suatu malam. Yang menaungi dan menatap kaummu penuh kerakusan. Negeri ini telah digadaikan pada lalu, dan mereka ingin merampas paksa. Menggiring para pemimpi ke ambang kejatuhan. Sebentar lagi mereka akan datang. Burung-burung nazar pasti akan lari ketakutan menggali lubang-lubang kubur mereka sendiri. Kepulan asap akan membentang negeri, percikan lemak-lemak menari mengiringi mereka yang bernyanyi. Dari mulut sang koboi yang barbar akan bersenandung kata, “gone with the wind blows.”

jakarta,juli2003

Monday 14 July 2003

Doa Seorang Sekuler

Ketika diam, hening berbicara. Dan waktu melukis suasana, memikat gelap untuk mampir tanpa curiga....

Kau nyalakan lilin
Menari-nari beralas raga. Berpendar, meliuk-liuk. Tumbuh menghirup dera untuk masa yang mulai berjalan, sedikit bergegas. Berkemas nafas lalui simpang-simpang yang menitip sejuta bisik. Pintu-pintu zaman telah terbuka, nyata terbaca berkabut tafsir. Tak sulit mengeja, tinggal logika mengendus mana.

Lilinpun mulai mencair
Mengalir membanjiri. Waktu telah durhaka, tak mau berpaling pada lalu. Terbajak mencetak petak-petak kabar. Goresan zaman yang kita titipkan keringat, terkadang ada mimis. Jika dulu ada dinosaurus dan sekarang badak, apakah kita bangga sekedar dari monyet menjadi manusia? Mari mencetak sejarah bukan menanti titipan nisan. Tembok tirani pun perlu mata, jiwa kita dipasung. Ia perlu kata, jerit-jerit digoreskan dengan gigi-gigi menganga. Ia perlu warna..... darah, kita benturkan logika untuk meruntuhkannya.

Lamat-lamat mengecil. Dan mati.
Senyap kembali berselingkuh, setelah Kau jentikan nafas menjauh. Semoga tidak siulan usilMu. Bersabar untuk waktu yang tiada bersahabat. Mungkin bukan detik ini, tapi aku yakin Kau masih punya lilin-lilin lain yang akan Kau nyalakan untuk teman menulis nasib-nasib manusia yang mengais.

Kalimatuka tunirul tariai,
alleluia
Kalimatuka tifirul hayati,
alleluia
sabdaMu jadikan semangat hidupku
amien


13julii2003

Wednesday 2 July 2003

Mak Engket, Mak Erot dan Mak Mega

Entah siapa dia sehingga Koes Plus begitu berharap. Memberi harap akan ada sebuah pertolongan. Dengarlah nyanyiannya :

Mak Engket maukah kau menolongku
tunjukkan jalan ke telaga biru
di sana kekasihku selalu menunggu
aku ingin segera bertemu...
Mak Engket dengarkanlah kata-kataku
ku rindu kekasihku
Mak Engket luluskanlah
permintaanku di sisa hidupku


Lagunya cukup tua, setua jawaban yang tak kunjung didapat. Bukan berarti kita sudah pikun apalagi bangkotan. Biarlah mereka saja yang tahu. Tentang Mak Engket.

Tonny K, sang pencipta, teringat telaga biru, di sana ada tempat bersua yang indah, mungkin takkan terlupakan. Ia ingin bertemu kekasihnya. Tetapi mengapa ada Mak Engket di antara mereka? Ada apa dengan Mak Engket.

Sebuah permintaan di sisa hidup, permintaan yang tidak rakus. Permintaan yang tulus. Ia mempertaruhkan penantian, ia ingin bertemu di telaga biru. Ohhh.... Mak Engket malaikat berkain apa?

Mengapa hanya meminta pada Mak Engket? Mungkinkah manusia lain tidak ada yang tahu jalan? Yang pasti bisa dimengerti, Mak Engket tidak pikun. Ia tidak pelupa. Ia tahu jalan. Ia tidak pelupa. Ia tahu jalan. Ia ramah dan tahu kemauan para pecinta. Ia tahu.......

Di sana kekasihku selalu menunggu. Selalu? Ini menandakan kekasihnya setia menunggu, walau hingga detik itu ia tak pernah ke situ. Ia tak tahu jalan. Ia hanya tahu kekasihnya selalu menuggu. Mengapa berjanji di tempat yang tak pasti? Mengapa Mak Engket yang hanya tahu? Tapi Mak Engket bukanlah nama yang menyeramkan, tak ada ingin menuduhnya sebagai penyamun atau mungkin sejenis dedemit menculik perawan. Ia bukan setan, hanya malaikat entah berkain apa. Mak Engket luluskanlah permintaanku. Ohh... begitu berharapnya.

Seperti Mak Engket, saat ini ada Mak Erot. Ia juga tempat berharap yang baik. Panjang, besar dan tahan lama. Itu yang diketahui Mak Erot. Dan tak perlu memelas-melas untuk pergi ke telaga biru, berenang di sanapun akan terwujud. Ada uang ada panjang. Besar dan tahan lama. Mah Erot mengumumkan dirinya. Ia seakan 'menyandera' kenikmatan. Terbersit padanya ada jalan 'memuaskan' sang kekasih untuk bertemu. Ia tak tulus. Ia perlu fulus dengan akal bulus (atau minyak bulus?) lelaki (oknum lelaki) mempercayakan penisnya. Sebuah rasa tidak PeDe (percaya diri). Tidak berani memiliki apa adanya dan berkata, "inilah aku! Ini PeDe (penis dhewe)"

Ini sebuah penyakit sosial. Ada banyak "orang pintar" yang mengobral jasa untuk itu. Mereka sangat 'pintar.' Mengemas isu sehingga memunculkan kerisauan, rasa percaya diri luntur. Dan pada mereka ada jalan. Dan tak disangka, para perempuan (ini juga oknum) 'terinspirasi' pada nilai kesempurnaan. Seakan panjang, besar dan tahan lama bisa menghantar menuju 'telaga biru.' Terbukti dengan banyaknya minuman vitalitas 'dijajakan' perempuan (sekali lagi oknum) di layar beling. Dan para pria (masih tetap oknum) makin ketakutan melihat kuencengnya putaran pinggul Mak Inul, eh Inul rek!!

Ternyata hari-hari menawarkan banyak perubahan. Gamblang tergambar di muka kita. Tak semisteriusnya Mak Engket milik Koes Plus, semua kini bugil di depan mata, tak risih mengeliat, bergoyang, menggerang. Ada banyak iklan tentang Mak Erot. Di iklan baris, di bibir-bibir, di dinding, di otak-otak kita. Virus yang tak mematikan namun mengkhawatirkan. Ada perubahan nilai yang diurutnya. Anehnya, semakin banyak orang mengaku 'sepintar' Mak Erot. Mengaku diri anaknya, muridnya, cucunya, mungkin tetangganya.

Saya teringat sebentar lagi akan ada pemilu, ada arena jual 'obat.' Berkoar-koar di tengah masa dan massa. Saya dapat kabar, Mak Mega masih akan juga menjual 'obatnya.' Katanya penawar penyakit masyarakat. Korupsi. Kebodohan. Rendah diri namun mau menang sendiri. Ramah hati tapi anarkis. Dan kabarnya pula akan ada 'obat' mujarab pengobat lapar. Janjinya tak hanya di jalan dan di pasar. Media cetak dan elektronik memburunya. Mencari tahu jenis formula obat itu. Sekaligus mencari tahu efek sampingan, cara pakai dan harganya. Olala..... Mak Mega seolah-olah jelmaan Mak Engket (malaikat yang entah berbaju apa).

Sebelum jemu, ada sebuah jeda dan aku akan menyanyi :

Mak Mega maukah kau menolong kami
tunjukkan jalan menuju Indonesia baru
di sana kemakmuran menunggu
kami ingin segera menggapainya...
Mak Mega dengarkanlah suara nurani
kami tak ingin ditindas lagi
Mak Mega bersikaplah jujur
permintaan ini disisa harap menuju revolusi


Akan ada begitu banyak janji. Tidak hanya Mak Mega menual 'obat. Ada Mak Haz, Mak Rasis eh Rais, Mak Sby, Mak dll. Mereka menokohkan diri, mencari panggung sandiwara semusim. Teringat pada pemilu yang lalu, adakah janji yang terkabul selain sebuah janji yang tak terucap yaitu : bohong.

Perebutan yang saling menyikut seperti anjing berebut tulang (atau supaya tak terkesan kasar dipakai saja kata : tongkat estafet). Tak seperti Mak Engket yang tulus. Atau bila pun disandingkan dengan Mak Erot yang mencari fulus, pada Mak Erot selalu ada jalan keluar Diberi fulus dan dihadiahkan olehnya 'surga.' Mak Erot masih realistis dan 'permainannya' tak kasar dan hina. Bagaimana dengan Mak Mega dan kawan-kawan? Bila mereka mendapat mandat (atau tulang) dari rakyat, akan terbayarkah/terpuaskan rakyat?

Meminjam sebuah jerit kaum militan, aku berucap lantang "bersatulah!!!!"
Mari merapat, akan bergema kata : MAK! (baca Maki)
Untuk mereka yang merampas tulang-tulang kita.
Merampas tulang-tulang kawan juang di nisan yang kini menganga.

Memilih untuk tidak memilih adalah hak pilih !!!
(pembelajaran untuk tidak terlalu berharap pada Pemilu atau siap dengan lapang dada menerima pembodohan)

jakarta,2juli2003

Monday 30 June 2003

Kawin-kawinan

Hari ini sudah ku nyalakan waktu. Sementara dari pagi awan telah ku sisir rapi. Ada yang keriting, ada seperti laut tapi tetap penuh uban. Pada angin ku titip pesan : jangan nakal ya. Ku lukis langit dengan jari-jari kotor, biru kotor, agak luntur. Sekarang tidak lagi menetes. Hmm..... ada yang lupa. Matahari terlihat terlalu garang, sangat tidak lucu. Elok bila ku beri senyum. Di sudut dagunya yang juga bulat ku beri titik. Mungil.

Gadis kecil mematut diri. Di bayangan tumpukan bunga yang tidur. Busuk. Jijik. Lalat-lalat main petak umpat. Ada ulat. Ihh...... dia berlari. Memelukku. Sudah siap? Kita mulai saja ya. Dia menghantuk-hantukkan kepala ke udara. Duk. Duk. Ritual dimulai.

Saat tangan saling bergandengan, kicau-kicau menyala. Riuh di atas pepohonan. Ada Perkutut. Beo. Kutilang. Murai. Camar. Elang. Ayam. Lho kok? Dia menangis, meracuni udara. Merengek-rengek di atas tanah. Nyanyiannya jelek! Aku bengong. Memandang pantat ayam nun jauh di atas. Meringankan tangis dengan permen, hadiah mengemis tadi.

Aku ambil kerikil kecil yang tak tajam dan tak berduri. Hupss. Tak. Petok-petok. Ayam jatuh. Kita mulai lagi ya. Tangan saling bergandengan. Ku jentikkan jari. Dan melantun merdu. Ave Maria dengan suara paruh. Dia tersenyum. Giginya jelek. Tapi senyumnya tak busuk.

Opss. Rok tersingkap. Angin nakal, genit. Ia malu. Celana dalamnya merah jambu. Agak koyak di pinggir. Hihihi.... Aku menutup mulut menahan tawa. Aduh! Pinggangku dicubit. Matahari batuk-batuk. Coba serius lagi. Senyum dikulum, dikumur-kumur.

Di beranda rumah langkah terhenti. Duduk di atas dua kaleng roti, berkarat. Mata mencari mata. Ada peluh menetes. Dia kelilipan. Main mata. Menggeser ke kiri, ke kanan. Mengucek-ngucek. Aku memberi ujung baju. Masih main mata. Serong ke kiri, ke kanan. Aku memberinya nafas. Menghembus mata. Tangannya menutup hidung. Bau. Waduh.

Di bawah pohon ada banyak sampah. Di antara sampah ada banyak kardus. Pada kardus bekas TV yang besar ada dua anak kecil. Bukan pada beling kaca, hanya pada sampahnya. Mereka tak layak buat teman makan malam. Gembel. Hitam. Bau. Berikar. Tak mau jadi sampah. Cintaku suci bukan sampah, sayang.

Inong

Serambi kita tak lagi suci,
dedaunan runtuh, pijakan kaki melangkah.
Bukan oleh badai ada sunyi malam ini,
gelisah merambat membaui detik.
Sejenak terpekur untuk bisu.
Di sini. di sana. ada bisik tertahan
"gigi kita menjadi nisan"

Serambi kita tak lagi damai,
usah harap doa-doa menahan geram.
Menetes dengan lajunya,
menjemput kawan lama yang karam di benak duka.
Ada lautan tangis mengangkang lebar,
terlahir kepala-kepala merah tersenyum hingar
"mereka menitip topi-topi baja"

Kabar lama erat berjabat tangan.
Bukankah tuan sudah buat janji,
Seulawah mengangkasa menuju Jakarta.
Kita bangga berumpun sama.
Elok langkah bercerita, ada duri tertanam lama,
pusaka abadi di pelupuk mata.
Dikutuk menjadi tikus di lumbung sendiri
"siapa yang menanam benci?"

Inong menggelepar di belukar, merintih menatap jerit,
lenyap bersama mereka yang merayap.
Hidup menjadi rimba, bersembunyi di antara pepohonan
kala waktu tak sungkan menitip tangis
"di pipi menetes peluru-peluru"

Resah tak berujung petang, puan-puan menuai perih
membasuhnya menjadi lukisan abadi.
Inong mencari Tuhannya, di serambi
bersama peluru-peluru yang berkumandang

(semoga Tuhan tidak sedang tidur,
ataukah harus dibangunkan dengan tangis jutaan inong-inong?)

sayang, malaikat lupa mencatat dosa

sayang,
malam ini tak mampu kuhadirkan bintang.
peraduan kita adalah jarak,
hingga bahasa menjadi kepak-kepak rindu.
menggigil menahan mimpi.
saat kita menggores pantai dengan jari-jari,
ada aku. kamu. dan toilet kita.
kelak di atasnya kaki-kaki nakal menendang istana pasir.

sayang,
nun jauh di sana malaikat lupa mencatat dosa.
bukunya telah aku curi lama,
sementara doa-doamu membakar lembar lalu.
tiada usah berpaling masa,
langkahku mampu jinakkan waktu.
genggam erat tongkat kurusmu ini
tiada sesat menari di atas langkah lagi.

Malaikat Putih nan Kurus

Puntung kedelapan telah aku ludahi, sementara asap yang menari tak mampu jelmakanmu. Walau antara debar jantung dan nikotin sama ganasnya, rindu tak mampu jadi jantan. Nista berkutang harap-harap, menyembul bagai bisul berputing tiga. Dan nadi mencari kanal, menunggu tengkulak yang mengangkang. Benih-benih telah ditanam setelah tanah lama mematung diri.

Dan mentari tatap sela lubang berkarat, teropong bintangku. Mengukur petak-petak, yang kutanam di musim luka kini berbunga. Kusiangi menanti buntingnya. Bersama rindu yang merajam, bulir-bulirnya tertawa sumbang. Plong! Kosong melompong. Songsong amuk sungsang. Sanggahan tak berakal ketika mata membakar berjuta kata. Di atasnya terhampar kitab-kitab tua. Kayu bakar bagi galau yang pecah bersama malaikat-malaikat yang berhamburan keluar.

Peraduanku hanyalah kekal di kesunyian. Bunyi menjadi ayat-ayat setan, namun senyum tak mampu tepis luka. Bayangan itu menjadi pelangi setelah tangis melaburi doa. Atau pinta di ujungnya, di sebuah perigi. Akan kuculik kau setelah menelanjangi aku. Berlari di antara onak duri yang telah kita persiapkan. Menjilati luka, kita tiupkan desis.

Dan kembali aku hanya onani di sepi yang bugil.

Oh, peraduanku hanyalah kekal di kesunyian. Bersama puntung-puntung lain aku ciptakan sebuah padang. Berkabut di antara jejak-jejak yang datang dan berlalu. Dengarlah langkah-langkah yang ditimbulkannya, tak ada ragu berpaling. Menari sambil berlompatan, bersama amis yang sunyi. Dan terbang singgah di surga dihujani tatapan malaikat-malaikat gosong. Jangan takut, aku hanya akan berhembus menjadi mimpi di malam gadisku. Peraduan abadi. Dikutuk menjadi malaikat putih nan kurus.

Wednesday 4 June 2003

aku akan datang malam ini

"aku akan datang malam ini"
dan aku mematut diri. mengeringkan lautan luas yang masih menggenang. ombaknya menjilati cermin, kian retak oleh deburan yang entah berjarak peristiwa apa. kilau nakal fajar mengetuk-ngetuk sejarah, berbingkai kata dengan lumut yang kian menenung diri. tersisa debu-debu menebal bersama kelam dan saat resah mendaki, kerikil kemungkinan menjungkirbalikkan penat, meluncur bebas menebas onak peraduan. perih....... menerbangkan debu. pada dasarnya aku meraba peti tua, tertoreh sebuah mantra, kata tua 'kasih'. ku teteskan liur pada setiap akhir suku kata dari doa-doa yang menganga. mencari tepi kebodohan jiwa yang terentang di setiap langkah berpijak. budak biarlah hengkang dari penjaranya dan kekasihku meraja di gelisah yang telah kurajang di menit-menit lalu. dan kembali aku mematut diri. di wajah tiada lagi lukisan, senyumku kini adalah kejujuran janji tiada berselingkuh galau.

"aku akan datang malam ini"
bersama pinta-pinta yang melambai-lambai, ku buka tingkap-tingkap sepi. menguapkan bulir-bulir gigil yang onani. tak ada lagi mimpi dan hayal. mentari telah menikam kesadaran. tepat di ujung belatinya. ku susun setiap tapak menjadi bahasa baru. baku bagai detik-detik yang berbaris menuju menit. dan berdentang. buumm..... oh itu sebuah palu godam. menghantam kerdilnya rancangan hari. sendi-sendiku gemeretak memikul otak yang berpusar cepat. ini bukan rancanganku. istana kartu-kartu tarot menelan bom waktu. telah lama membius menjadi materai nafas-nafas. dan di sudutnya laba-laba hitan menenun diri, suntuk pada keruwetannya. rumah jiwa berdinding logika, di setiap pertemuannya ada moral yang memaku. dilaburi pekatnya ideologi yang kini abu-abu, mencoba menjaga dari rayap-rayap zaman. tapi mengapa masih ada hampa? ruang tak bermata, arah yang dituntun si buta. sementara tongkat hanyalah nasib yang menjilati jejak-jejak. ku harus membakar hening dan sampah-sampah diri yang teronggok di setiap kesal yang pasrah. bersama tingkap-tingkap yang telah menganga, asapnya menjadi pertanda dari kubur sepi. di detik yang terkulai, berjuta merpati merangsek masuk. pada cakar-cakarnya terselip berjuta carik kertas, dari kitab-kitab tua, samar tertulis 'damai'

"aku akan datang malam ini"
ya, kekasihku akan datang malam ini. mengetuk pintu yang duduk manis menunggu. saat terkuak, perapianku akan memberi terang menghempas pekat di luar sana. percikannya memberi nada-nada, lagu yang indah buat tarian kita. tarian jiwa yang tak lagi meracau. namun jelaga malam kian sirik dan angin meniupkan kesal membawa rintik-rintik penat penantian. jam di dinding berdentang sombong tak ada niat untuk melayat. penantian telah mendinginkan santapan di meja persembahan. meracuni anggu-anggur yang kini mulai terasa asam. kelu di bibir bergetar menyusun harap. pelan menghantar akal pada peraduan hening, lelap di pangkuan kursi tua. seperti kemarin, kekasihku hadir di mimpi dan berucap, "Aku telah datang malam ini. di hatimu. saat rumah jiwa telah bersih dari luka semusim. manjakan Aku sebagai imanmu."

Wednesday 21 May 2003

ingin

ingin kutelan bibirmu, bibirmu tersenyum
ingin kulumat senyummu, matamu melotot
ingin kuludahi matamu, dadamu berguncang
ingin kujilati dadamu, tanganmu menghempang
ingin kucengkram tanganmu, pinggulmu berontak
ingin kudekap pinggulmu, kelaminmu marak
terbakarlah kitab-kitab tua
dan padanya malaikat menghambur keluar
gema terompet menjajah diri
memasung ingin menjadi hamba
dan kakimu kelak bemahkota

19mei2003

Friday 2 May 2003

Dan Tuhanpun Menangis

Kabarnya ada tangis yang berlari-lari, berlomba-lomba mengejar pantai
dan angin tertunduk lesu, bisikkan derita pada camar yang lupa akan sarang.
Saat nyiur meronta-ronta, jejak-jejak kian tersapu,
menelan cerita yang tak pernah lapang

Kabarnya ada tangis yang menari-nari, di antara bulir-bulir padi kosong
Perih kian bunting bersama waktu menguning
Saat hari meratapi diri, angin teduh menyapa, menjilati tetes-tetes keringat
terlukislah peta harta karun pada tengkuk terbakar

Kabarnya ada tangis yang menderu-deru,
pecah terluka meluncur di lereng-lereng curam
Sementara awan-awan memberi jubahnya, petir tak kalah histeris

Ohh….. tangisku bukan lagi sendiri menggapai-gapai langit
Di ketinggian hati, aku mendengar ratapMu,
saat menatap dinding hati terlukis sejuta luka
Di sini dalam kapal tua Nuh,
aku menggiring berjuta pasang resah dan turunannya
menunggu masa saat karamkan di lautan tangisMu

Ya Abba

Katanya, dentang malam itu hanya satu
sepi doa yang membauinya
: “Ya Abba, jangan biarkan aku mati dalam mimpi.”
Dan berangkatlah imaji liar berkenderaan hitam
lalui lorong sejuta titik-titik entah berdimensi apa

Kabarnya, dentang malam itu tak lagi satu
saat ada aku, dia dan dia.
Layarnya tak mengucap kata, larut dalam garis-garis yang saling menenun diri.
Kala aku, dia dan dia berlakon pudar, rindu memberi bingkai.
Nyanyian sunyi melepaskan tawanannya,
senyum yang hadir titipan tawa lalu.

Nyatanya, kini malam tak lagi berdentang,
saat pagi berbisik di telinga
Getar bibir mengucap bait-bait
: “Ya Abba, biarlah aku mati di dalam mimpi. Saat sadar di mimpi pun aku kalah, cemburu pada mereka yang berpagutan. Aku resah di dua sisi”

Thursday 24 April 2003

Sebuah Kesetiaan

.....masa berkabung, saat ku berduka menuju sukacita,
menatap jejak-jejakMu yang tertatih menuju bukit tengkorak....
secarik catatan di bulan ini:


Sebuah Kesetiaan
: menjelang hari keempat puluh

Pada masa perang Utara dan Selatan di Amerika pada tahun 1861-1865 seorang serdadu Amerika ditangkap dengan tuduhan membelot. Karena tidak bisa membuktikan bahwa dia tidak bersalah, ia divonis dan dijatuhi hukuman mati sebagai pembelot. Seruannya untuk naik banding sampai ke meja Abraham Lincoln. Dan Presiden Lincoln berbelas kasihan kepada serdadu tersebut dan setuju untuk memberi pengampunan.

Serdadu tersebut kembali ke angkatannya dan ikut berperang sampai perang tersebut usai. Namun ia terbunuh di medan pertempuran yang terakhir. Ketika teman-temannya mengangkat tubuh dari serdadu itu, di kantung bajunya ditemukan surat pengampunan yang ditandatangani oleh Presiden. Kata-kata PENGAMPUNAN pemimpinnya begitu DEKAT dengan HATINYA.

Demikian juga seharusnya kita semua sudah mati, namun pengampunan itulah yang telah membawaNya ke kayu salib. Seandainya tentara Romawi tidak ada di sana, seandainya tidak ada pengadilan, seandainya tidak ada Pilatus waktu itu dan tidak ada kerumunan orang banyak, penyaliban yang sama akan tetap terjadi. Seandainya Yesus harus memaku diriNya sendiri ke kayu salib, Ia akan melakukanNya.Karena bukan tentara Romawi yang membunuhNya, bukan juga jeritan orang banyak, melainkan kesetiaanNya kepada kita.

Terima kasih buat kesetiaanMu. Bahkan kesetiaanMu ketika Engkau tergantung di kayu salib. Seharusnya Engkau sanggup untuk turun dari kayu salib itu, namun kesetiaanMu membuat Engkau memilih untuk tetap tinggal di sana. Sampai Engkau berkata “sudah selesai.”

Itu sebabnya kayu salib bukan kebetulan. Engkau menjadi miskin supaya kami menikmati kelimpahan. Engkau disakiti supaya kami disembuhkan. Engkau menanggung rasa malu supaya kami menerima kemuliaan. Engkau dihukum supaya kami menerima pengampunanMu. Engkau dijadikan dosa oleh dosa kami supaya kami dibenarkan oleh kebenaranMu. Engkau menjalani kematian supaya kami menerima kehidupan.

Atas dasar apa ya Tuhan sehingga Kau mengasihi kami, adakah sesuatu dalam diri kami yang begitu berharga, sehingga Kau rela memberikan hidupMu untuk menebus setiap kami?

Begitu berharganya hidup kami di mataMu, ya TUHAN.


taken from : Jeffry S Tjandra, Live Worship Recording

Tuesday 8 April 2003

Mari Tertawa

Tertawa! Tertawalah!
Walau entah bagaimana jenis tawanya, mungkin bergantung besar rongga mulut, bentuk bibir atau jenis makanan yang melaluinya atau siapa yang tertawa. Maklum, derajat kehidupan kadang membuat pakem cara tertawa sendiri-sendiri. Tapi yang pasti intinya sebuah kelucuan. Walau itu hanya melahirkan senyum simpul atau malu-malu.

Itulah yang diajarkan sahabatku, Gabe, dalam menjalani hidup. Menyikapi segala persoalan dengan tertawa.

“Itu obat stress, melenturkan penat. Kesadaran akan kesalahan membuat kita menertawai kebodohan itu. Dan setidaknya kita pintar menemukan jawaban. Ya, kita harus berpikir merdeka. Jangan pernah dijajah oleh kesalahan. Kita bebas menemukan jawaban. Tidak menjadi budak pemikiran orang lain, karena kadang itu menjadi begitu menindas………”

“Menindas? Merdeka?” Aku bingung oleh segala ucapan-ucapannya.

“Bangun bung! Kalau kamu tak mampu memerdekakan diri sendiri, jangan pernah berpikir untuk memerdekakan orang lain. Hidup menjadi bagian dari masyarakat sosial adalah suatu kodrat. Tapi sistem di masyarakat, terlalu mematok-matok wilayah yang membangun berbagai larangan. Tak ubahnya dengan ayam potong, dikandangkan, semua diatur entah itu persoalan waktu atau makan ditempatnya, minum ditempatnya……”

“Tapi berak bebas kan bung.”

“Tetap tak bebas. Kotorannya tetap harus jatuh ke bawah bukan bisa terbang ke atas……..”

“Wah itu melanggar kodrat alam.”

“Bukan sesimpel itu. Aku hanya ingin membenturkan antara kodrat ciptaan manusia dan kodrat oleh alam. Taik jatuh ke tanah itu kodrat alam, sama seperti kematian yang suatu saat dihadapi semua manusia. Kita tidak bisa merdeka atas kematian. Tapi untuk urusan lainnya seperti keturunan, baik dan buruk, boleh dan tidak, sopan dan amoral mempunyai standar-standar tertentu yang berbeda-beda dalam masyarakat……”

“Maksudnya?”

“Misal manusia dikatakan harus berketurunan. Banyak yang stress dikejar oleh usia untuk urusan ini. Menjadi lajang tua atau perawan tua itu aib, apalagi tidak menikah untuk seumur hidup. Pandangan masyarakat membuat kita tak merdeka untuk memilih jalan hidup. Anak-anak dihasut untuk bercita-cita jadi orang kaya. Tak ada yang bangga jadi orang miskin, atau menjadi diri sendiri.”

“Hmmmm…. hubungannya dengan tertawa tadi?”

“Ya itu, pertama kita tak boleh terjebak oleh lingkar penyesalan. Kita harus tertawa ketika menemukan jawaban. Dan kedua kita tertawa ketika kita telah berhasil melawan aturan-aturan atau dogma-dogma usang. Karena kita telah menemukan kelucuan yang dikemas rapi oleh sekelompok manusia yang menepuk-nepuk dada sendiri. Kita merdeka atas kebodohan mereka!”

* * * *

Seperti biasa, aku duduk tak jauh dari sekelompok orang yang ada. Mengamati untuk berberapa waktu lamanya. Ya, itu pekerjaan yang mengasikkan. Aku akan menemukan berbagai gerak-gerik. Bahasa tubuh. Itu bahasa yang tak tercatat, karena udara tak memberi kesempatan menunjukkan salinannya, selanjutnya hilang tak tereja dibawa pergi.

Tak jarang aku akan tertawa sendiri menyadari tingkah-tingkah mereka yang terkesan bodoh, kamuflase, atau mungkin munafik. Seperti cowok itu yang berpura-pura berlaku mesra dengan gadisnya. Memeluknya erat dari belakang sambil menunggu bis kota. Sementara saat itu juga matanya tak lepas dari dada-dada bengkak milik perempuan-perempuan yang melintas. Atau si necis yang tak hanya pintar bersilat lidah, tanganyapun lihai merogoh kantong-kantong yang dimangsa.

Kebiasaan mengamati itu aku jalani semenjak di kota ini. Menyadari kamar sepetakku bisa mematikan di saat aku lengah. Di dalamnya akalku terhadang penat oleh persoalan-persoalan hidup. Akan gaji yang tiada pernah cukup-cukupnya untuk hidup. Atau persoalan keinginan untuk mengucap cinta pada seorang gadis, sementara untuk menerima penolakkan adalah sebuah kiamat. Ahh…. itu hanya sekelumit kecil, banyak hal yang terkadang membuatku mati kutu. Dan bila tak tertahan, aku biasanya lari ke luar kamar. Menuju jalan dan mengamati yang ada.

Objek yang bisa kuamati adalah pengemis-pengemis yang duduk di pinggir jalan atau di jembatan penyeberangan. Aku menemukan obat penawar keserakahan hidup. Dan aku menertawai kebodohanku. Berucap syukur, aku masih bisa makan dari keringat sendiri. Mengamati pencopet, pengamen atau gelandangan di jalanan. Ternyata aku masih bisa hidup sewajarnya.

Namun terkadang timbul persoalan baru, misalkan memandang iri pada mobil-mobil yang berhenti di lampu merah. Kemewahan dan kenyamanan ada di dalamnya. Tapi itu bisa kusingkirkan, sekali lagi dengan tertawa. Mentertawakan mereka yang hidup di dalam utang dan penjara uang.

Atau saat memandang sepasang kekasih yang berjalan bersama. Ada rasa iri menikmati iklim asmara yang tersembul di langkah-langkah mereka. Tapi biasanya aku akan berlari menuju tukang koran, mencari pandang dan mencuri berita. Tak harus membeli koran kriminal itu. Di tumpukkan atau yang tergantung, aku bisa melahap beritanya. Sebuah headline : “Seorang Pemuda Tega Membunuh Pacarnya yang Selingkuh.” Isinya gampang ditebak. Dan aku selanjutnya akan tertawa menemukan segala kebodohan. Setidaknya walau tak berpacaran, aku pasti takkan pernah ditipu apalagi disakiti. Dan kemungkinan untuk menjadi pembunuh tak akan ada. Mereka tega membunuh atau menyakiti lawan jenisnya oleh kedunguan akan cinta.

Kuakui, obat mujarab bernama tertawa sangat manjur. Andai itu dipakai semua orang dalam menghadapi hidup dan persoalan, mungkin tak ada berita-berita kriminal di koran-koran. Atau penuhnya orang-orang kalap dan hilang akal di penjara. Penuhnya mayat-mayat di kamar mayat rumah sakit yang tak jelas identitas dirinya. Dan kuburan tak akan menjadi begitu angker dengan arwah-arwah penasaran dan malah imbasnya kini banyak orang suka akan cerita-cerita mistis mengalahi magisnya ajaran agama.

Semakin jauh ku berjalan, terkuak semua tabir hidup. Tak lagi sembunyi-sembunyi, vulgar menyeruak dari bahasa-bahasa waktu. Di semua titik-titik ku dapatkan kata-kata sandi, menjejakinya sebagai langkah menghantarkan jawaban. Tidak usah berlama-lama melukiskan kerutan di kening, semua akan terbeberkan dengan pasti. Hidup tidak untuk dipersulit, sama mudahnya ketika menghirup dan menghembuskan nafas. Semua mengalir apa adanya selama bernafas bukan perkara yang susah untuk dilakukan.

Sampai ketika kakiku letih dan nafas tersenggal satu-satu, tubuhku membenamkan diri pada penat malam. Di sebuah taman dengan nyala lampu yang teduh. Mencoba untuk menyejukkan pandangan pada mahluk-mahluk indah yang menetek pada bumi. Akar-akarnya meremas penuh kasih pada kulit-kulit bumi. Seperti pelukan yang hangat diberikan pada bayi itu. Di dadanya mahhluk kecil itu membenamkan diri pada penciptanya dan menyusu dengan tenang. Kali ini tak mungkin ku salah melukis, ditengahnya ku dapatkan sebuah mahluk seperti diriku. Duduk di tamannya dengan nyanyian buat buah hatinya.

Pelan-pelan ku menghampiri. Mencoba tak mengganggu dan tak mengusik pagutan buat hatinya. Ia memandang pada langkahku, menatap dan tersenyum. Di depannya aku duduk bagai patung telanjang di sebuah taman. Ya hanya diam, menghantar nyanyian malam tak menjadi sumbang. Kami menikmati deru angin yang menjilati kuping-kuping dengan binalnya dan bintang-bintang begitu berahi dengan nyala yang redup menahan nikmat. Ohh…. waktu menjadi peraduan hangat tempat merebahkan detik-detik yang bersimpul menahan beban tubuh-tubuh yang bergelut dengan penatnya. Sebelum embun lahir di hangatnya hening malam dan menetes membayangi lekuk tubuh, ia ajak aku menjilati jejaknya menuju langkahnya terhenti.

Di depan kediamannya, tangannya melambai mesra, ajak aku masuk. Aku tak mampu berpikir panjang karena dadaku telah tertambat pada pesonanya. Dia letakkan bayinya di sebuah peraduan kecil dan kami menjauh tak mau meninggalkan keributan kecil yang mampu mengusiknya. Menatap punggungnya yang indah berjalan di depan menuju sebuah kolam kecil. Menghempaskan tubuh di tepiannya.

Aku kagum pada suasana kediamannya yang indah. Pada pandangan yang ditimbulkan oleh matanya yang bagus. Dan ia hanya tersenyum ketika aku ucap puja dan puji itu. Hanya menggerakkan hidungnya ketika pujianku kian bertambah rakus. Aku baru tersadar, sedari tadi aku yang terus mengusir hening melahirkan percakapan-percakapan. Dan aku mencoba diam bagai lampu dengan sorot yang menyeringai.

Dia tertawa ketika aku baru menyadari kebodohanku. Dan aku pun tak mampu hanya menahan senyum, tawa kecilku pun menyertai. Mulailah ia bercerita akan hidup dan waktu-waktu miliknya. Akan kebebasan saat-saat yang tersedia untuk mencipta sejarah, mengukir dinding batu hidup dengan tetes-tetes akal karena takdir bukanlah mata ukir yang tajam untuk menulis kata nasib. Dan masa bukanlah teman yang baik untuk diajak menanti akan datangnya burung bagau membawa bayi-bayi perubahan.

Pada setiap percakapan terkadang di antarai tawa. Aku suka caranya tertawa dan segala leluconnya. Memang hidup ini bagai parodi-parodi, dagelan yang abadi walau tersadar akan segala kesalahan di waktu yang dikemudiannya. Aku menemukan kemerdekaan pada dirinya, jiwa yang tak terjamah oleh pikiran-pikran yang menindas. Semakin lama aku kian memerdekakan nilai-nilai, bebas dari segala nilai yang mengikat erat. Seperti peluknya tak mau melepaskan degup jantung di dadaku, berbaring di pelukkan hangatku. Selanjutnya naluri kami berbicara begitu lancar dalam bahasa-bahasa gerak yang tak berkesudahan. Hingga pagi menghantarkan embun yang tawar di bulir-bulir keringat kami.

* * * * *


Sebuah tendangan terhantar ke hulu hatiku, aku tercampak bersama kesadaran membentur sebuah dinding tinggi. Belasan pasang mata menatap buas, ludah mereka tercecer bersama maki dan umpatan. Aku mundur dan tertahan di dinding tinggi ini, mataku mencari wanita dengan anaknya. Ohh..… di sana, wanita itu terduduk di tanah mencoba meronta-ronta ketika ada beberapa tangan kasar menjambak rambutnya. Dan belasan pasang mata itu melahap keindahan tubuh moleknya. Ocehan usil begitu tajam merobek ketelanjangannya.

Aku berlari ke arahnya, tak sudi bagiku memperlama penderitaannya. Mereka telah merajam sungguh laknat sebuah nilai yang diyakini wanita itu. Hanya beberapa langkah aku telah kembali terjungkal kebelakang. Kemaluanku yang menjuntai menjadi sasaran tendangan lelaki kekar itu. Dadaku begitu sesak ketika kaki itu pula yang menendang kepalaku saat aku roboh di tanah. Untunglah hal itu tak berlangsung lama, ketika empat orang berbaju putih menyelamatkanku. Seperti malaikat yang menuntunku ke sebuah surga.

Tapi kurasakan ini bukan sebuah kematian, karena aku masih bisa merasakan dinginnya dinding kabin mobil ini. Dan wanita itu pun dituntun masuk ke dalam kabin tempatku berada. Ia menangis keras ketika sadar bayinya tertinggal, ia menyebut nama bayinya. Dari kerumunan orang yang masih menatap kami di dalam kabin mobil putih ini, ada yang melempar sebuah mahluk. Ya, bayi wanita itu dan terbentur di lantai tak jauh dari pahaku. Aku memungutnya dan menyerahkannya dengan lembut pada wanita itu. Ia tersenyum senang, dan mencoba menenangkan tangis bayinya sambil memberi ujung putingnya untuk diisap.

Dan lagi-lagi mulut mereka masih berbusa, tawanya bukan lagi tawa milik kami. Tawa mereka sungguh merampas kemerdekaan kami. Tawa mereka tak membebaskan. Mereka sungguh tak paham pada arti tawa itu sendiri. Mereka seperti orang gila yang menertawakan segala kemapanan, orang-orang kalah yang kalap pada kegagalan hidup. Amarahku kian memuncak ketika mulut-mulut mereka meludahi tubuh-tubuh kami dan memaki sejuta bahasa.

“Dasar orang gila. Enyah kau dari sini, merusak pemandangan saja.”

“Iya, malah kemarin mereka bersenggama di kolong jembatan layang ini. Di tepi kali.”

“Tak bermoral. Duniamu tak di sini. Rumah sakit jiwa itu istanamu.”

“Hehhe…. para pemimpi yang gelisah. Tertawalah kau di keterasingan diri. Di kerdilnya jiwa. Meranggas menanti ajal. Jelas mimpimu tak bisa bersanding bersama kerasnya hidup yang berjalan. Manjalah kau pada dewa mimpimu. Terkuburlah kau bersama mimpi dan belatung-belatung pemberontakan.”

“Ehh… tahu enggak gara-gara dia orang pada takut membeli koranku. Orang gila itu sok pintar membaca koran, hahhaa……..”

Dan untunglah tawa-tawa yang gila itu tak berlangsung lama. Ketika sedetik kemudian pintu mulai tertutup. Namun perutku kian mual berputar-putar secepat putaran sirene bersama mobil yang berjalan menjauhi mereka. Aku jijik pada ketidakwarasan dunia.
Grogol, 5april2003