Sunday 29 September 2002

IF

By Bread

If a picture paints a thousand words
Then why can't I paint you
The words will never show
The you I've come to know

If a face could launch a thousand ships
Then where am I to go
There's no one home but you
You're all that's left me too
And when my love for life is running dry
You come and pour yourself on me

If a girl could be in two places at one time
I'd be with you tomorrow and today
Beside you all the way

If the world should stop revolving
Spinning slowly down to die
I'd spend the end with you
And when the world was through

Then one by one the stars would all go out
Then you and I would simply fly away

Saturday 28 September 2002

Nyanyian semut pekerja

Remahan beronggok-onggok bertimbun,
dikelilingi tarian tetesan-tetesan liur
Keringat tak mampu meluberkannya, utuh harus dijamah
Tiada suara, senyap, kaki dan tangan tak lelah
otak tak perlu dipintal, berpikirpun tak sempat
Pecut dan senyum sangar jilati wajah-wajah keras,
kaku terpancar...

Kapan semi berakhir, berganti dingin di bawah lubang-lubang kelam
tapi barisan belum terpencar, cahaya itu hanya di satu titik
ujung sebuah perjalanan curi masa yang menjepit
Hidup dan waktu sama berdenting
nyaring sungguh menyakitkan...

Suara perut tak lebih menggelegar,
istri dan anak bukan binatang peminta
Lautan keringat tak mampu sekedar basahi bibir mereka
atau hentikan mimik belas di muka pintu
Pagi dan senja bagai neraka dan kubur
sungguh terpasung.....

Barisan masih panjang, di batasan cakrawala yang terbentang
Memanggul remahan yang beronggok-onggok milik sang tuan
di tiap detik, hidup masih dikungkungi kumpulan onak marah
di tiap detik mereka masih bertanya-tanya
Bertahan atau mati!

Thursday 19 September 2002

Tuhan Telah Mati

Bayangan dirinya terlihat jelas di dinding kusam yang tak dapat lagi ditebak warnanya. Tubuh kurus yang sedikit membungkuk, rambut putih yang sudah menghilangkan kemudaannya, nafasnya terdengar saling tarik menarik. Terkadang batuk, gemanya tak kalah nyaring. Terkadang menggumam sendiri. Tubuh-tubuh lain terbujur di lantai diam tak terusik. Malam dan siang tak ada ubahnya, sinar matahari tak pernah mau singgah, pengap dan lembab. Butiran-butiran pasir pada jam kehidupan lamban berjatuhan, tercekat pada mulut pipa kaca. Tiada yang pernah perduli pada hari dan waktu, sebab kemarin, hari ini dan esok tiada bedanya. Semua cerita usang.

Bayangan itu masih jelas terlihat di dinding kusam, seakan telah terpatri untuk seumur zaman, tiada berpindah, tiada berubah. Seperti lukisan kelam pada ruang-ruang waktu, hantu-hantu masa lalu yang melekat di semua benak. Bagi mereka yang kalah, pada bayangan tak ada tangisan Bagi mereka kaum pemenang, pada bayangan tak ada senyum kepongahan. Semua sama, sebuah sisi gelap dari kehidupan adalah bayangan.

Baginya bayangan adalah hantu masa lalu yang selalu mengikuti. Tapi bayangan itu telah menjadi teman untuk seumur hidupnya, sejak ia berlari ketakutan ke dekapan ibunya, mendapati manusia hitam yang menyeret-nyeret langkahnya dalam keheningan. Kelak akhirnya ia sadar, bayangan adalah kejujuran. Ia tak pernah menikam, ia teman yang jujur di saat sepi. Andai bayangan dapat berbicara, ia akan bercerita banyak tentang bentuk yang diserupainya. Mungkinkah bayangan adalah malaikat sang pencatat buku putih kehidupan?

Bayangan itu masih terlihat jelas di dinding kusam, tangannya bergerak-gerak. Menuliskan sesuatu. Terkadang terhenti, mengusap-usap matanya. Lampu itu jelas terlihat redup seperti mata tuanya. Pandangannya kembali tertuju pada lembaran-lembaran kertas putih. Belum sebaris katapun ia toreh. Otaknya buntu mencari awal kata yang bagus. Ia tak ingin pada kalimat awal akan mencerminkan kedangkalan isi, atau akan membosankan untuk membaca kelanjutannya. Nafasnya mencari kata-kata, dan ia mulai menulis :

Buat sahabatku,

Sungguh malam ini (bila saat ini memang malam) aku susah untuk memulai. Dari mana awal kata aku akan menuliskannya. Karena hingga kinipun kita masih memperdebatkan tentang awal. Apakah dimulai dari telur atau ayam? Apakah dimulai dari monyet Darwin atau Adam? Tapi kali ini aku tak ingin memperdebatkan soal penciptaan itu, aku hanya ingin mengatakan tentang Sang Pencipta. Aku telah temukan bahwa Tuhan telah mati. Ya, sudah mati.

Sahabatku, jangan engkau cepat tertawa, mengatakanku si atheis yang tak pernah berubah. Karena aku telah lama menderita oleh simbol-simbol atheis itu. Aku muak dengan sikap arogan para pengawal-pengawal tuhanmu. Bukankah kebenaran yang mereka katakan itu melebihi dari dari kuasa tuhannya? Penghakimanan yang mereka lakukan mendahului nereka yang kalian hayalkan. Aku takut di neraka nanti (bila neraka itu ada), justru mereka akan menjadi kayu bakarnya. Aku tahu surga dan neraka itu adalah ciptaan manusia, seperti penjara untuk kaum “pendosa” dan istana untuk kaum “yang benar”. Klaim kebenaran yang tunggal tak ubahnya dengan kekuasaan yang tunggal. Sama-sama menyesatkan. Adalah hak setiap orang bertanya tentang penciptaan dirinya, hak setiap orang memandang tentang tuhan.

Sahabatku seandainya saat ini mulutku dipaksa berkata saya adalah manusia yang bertuhan, aku akan mengatakan tuhan itu adalah saya. Tapi aku akan muntah berkata seperti itu, karena aku tak mau seperti tuhan. Bukankah tuhan simbol dari keabsloutan, sesuatu yang tak bisa dipertanyakan, esa adanya (itu teori-teorimu). Dan aku adalah mahluk yang masih terus berpikir dan bertanya-tanya. Aku bukan manusia absolut, kebenaranku masih bisa di perdebatkan, aku tak ingin menyesatkan oleh klaim-klaim kebenaran tunggal. Tapi aku pun bukan nabi, walau nabi selalu tak bisa diterima pada jamannya. Karena kebenaran bukanlah milik tunggal sang nabi, kebenaran adalah pencarian dari pencerahan kehidupan. Mata sang nabi saat itu mungkin lebih beruntung dapat membaca kebenaran itu, tapi sekali lagi aku katakan, kebenaran itu bukan miliknya. Dan itu bukan harga mati lagi.

Aku tak akan memberi nubuatan-nubuatan atau perkara-perkara keajaiban. Tak akan ada ramalan akan masa depan, atau akhir dari dunia ini yang akan aku katakan. Aku hanya berpikir dan berbicara. Melihat dan mendengar. Merasakan dan menyimpulkan. Semua itu penuh gejolak, seperti saat menerima kotbah-kotbahmu pada puluhan-puluhan kertas surat yang aku terima sepanjang hidupku. Aku berperang dengan diriku sendiri, hingga akhirnya logika-logika ku pun kalah. Dan pada suratmu yang terakhir kau berkata, bahwa tuhan menciptakan manusia bukan untuk menderita, tapi untuk bahagia.

Sahabatku, aku mencari kebahagiaan yang kau tawarkan. Aku ingin merasakan cuilannya. Tapi aku tak pernah mendapatkannya, aku tak menemukan kebahagian itu, aku tak menemukan tuhanmu. Apakah ia telah tuli dan buta? Aku telah terus mengetuk pintunya, dan tanganku telah bernanah. Aku telah meminta, mulutku berbusa tak ubahnya bagai orang kesurupan (mungkinkah aku kerasukan setan tuhanmu).

Jangan kau katakan aku terlalu lemah dan tak penyabar, bukan hanya aku yang merasakan itu. Jutaan anak negeri ini pun seperti itu. Negeri ini tak bertuan, negeri ini tak bertuhan lagi. Aku tak sendiri. Jutaan orang sudah muak dengan dogma usang yang mengatakan setiap penderitaan adalah kehendak tuhan, cobaan darinya. Tidakkah dia tahu bahwa manusia juga punya batas kelemahan dan kesabaran. Aku rasa dogma itu membunuh pikiran kita. Membunuh kesadaran kita untuk berusaha dengan akal sehat sendiri. Aku bukan mengajak berpikir soal materialis. Aku juga tak mau diajak berpikir tentang hal-hal suci yang semu, terlalu mistik bagiku.

Aku juga bukan hendak membujukmu untuk berpaling pada komunisme yang tak bertuhan. Justru komunisme itu bertuhan, malah bertuhan dari orang-orang yang bertuhan. Komunis memberhalakan tuhan, tuhan yang paling tolol dibanding tuhan-tuhan lainnya. Mereka memperjuangkan sistim aturan kehidupan, yang diperjuangkan itu adalah tuhan mereka. Komunis adalah tuhan yang dibangun dengan cara paling sadar. Kesadaran bahwa mereka adalah lemah, penuh ketakutan sehingga memerlukan sang penolong, sesuatu yang lebih agung dari mereka. Tuhan adalah kesadaran akan kelemahan. Tuhan adalah sistim aturan yang abadi bagi mereka. Sama seperti tuhan milik agama-agama yang menakuti manusia dengan neraka dan surga, tuhannya komunisme pun menciptakan surga dan neraka.

Neraka dan surga itu diciptakan untuk menimbulkan kekhawatiran, sehingga ketakutan pada hukuman dan ketidakpastian itulah yang menyebabkan berlindung di bawah ajaran-ajaran yang dianggap sebagai kebenaran dan kepastian. Aku bisa menyimpulkan, komunis bukanlah pilihan hidup seperti juga halnya dengan agama-agama, selama kalian berpikir dengan cara pandang hasil yaitu surga. Sebuah perjuangan kebenaran yang suci tidak mengenal perhitungan, tidak memikirkan imbalan, semua seharusnya penuh pengorbanan dan kasih.

Kembali ke perkataanku tadi bahwa negeri ini tak bertuan, tak bertuhan lagi. Aku telah menyaksikan kaum penyabar ini telah menjadi berang. Doa-doa tak mempan lagi, puja-puji pada tuhan tak didengar lagi. Kebenaran yang diyakini menjadi pedang bermata dua, melukai sekaligus terlukai. Semua mencoba untuk bertahan di jalan kebenaran, semua mencoba untuk menghadapi cobaan, karena katanya sang penyabar akan mendapat rahmat yang berlimpah. Tapi ketika kita menarik nafas, kitapun harus bergantian menghembuskannya. Ketika dada kita mulai sesak, kita pun harus mengosongkannya. Kita tak bisa menerima sekaligus, cobaan yang bertubi-tubi dan rahmat yang tak kunjung datang.

Sahabatku, kemanakah tuhanmu? Apakah ia telah bosan mendengar doa-doa kita? Atau tuhan telah lama mati? Manusia berserakkan kelaparan, negeri ini kaya tapi kita bodoh. Tak seperti Israel yang miskin tapi pintar, mereka tak bertanah tapi diakui keberadaannya. Negeri ini subur tapi banyak yang mati diatasnya (tapi aku tak mau bila kita disamakan dengan semut yang mati di dalam karung gula). Kita bukan mati kekenyangan, kita mati kelaparan. Tak ada lagi peruntungan di negeri ini.

Jutaan manusia resah dengan harga yang makin melambung, semua tak terbeli. Barang-barang itu dihasilkan oleh keringat kita, tapi kita tak mampu mengecapnya, memimpikannyapun akan memenjarakan kita. Melihatnya akan menimbulkan iri, sirik. Bukankah itu dilarang oleh tuhanmu? Tapi kita tak buta oleh itu, kita perlu makan. Kita perlu hidup. Dan agama tak mampu mengenyangkan itu. Surga hanya untuk orang mati, apakah neraka untuk orang hidup?

Dan banyaklah orang yang memilih jalan itu. Perampasan milik orang lain menjatuhkan korban. Pembunuhan tak lagi menakutkan. Semua menikam untuk dapat bertahan hidup detik itu. Semua bersenjata untuk dapat membela diri. Lapar membunuh kesabaran. Keputusasaan mengiris keyakinan bahwa tuhan masih mau mendengar doa-doa mereka.

Lihatlah moral tak lagi ada, nilai-nilai itu semua telah sirna. Kakek memperkosa cucunya, paman meniduri keponakannya, bapak menindih anaknya. Para suami berselingkuh, istripun tak mau kalah (mungkin bentuk emanispasi gaya baru). Para gadis tak mau lama-lama menyandang gelar perawan, para pemuda matanya buas. Aborsi jadi barang mainan. Para sundal bukan lagi barang langka, ia jadi dagangan laris bak menjual kacang tanah yang dimasak pada pasir panas. Lembaran-lembaran media penuh gambar telanjang, media elektronik mempertontonkan erotisnya senggama. Dengusnya merasuki hari-hari, udara sangat najis penuh dengus nafas, kini tak lagi tertahan sudah lepas.

Penipuan tak lagi menyajikan simbol-simbol seram, seperti cerita dongeng-dongeng pengantar tidur dulu. Mereka tak lagi bertaring, air liurnya tak kelihatan menetes. Mulut mereka manis walau tak ada desis seperti ular atau setan. Tak bau. Mereka lebih mulia terlihat dari para malaikat. Terdidik dan sopan. Tapi otaknya sungguh lihai mencari kaum yang lemah. Mulutnya sungguh pintar mengumbar janji mengalahkan pemuka agama yang menjanjikan surga. Surga dunia lebih realistik dari pada surga milik tuhan untuk saat ini. Hari-hari saling menipu, saling mengintip, saling mencari kelemahan.

Kesabaran juga tak bisa ditahan oleh sistem. Demokrasi menjadi setan bertopeng badut. Buruh tak mau lagi berlama-lama bertahan dalam perjuangannya. Mogok kerja seperti pekerjaan sia-sia. Mogok makan pada saat perut telah lama lapar sama saja dengan kebodohan. Dialog sama saja memberi mimbar agar mereka dibohongi selalu, janji-janji sudah jadi mitos pembelaan tanpa hasil. Sakit hati mengalahkan niatan yang suci. Mereka ramai-ramai membakar pabrik, membakar lumbung padi mereka, membakar meja makan mereka, menjungkir balikkan tempat menanak nasi. Dan menari di atas perapian dapur, mengencingi tungku api. Sungguh mereka mematikan jalan hidup mereka sendiri, dendam dan emosi yang lebih berkuasa.

Sahabat kemana tuhanmu?

Tapi aku tak juga pungkiri di daerah sana ada yang masih menaikkan panji-panji kebesaran tuhan-tuhan mereka. Mereka saling berperang demi nama besar tuhan masing-masing. Apakah tuhan mereka mahluk lemah sehingga harus dibela? Mungkin sama seperti para preman yang saling membunuh untuk merebut daerah kekuasaannya, lahan parkir. Mungkin mereka pikir, tuhan juga perlu wilayah kekuasaan baru. Perlu manusia-manusia jajahan baru untuk dijadikan bala tentara tuhannya. Sungguh sebenarnya mereka melemahkan harga diri tuhan mereka. Atau ada hal lain selain itu? Atau tuhan sedang menikmati segala tontonan pertempuran itu sehingga melupakan daerah lainnya?

Aku tadi telah mengatakan negeri ini tak bertuan, negeri ini tak bertuhan lagi. Sungguh itulah yang terjadi, negeri ini tak bertuan. Bukankah tuan negeri ini adalah rakyat. Itu telah lama dikebiri, rakyat menjadi obyek bukan subyek. Kekuasaan telah menjadi milik penguasa, kekuasaan adalah tuhan mereka. Kuasa tuhan telah diganti dengan kuasa uang. Sesuatu yang maha suci diganti dengan yang maha hina. Rakyat dipecah berserakkan dan meratap pada perut mereka. Kedaulatan tak mampu lagi diambil rakyat, karena rakyat tak lagi bisa bersatu, semua memikirkan perut-perut mereka. Sungguh negeri ini tak lagi bertuan, tak ada lagi kedaulatan rakyat. Yang ada hanyalah, negeri ini dikuasai oleh mereka yang menetapkan dirinya sendiri menjadi wakil rakyat. Mereka menjadi tengkulak negeri ini, mereka para pedagang-pedagang keringat rakyat, mereka menggadaikan negeri ini.

Sungguh cermin negeri ini bertuhan tak ada lagi. Lihatlah para pemimpin-pemimpin itu. Mereka bertuhan, mereka panutan, mereka tokoh-tokoh agama. Apakah prilaku cermin manusia yang suci ada pada mereka? Melihat suatu negeri bertuhan atau tidak dapat di lihat pada tindak laku pemimpinnya. Mereka mengangkat panji-panji agama, merekapun menyuarakan suara-suara kebohongan. Mereka mengobral janji-janji pada pemilu seperti mengobral surga. Agama telah dijadikan komoditi politik, agama dipakai untuk menenangkan kaum tertindas (memakai tameng takdir). Tuhan telah dipakai sebagai bodyguard, cecunguk yang akan dibuang bila tak lagi jawara.

Sahabatku, mungkin dari mulutmu sudah terlontar berjuta kata maki padaku. Aku tahu perasaanmu, ketika aku mengatakan tuhan telah mati. Aku tahu perasaan mereka yang telah terbius agama tanpa pernah berpikir merdeka dan mempertanyakan kebenaran yang diyakininya. Jangan pernah jadi pengikut agama, karena kau akan seperti kerbau yang dicucuk hidungnya dan ditarik kesana ke mari tanpa berontak, pasrah. Menjadi pengikut agama akan membutakan akal sehatmu, memenjarakan kemerdekaan pikiranmu untuk mempertanyakan yang kau yakini itu. Kalau aku boleh memberi saran, mungkin ini yang terbaik bagimu dan yang terjelek bagiku, jangan pernah jadi pengikut siapa pun (menjadi pengikutku pun jangan pernah), jadilah bertuhan saja.

Sahabatku akhir kata aku ucapkan banyak terimakasih atas waktu yang telah kau berikan untuk membaca surat ini atau surat-surat yang terdahulu. Jangan pernah ejek aku sebagai atheis (karena aku telah lama menderita oleh simbol-simbol atheis itu), aku tidak atheis. Dari awal telah aku katakan, bahwa tuhan telah mati, bukankah itu berarti aku mengakui keberadaan tuhan? Kalau dadamu saat ini berdegup marah, dadaku saat ini berdegup kencang. Aku sedih. Aku menangis sahabat, akan kematian tuhan. Semoga aku salah duga, kalau tuhan masih hidup kabari aku segera, aku telah rindu jamahanNya, kasihNya yang tulus. Telah lama aku tak memanjatkan pujian suci padaNya, telah lama pula Tuhan tak bersenandung di hatiku, menghibur resahku, mengusir galauku. Tapi aku masih ragu akan itu, jikalau tuhan hidup bukankah ia akan mendengar darah yang menangis, jerit kesakitan, nyawa-nyawa yang melayang entah di mana, tangis kaum lemah yang tertipu, dengus najis birahi, doa-doa pengobral kebohongan.

Di sini aku mendapatkan banyak manusia-manusia yang di hatinya tuhan itu telah lama mati, mungkin juga di tempatmu dan di tempat lainnya. Dan aku masih mencari kuburannya.

Dari sahabatmu,


Pagi itu adalah hari kemerdekaan yang telah lama dilupakan, kebebasannya. Hampir separuh hidup lelaki tua itu dihabiskan di sini, bersama mimpi dan bayangannya. Tak ada kekhawatiran, karena hidup tak lagi mau menjamahnya. Tak lagi ada masa lalu, kini dan masa depan. Semua telah lenyap dalam keterbatasannya.

Pria yang berseragam rapi itu masuk ke dalam biliknya, menyerahkan sebuah surat pembebasan. Di atas meja ia mendapatkan lelaki tua itu kaku tertelungkup bersama sebuah surat yang kemarin malam ditulisnya. Untuk seorang sahabatnya, teman seperjuangan dulu di tahun 1965. Di balik amplop tertulis sebuah pesan :

Bila aku mati lebih dahulu, aku tak akan mencari kuburNya,
biarlah Tuhan yang mencari kuburku.
Dan aku akan mencoba untuk bertemu dengan Tuhan, semoga Ia mau
.

Saturday 14 September 2002

Bayi kita mati

Saat ini, hari begitu lama dan panjang berjalan,
Tidak seperti dulu lagi kawan,
ketika bayi revolusi telah bergeliat di kandungan,
Kita menjaganya, penetrasi kita menyuburkan rahim harapan jelata
bukan impian kaum semusim, gejolak itu telah membunting, menggunung
Perut telah lama berisi tanah, cacing-cacingnya sangat gemuk
tapi tinja kita sangat bau, nafas sangat busuk
Kerajaan angin sungguh terusik, menaranya menebar wangi
membaui udara dengan segala kebohongan, sungguh harum

Saat ini, hari begitu lama dan panjang berjalan,
Tidak seperti dulu lagi kawan,
ketika bayi revolusi masih di kandungan, geliatnya mulai lemah
Tubuhnya tak lagi memerah, tangannya bukan lagi terkepal, kakinya tak mampu menerjang
Sampai saatnya tinja terlalu banyak teronggok di depan istana, di jalanan
anjing-anjing itu menghabiskannya, sangat buas, liar mencari mangsa
Bayi kita tak berteriak, ia diam
Darah membanjiri, revolusi mati
Revolusi aborsi

Kawan, bayi itu sungguh lemah
Mungkinkah penetrasi kita tak punya gairah, tak punya jiwa
Atau kita kaum penghayal, revolusioner pingitan
ini dosa kita, sebuah kutukan dari jaman keemasan dulu

Kawan,
Walau bayi itu kelak lahir,
Ibu pertiwi sudah tak punya susu lagi,
Dadanya telah rata, mungkin ia akan mati muda
Karena negeri ini telah lama digadaikan


11 September 2002

Pada Mulanya Tuhan Menciptakan Uang

Suasana kelas begitu gaduh, murid-murid semua mengangkat tangan. Berlomba menjawab pertanyaan sang guru. Mereka sungguh tampak cerdas, tak ada ketakutan seperti yang diramalkan dahulu. Oleh ahli-ahli pangan, ahli kesehatan dan gizi. Atau para politikus sang juragan kambing hitam. Tak didapatkan kini, apa yang dikatakan lost generation. Yang tumbuh saat ini adalah generasi muda yang cepat berpikir dan bernalar tinggi.

“Tommy Soeharto pak” jawab seorang anak yang pipinya tembem.
“Mengapa, kamu jawab begitu?” tanya gurunya kembali.

“Tommy Soeharto adalah bapak otomotif Indonesia. Ia berusaha memberikan kesempatan pada bangsa kita agar dapat memiliki mobil yang murah harganya. Ia mendirikan industri mobil nasional. Dan sungguh sayang rencana itu tak dapat berjalan, hingga akhirnya ia rela dibungkam di Nusakambangan dengan segala alibi baru yang dijeratkan padanya. Sebuah konspirasi jahat menghadangnya” kata anak berpipi tembem itu dengan berapi-api. Ia membayangkan bila rencana itu berjalan, mungkin ayahnya tak akan pergi ke tempat kerja dengan naik bis kota, berpanas-panasan di dalamnya.

“Pertanyaan berikut. Siapa bapak pangan kita?” tanya sang guru lagi. Murid-murid menunjukkan tangan. Berlomba menjawab. Sang guru menunjuk pada gadis kecil berponi di kursi dekatnya berdiri.

“Bapak Ir. Akbar Tanjung pak” katanya mantap.

“Mengapa kamu bilang begitu?” tanya gurunya, memancing anak itu memberi alasan dan jawabannya.

“Beliau membagi-bagikan sembako pada rakyat miskin. Milyaran rupiah dibelanjakan. Saat itu tak ada yang memperhatikan rakyat miskin, semua sibuk dengan politik, dengan reformasi. Dan bapak kita yang baik ini, peka akan suara-suara perut rakyat dari pada suara-suara demokrasi yang kebakaran jenggot” jawabnya sambil mengelus perut, terasa sudah lapar, tadi pagi dia hanya minum air putih. Kata bapak itu akan memutihkan pikiran kita sepanjang hari.

“Mengapa bapak Wiranto disebut sebagai bapak pemersatu bangsa?” tanya sang guru kembali. Anak yang hitam legam dengan rambut keriting itu telah duluan menunjukkan tangannya.
“Ya kamu Alberto” tunjuk sang guru.

“Atas perjuangannya mempertahankan Timor Timur sampai tetes darah terakhir. Pertempuran terus dikobarkan demi merah putih. Perjuangan untuk tetap merdeka atau kembali dijajah Portugis. Musuh dihancurkan dan dibakar. Ketika referendum kita kalah, beliau memerintahkan pembumi hangusan Timor Timur, agar para separatis itu tak merampok hasil-hasil pembangunan yang kita miliki selama ini di sana” katanya. Terbayang olehnya kuburan Sang Opa masih di sana. Papa dan mamanya sangat rindu akan kampung halaman.

“Mengapa bapak Sutiyoso namanya diabadikan sebagai nama jalan protokol yang mengelilingi Tugu Selamat Datang, menggantikan nama jalan yang lama?”tanya sang guru kembali. Anak yang di sudut sana dengan antusias berdiri, dari awal sepertinya guru tak melihatnya.
“Ya, kamu yang berdiri di sudut” tunjuk gurunya.

“Bapak Sutiyosolah yang membangun Jakarta lebih indah lagi. Menjadi kota yang bermartabad dan manusiawi. Air mancur yang maha karya hadir di tengah-tengah kota. Taman-taman terpagar rapi. Tak ada lagi daerah-daerah kumuh, semua telah digusur demi pembangunan. Tak ada lagi sampah-sampah semua telah dibuang ke sebuah pulau yang disewa. Tak ada lagi gelandangan, semua telah dibuang ke laut. Tak ada lagi kemacetan, karena semua jalanan di depan rumah kita telah dijadikan jalan-jalan tol bebas hambatan. Tak ada judi gelap, karena telah dilokalisir di sebuah pulau kecil miliknya, agar dapat dijaga langsung. Tak boleh lagi sembarangan orang masuk ke Jakarta untuk mencegah kepadatan penduduknya. Tak ada lagi demo-demo di depan istana, karena jalan menuju ke sana telah dipagar tinggi, hingga ratusan meter. Yang paling penting, mensukseskan kepala Negara menyambut pemilu berikutntya” katanya bangga, ternyata ia masih didengar.

“Baiklah itu tadi pemanasan awal membuka cakrawala kalian. Berikutnya mari kita lanjutan pada pelajaran mengarang. Bapak melihat karangan yang terbaik ada pada Aldamegasari, coba kamu ke depan. Silahkan kamu bercerita pada teman-temanmu tentang topik karangan kalian yang menjadi tugas kemarin” kata gurunya sambil kembali duduk di kursinya. Gadis kecil yang bernama Aldamegasari beranjak ke depan. Tangannya menuliskan sesuatu di papan tulis.

“Kita diberi tugas menceritakan tentang Malingkundang. Saya akan mencoba bercerita tentang Malingkundang” katanya dengan mantap.

“Pada jaman dahulu kala di sebuah pulau kecil yang sangat subur, tinggallah di sebuah gubuk seorang anak dan ibunya. Ayahnya telah lama mati, diculik dan dibunuh para perompak. Kehidupan sungguh damai di sana. Alam yang tenang mengajarkan mereka untuk mengucap syukur atas apa yang dapat mereka makan hari itu, atas kehidupan yang masih diberikan. Penduduk lain tak obahnya dengan mereka, mencari hidup dari menangkap ikan dan menjualnya. Tak ada keserakahan, tak ada iri dan dengki. Mereka sama-sama hidup bergantung pada sang pasang dan sang surut. Bintang-bintang menjadi penanggalan akan bulan muda dan tua. Mereka tak diburu oleh uang, mereka tabu untuk berhutang. Karena uang telah lama bersemayam dengan setan.

Ada sebuah sejarah penciptaan bumi yang diturun temurunkan sejak dahulu kala. Menurut cerita nenek moyang mereka dulu, pada mulanya Tuhan menciptakan uang. Lalu ia menciptakan langit dan bumi. Kegelapan masih menyelimuti alam semesta. Lalu Tuhan menciptakan terang. Mulailah Tuhan menciptakan cakrawala, lautan, tumbuh-tumbuhan, benda-benda langit, siang dan malam, binatang-binatang, dan terakhir manusia. Tuhan ingin beristirahat pada hari terakhir penciptaan, ia menyimpan uang ciptaannya di tengah sebuah taman, di dalam buah larangan. Setelah beristirahat, Tuhan berjalan-jalan di taman, mencari dua manusia ciptaannya. Ternyata mereka bersembunyi, bagai seorang pencuri. Mereka takut mengetahui diri mereka telah telanjang. Dan Tuhan marah mengetahui buah larangan telah dimakan. Mereka mencuri uang ciptaanNya. Maka Tuhan meminta kembali uang itu. Melempar uang itu ke udara. Tak terhingga bilangannya memencar berserak ke seluruh pelosok bumi. Jatuh di permukaan tanah dan di dalam tanah. Jatuh pada lautan dangkal dan dalam. Jatuh pada dataran tandus dan subur. Jatuh di tepi pantai dan dataran tinggi. Jatuh pada sungai, danau, sawah, kolam. Dan manusia akan bersusah payah mendapatkannya dengan keringat. Kedua manusia itu di usir keluar dari taman bersama sang ular yang bernama keserakahan.

Penduduk pulau itu tahu Tuhan marah pada keserakahan. Pada kegilaan akan uang. Untuk itu mereka hidup pada kesederhanaan, tidak ada mimpi yang muluk-muluk yang melahirkan iri dan dengki. Tak ada kejahatan di pulau itu. Mereka menikmati alam sebagai sumber kehidupan yang dapat dipakai dan harus dijaga, tentunya dengan keseimbangan alam.

Ketika beranjak dewasa Malingkundang tampak selalu termenung. Di sudut malam ia masih menatap ke arah laut dari jendela kamarnya. Matanya bukan menghitung bulan atau mencari letak rasi-rasi bintang. Bukan pula mengucap sebuah permintaan pada bintang jatuh. Ia menatap sebuah garis di tengah lautan. Gerangan apakah di balik garis horizontal itu. Adakah sebuah kehidupan? Adakah sebuah gadis yang cantik? Cerita-cerita di balik sana dibawa terbang oleh burung-burung camar. Celoteh-celoteh mereka yang bertengger pada dahan kelapa dekat kamarnya terdengar jelas. Sebuah negeri nan makmur terhampar di balik sana. Penduduknya rajin bekerja, bagai semut-semut yang keluar dari lubang-lubang tanah. Berkerumun pada onggokkan kemakmuran. Dan sang gadis di atas sebuah kastil selalu bernyanyi menyambut hari. Bersama-sama burung-burung, ia menciptakan bait-bait puisi perjalanan hidup. Puisi akan kegemerlapan dan kemewahan hidupnya.

Malingkundang jatuh cinta pada kisah-kisah itu. Niatnya telah membatu. Ia berangkat diringi linangan air mata ibunya. Dengan perahu satu-satunya milik ayahnya dulu, ia berangkat menuju negeri seberang. Melampaui karang-karang yang berbaris dan ombak-ombak yang mengayun keras.

Terdamparlah ia di sebuah pantai yang putih. Ia ditolong oleh seorang nelayan yang lama hidup sebatang kara. Malingkundang begitu gembira mendapatkan dirinya masih hidup. Dan bapak angkatnya begitu bahagia mendapatkan teman yang lama diharapkannya. Bagai sebuah pinta yang telah terkabulkan. Malingkundang berbakti pada penolongnya, tapi matanya tak lepas memandang istana itu. Sungguh angkuh letaknya di sebuah tebing yang tinggi. Atapnya berlapiskan emas, dindingnya bertahtahkan berlian.

Masyarakatnya tak ubahnya dengan pulau kelahirannya dulu. Mereka hidup dari nelayan, dari perdagangan. Jauh di tengah pulau mereka memiliki tanah-tanah yang subur, sawah dan ladang membentang luas. Tambang-tambang emas dan minyak banyak berdiri. Mereka semua rajin bekerja tak ada yang malas. Keringat mereka berkilau membasahi tubuh. Benar apa yang dikatakan oleh sang camar. Penduduk negeri ini rajin bekerja, bagai semut-semut pekerja yang berkerumun pada onggokan kemakmuran.

Tapi ia belum melihat sang gadis, sang putri. Kapankah ia akan bernyanyi dari jendela kastilnya? Syahdan terdengar kabar, kalau sang putri telah terkena penyakit. Ia tergeletak berminggu-minggu di ranjangnya. Sang raja sangat berduka sepanjang hari. Ia lelah mencari obatnya pada tabib-tabib istana maupun dari penjuru pelosok negeri. Belum ada yang bisa menyembuhkannya. Sebuah pengumuman tersebar luas pada tembok-tembok pasar. Sebuah janji bagi yang dapat menyembuhkan sang Putri. Dijanjikan akan dinikahkan dengan sang Putri, bila dapat menyembuhkannya.

Malingkundang begitu gembira, sebuah jalan didapatkannya. Tapi ia tak punya obat, sakitnya saja ia tak tahu. Ia terus berpikir, ia termenung di bawah sebuah pohon. Keningnya berkerut, jantungnya berdegup kencang, ia sudah tak sabar. Tapi otaknya buntu. Suara-suara burung camar tak dihiraukannya, terasa sungguh sumbang kini. Sesaat ia tertegun, ia menelan ludah. Sang camar berceloteh tentang mimpi sang putri. Sang putri bermimpi melihat sebuah gemerlapan dari dasar laut. Butiran-butiran yang sangat berkilau yang ditelan oleh binatang laut. Kadang menganga. Kadang mengatup.

Benda apakah itu? pikir Malingkundang. Otaknya berpikir cepat. Beruntung ia punya kelebihan mampu mendengarkan percakapan hewan-hewan. Ia belajar dari ibunya. Sedikitnya ia mengetahui penyebab sakitnya sang putri. Tapi ia tak pernah melihat butiran-butiran itu di dasar laut. Ia penyelam ulung seperti layaknya nelayan-nelayan lainnya. Kakinya cepat berlari bersama otaknya yang menemukan titik cerah. Menyelamlah ia ke dasar yang dalam.

“Hai anak muda, apa yang kau bawa itu? Apakah itu penyembuh penyakit putriku?” tanya sang Raja. Malingkundang telah berdiri di dalam istana, diantar oleh dua orang pengawal isatana.
“Benar tuanku Raja. Ijinkah hambamu menyembuhkan sang Putri” kata Malingkundang dengan sikap hormat, matanya tak sanggup memandang sang Raja.

“Kau tahu hukumannya bila gagal? Kau akan dipancung dan mayatmu akan dicampakkan sebagai makanan ikan-ikan hiu. Tapi bila kau berhasil, akan aku kawinkan dengan putriku, anakku satu-satunya” kata sang Raja memberi ultimatum.
“Saya siap menerima peraturan yang Tuanku tetapkan” kata Malingkundang, tak ada gentar lagi dihatinya.

“Mendekatlah kepadaku, putriku berbaring tak jauh dariku. Sembuhkan ia” kata sang raja, ada sebuah kerinduan mendapatkan putrinya dapat kembali sembuh.

Malingkundang beranjak menghampiri sang Putri. Ia memandang sang Putri. Ada kecantikan yang sungguh tak terbayangkan. Parasnya adalah kumpulan dari segala kecantikan yang dimiliki oleh para wanita di seluruh negeri. Sesempurna pagi yang dirindukan kedatangannya, selembut malam yang setia mendekap penghuni negeri.

“Anak muda, silahkan anda melakukan tugasmu,” suara sang raja mengejutkan lamunannya. Ia bergegas membuka buntelan yang dibawanya. Membawa butiran-butiran indah itu ke hadapan sang Putri. Keindahannya terpancar sungguh. Mata yang indah milik sang Putri mulai terbuka. Memandang yang terhampar dihadapannya. Mimpinya tak lagi mimpi. Mimpinya kini nyata. Keindahan dari dasar laut kini telah hadir. Cemburunya telah lenyap. Kini ia lengkap memiliki semua keindahan yang ada di muka bumi. Kini ia pemilik segala perhiasan gemerlap yang dikandung bumi.

Malingkundang sungguh gembira mendapatkan binar-binar mata itu. Sang putri telah kembali sehat. Dan ia ditakdirkan akan menjadi pendamping sang putri. Sang Putripun tak terlalu kecewa dengan penolongnya. Malingkundang juga lelaki yang gagah, senyumnya sungguh menggoda semua wanita. Rajapun mengumumkan sembuhnya sang Putri, dan akan dilanjutkan pernikahan dengan sang penolong yaitu Malingkundang.

 
Wanita tua terduduk di tepi pantai, matanya memandang kejauhan. Pada garis lurus yang menyentuh langit. Apakabarmu yang di balik sana? Suaranya begitu lirih, kalah oleh debur ombak yang menghempaskan diri ke pantai. Sudah beberapa purnama tiada kabar yang terdengar, hanya celoteh-celoteh sang camar. Akahkah kau menikah dengan anak sang Raja. Menjadi penghuni istana keserakahan. Menjadi salah satu dari mereka. Memeras sang semut-semut pekerja, yang berbaris memanggul cuilan-cuilan kemakmuran menuju gudang harta milik sang Raja. Rakyatnya sungguh telah menjadi budak-budak sang Raja. Mereka dipaksa bekerja dengan segala upeti yang harus diserahkan pada Raja. Lihatlah betapa sombongnya istana, dindingnya bertahtahkan emas dan berlian. Sang putri dicemburui oleh mimpi akan sebuah mutiara yang tak dimiliknya. Ia sungguh rakus akan permata, ia tak ingin ada yang dapat menandingi keindahannya. Menandingi perhiasan yang dimilikinya.

Tidakkah kau dengar nyanyiannya di jendela kamarnya. Gadis di atas sebuah kastil selalu bernyanyi, bersama-sama burung-burung, ia menciptakan bait-bait puisi perjalanan hidup. Puisi akan kegemerlapan dan kemewahan hidupnya. Ia menyanyikan lagu kesombongan. Sementara di bawah sana, rakyatnya rajin bekerja membanting tulang, tak ada yang malas. Keringat mereka berkilau membasahi tubuh berkerumun pada onggokan kemakmuran. Namum itu tak milik mereka. Itu milik sang penguasa negeri. Mereka sudah lama diajarkan oleh mitos dan dogma usang, bahwa mereka tercipta sebagai semut-semut pekerja yang harus mengabdi pada sang ratu, ratu keadilan. Mereka tak mau kualat untuk itu, atau akan dikutuk selamanya.

Siang itu di kejauhan tampak sebuah kapal mewah berlayar mendekati pulau. Layarnya besar dihembus angin, membawa menuju tepi pantai. Seorang lelaki muda dan penumpang lainnya turun. Lelaki muda itu matanya awas. Ia mencari seseorang, dan ia berteriak,

“Ibu, aku pulang”. Lelaki itu menghambur ke arah wanita tua yang duduk di depan gubuknya. Wanita itu sungguh terkejut, ia pun tergopoh-gopoh berlari sambil membuka tangan, menyambut cahaya malamnya.

“Malingkundang anakku. Aku rindu kamu sayang. Kamu baik-baik saja kan?”kata ibunya sambil memeluk, tangis kerinduan tak tertahankan.

“Aku baik-baik saja bu. Aku kini sudah kaya, aku punya calon istri yang cantik Anak seorang Raja” kata anaknya tak kalah kuat mendekap. Ia menunjuk sang Putri, Raja dan Ratu yang telah berjalan menghampiri mereka.

Sang ibu walau ada rasa canggung, tak bisa menolak untuk menyambut mereka. Menyalami sang tamu. Sungguh mereka sangat indah, wanginyapun tak ditemukan di pulau ini. Kulit mereka begitu lembut, tiada kening yang berkerut.

“Aku datang memohon doa restu ibu. Mari kita berangkat ke negeri seberang. Sebuah istana menanti kita,” bujuk Malingkundang.

“Malingkundang, lahir, hidup dan matiku di sini nak. Di sini sungguh damai. Kami tak kekurangan, alam mengajarkan untuk mengucap syukur atas apa yang dimakan hari ini. Di sini tak ada keserakahan, tak ada iri dan dengki. Kami tak diburu oleh uang. Karena uang telah lama bersemayam dengan setan. Kami bukan semut-semut pekerja negerimu, yang menggemukkan penghuni istana dengan keringat rakyatnya. Aku tak mau hidup di atas keringat mereka. Sungguh jiwa mereka telah lama mati oleh pembodohan yang kalian lakukan. Aku bukanlah setan yang menjaga gudang uang kalian. Dan aku tak sudi memiliki anak seperti setan” kata ibunya menolak ajakan Malingkundang.

Malingkundang sungguh malu mendengarkan itu. Harga dirinya jatuh di hadapan Raja, Ratu dan sang Putri. Mukanya merah padam, bibirnya gemetar. Tangannya teracung tinggi, menunjuk langit dan dia berucap keras,

“Ibu, engkau telah menyangkal aku anakmu. Engkau durhaka. Demi langit yang menaungi bumi, aku mengutukmu menjadi seperti yang kau katakan kepada kami. Engkau adalah kami!” Malingkundang marah, ia mengutuk ibunya.

Sekilas cahaya berkelebat memenuhi ibunya. Asap putih mengelilingi jiwanya, jiwanya yang dulu telah terbang jauh, kini jiwa setan merasuki dirinya. Ibunya menjadi seperti mereka, manusia-manusia yang terkutuk pula. Dan ibu Malingkundangpun tak mau berlama-lama lagi di pulau ini, kakinya begitu jijik melihat pulau yang tak terurus.

Matanya rindu pada gemerlap, dan mulutnya haus untuk menghardik dan memerintah semut-semut pekerja. Bersama mereka, ibu Malingkundang berlayar jauh, menuju kegelapan di balik garis yang menyentuh langit. Bagai batas antara surga dan neraka.

13 September 2002

Ode Untuk Teman

Oleh bagus takwin (Bermain-main dengan cinta)

Pertemuan denganmu
sebuah kebetulan
- tentu saja bukan kecelakaan –
Kau di luar rencanaku
menggembirakan diri
tampil saja di sela-sela kemanjaanmu
Beginikah rasanya punya teman?
Hiruk pikuk hari-hari
lewat saja, ringan saja
dan kau memenuhi kekosongan
Kita berteman saja,
aku tak mempunyai niat terlalu jauh
Hanya kurasakan kesegaran
yang penuh saat bersamamu
Kurasakan kelancaran nafas hidup
Kurasakan detil dunia dalam matamu
Kurasakan suka cita waktu dalam gerakmu
Aku jadi temanmu saja
menyediakan detik-detik untukmu,
rauplah sesukamu,
datanglah mengeluh,
hiruplah kebaikan
sejauh ada padaku
Kita berteman saja ;
sebuah kenyataan
yang sangat mungkin abadi
menjelma kupu-kupu indah di suatu pagi
dengan bunga-bunga dan suara burung
Meski kau berlayar jauh dengan kekasih
aku adalah pelabuhan kala kau sendiri
Kita berdua memecah kesunyian,
membikin dunia terjaga
dan bersama bergembira
Kita berteman saja
Sambil tetap berdoa
demi ketulusan hati
yang kuingin tetap begitu
Ya, kita berteman saja
dalam hidup ini
dan nanti.

1001 tahun lagi

Malam ini langit begitu kelam, bintang tak ada lagi yang bercanda. Mereka pergi entah ke mana. Langit berjubah hitam begitu dingin, hawanya membuat segala mahluk menggigil. Begitu kencang angin menggoyang-goyangkan dedaunan. Pelepah pohon sawit melambai-lambai, bersorak-sorai bagai sebuah tarian meminta hujan. Mungkin akan turun hujan malam ini.

Lelaki muda itu mengeluarkan sesuatu dari kantong kiri celananya. Lembaran uang lusuh, beberapa koin recehan. Bibirnya bergerak-gerak menyebut beberapa angka. Menghitung butir-butir keringat. Menyusun carikan-carikan penat. Nafasnya berat terhembus, seperti hari-hari kemarin, hidup seperti memanggul beratus-ratus kilo batu besar. Badan membungkuk pada nasib. Tulang bukan lagi dibanting, sudah hancur. Serpihannya justru mengaburkan mimpi-mimpi. Sebuah mimpi yang mungkin terwujud 1001 tahun lagi, kenyataannya bagai sebuah dongeng Abunawas. Akankah kau masih mau menungguku?

Angin malam ini begitu nakal. Menusuk-nusuk tulang. Kaki masih terasa kebas, terasa sendi-sendi mau lepas. Dia menarik sarung lusuhnya. Baunya sungguh tak sedap. Bau keringat mengenyangkan perut, sungguh nikmat, gantikan lezatnya wangi ikan teri goreng atau terasi bakar. Sungguh nikmat dengan nasih bungkus hangat. Tapi malam ini ia puasa, cukuplah siang tadi ia menikmati. Dan bibirnya tak lagi merasakan asap tembakau pengusir sepi, dadanya terasa sesak sudah sejak tiga minggu yang lalu. Sementara ia harus bisa terus bekerja. Atau ia akan kalah.

Kalah? Ini bukanlah sebuah pertarungan, bukan pula sebuah kesombongan. Tapi sebuah janji, dan ia akan kembali untuk memenuhi itu. Aku akan mengawinimu, bisiknya. Gadisnya tersenyum indah, matanya yang kecil mencari kebenaran pada ucapan lelaki itu. Ia tak meragukan, tapi ia menatap sebuah lautan yang luas. Beribu ombak dengan bibir-bibirnya yang begitu ganas. Dan pulau impain nun jauh di sana, di sebuah mimpi yang terkapar, terkubur.

Sungguhkah bijaksana kehidupan yang kita jalani? Adat yang begitu agung, terasa sangat kaku. Untuk sebuah perkawinan, belasan malah bisa puluhan babi harus tersaji. Aku tak mampu untuk itu, tapi aku harus mengawinimu, biarkan aku pergi untuk membayar mimpi, katanya kembali. Jangan ragukan aku, kasihmu ini bukan ahli nujum, tapi aku bisa menciptakan pundi-pundi uang dari butir-butir keringat.

Gadisnya hanya bisa tersenyum, ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia senasib dengan puluhan mungkin ratusan gadis-gadis lain. Dan para pemuda, pergi berlari jauh dari pulau ini. Mengumpulkan keping-keping keberuntungan dari dompet-dompet mereka yang bernasib baik. Terasa mahal sebuah keinginan, sebuah alur kehidupan mereka. Walau banyak yang kembali melunasi janji-janji. Banyak pula yang tak jelas kabarnya. Anginpun tak pernah kembali membawa jawab atas ratap kerinduan mereka. Angin tak sampai hati mendapati gadis-gadis masih runtuh pada puing-puing harapan.

Angin masih kembali tak bersahabat, ia membuyarkan lamunan. Bersamaan dengan itu, gumpalan awan hitam berteriak nyaring, menyeringai malam. Jutaan butiran air terjatuh ke tanah. Semua berhamburan. Belasan mahasiswa yang dari sore berkumpul di bawah pohon-pohon sawit itu, tampak jelas di kejauhan berlari mencari perlindungan. Permainan judi mereka buyar, lilin-lilin mereka padam. Tak jauh dari dirinya, di atas sebuah becak, pasangan itu masih mengayuh birahi, mereka tak terusik. Masih berdekapan, makin mendekap, dingin menambah birahi mereka.

Lelaki itu kembali menarik sarung, badannya melingkar mencari hangat. Ia tak terusik dengan taburan uang di tanah pada permainan mereka. Dentingan uang mereka. Ia tak terusik oleh suara-suara birahi pasangan temannya. Ia sama seperti pasangan itu, menikmati malam di atas sebuah becak. Dan pada tempat parkir sepeda motor kampus ini, mereka berteduh. Atap ini adalah rumah mereka. Ia harus beristirahat, esok adalah kerja dan kerja. Untuk membayar mimpi, hidup.

Gadis itu masih menunggu. Untuk waktu yang tak pasti. Mungkin ia akan bernasib sama dengan gadis-gadis lain, menjadi penunggu kembalinya mereka para pengembara. Atau mungkin kelak harus menjadi perawan tua. Dan ombak-ombak masih terus berlari-lari, menjilati sang mpu, di sebuah pantai Sorake, Nias.

Tanpa Hati

Oleh bagus takwin, (Bermain-main dengan cinta)


Telah kubiarkan hatiku bunuh diri. Masih kuingat geleparnya yang terakhir, dan darah menggenang memantulkan bayang-bayang luka, merobek kegembiraan masa lalu. Kenangan yang masih membias sinarnya, memerah, melemah. Pupus.
 
Sejak lama aku berkemas, berjalan tanpa hati. Kubina diri tanpa rasa, mengupas suka-duka, melepas manis-getir, menebas keindahan dan buruk rupa. Jauh dan dekat darimu akan kutempuh, mengambang di telaga tanpa riak, mengapung di lautan datar. Hidup yang tanpa gemuruh, tanpa hiruk-pikuk, tanpa liuk-liuk, tanpa gelora. Hidup tanpa rasa.

Tapi cinta seperti kanker, menyebar pesat ke sekujur tubuh. Dan dirimu seperti cahaya, menyusup lorong-lorong tersempit. Dan diriku menyerapmu penuh, menghisap luruh.
Kau menari dalam darahku, menggenang, menggerayang, mengacak-acak sukma. Diriku tak lagi tertata seperti dulu. Wajahmu memompa jantung, banjiri benak.

Nafasku menghirup gerakmu
Lidahku mengecap nafasmu
Mataku mengeja bibirmu
Jiwaku memburu hatimu.
Lalu gelakmu, gegapmu, lenguhmu.
Lalu hidupku dipaku hidupmu
Tanpa hati memandangmu, aku tetap
gemetar
Menggelepar

Tuesday 10 September 2002

Sobat Lamaku Masih Sang Pemberontak

Angin berbisik pelan, suaranya seperti tertahan. Malam begitu kelam. Bintang-bintang hanya berpendar, tak bersuara. Nyanyian malam hanyalah puji-pujian serangga malam. Didalam gelaplah malam lahir. Malam sering ditafsirkan sebagai kesepian, kekosongan, kehampaan mungkin juga ketiadaan. Malam mengundang kecurigaan, semua awas dikeheningan. Sungguhkah akal manusia mati di istirahat malamnya?

Cahaya yang berpendar dari lampu itu hanyalah seperti lilin yang menari. Kekuatannya hanya bergantung pada putaran roda. Sepeda tua mengantarkanku membelah areal perkebunan penduduk dan suaranya menimbulkan ritme mirip detak jantungku yang berpacu. Pandanganku agak terganggu oleh penerbangan para serangga malam dan kunang-kunang.

Seperti biasa di malam-malam sebelumnya, gadis itu duduk diberanda, mencoba untuk mewujudkan impian-impian kedua lelaki kecil itu. Mengulangi kembali pelajaran-pelajaran di sekolah yang materinya sungguh sangat tertinggal jauh dari mereka yang bernasib baik di kota-kota.

“Apakah hari ini ibu Budi sedang pergi ke pasar?”candaku memecah keseriusan mereka. Mereka hanya tertawa dan sudah terbiasa kalau kemudian kedua adiknya harus melanjutkan di dalam rumah.

Hingga saat ini aku tak mengerti, mengapa materi-materi usang yang sudah lebih belasan tahun itu masih diajarkan. Sepertinya saat ini, ibu-ibu tak lagi pergi ke pasar, karena sudah banyak supermarket atau hypermarket, malah para pembantu menggantikannya. Atau imajinasi anak-anak yang diplot untuk menggambarkan sebuah jalan yang membelah dua gunung dan matahari tersenyum di atasnya. Begitu statiskah kehidupan desa?

“Mau minum apa bang?” tanyanya. Tanpa perlu dijawab sepertinya dia sudah tahu kebiasaanku. Senyumku sudah menggambarkan.

Kantukku sedikit hilang oleh kopi ini. Hangat dan pahit. Aku bercerita tentang penjualan kakao hari ini. Tidak terlalu banyak untung, tapi cukuplah untuk memutar perdagangan.

“Sepertinya pak Timbul tak senang dengan penjualan kita. Orang-orang desa satu persatu telah mempercayakan penjualan pada kita. Yang belum hanya karena merasa tak enak dengannya. Maklum pak Timbul orang pertama yang merintis penanaman pohon coklat di sini. Dan dia yang mendirikan Koperasi,” aku mencoba menjelaskan apa yang aku rasakan.

“Dia telah menipu kita semua. Awalnya memang hanya dia yang tahu tentang pembeli. Dan hingga kini kita tetap dibodohi,” nafasnya melemah, ada nada kecewa.

Bukanlah hal yang aneh kalau yang kuat akan akan mampu bertahan. Dari segi modal dan pengalaman, pak Timbul tak diragukan. Tapi dari segi moral belum tentu. Pembelian yang dilakukan dari petani sungguh-sungguh dimanipulasi sangat tinggi. Dan pembeli menutup rapat nilai pembelian sebenarnya. Semuanya hanya karena prinsip simbiosis mutualisme atau mungkin karena takut oleh kuasa pak Timbul yang kebetulan punya banyak centeng.

Semua ini terjadis sejak belasan tahun lalu. Dari hanya memiliki setengah hektar hingga lima ribu hektar kebun coklat. Dan para petani di sini tak lebih seperti pada keadaan awalnya. Bukan cemburu tapi ketimpangan yang sungguh sangat jauh. Dan malahan petani yang tetap miskin itu, harus memecah-mecah tanahnya kepada anak-anak mereka, ahli warisnya.

“Sudah ada kabar tentang abangmu?” tanyaku sambil kembali membakar sebatang rokok.
“Belum bang. Sudah genap empat bulan tak ada kabar tentang ia” jawabnya agak sedikit berat. Ada sebuah kekhawatiran dan matanya mencuri pandang ke dalam, menatap ibunya dan kedua adiknya. Setelah sekian banyak masalah yang mereka hadapi, kepergiannya abangnya kali ini sangat menyita pemikiran. Dari lulus SMU, kepergian abangnya untuk kuliah di Medan bukanlah suatu kehilangan dikebersamaan mereka. Mungkin ada sebuah janji, dikesunyian yang bertahun-tahun dan membawa kabar datangnya sarjana di keluarga mereka di suatu saat. Walau terkadang ada kepasrahan, karena ibupun tak mampu membiayainya. Hanya uang kiriman Rp. 50.000,- tiap bulannya di tahun pertama, setelah itu tak ada sama sekali.
***
“Lop, aku ingin kawin kali” teriakan di kuping itu mengusik tidurku. Menampar mimpiku. Apalagi aroma mulut yang keluar dari celah-celah giginya yang kuning, sisa asap rokok murahan, sangat menusuk. Membekap nafasku.

Walau sedikit kesal, aku tak sampai hati memukul kepalanya. Apalagi membayangkan kaca mata tebalnya akan pecah.

“Kapan kau sampai bangsat!” tanyaku sambil memakai celana pendekku. Karet celana dalamku sudah tak sanggup lagi menahan isinya.
“Lima menit yang lalu. Hei dengar dulu, aku mau kawin kali ini” teriaknya tanpa perlu merasa malu mempertunjukan giginya yang tak jelas susunannya.
“Bah, yang keluar dari mulutmu tak jauh beda dengan yang menghasilkannnya. Kacau!” aku beranjak ke kamar mandi, air seniku sudah tertahan satu malam ini.
“Kau dengarlah ucapanku dulu, aku serius ini” suaranya masih mengikutiku.
“Aku ingin kawin kali” lanjutnya memburu berjalan menyajariku.
“Mau kawin sama siapa kau? Sama aku? Makan buritku ini” ejekku.
“Sialan kau” tawanya sambil menendang pantatku. Celana pendekku basah oleh cipratan air seniku, badanku terhuyung. Pagi-pagi musibah sudah datang. Tidur terganggu, celana basah. Sialan.

Setelah sarapan Maradu semakin semangat bercerita. Binar-binar matanya terlihat jelas dari kaca mata tebal itu. Masih seperti dulu, gagang hitamnya patah dan diikat karet untuk menyambungnya kembali. Maklum pecinta bola ini tak bisa melepaskan kaca matanya agar tendangan tak lari, ketika ada pertandingan bola kaki yang diadakan oleh Imabohal. Ikatan Mahasiswa Bocor Halus. Dan gagangnya patah waktu terjadi perebutan bola.

Dan yang masih kuingat jelas, ketika kami iseng-iseng melepaskan malam di sebuah kedai kopi. Hiburan yang termurah bagi mahasiswa. Televisi yang ada di depan agak tergantung diatas, hampir menyentuh langit-langit, menampilkan sebuah film. Kebetulan atau memang disengaja, tak bisa dipungkiri itu pasti film semi porno. Maradu dengan semangatnya mendongakkan leher sambil memegang gagang kaca matanya yang patah itu. Aku tertawa sendiri mengingat hal itu, begitu keras niat hatinya. Syukurlah, polisi telah membubarkan tontonan seperti itu, kalau tidak mungkin memandang wanita seperti melihatnya tembus pandang.

“Kenapa kau mau kawin? Sudah bosan hanya sekedar menonton film?”tanyaku.
“Bukan sekedar mau. Tapi pingin kali. Aku mau kawin kali” katanya tertawa.
“Hahaha…..dengan siapa? Gadis desa yang kau kerjai di kebun ubi itu?” tanyaku mengejeknya.
“Walah cerita itu sudah selesai. Aku sudah punya pacar yang baru, penjual kopi di kampungku”
“Nggak jauh dari kedai kopi. Aku takut kalau kau jadi suaminya, pemuda kampungmu akan rusak. Mungkin akan kau tambah pemutaran acara after nine. Film
porno” kataku mengejeknya kembali.

“Sialan. Apa kau pikir aku mau, kalau istriku dipandang orang begitu buas. Dengan otak kotor?” dia sedikit marah dengan ejekkanku.
“Mana lebih cantik dengan kakakmu?” aku mencandainya kembali.
“Kalau cantik sih, cantikkan pacarmu. Tapi segi keaslian, ini masih original” ejeknya lagi.
“Setan. Emang pacarku nggak perawan lagi?” sepertinya aku tak terima guyonannya.
“Mana aku tahu. Isi otakmu aku sudah tahu, hahahha…..” tawanya.

Menghadapi candaan-candaan, sepertinya Maradu tak terkalahkan. Kekurangan pada dirinya bukan lagi dianggap sebagai ejekkan, tapi anugerah dari pada harus menyesali hidup yang diterimanya.
“Jadi hubungan kawin mu dengan aku apa?” tanyaku serius, sepertinya bila diajak bercanda terus mungkin takkan selesai-selesai.
“Aku minta bantuanmu,……carikan aku kerja” katanya dengan nada berharap.
“Kalau itu, kau mengejekku. Sejak kapan pengangguran punya kerja. Di kampungmu apa tidak bisa berusaha?”
“Kalau dari kedai kopi mungkin pas-pasan. Ibu dan tiga adikku kan harus tetap makan. Mana ibu sudah sakit-sakitan dan adikku perlu sekolah”
“Dengan ijasah SMU mu susah cari kerja. Kerja di supermarket saja sekarang harus minimal D3. Aku saja yang sarjana masih menganggur. Salahmu juga sih, mengapa kuliahmu dulu tak kau selesaikan”
“Itu cerita lama Lop. Kalau mikir susah, untuk apa aku datang minta tolong padamu. Aku hanya minta bantuan, mana tahu sedikit peluang yang kau tahu”
“Ada sih, tapi agak berat. Kuli kasar bagaimana?”tanyaku.
“Lebih baik di Perdagangan. Walau di ibukota kecamatan. Jadi kuli nggak harus ke Medan”
“Hmmm….. ya sudahlah nanti kita cari sama-sama. Mungkin teman-teman yang lain juga bisa bantu” kataku memberinya harapan.
***
Hari ini aku tak tahu kemana saja perjalanan Maradu. Menurutnya dia akan menjumpai teman-teman di kampus atau sekalian menagih hutang-hutang lama yang mungkin sudah dianggap hangus. Suara ketukan di pintu kostku mengejutkan. Bukan sekedar ketukan, tapi seperti ingin menghancurkan.

“Buka, anda sudah terkepung!” sebuah teriakan nyaring terdengar di luar. Sedikit terusik aku membukanya. Dan manusia dengan kaki lebar itu tertawa sama lebarnya.
“Hahaha….aku pikir kau pasti masih alergi dengan aparat” katanya.
“Bajingan! Masuklah. Dari mana saja kau, sejak kita pisah di kampus tadi?” tanyaku tanpa perlu melayani candaannya.
“Menagih hutang-hutang sambil cari info kerjaan. Aku sudah hampir keliling kota, mana tahu ada lowongan kerjaan” katanya sambil merebahkan diri di kursi. Di hidupkannya tape, All My Love milik Led Zeppelin lembut melantun.
“Oh ya, itu tak kusangsikan. Hobi jalan kakimu” ejekku. Aku masih tak habis pikir, ada manusia nasibnya seperti ini. Sejak dulu ke mana pun dia pergi tak pernah naik angkutan umum, pasti jalan kaki. Lebih berharga uang dipakai membeli rokok. Dan sungguh begitu nikmat merokok sambil berjalan kaki. Terkadang aku kasihan, dia tak punya uang lebih, semua didapat dari berhemat dan keringatnya sendiri. Kasihan dia.

“Dari melamar jadi tukang satpam hingga tukang jaga di toko-toko. Semua menolak. Tampangku mungkin tak meyakinkan. Sedikit mirip perampok kali ya?” katanya sambil tersenyum, terbayang panas membakar niatnya tadi itu. Senyumnya begitu pahit. Diminumnya pelan air putih dari gelas.
“Biasalah Du. Mereka juga belum mengenalmu, wajar ada kehati-hatian. Tak bisa dipungkiri kalau nepotisme itu masih tetap ada dan perlu ada rekomendasi dari yang menjamininya. Mengapa tak mencoba di kampungmu saja? Kalau bertani bagaimana?” tanyaku mencoba membesarkan hatinya.
“Hasil kebun kami hanya cukup untuk hidup selama ini. Bagaimana kalau aku mau kawin nanti? Aku kan harus punya penghasilan lebih lagi. Tapi sebenarnya ada yang menarik perhatianku, ini juga aku mau diskusikan denganmu”
“Tentang apa? Aku juga lagi menganggur, mana tahu di kampungmu juga menghasilkan duit” aku mencoba menyimak. Saat itu pikiranku juga bercabang menyimak suara dari speaker kecil, masih melantun lagu milik Led Zeppelin, Babe I’m Gonna Leave You.
“Iya. Aku juga berpikir begitu. Mana tahu, kau mau bergabung. Ini, kami kebingungan dengan pelemparan hasil kakao kami. Koperasi tak jujur dalam harga pembelian. Koperasi membeli terlampau murah dari penduduk dan menjualnya dengan harga sangat berlipat ke pembeli. Dan koperasi tak mau membeberkan harga sebenarnya. Bagaimana kalau kita ambil alih, sekalian membantu penduduk sana, kita cari pembeli barunya. Dan kita ciptakan pasar yang sehat di sana. Harga yang bersaing.”

“Wah, ide yang bagus itu. Aku pikir itu karena penduduk sudah terlalu sering dibodohi sehingga mempertanyakan hak mereka sendiri saja mereka bingung. Aku punya kenalan yang pernah terlibat jual beli kakao. Akan aku hubungi dia, kau masih lama di sini?” tanyaku.
“Tergantung sampai kapan kau masih sanggup menghidupiku. Aku tak banyak bawa uang, hanya cukup untuk ongkos pulangku” katanya sambil tersenyum lebar. Aku sudah terbiasa dengan keadaannya.
“Aku malah takut bila makin lama di sini, justru ongkos pulangmu pun akan amblas. Tapi ya terserah, dalam tiga hari ini aku coba jajaki ke temanku. Sepertinya aku sudah bosan menganggur, ingin sekali-sekali hidup tenang di pedesaan.”

“Pacarmu bagaimana? Apa dia mau kau tinggalkan?” tanyanya.
“Sebelum aku tinggalkan, dia sudah meninggalkanku. Dia selingkuh”
“Hahaha…..kan sudah aku bilang sejak dulu. Jangan pernah percaya dengan perempuan. Mereka itu setan”dia mengejekku.
“Dan sekarang mengapa kau begitu ngebetnya ingin kawin dengan mahluk yang kau namakan setan itu”
“Hahaaa…..ternyata setan perlu teman. Biar bertobat. Baru sekarang aku rasakan nikmatnya bergaul dengan setan. Kok nggak dari dulu ya,” candanya membela diri.
***
Areal perkebunan coklat (kakao) di desa ini tak begitu luas. Hanya ada sekitar 80 kepala keluarga yang mengerjakannya. Tapi bila di lihat ke desa-desa lainnya tak jauh berbeda dengan desa ini. Mereka pun hidup dari menanam pohon coklat dan selebihnya dari tanaman palawija dan beternak. Kehidupan penduduknya begitu tenang, ritme hidup yang ada begitu statis. Bangun, bekerja di ladang, pulang, tidur. Tak lebih dari itu, tak ubahnya dengan ayam dan kambing. Begitu juga dengan keluarganya, balita, remaja, dewasa dan kembali jadi petani. Seperti kambing, balita kambing, kambing gemuk dan digorok. Tak ada yang mencoba merantau atau mencari pendidikan di luar, hanya segelintir.

Tapi disini aku merasa hidup tak begitu memburu. Hidup begitu panjang tak ada mati. Tak ada kerakusan, karena tak ada yang lebih dan kurang. Jembatan waktu begitu akrab. Semua bisa dikerjakan hari ini atau besok. Semua bisa ditunda. Tak ada yang menjajah dan terjajah. Otak begitu bebas. Di sini tak perlu ada mimpi, tak perlu ada prediksi, alam sudah berbicara. Dikerjakan atau jawaban akan menyusul nanti.

Apa yang kami rencanakan sudah terwujud. Temanku di Medan telah memberi aku jalur, dan pembeli berani datang jauh-jauh ke sini. Tentunya dengan perhitungan jumlah stok barang yang sanggup kami sediakan untuk setiap kalinya pembelian. Dimulai dengan hasil kakao dari perkebunan milik keluarga Maradu ditambah tujuh keluarga lainnya. Dari mulut ke mulut tersebarlah berita harga pembelian yang kami lakukan dengan petani cukup tinggi dibanding yang dilakukan oleh Koperasi itu. Sedikit demi sedikit petani mulai terbuka matanya dan berani menjualkan hasilnya pada kami. Walau masih ada yang takut dengan pak Timbul sang manajer Koperasi itu. Tapi itu memang kesalahan dia yang tak berpihak pada anggotanya dan tak transparan dengan pembukuan Koperasi. Kami mencoba membuka pasar yang terbuka. Mungkin bila sudah besar nanti kami akan coba usulkan untuk diadakan tempat pelelangan kakao agar harga lebih kompetitif lagi.

Dari hasil yang mulai nampak, kami coba untuk lebih menjaga mutu. Di atas tanah milik keluarga Maradu, dibantu penduduk desa, kami membuat sebuah gudang penyimpanan yang tentunya terjaga kelembabannnya. Aku mengajak teman kuliahku dulu untuk membantu kami dalam hal pengolahan mutu pengeringan. Standart mutu yang diharuskan. Para petani juga diberi kesempatan untuk belajar mulai dari perawatan pohon coklatnya sampai proses pengeringan. Terjadi interaksi yang saling mengisi.

Kedekatanku di desa ini dengan Maradu hanya berjalan delapan bulan. Suatu ketika Maradu permisi akan ke Medan. Ada sebuah panggilan yang mengharuskannnya pergi. Aku tak bisa mencegahnya. Dan dia menitipkanku pada keluarganya. Aku melepaskannya, tapi ada sebuah kekhawatiran. Sudah seminggu lebih, sebelum keberangkatannya, ia terlihat banyak termenung. Entah apa yang dipikirkannya. Dan aku meneruskan usaha kami ini dengan keluarganya dan penduduk desa yang lainnnya.


Masih di beranda rumah, gadis itu terpekur sendiri. Aku menjumpainya setiap malam menjelang. Sejak kepergian Maradu aku tak tidur di rumah ini lagi. Selain tak enak hati dilihat warga penduduk, aku juga tak mau merepotkan mereka. Aku menyewa sebuah rumah dekat gudang kami. Selain tempat tinggal juga supaya lebih mudah mengamati gudang penyimpanan itu.

Gadis itu tak seperti Maradu, abangnya. Kemolekkan milik para gadis masih ada padanya. Keayuan yang cukup primitif tapi sungguh sebuah keasrian padanan alam dengan embun-embun paginya dibaui aroma mentari yang menciptakan pendar-pendar cahanya berkilau. Wajahnya jujur sesetia ucapannya yang jujur pula. Seperti angin yang tak pernah berubah walau tak bisa dijamah. Tapi aku yakin ia mempunyai bentuk, entah apapun itu.

“Yanti, abang pulang dulu ya. Sudah malam” kataku memecahkan keheningan. Dia menatapku. Ada sebuah keraguan di hatinya, binar-binar matanya tak bisa berbohong. Ada kerinduan untuk lebih bisa berlama-lama lagi, walau hanya menikmati keheningan.

Dia tak bisa mengucapkan kata tunggu dulu, walau pandangannya sungguh meminta seperti itu. Tangannya pun tak kuasa mencegah, walau niatnya sudah bulat. Haruskah aku percaya pada apa yang aku rasa dari pada yang akan aku dengar? Sebuah suara yang tergesa-gesa berucap. Memecah keheningan, keraguan.

“Bang gudang terbakar. Apinya melalap semua isinya” teriak orang yang berlari ke arah kami. Aku berlari menghampirinya sang pembawa berita maut.
“Ada apa Tak. Kenapa bisa terbakar?”tanyaku panik.
“Nggak tahu bang. Tiba-tiba api menjalar tinggi dan panasnya mengejutkan kami,” kata Poltak lebih panik lagi.
“Ayo kita ke sana. Abang pergi dulu ya dik,” kataku sambil berlari menuju sepeda. Bersama Poltak aku meninggalkan Yanti yang termangu sendiri, keraguannya tak tertahankan. Dia tetap tak ingin melepaskaku.
***
“Du ngapain kau di sini?” aku sungguh heran mendapatkan Maradu, kawan dekat yang telah menghilang.
“Kau juga Lop. Untuk apa kau ada di sini?” tanyanya lebih heran lagi. Kami saling berpelukkan kerinduan yang sangat lama. Seperti menjumpai kekasih yang hilang di suatu pagi dari sebuah ranjang.
“Bagaimana dengan ibu dan adikku?” tanyanya. Tapi aku yakin dia tak hanya bertanya tapi menangis. Dia terisak-isak. Dadanya berguncang hebat.
“Baik-baik saja. Mereka menunggumu. Apa kabarmu kawan, mengapa menghilang sekian lama?” tanyaku tak tertahan, kerinduanku meluber deras. Pelukkanku sangat erat. Tapi kami tak kuasa berkata-kata lagi, kami menangis. Pertemuan yang tak terduga, di tempat yang tak terduga pula. Pada pelukkannya aku merasakan, sebuah nafas yang mati telah kembali, sahabat yang hidup dan mati dalam jiwaku. Untuk sekian lama aku jalan sendiri tanpa mu kawan juangku.

Kami terduduk lelah, pada dinding tembok. Bersandar pasrah pada pertemuan dan nasib yang kami alami bersama. Di ruangan ini kami coba untuk saling bersaksi, mencari kebenaran pada hidup kami masing-masing.
“Aku telah meninggalkan kalian. Sebuah surat dari temanku memaksa aku pergi menjumpainya. Ada sebuah kerja-kerja pendampingan. Buruh perkebunan membutuhkan pengorganisiran. Dan aku terjebak di dalamnya karena aku sendiri yang ingin menjebakkannya. Mereka menuntut kelayakkan hidup, hanya itu. Karena mereka bukan manusia manja. Mereka semut-semut pekerja. Mereka mogok berhari-hari. Aku ada di dalamnya,” katanya menjelaskan, sebuah hal yang bagi kami sudah biasa dilakukan ketika di gerakan mahasiswa dulu.

“Mengapa tak kau ajak aku? Bukankah aku bisa bantu kau. Kita sudah saling kenal sejak dulu,” tanyaku sedikit marah.
“Aku takut kau marah. Karena kita juga punya misi kerja yang baru berjalan. Aku takut itu terbengkalai, sementara penduduk desa telah merasakan gunanya. Terkadang sulit memilih untuk tak lepas dari persoalan masyarakat kaum tertindas dengan keberpihakkan pada kebutuhan hidup kita. Sepertinya kita harus mulai berpikir mana yang lebih penting. Perut kita atau kerja-kerja pendampingan, politik.”
“Apa yang terjadi padamu hingga kita bertemu di sini?” tanyaku heran.

“Aku ada di dalam mereka. Saat itu aku tak bisa memetakan keadaan setelah mereka mogok kerja untuk enam hari lamanya. Massa semakin bertambah, semakin menguatkan perlawanan. Tapi mereka cair. Beberapa orang mulai menyulut ketidaksabaran. Mereka membakar amarah ketidakpuasan atas penerimaan aspirasi mereka. Sang provokator yang tak jelas siapa orangnya, mulai melempari kantor Direksi. Mereka membakar gedung-gedung itu. Aku tak bisa menahannya. Aku tak bisa mencegahnya. Dan aparat merangsek kami. Menangkapku yang dituduh sebagai sang provokator. Apalagi aku terbukti bukan pekerja perkebunan itu. Dan aku ditahan di sini. Maafkan aku…… tak mengabari kalian. Aku malu…… Aku takut sakit ibu akan lebih parah. Dari siapa kau tahu aku ada disini? Akhirnya apa yang ditutupi akan ketahuan juga. Terima kasih atas jengukannya.” katanya sambil tersenyum.

“Sobat lamaku masih sang pemberontak. Tapi Du, aku di sini bukan untuk menjengukmu. Aku menemanimu. Aku membunuh pak Timbul”
“Ha? Kok bisa? Apa yang terjadi?” tanyanya begitu memburu.
“Gudang kita dibakar di suatu malam. Dan yang membakar adalah pak Timbul dan centengnya. Api menjalar hingga bumbungan atap, tak ada yang bersisa. Semua lenyap, hanya bara api yang tersisa. Keringat-keringat kita terbakar, jelas terdengar merekah dan memercik. Tangis kita pun tak sanggup memadamkannnya. Aku mengejar nya bagai anjing pemburu babi. Babi berlari ke hutan di pinggir desa. Anjing masih membaui nafas busuk yang terengah-engah penuh ketakutan. Babi terus berlari walau kadang terjatuh, tapi kakinya tetap menjauhiku. Sampai suatu saat sang anjing mendengar sang babi melengking. Melenguh kesakitan. Merintih minta ampun. Terjerembab. Darahnya mengucur deras. Pada jeratan pemburu babi hutan, pak Timbul mati tertusuk dadanya. Dan hanya sang anjing yang memburu. Aku ditangkap dan dituduh membunuh. Aku tak bisa membeli pengacara. Kebenaranku tak dipercayai mereka. Mereka hanya percaya pada bukti yang ada. Gudang terbakar dan aku marah. Haruskah orang marah dituduh pembunuh?” aku menceritakan semua. Kejadian malam itu.

“Kita ternyata ditakdirkan bernasib sama. Waktu tak berpihak pada kita,” Maradu mencoba membesarkan hatiku. Sebuah pertemuan yang tak terduga di sebual sel penjara. Menjadi terasing dari kehidupan. Mungkin orang-orang seperti kami tak layak menikmati kebebasan, karena isi kepala kami, pikiran kami. Sebab senjata yang paling mematikan adalah pikiran. Dan ketakutan akan pikiran itu menimbulkan tindakan pencegahan, yang mengekang pikiran itu agar tidak menjadi “liar dan bebas”.
Diluar jeruji terdengar sebuah lagu lama, yang pernah dinyanyikan kasihku dulu, milik Iwan Fals dan aku hingga kini aku pun tak habis mengerti mengapa diberi judul “Belum Ada Judul”

Pernah kita sama-sama susah, terperangkap di dingin malam
Terjerumus dalam lubang jalanan, digilas kaki sang waktu yang sombong
Terjerat mimpi yang indah, lelah…..

Pernah kita sama-sama rasakan, panasnya mentari hanguskan hati
Sampai saat kita nyaris tak percaya, bahwa roda nasib memang berputar
Sahabat, masih ingatkah kau,
Sementara hari terus berganti, engkau pergi dengan,
dendam membara di hati

Cukup lama aku jalan sendiri, tanpa teman yang sanggup mengerti
Hingga saat kita jumpa hari ini, tajamnya matamu tikam jiwaku
Kau tampar bangkitkan aku, sobat…

Sementara hari terus berganti
Engkau pergi dengan dendam, membara di hati

“Du, aku jatuh cinta. Aku ingin kawin kali” aku membuyarkan lamunannya.
“Oh ya, selamat datang kehidupan baru. Mau kawin dengan siapa? Sama aku? Makan buritku ” ejeknya. Seperti ejekanku dulu padanya.
“Dengan gadis desa. Adikku mu” kataku coba menjelaskan, meminta restu..
“Selamat datang di keluarga pemberontak,” katanya sambil memelukku.
“Kau tak jalan sendiri lagi, sobat!” sebuah bisikan ditelingaku.

Bekasi, Maret-September 2002

Monday 9 September 2002

Anak kecil itu masih bersandar di dinding taman

Siang itu begitu panas, rambut seakan telah terbakar menjadi arang dan baranya meresap melalui kulit. Mungkin kutu-kutu di kepala akan gelisah dan beranjak pergi. Dan kerak-kerak kotoran yang katanya ketombe mengering, memberi nuansa baru. Pada rambut yang sejujurnya tak bisa dikatakan hitam lagi, terasa asing bagi segala produk-produk pembersih apalagi perawatannya. Bagi pemiliknya isi kepala jauh lebih berharga dari pada yang menghinggapinya.

Bibirnya jelas mengering, ada sedikit kerak kering disudut bibirnya. Ingusnya pun tak diseka bersih. Cairan kuning itu masih mengganggu jalan nafasnya, pelan-pelan turun dan naik kembali setiap kali ia bernafas. Punggung telapak tangannya terayun mengusap hidung, sedikit meninggalkan bekas yang membasahi pipinya. Disekanya sekenanya. Badannya terasa menggigil, demam. Bukan oleh panas. Terik mentari sudah menjadi teman, bagai pemecut untuk tak jadi malas. Karena teman pemalas hanyalah bulan.

Dia bersandar di dinding taman, duduk diatas tanah. Menatapi lalu lalang kenderaan yang antri di persimpangan, begitu patuh pada rambu-rambu yang hidup dan mati. Semua terhipnotis pada simbol-simbol itu, sebuah aturan dari benda mati yang begitu dipatuhi. Tak ada yang berani melanggarnya. Mungkin ini sebuah dewa maut atau berhala yang mengatur keselamatan buat mereka untuk menyeberangi persimpangan.

Pikiran nakalnya menerawang, andai dipersimpangan itu ditambahkan sebuah rambu :
“Silahkan lempar recehan anda kepada anak pengamen ini”.
Dan perhentian hanya lima menit. Untuk waktu selama itu ia akan menghibur para pengemudi dan penumpang segala kenderaan di hadapannya. Terbayang berapa banyak recehan yang akan dipungutnya. Dan mereka akan mendapatkan kelancaran perjalanan, keselamatan hingga persimpangan berikutnya. Karena teman-temannya yang lain akan menunggu disana dengan segala nyanyian keselamatan. Tak perlu lagi ada anak-anak jalanan yang berhimpitan dan bergantungan di angkutan kota. Tak akan ada kecelakaan bagi mereka akibat terpeleset di tangga angkutan kota atau terserempet motor dan mobil yang selalu grasak-grusuk. Seakan nyawa mereka tak berharga, para pengemudi lebih takut menabrak kucing dari pada anak kecil.

Bibirnya masih mengering. Dibasahinya dengan ujung lidah, tapi terasa pahit di mulut. Perutnya agak perih, suara penghuninya begitu merdu. Nyaring ditelan deru knalpot. Sejak pagi ia tak makan. Uang recehannya hanya sembilan keping, itupun kena palak lelaki bermata merah itu. Ingin saat itu ia memberontak, tapi tangannya tak lagi keras, tak sekeras niat. Suatu saat nanti otot ini akan kembali teracung, pembalasan akan lahir. Namun saat ini ia tak sanggup lagi berdiri, badannya panas. Demam. Sudah tiga hari ia tak enak badan, suaranya tambah tak merdu. Dan lagu terakhirnya tadi terdengar seperti decit tikus, begitu menakutkan sehingga ada anak kecil yang menangis dipangkuan ibunya. Memeluk dada ibunya begitu rapat. Dan belaian tangan lembut menenangkan sang anak. Sambil membisikkan kasih memberi kedamaian.

Anak kecil dengan ingus yang naik turun ini masih cemburu sejak melihat kejadian itu. Sebuah kasih sayang yang tak pernah dimilikinya, kasih ibu. Sekasar apapun kulit ibunya, usapan lembut itu akan menjalari sebuah damai, keteduhan yang nyata. Tapi hingga kini tangan kasar ibunya pun tak mampu melakukan itu. Apalagi sebuah bisikan kasih yang begitu menenangkan, seperti doa-doa yang dipanjatkan, tanpa menunggu jawaban pun akan ada sebuah keyakinan terkabulkan. Tangan yang kokoh itu akan menopang menghadapi segala kekhawatiran, tiada lagi ketakutan.

Tapi ibunya kini bukan ibu yang dulu. Ibunya dulu telah mati dari hari-harinya. Pergi bersama supir truk antar kota. Katanya akan menjemput beras-beras yang berserakkan di jalanan kota lain, dan itu milik kami, harus diambil sebelum burung-burung akan menghabiskannya. Begitu lama dan tak pernah kembali. Bapak menyalahkanku, katanya karena aku terlalu cengeng dan begitu bandal. Nafasnya makin memabukkan dan kerinduannya pada ibu tertumpah di sudut rumah. Aku hanya bisa meringkuk dibalik selimut memandang bapak tergeletak bersandar di dinding rumah yang terbuat dari papan. Di cahaya lampu minyak tanah, aku masih bisa melihat ada genangan air disudut matanya. Jatuh perlahan.

Bapak sesungguhnya bukanlah lelaki lemah. Ada kekagumanku padanya dibalik sejuta neraka sikap kasarnya padaku. Ia tak pernah menganggapku sebagai anak kecil, memperlakukan ku seperti lelaki dewasa. Menghembuskan nafas kelaki-lakian, menikam keberanian pada jantungku. Nyaliku bukan lagi nyali seekor ayam, tatapanku begitu menusuk. Kecurigaan tersembunyi pada setiap pandanganku. Pada setiap mahluk yang aku kenal, aku selalu awas karena musuh ada dimana-mana. Jakarta tempatnya sarang kekejaman. Sebelum ditusuk lebih baik kau waspada, itu pesan bapak.

Hingga umur 6 tahun dia tumbuh jadi lelaki kasar yang tak mau diatur orang lain. Semua yang sebaya pada takut tak berani menatap, karena dia akan menantangnya berkelahi. Kemana ia melangkah semua tertunduk mencari bayangan masing-masing, lebih baik tak berurusan dengannya. Atau darah akan mengalir pada bibir yang pecah atau hidung yang patah. Dia terbiasa tidak menggunakan benda keras hanya ayunan tangannya begitu menghujam. Kebencian begitu buas pada kepalan tangannya. Apalagi bila ada yang mengejeknya anak sundal, rahangnya akan rapat mengatup menahan marah yang tah tertahan. Ia akan lebih kejam dari setannya setan itu sendiri.

Tapi ini tak berlangsung lama, sampai saat beberapa orang-orang baru masuk ke pemukiman kumuh mereka. Penampilan mereka sederhana dan begitu meyakinkan adanya ketulusan. Beberapa mahasiswa yang bekerja sebagai relawan sebuah ornop mendirikan sebuah rumah singgah. Mereka mendirikan surga bagi anak-anak, begitu ramahnya sehingga anak-anak tak takut pada mahluk yang asing itu. Seasing tatakrama yang mereka ajarkan, nyanyian yang begitu menarik dan mereka membuka mata dunia begitu lebar. Jauh di atas sana banyak malaikat akan turun bagi mereka anak-anak yang baik saja. Mereka memerdekakan anak-anak dari ketakutan, dari kebutaan didikan, dari kepastian hidup.


Anak kecil yang pemarah itu awalnya hanya menatap dikejauhan saja. Sampai seorang dari pada mereka menghampirinya dan menyapanya.
“Hai dik, mengapa kau tidak ikut bergabung? Kita bermain bersama di sana. Mari….”ajaknya. Dia hanya diam, menatap tajam mengancam. Dia tak mau diusik.
“Sepertinya kamu yang paling pemberani diantara mereka. Tidakkah ada niatanmu untuk melindungi mereka? Perkampungan ini sepi bila siang hari” katanya lagi. Anak kecil yang pemarah itu tetap diam. Dia bangga waktu dikatakan pemberani. Siapa anak yang tak takut padanya. Untuk apa melindungi mereka? Mahluk penakut yang selalu ditinggalkan orang tua mereka. Memang di sini terasa sepi di siang hari. Semua yang dewasa pergi mencari makan, mengembara bersama angin yang membaui liang lahat uang yang tersimpan rapat.

“Seperti juga malaikat yang selalu melindungi kita, kau pun akan lebih berharga dikenal sebagi pelindung, sebagai malaikat mereka. Dari pada dikenal sebagai jagoan atas yang lemah” katanya memandang lembut.

Anak kecil pemarah itu berang, ia bangkit dan mengayunkan tinjunya. Hidung lawannya berair, ada darah. Anak kecil itu berlari menjauh dengan dengus keras. Ia tersinggung. Tapi ia akhirnya juga bingung, tak ada lagi anak-anak sebayanya berlari-lari di lorong gang-gang, tak ada yang bermain di kali. Semua tertumpah di rumah singgah itu. Mereka menikmati surga mereka. Ia merasa sepi.

Mereka punya lagu-lagu baru yang mereka selalu nyanyikan. Mereka bangga dengan gambar-gambar mereka pada kertas-kertas itu. Mereka punya mainan-mainan baru yang mereka buat sendiri. Anak lelaki pemarah itu hanya bisa mendengar saja, tak bisa merasakannya. Ia cemburu tapi ia malu.

Sampai ketika pemuda yang kemarin hidungnya kena pukul itu mengajaknya kembali dan mengulurkan tangannya. Ia pun pasrah pada keinginannya. Keinginan semua anak-anak untuk bermain-main. Dan ia menjadi bagian dari mereka. Dan malaikat turun baginya. Ia tercipta kini sebagai pelindung bukan lagi pengganggu. Ia bangga untuk itu.

Seorang diantara para mahasiswa itu, yang bernama Yogi, pernah berkata bahwa anak-anak banyak dipakai sebagai obyek dari kepentingan orang dewasa. Malahan orang-orang dewasa yang menentukan hak-hak si anak, bukankah si anak bisa dihargai pendapat dan pikirannya. Atau mungkin ketakutan orang dewasa pada kritikkan dari anak-anak. Sebab senjata yang paling mematikan adalah pikiran dan ketakutan akan pikiran itu menimbulkan tindakan preventif yang tujuannnya mengekang agar pikiran itu tidak menjadi “liar dan bebas”. Orang dewasa cendrung untuk bertingkah sebagai patron yang kelewat mengatur dan terkadang mempunyai harapan-harapan yang tidak realistis terhadap tingkat pengetahuan dan kemampuan anak.

Dunia anak-anak adalah bermain bukan bekerja kata mereka. Membantu orang tua itu perlu tapi bukan untuk membanting tulang. Karena itu tanggung jawab yang lebih dewasa. Dunia anak-anak adalah belajar, karena anak-anak harus tumbuh dan besar, dalam kematangan tingkah laku maupun pengetahuan. Tapi semua itu perlahan-lahan, karena anak-anak adalah tetap anak-anak.

Tapi dunia yang diciptakan mereka itu tak berlangsung lama, mereka harus kembali ke kampus karena ibu pertiwi memerlukan mereka katanya. Mungkin tak lama setelah itu mereka akan kembali lagi. Namun penantian tak berujung, anak-anak termenung di ujung jalan menatap kedatangan mereka kelak. Setelah jatuhnya rezim yang lalu, mungkin ibu pertiwi tak melepaskan mereka kembali. Ibu pertiwi ingin dikawal selalu. Ataukah mereka telah melupakan anak-anak itu? Kata bapak, mungkin mereka sibuk dengan kuliah yang tertunda beberapa saat dulu.

Anak kecil dengan ingus yang naik turun itu masih bersandar di dinding taman. Peluhnya telah menebalkan dakinya. Tatapannya kian meredup, ia masih menggigil deman. Ia tak ingin lekas pulang, tak ada siapa-siapa di gubuk mereka, perkampungan telah sepi. Kini bukan lagi tak ada ibunya yang dulu, ayahnya pun telah pergi. Untuk sekian lama ia akan hidup tanpa mereka, hanya dengan ibunya yang baru. Dan tak hanya ia yang bernasib seperti itu. Anak-anak lainnya pun telah kehilangan semua bapak-bapak mereka. Lelaki dewasa telah menghilang dari sana sejak mobil-mobil polisi dan pamong praja menakuti perkampungan mereka. Dan semua lelaki melawan dengan balok-balok kayu, tapi mereka kalah oleh senjata. Mereka berlutut pada pelatuk kematian, dan satu persatu digelandang ke truk-truk yang telah dipersiapkan. Mereka ditahan oleh perlawanan terhadap aparat yang terjadi lebih dari tiga hari itu. Dua orang aparat mati dan ratusan jiwa penduduk mati dibekap jalan hidupnya. Perkampungan dikosongkan karena dianggap terlalu kumuh mencoreng citra ibukota sebagai kota metropolitan.

Sesungguhnya buka hanya alasan itu saja mereka diusir kata bapak. Mungkin karena tindakan mereka tiga bulan sebelumnya, ketika itu mereka pun pernah menghilang dari sana. Bertumpuk di depan gedung dewan rakyat, mendukung calon yang diunggulkan. Pak Imronlah yang mengkordinir mereka untuk mendukung seorang calon gubernur. Demi uang yang begitu murahnya di dapat, mereka siap berminggu-minggu melakukan demonstrasi. Berkoar-koar mengelus calon. Menantang pendukung calon lainnnya. Namun calon yang mereka unggulkan kalah, bukan karena tak bertaji mungkin kurang banyak sangunya, karena yang didalam gedung itupun manusia seperti mereka yang berpanas-panasan di luar. Tapi bedanya mereka adalah wakil rakyat dan yang diluar adalah wakil perut kelaparan. Mereka yang di luar berteriak karena lapar, yang di dalam berteriak karena dia rakus. Dan gubernur yang terpilih mengusir mereka dari tanah garapan mereka, karena dendam selama pertarungan kemarin sepertinya.

Ia berlari jauh meninggalkan perkampungan, ia dipaksa untuk hidup sendiri tanpa saudara. Hingga akhirnya ia bertemu dengan ibunya kini, bukan ibu yang dulu. Perempuan itu kasihan padanya yang terlunta-lunta tanpa teman dan ia pun sungguh butuh teman juga. Tanpa seorang ayah, karena mereka hidup hanya berdua.

Anak kecil itu masih bersandar di dinding taman, di taman sejuta mimpi. Tapi ingusnya tidak naik turun lagi. Wajahnya begitu damai tiada keresahan. Ia tak terusik dengan antrian kenderaan di persimpangan. Ia tak tertarik dengan recehen-recehan yang akan didapatnya. Ia tak terusik dengan keindahan lampu-lampu neon yang telah menyala menerangi malam. Matanya terpejam rapat, menyimpan mimpi yang beranjak naik. Jauh ke atas sana bersama malaikatnya. Menggenggam erat bagai takut terpisahkan, sungguh Tuhan memberikan malaikat pada semua anak-anak baik.

Di pojok malam, perempuan itu menanti resah. Menatap gelapnya kegelapan. Matanya tak mencari bayangan di ujung jalan. Ia hanya berharap tak sanggup beranjak. Di tangan kanannya terletak sepiring nasi putih yang telah ditanaknya tadi. Hasil penjualan plastik-plastik yang dikumpulkannya dari “tanah pengharapan”, tempat pembuangan akhir sampah. Dia pasti telah lapar dan wajahnya pasti akan senang dengan makanan ini. Tapi mengapa begitu lama ia pulang? Ia masih menunggu hingga malam telah larut ditemani dengan tongkat di tangan kirinya, mata langkahnya. Tak ada tangis lagi, karena matanya telah kering.


Mata hatiku, 8 september 2002, pkl.3.00 wib

Seperti apakah bentuk mu cinta?

Arakan berjalan lambat, meliuk mengikuti alurnya. Terkadang bunyi gaduh timbul dari benturan sesamanya, ritme jeg-jes melantun statis tiada tinggi tiada rendah. Pepohonan belari kencang di kiri dan kanan, petak-petak sawah terususun rapi bagai teka-teki hidup yang belum terpecahkan. Air mengalir jauh di bawah sana, tiada kebosanan pada riak-riak hidup yang terasa kaku, tapi laut membutuhkan luapan kasihnya. Sungguh sungai cermin hidup yang agung, memberi namun ia tak merasa kekurangan., laut adalah nama kumpulan kasihnya, tapi ia tak perlu memilikinya, ia tak perlu posesif. Karena mata-mata hatinya masih bening mengalir di relung-relung nadi tanah. Mata hatinya adalah mata kasihnya, kejujuran dan ketulusan tanpa pamrih.

Aku membaca habis semua gambaran alam, menelusuri jejak-jejak detik yang berlalu. Aku menjadi penikmat waktu yang tiada bosan mengamati, keingintahuanku akan hidup. Seperti keingintahuanku sejak dulu yang tak terjawab, ketika semua manusia harus mati, bumi akan dihuni oleh siapa? Dan siapakah sang pencipta itu? Bila Ia dapat mencipatakan segala macam benda, apakah Tuhan diciptakan oleh diriNya sendiri? Untuk itu tentunya Dia mempunyai “diri” sebelum menciptakan diriNya sendiri. Aku bukan seorang filosof atau anak kecil yang peka. Aku hanya merasa seorang mahluk luar biasa. Aku mahluk yang misterius, ketika aku menemukan diriku sendiri di suatu hari dengan suatu kesadaran yang sama sekali baru.

Tidak semua orang pernah bertanya pada tentang dirinya sendiri, tidak semua orang ingin mengetahui tentang kehidupan, tentang dunia. Mungkin karena telah terbiasa, atau terlalu disibukkan oleh permasalahan-permasalahan sehari-hari sehingga keheranan pada dunia tercampak ke belakang. Kita kehilangan kemampuan untuk bertanya-tanya tentang dunia. Mungkin hanya bayi-bayi yang mempunyai rasa ingin tahu. Baiknya kita kembali jadi seorang bayi, bukan menjadi mahluk dewasa yang menganggap dunia ini begini karena sudah seharusnya begini.

Di kursi ini aku bukan sedang belajar filsafat atau mereka-reka tanya. Sungguh perjalanan ini sungguh membosankan. Tapi aku tak perlu bertanya dari mana asalnya bosan, karena di detik ini aku hanya mengamati tidak bertanya-tanya lagi. Mengamati adikku yang tertidur di samping, kasihan dia yang seharian tadi menungguiku menyelesaikan testing masuk kerja. Dikursi depan, membelakangiku, aku melihat dua pasang muda sedang bercengkrama. Sisa tubuh yang terlihat dari belakang hanya ujung kepala yang saling bersandar. Sungguh mesra, ada aroma asmara. Aku tak ingin dicemburui oleh pemandangan itu, aku hanya menatap.

Di kursi belakangku ada pasangan yang lain, baru saling kenal sepertinya. Dua lelaki yang sama-sama ganteng. Putih dan manis. Andai aku wanita mungkin akan jatuh hati, sedangkan saat inipun aku sudah merasa ada rasa suka. Sayang aku ditakdirkan jadi lelaki tulen. Tutur kata mereka begitu ramah dan nyambung. Aku menatap dan mencuri dengar.

Lelaki dengan baju kaos ketat bercerita tentang dirinya. Ia membuka diri. Katanya dia adalah mantan lelaki bejat. Sungguh bejat dulu. Masa muda yang indah oleh aroma kenikmatan duniawi. Seks, narkoba, kehidupan malam, minuman keras. Semua telah dirasakan, semua tanya telah dijawabnya. Ketertarikannya pada sebuah tanya akan dalamnya sumur kenikmatan duniawi, sudah terjawab. Katanya itu semua semu, tiada yang berbekas selain hanya kehancuran pada dirinya. Badannya penat dan letih. Pencariannya telah berakhir pada sebuah dasar dalam yang bertuliskan kata “dosa” pada dindingnya. Dan ia tak mau lagi mencari jawab.

Lawan bicaranya tersenyum, ia mengangguk pelan, coba memahami. Lelaki berkemeja biru itu terkadang menimpali dengan pendapatnya. Mereka saling mengisi. Seorang kawan layaknya harus seperti itu, walau mendengarkan kadang menjemukan. Lelaki berkemeja biru itu bercerita tentang rasa sakit hatinya pada wanita dulu, dulu sekali. Ketika sebuah keinginan tak didapatnya. Cinta dan benci begitu berbeda, tapi sungguh tipis jaraknya. Hanya dibatasi oleh selembar rambut. Empedocles, seorang filosof dari Sicilia (490-430 SM), berkeyakinan bahwa ada dua kekuatan yang bekerja di alam. Dia menyebutnya cinta dan perselisihan. Cinta mengikat segala sesuatu dan perselisihan memisahkannya. Inilah yang mempengaruhi unsur-unsur yang terdapat di dalam tubuh. Pada akhirnya tergantung pada kekuatan mana yang menarik kuat. Akan berbeda sekali bila segalanya dibaluri oleh kasih, kebencian akan melunak dan cinta akan dipenuhi oleh kerasionalitasan.

Aku teringat pada kemarin malam, di sebuah penginapan yang murah, aku dan adikku menginap semalam. Sungguh malam itu dibaui oleh cinta yang penuh nafsu. Di sebelah kamarku aku mendengar nafsu yang membakar habis cinta, memeras cinta menjadi rintih dan erangan kenimatan. Sungguh itu hanya sesaat. Sungguh semu, tapi mungkin hanya itu yang ingin dicari mereka dari cinta di sebuah ranjang. Dan diluar kamar aku mendengar seorang wanita yang tak rela “pacarnya” pergi, ia ingin memberi cinta, memberi dosa. Wanita itu sekali lagi luka oleh cinta, ataukah oleh nafsu?

Pasangan yang di depanku tertawa lepas. Saling bercanda tiada henti, mengusir kantukku. Mereka saling bercerita tentang kisah lama mereka dulu. Sepertinya mereka telah saling kenal sejak lama. Sungguh cinta mereka begitu panjang dan melelahkan. Seperti lelahnya pengamatanku saat ini. Mungkin sebentar lagi aku akan sampai di Gambir setelah hampir dua jam Kereta Api Parahyangan ini membawaku dari Bandung sejak sore tadi. Dan aku masih mengamati file-file kehidupan yang terbuka ditiap detiknya.

Kereta telah mencium tepi stasiun Gambir, manusia-manusia menatap pada gerbong-gerbong yang mendekat. Penghuni Kereta Api pun telah berkemas diri, semua bangkit dan menunggu saatnya berhenti.

Aku sekali lagi masih mengamati. Mengamati lalu-lalang manusia yang bergegas, ada wajah lelah, ada pancaran kegembiraan, kerinduan. Ada yang hanya diam, ada yang resah. Aku mencari pasangan muda di depanku tadi. Di sana di dekat pintu keluar stasiun. Mereka kini tak lagi berdua, jalan terpisah, terpisah sangat jauh. Di sana telah menunggu seorang pemuda lain yang menyambutnya. Memeluknya hangat penuh kerinduan. Dan seorang bayi yang baru berumur sekitar dua tahun ada di antara mereka. Dan lelaki masa lalunya, yang menemaninya di perjalanan tadi, hanya bisa menatap di kejauhan. Tak ada rasa kecemburuan, tak ada rasa menjadi orang kalah. Ia hanya menikmati mimpi-mimpinya tanpa ada ingin memilikinya kembali, sebab itu sungguh sangat mustahil. Dan tak ada tanya untuk itu.

Aku mencari adikku, ia jauh tertinggal di belakangku. Adikku sedikit agak berjalan tergesa-gesa menghampiriku, menyejajariku.

“Sorry agak lama di toilet. Dan aku mau muntah melihat pemandangan di salah satu kamar mandi tadi. Ada dua pasangan yang saling berpagutan, begitu ganasnya. Seakan takut untuk berpisah. Mereka itu dua lelaki tampan yang duduk di belakang kita”kata adikku, ada nada mual di perutnya.

Kepalaku ikut mual, bukan oleh cerita itu. Tapi oleh tanya-tanya yang dari dulu belum pernah terjawab. Seperti apakah bentuk mu itu cinta? Begitu ganasnya racunmu. Dan kembali aku terus bertanya-tanya pada setiap langkahku.


Bumi Parahyangan, 1-2 September 2002
Catatan pada sebuah perjalanan.

Friday 6 September 2002

Na Sonang Do Hita Na Dua


Oleh Goenawan Mohamad

Derun-derum daun Ithaca
seperti lagu
di radio masa kecilnya
Na sonang do hita na dua

Tapi tak ada lagi
orang yang berdua
(itulah komposisi
dalam nasibnya)

Yang ada hanya seseorang
yang membetulkan rambutnya
yang menipis, di pelipis
dan melihat ke akhir agenda

“Cinta kami adalah
dua nomor telepon yang hilang
dalam perpindahan
yang panjang”

Derum daun-daun Ithaca
brisik kersen tua
angin musim ketiga
mengontak ketakacuhannya

Tapi kamar telah menyetop
surat-surat
Juga Tuhan, kematian
dan rasa sakit di kejauhan
dengan siapa kita akhirnya
akan berada, akan berdua
seperti lagu
di radio masa kecilnya

1991