Friday 30 August 2002

SMS


(Jatuh Cinta Pada Bip yang pertama)

Hembusan nada dari lagu yang menenungku menghentikan kehidupanku. Suaranya lamat-lamat kedengaran di malam yang menyepi ini. Walau pegal sedari tadi tak mampu hentikan jemariku menari, karena otakku kencang berlari. Kata-kata terus meluncur, mengalir, memecah selayaknya sel-sel yang membelah diri terus menerus membentuk jaringan. Dan tubuh dari tulisan mulai rampung, tinggal diperlukan sedikit nyawa untuk menghidupkannya. Aku ingin menyihir pada segala pembacanya.

Kebiasaanku mengatakan apa yang aku yakini pada semua huruf-huruf yang berbaris rapi terkadang membuahkan sebuah tulisan walau itu terkadang adalah dialog pada diriku. Dan itu menjadi begitu nyata ketika semua nyawa-nyawa di rumah ini telah singgah pada keheningan malam. Aku mendapatkan segala percakapan pada keheningan ini, tak ada yang lebih indah dari mengungkapkannya. Bukan seperti mengigau diketidak sadaran yang aku yakini juga merupakan dialog yang terjadi di dalam mimpi. Realita yang terjadi sama, tapi mimpi kadang tak bisa dikenang kembali dengan sempurna, ingatan selalu memungkirinya. Bukankah ia hanya bunga mimpi, mekar di saat akal tertidur.

Kopi dan rokok teman yang setia, satu pelepas kantuk dan satunya lagi bagiku adalah penyambung nyawa. Hembusan yang aku yakini mampu mengalirkan kebuntuan, tercekatnya kebingungan dari mana aku harus memulai semua percakapan. Terkadang aku sedikit konyol, mengharapkan malam mampu berbicara, hanya sang penujum dan ahli bintang yang mampu bertahan menatap di kegelapan. Mataku merasa hampa pada kegelapan, pandanganku masih tak mampu menembusnya, andai aku bisa membaca segala hal di balik kegelapan. Malam bisakah kau berbicara?

Radio dari bilik tetanggaku sedikit mulai bersahabat, lagunya menemani. Tak terdengar suara-suara pemilik bilik, mungkin sudah tertidur atau mungkin ia sedang berpikir sepertiku. Lagu lama kembali melantun, sebuah lagu kenangan oleh Slank berjudul Anyer 10 maret.

Malam ini, kembali sadari ku sendiri
Gelap ini, kembali sadari kau telah pergi
Malam ini, kata hati harus terpenuhi
Gelap ini, kata hati ingin kau kembali
Hembus dinginnya angin lautan
Tak hilang ditelan bergalas-gelas arak
Dan kuterdampar…

Pengembaraanku pada jelajah ruang syair itu tergelincir, sebuah bip dari telepon genggamku (HP). Sepertinya ada SMS baru.

Apa kabarmu malam ini, aku rindu kamu
Sender : Bidadari
Sent: 12 januari 2002
1:30:14

Aku tersenyum sendiri, dia belum tidur. Bidadariku. Ingin aku membalasnya, tapi sudah dua minggu pulsaku habis. Isi dompet hanya cukup bertahan untuk makan dan membeli rokok hingga akhir bulan ini. Hanya bisa berharap dari gaji bulan berikutnya. Gaji bulan kemarin telah kupakai, sebahagian untuk membeli HP ini, sesuatu yang kurasakan kini sangat dibutuhkan untuk kemudahan komunikasi dilapangan selama peliputan berita atau tugas yang di jadwalkan padaku sebagai wartawan pemula.

…………
Malam ini, kita bernyanyi lepas isi hati
Gelap ini, kita ucap berjuta kata maki
Malam ini, bersama bulan aku menari
Gelap ini, ditepi pantai aku menangis
Tanpa dirimu ada disisiku, Aku bagai ombak tanpa air
Tanpa dirimu dekat dimataku, Aku bagai hiu tanpa air
Tanpa dirimu dekat dipelukku, Aku bagai pantai tanpa lautan
Kembali lah kasihku
Oooo…
Kembalilah kasih

Lagu itu masih melantun, belum selesai. Lagu dan isi pesan SMS, masa lalu…..

Ketika itu aku masih kuliah, diperguruan tinggi negeri yang katanya gudang ilmu. Kenyataannya justru lumbung itu penuh tikus, semua yang ada hanyalah calon-calon plagiator. Dosennya tukang jiplak penelitian dosen dari kampus lain, mahasiswa menjiplak penelitian para senior yang telah tamat duluan. Sesama tukang jiplak sungguh damai, tak ada saling menyalahkan. Rektor memberi label baru, kampus industri. Penghasil robot-robot manusia, yang telah diseting tanpa kesadaran dan nurani. Dan mahasiswa dikenal sebagai angka-angka, isi otaknya diperam dalam bilangan-bilangan jam lama perkuliahan dan kapasitas otaknya dinilai dengan bilangan-bilangan, skala 4 atau 5. Begitu juga mahasiswa, menilai dosennya dengan rupiah-rupiah.

Istilah kampus industri dipakai mbah rektor untuk mengimbangi pesan Mendiknas –Menteri Mendikte Nasib- dalam rangka penghapusan subsidi. Para peneliti kalang kabut mencari dana penelitian. Meneliti semut yang mengapa gandrung kerja, tinjauan kentut dalam etika kedokteran dihubungkan dengan adat istiadat atau pembelaan atas pembelaan atas pembelaan atas pembelaan studi kasus di partai beringin.

Mahluk yang selalu kutunggu di DPR (Dibawah Pohon Rindang) ini bukanlah tikus atau sejenisnya. Walau rambut sama hitam, jangan sangka ia akan terjebak oleh keju seperti tikus. Memandang kejupun ia akan berlari apalagi tikusnya. Berbaju biru celana jeans hitam dia menyapaku. Berbicara panjang kali lebar, tidak ada makna menyempit atau meluas. Semua lugas dan tak berbekas salah prasangka. Kutahu ia orang yang paling jujur kukenal setelah Tuhan.

Bunyi yang paling ku benci itu mulai bersuara. Bukan mendecit seperti tikus. Atau mengeong seperti kucing. Hanya bip. SMS masuk ke inbox.

“Lagi-lagi sms masuk, siapa sih dia?” tanyaku curiga. Aku bukan membenci teknologi atau karena aku tak memilikinya, tapi sungguh itu kurasakan terlalu mubajir. Mungkin karena aku dapat ditemukan dimana-mana karena aku selalu ada untuk tempat yang sama di tiap-tiap hari. Pagi hingga siang di kampus, sore di sekretariat, malam di rumah. Habis perkara.

“Temanku yang di Jakarta. Aku kan pernah cerita, abang ini yang membantuku dulu mencari bahan skripsi nantinya” katanya sambil tersenyum, sejuta arti ada dibibirnya.

“Isi pesannnya apa?’ tanyaku lagi menyelidik.

“Hanya biasa, tentang sekarang dia ada dimana. Dan pertanyaan apakah aku sudah makan siang”

“Bah. Kurang kerjaan dia, ibumu pun takkan seramah itu padaku. Memangnya dia mau kasih makan apa?” aku sedikit berang.

“Walah abang… inikan basa-basi. Bunga-bunga percakapan”

“Siapa pula yang merasa berbunga-bunga? Aku tak suka dengan segala keramahannya. Semua pria itu sama”

“Abang berarti melawan teknologi” ia coba mengalihkan pembicaraan, perdebatan yang kemarin-kemarin juga.

“Bukan aku melawannya. Tapi kuakui semua teknologi ada baik dan buruknya”

“Keburukannya apa sih bang?”

“Dia merayumu. Kata-kata itu berbisa, dapat meracunimu. Sejuta janji sejuta mimpi. Kebenaran dan kebohongan beda tipis bila dipakai sebagai rayuan”

“Abang marah nih, bukannya kata-kata abang lebih mengena dihati. Inikan hanya tulisan bukan elusan”godanya.

“Tapi kau akan ketagihan, seperti kerinduan bila kebiasaan itu hilang. Kau akan mengharap akan kabarnya. Mungkinkah kau sudah bosan denganku?”

“Walah bang kok segitunya. Aku juga sudah bosan menasehati abang menghentikan merokok. Bukannya itu juga ketagihan?”

“Jangan disamakan dong. Kamu melarikan pokok permasalahan nih”

“Biar abang tahu kalau abang juga egois. Mari berdemokrasi. Saling menghargai privasi.” Dia berargumentasi.

“Oh ini yang kau definisikan privasi? Oke aku tak akan memarahimu”aku meradang.

“Aku juga tak akan melarang abang merokok” dia naik pitam.

Kami diam, bisu. Angin terpana menangkap suasana dihadapannya. Suasana sejuk dibawah pohon ini mendinginkan panas di kepala perlahan-lahan. Seperti sudah ditakdirkan, lelakilah yang merayu wanita, mencoba untuk melunakkan hatinya.

“Maaf ya, aku cemburu. Aku takut kata-kata itu menculikmu dari ku” aku meminta maaf.

Dia hanya tersenyum, dia mengecup pipiku. Tapi matanya masih awas menatap pada genggamannya, HP itu.

“Bagaimana dengan deal tadi, berarti aku boleh merokok lagi dengan bebas”

“Boleh tapi tak ada ciuman” katanya ketus, marahnya bangkit lagi

Aku bengong.

Memikirkan antara pilihan berhenti merokok atau membiarkan hobi barunya, membuat aku bingung. Merokok sangat aku butuhkan, aku tak lengkap sebagai lelaki. Mencium juga kubutuhkan, aku tak lengkap sebagai pacarnya. Sama-sama kecut dibibir bila tak ada rokok dan cium. Tapi mengapa nyaliku hilang, bukannya aku bisa merayunya.

Hayalku terhenti sejenak, ada sebuah bip dari telepon genggamku . Ada SMS baru.

Yang bisa ku katakan malam ini, aku ingin selalu dekat denganmu
Mimpiku akan indah bila kau hadir di mimpiku,
peluk dan jangan lepaskan aku
Sender : Bidadari
Sent: 12 januari 2002
1:44:08

Isi pesan seperti ini, yang tak aku inginkan dikirim pada gadisku. Bukannya ini akan membuainya, seperti apa yang aku rasakan sekarang. Walau itu hanya kata-kata.

“Ok, aku setuju. Aku berhenti merokok, kau hentikan menerima sms darinya. Atau dari yang lain. Biarlah kau katakan aku kolot, tapi aku percaya kalau kata-kata dapat menghipnotismu, seperti mereka yang bercinta di cyber, di MIRC” kataku menyerah, bendera putih terkibar.

“Berhenti merokok total. Aku tak mau mendengar kau juga curi-curi merokok di belakang ku” dia memastikan kembali kesepakatan kami.

Sejak itu, jatahku kembali lancar berjalan, tak ada sunatan. Tapi bibirku tetap kecut pahit. Nikotin telah mengikat liurku. Mencium asap rokok di sekeliling aku jadi ketagihan, tak ubahnya melihat orang makan nasi goreng dan aku hanya bisa menatap sambil berlalu mencium aroma yang gratis terbang. Di kebiasaanku berkumpul dengan teman-teman, membuat aku jadi bahan cemoohan, lelaki yang penakut pada wanita. Wanita ternyata jadi sukarelawan yang terbaik dalam mengkampanyekan anti merokok. Selain rumah sakit yang menakuti dengan poster penyakit kankernya.

Kebiasaan itu tak berlangsung lama, sekali waktu aku mencuri-curi merokok setelah kami berpisah pulang. Dan kupuaskan seperti tak ada esok hari. Sungguh puas menarik asapnya. Menelan dan membuang sisanya. Dan lengkaplah kejantananku, tak perlu membeli viagara.

Namun sepertinya ia pun tak jauh berbeda denganku. Sunyi rasanya dunia tanpa bunyi bip itu. Tak ada nada yang lebih panjang dan merdu selain dari sebuah nada. BIP. Sepertinya ku bukan gagap teknologi, tapi keindahan nada tak dirasakannya lagi dari musik-musik atau siulanku. Atau bisikanku. Aku cemburu. Dia jatuh cinta? Pada BIP yang pertama?

Aku pernah curi-curi melihat beberapa pesan dari inbox di messages, ketika dia lengah meletakkan HPnya. Sejak kesepakatan kami itu, dia makin tak sembarangan meletakkan HPnya. Aku pernah protes untuk itu, tapi dia bilang ia tak mau HPnya hilang, karena memang ia sedikit agak pelupa. Pesan ini tak sempat di hapusnya :

Tadi malam sejak pembicaraan terakhir
Aku tak bisa tidur, ingat kamu terus
Sender : pangeran

Sungguh siapakah yang terindah di dunia?
Bungapun tak bisa menyangkal,
Dan mereka cemburu padamu
Sender : pangeran

Bangsat. Percakapan yang panjang tentunya di tiap malam. Dan mengapa aku harus cemburu? Pada pangeran? Pangeran kodok? Sialan, aku marah. Padanya aku bongkar semua itu, aku merasa tertipu. Dia terdiam, sudah kodratnya wanita diam. Mengapa harus ada kodrat lagi?

“Sejauh ini aku tak tahu tentang perkembangan apa yang kau rasa. Mungkin cinta tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Apakah kau telah terasuk dan diracuni oleh cintanya” aku menatapnya tajam.

“Dia bisa menulis apa saja. Dan haruskah kita marah oleh semua kata-katanya. Aku akui aku tetap mencintaimu. Aku hanya bersahabat dengannya. Tak lebih” dia menatapku, mencumbui amarahku.

“Tak ada asap kalau tak ada api. Aku tak mau kau terbakar oleh perbuatanmu sendiri”

“Percayalah padaku untuk itu. Semua kata-kata itu hanyalah sekedar huruf-huruf yang tak ada makna. Ikon-ikon yang tak punya rasa dan ekpresi”

“Tetapi bila terangkai dan bersanding di suasana yang manis, sebuah katapun dapat melambangkan banyak hal. Apalagi bila kata-kata itu terus menerus hadir, penegasan makna akan lebih jelas”

“Haruskah kau cemburu pada kata-kata. Dia tak dapat mengelusku. Hanya kau” dia merayuku, dan aku lemah oleh kutukan segala kodrat ini.

“Aku orang yang paling percaya akan kejujuranmu. Itu sudah aku katakan dulu dan berkali-kali. Tuhan pun cemburu untuk itu. Tapi untuk terakhir kalinya, aku tak ingin kau membohongiku lagi. Hentikan saling membalas sms itu. Aku tak mau mengatakan pilih aku atau sms. Sungguh hina aku memberi pilihan itu. Cukup ini kesalahan yang terakhir, aku tak mau ditipu lagi” kataku menegaskan. Dia mengiyakan dipelukku. Amarahku mereda, jauh direlung hatiku aku menyadari penipuanku. Sepertinya kebohonganku dengan rokok membuahkan hal ini. Sejak saat itu aku berjanji berhenti merokok total.

Tapi yang kupandang - di minggu-minggu yang indah setelahnya - tak bisa menipu, didepanku sendiri aku membacanya. Bukan halusiansi atau mimpi :

Biar kupagut bibirmu, kuremas dadamu, indah berlekuk.
Nafasku tak putus mendapatkan
segala keindahan milikmu
Sender : pangeran

Jangan malu melakukannya, ikuti nalurimu
Buang jauh segala ragu, biarkan aku merasukimu
Segala kerinduan mencair kini
Sender : pangeran

Malam ini aku bahagia mendapatkanmu
Dalam pelukanku, jauh dilubuk hatiku
Aku tak ingin kau menjadi milik orang lain
Sender : pangeran

Aku begitu marah padanya. Segala alasan susah kuterima.

“Dia marah ketika aku cerita bahwa kau membaca sms nya yang dikirim dulu. Dan dia memancing kemarahanmu dengan mengirim sms ini. Sungguh aku tak melakukan apa-apa dengannya. Sungguh, jangan kita terjebak oleh permainan kata-katanya”, ia menangis, aku tak perduli lagi. Aku telah berjanji. Kami dulu telah sepakat. Dan aku memutuskan untuk pisah dulu. Kini sudah 4 bulan lamanya aku tinggalkan dia. Aku beri waktu untuk memikirkan semua itu.

Apa kabarmu? Semoga kau bahagia dengan kata-kata nya.

Lagu dari bilik tetangga tak pernah terhenti, mencuri hening. Seperti sebuah narasi musik bagi ziarahku. Kasidah Cinta milik Dewa mengganggu, seperti mengejek. tapi kini aku merasakan hal yang lain. Sungguh indah kini. Apakabar bidadariku :

Kujatuh cinta kepadamu
Saat pertama bertemu
Salahkah aku terlalu mencintai
Dirimu yang tak mungkin mencintai aku
Oh Tuhan tolong…
Aku langsung jatuh cinta kepadamu
Cinta pada pandangan pertama
Cinta yang bisa merubah jadi
hidupku jadi lebih berarti
Oh mungkin hanya keajaiban Tuhan
Yang bisa jadikan hambanya yang cantik
Menjsdi milikku
……………..
Aku bukanlah lakilaki
Yang mudah jatuh hatinya

Dan sms kembali datang, tapi aku tak punya pulsa :

Rasuki aku dengan nalarmu dengan lenguh mu
Bibirku masih kering, tubuhku haus oleh keringatmu
Sender : Bidadari
Sent: 12 januari 2002
2:10:27

Bang, aku hamil 4 bulan. Oleh kata-kata
Bagaimana ini bang? Dia tak mau bertanggung jawab.
Selain hanya kata-kata. Maafkan aku dulu. SMS balik aku
Sender : gadis
Sent: 12 januari 2002
2:15:47

Maaf Dika, aku salah kirim sms.
Maaf yaaa…. :)
Sender : Bidadari
Sent: 12 januari 2002
2:17:27

Aku terpana, tapi aku tak punya pulsa. Untuk memaki.
Dan radio itu masih bernyanyi, untuk semua wanita, untuk semua setan yang menemaniku.

Sender : andika
Sent : 4.10 wib, 27 Agustus 2002

Tuesday 27 August 2002

Lingkaran


[ Siska dan dua malaikat atau dua setan (?) ]

Pagi beranjak dengan tenang, selembut langit yang pelan bersolek diri. Dan matahari mengusir gelap dengan senyum manis kelak berujung sinis. Embun-embun tak lagi bersantap masa, hilang berselingkuh digoda rona hangat angin yang mengusir mimpi. Beratus juta kebangkitan mencicipi kesadaran, melanjutkan rajutan keping-keping nasib yang berserakkan. Benang-benang nafas terpilin kusut tak jelas ujung. Sang penabur benih tersenyum suci memandang tuaian pada segala tanah yang subur, penuh bebatuan dan segala hamparan ladang kehidupan.

Pada kehidupan yang bermula di pagi, bunga berdandan molek. Kelaminnya memikat kumbang-kumbang nakal pemagut cinta, semuanya berjalan biasa. Tak ada yang merasa digerayangi, tak yang terlecehkan, tak ada dosa. Mungkinkah tak ada berahi pada mereka?

Kumbang akan menatap sedih pada bunga-bunga yang tertata rapi di meja ini. Dingin dan pelan-pelan berbisik mati. Tapi ia tidak mati sia-sia, hidup memberi arti. Keindahan dan kematiannya memberi damai, tak ada yang perlu terusik. Terusikkah mereka bila aku tetap sendiri?. Pelan pikirannya mendesah. Untuk kesekian puluh kalinya bunga-bunga ini dikirimkan padanya, pengirim yang sama. Beratus kalimat terangkai pada kertas-kertas kecil tulisan tangan, dan selalu berujung inisial yang sama. CT. Siapakah kau?

Kertas-kertas di meja jadi santapan pagi, setelah sarapan hangat dan segelas susu sajian Bik Miah di rumah tadi. Kembali ke kantor menikmati kesibukan diri, dan sorenya pulang mendapati rumah masih dingin dan sepi. Tak ada celoteh-celoteh menyambut atau kecupan hangat dari pria yang akan melindungi hingga pagi menepi kembali. Mengapa aku menjadi lemah begini? Pikiran yang tak pernah menjadi persoalan bagiku dulu, tak semenarik segala kasus yang kutangani. Aku bisa memenangi segala ajal bagi mereka kaum pesakitan, mengapa aku tak bisa membela nasibku? Ia merenung panjang.

Batinnya menari-nari, segala tanya terburai. Mungkinkah karena bunga-bunga ini, aku menjadi ingat kembali akan cinta? Akan kesendirian? Akan sepi? Bukankah itu pilihan yang aku yakini? Hidup tanpa pria bukanlah kematian. Karena patah hati bukanlah milik dewa maut lagi, itu hanya berlaku pada roman-roman usang. Gambaran lemahnya peradaban. Aku wanita mandiri yang punya hidup sendiri. Semua garis hidupku hanya satu, sendiri dan selalu menjadi nomor satu. Seperti di kantor ini, karirku telah cukup berarti. Aku memiliki kantor pengacara sendiri, dengan pegawai yang lumayan banyak. Tak ada yang pernah menatap kasihan padaku atau nada-nada ejekan sebagai perawan tua. Malah kumpulan wanita-wanita korban lelaki yang bertameng wanita karir itu, menobatkanku sebagai wanita karir untuk tahun ini. Bukanlah sebuah prestasi bagiku, tapi bergabung dengan mereka adalah sebuah penghinaan. Begitu bencinya mereka pada lelaki memunculkan pemikiranku bahwa mereka adalah kaum lemah. Bukankah Hawa dulu telah berhasil menipu Adam?

Bila dikatakan lelaki kejam, marahlah pada Adam.
Tiadalah harus keluar dari firdaus yang kekal, tiada lain bukan oleh karena bujuk Hawa. Kalah oleh kaum peng-ingin, mengidam sebelum waktunya.

Bila dikatakan lelaki itu kejam, tamparlah Adam.
Karena hanya itu yang bisa dilakukan, sebelum tangis mengalir.
Dari turunan Adam yang lemah, bibir yang kelu, lahirlah banyak kaum peng-iya.

Dan telah tertulis, Adam dungu oleh cinta.
Menjadi santapan wanita.

Tetapi tak dipungkiri, ia masih bisa ingat dia. Lelaki kecilnya pada waktu yang lalu. Matinya sebuah cinta oleh manusia berkelamin lelaki. Kini ia bukanlah mahluk pembenci lelaki, telah terlupakan semua itu. Itu justru akan melecehkan dan kesendirian bukanlah sebuah bentuk sakit hati. Ini hanya ekpresi keinginan menjadikan hidup sungguh berarti. Sungguh tiada benci. Dan ia menikmati hingga posisinya kini. Tapi sampai kapan kah aku begini? ucapnya pelan. Ohh bunga mawar, sungguh berbahaya sihirmu? Belasan tahun yang telah menguatkan, janganlah kau pergi…..

Sebuah langkah menjajari gadis yang berjalan pelan. Sepatunya seperti diseret. Rambutnya masih terkepang dua. 

“Apa kabar gadisku, kok melamun? Mikirin aku ya”

“Ah kamu Tom. Jangan suka ngageti begitu, entar jantungku copot”

“Waduh udah jadi nenek-nenek nih? Tapi neneku ini makin manis aja deh” goda Tomy.

“Sejak kapan kakekmu kawin dengan aku? Hehehe…” Mereka tertawa, rona asmara membaui langkah mereka.

“Sis, besok datang ya, ke pesta ulang tahunku. Kamu harus jadi yang paling cantik disampingku” pinta Tomy.

“Emang jadi jadi pestanya? Boleh juga tuh. Kamu mau aku dandan yang gimana?” kata Siska manja, coba lebih memikatnya.

“Hmm… apa ya? Yang membuat aku tak kan melupakanmu. Itu harus!” tegas Tomy.

“Seperti apa itu? Pakaian malam aja deh. Pasti takkan terlupakan” ejek Siska.

“Boleh kalau berani, entar kita samakan. Aku juga pakai itu”

“Emang pakaian malam mu warna apa? Kan kita harus seragamin. Lagi trendi kalau ultah memakai dress coat yang dipilih tuan rumah. Seperti pesta si Dian yang dress coatnya pesta taman ” usulnya

“Pakaian malamku, ya hanya celana dalam doang. Abisnya kamarku panas Sis”

“Sialan dasar mupeng. Muka pengen”. Siska berlari mengejar Tomy. Habis tubuhnya dicubiti.

Pesta berjalan meriah, musik mengalun indah mengantar segala resah menepi jauh. Siska tetap merapat dekat Tomy. Keduanya begitu ceria, semua mengagumi. Pada ruangan yang tertata indah, pada makanan yang bermacam-macam rasanya, pada acara yang begitu mengasikkan. Orang tua Tomy benar-benar ingin memberikan kebahagiaan pada ulang tahun anaknya yang ke 17 ini. Siapa yang tak memimpikan bisa merayakannya di ruangan ber-AC ini, di hotel berbintang lagi. Dengan mengundang penyanyi local tentunya.

Ditengah acara Tomy mengambil mikrofon, dan coba menarik perhatian. Tamu-tamunya yang terdiri dari teman-teman SMUnya mendadak tenang. Menunggu Tomy berbicara.

“Terimakasih saya ucapkan pada teman-teman yang telah hadir pada malam ini. Semua menjadi semarak tak lain bukan hanyalah oleh kehadiran anda semua. Pada usia saya yang ke tujuh belas ini saya mempunya kekasih yang cantik bernama Siska. Dan pada pesta ini, anda-anda akan menjadi saksi bahwasannya pada detik ini saya memutuskan hubungan dengan Siska” ucap Tomy dengan nada bangga. Sebuah senyum kemenangan menghiasi bibirnya.

Semua tertegun, diam hening. Menjadi saksi runtuhnya sebuah mimpi. Siska menampar muka Tomy dan berlari keluar. Membawa isak tangis, dan sejuta benci. Begitu teganya Tomy melakukan semua ini didepan semua orang. Dan segala kebohongan begitu nyata dari mahluk berkelamin lelaki, Siska bersumpah demi segala kebencian.

Sunday 25 August 2002

I MIGHT BE WRONG

I might be wrong
I might be wrong
I could have sworn
I saw a light coming on

I used to think
I used to think
There is no future left at all
I used to think

Open up, begin again
Let's go down the waterfall
Think about the good times
Never look back
Never look back
What would I do?
What would I do?
If I did not have you..

Open up and let me in
Let's go down the waterfall
Have ourselves a good time
It's nothing at all
Nothing at all
Nothing at all

by Radiohead

Aku Menggugat Tuhan

Aku menatap gedung itu, mereka berteduh di sana. Bersenda gurau sambil merogoh kantong, jemarinya tak cukup menggenggam segala keping keberuntungan. Beratus juta nyawa bergayutan dileher mereka, tapi wangi parfum mereka menutupi bau keringat dan mulut dari perut yang lapar. Kuping mereka tersumbat dengan segala negosiasi kapitalisasi dan globaliasi, dering tiada henti. Mereka makelar kehidupan, sementara kami hanya coba untuk memperpanjang hidup. Untuk detik-detik nanti.

Aku hanya seorang nyawa yang mencari hidup. Bagian dari jutaan korban pembangunan, keberhasilan dari meningkatnya angka yang melek huruf. Tercampak dari gerbang pendidikan diterlantarkan pada ladang tandus, dipagari konglomerasi. Lahan subur hanya milik mereka dengan segala kemudahan fasilitas. Kami bukan pemalas, tapi hawa panas mengeringkan keringat. Dan tanah itu tak lagi bersahabat. Bukankah telah didongengkan bahwa negeri kami subur makmur, kaya raya.

Aku tak membawa massa, mereka telah terbeli. Oleh janji-janji partai. Oleh hasutan kaum agamawan bahwa semua ini takdir, ini cobaan Tuhannya. Mereka telah dihasut oleh janji-janji revolusi mereka menyembah berhala demokrasi. Bukankah ketika demokrasi lahir menumbalkan kematian, sebuah kepala yang terpenggal. Bukankah Jesus Kristus disalibkan oleh karena tuntutan suara terbanyak. Mereka membebaskan Barabas. Mereka semua berseru “Ia harus disalibkan”. Namun Pilatus, wali negeri, mengambil air dan membasuh tangannya di hadapan banyak orang dan berkata “Aku tidak bersalah terhadap darah orang ini………”

Kinipun tak ada ubahnya, mereka mencuci tangan dengan tameng atas nama rakyat. Bukankah ini tindakan yang tidak ksatria. Ksatria akan bertarung oleh keyakinan yang benar, bukan oleh hasutan diri. Sekali pedang keadilan terhunus, kebenaran akan tegak pada mereka yang berdiri terakhir. Tapi mereka telah tuli, buta, bisu, tak punya nurani. Apakah mereka bukan manusia lagi?
Dan aku berdiri di sini, menantang untuk itu. Suaraku mungkin tak kan terdengar, tapi keyakinanku akan menjadi gunung es bagi waktunya nanti. Sebuah poster kecil bertuliskan:

“ENYAHLAH SETAN YANG MENGATAS NAMAKAN RAKYAT!!!. 
Sebuah perjalanan menggugat Tuhan.”

Aku meneguk racun itu, pelan terasa pahit. Panas menjalar tubuhku, menggelepar.

Aku terbawa terbang, terangkat dari jasadku. Jauh dibawah, keduniawianku tergeletak dikerubungi oleh pemburu berita yang menemaniku selama 3 hari sebelumnya. Tangan-tangan merengkuhku, membawa ketepian perhentian. Mereka tersenyum, ruh-ruh itu. Dan yang berwajah bercahaya menyambutku “Selamat datang anakku. Damai sejahtera dibumi dan di surga”. Aku ingin protes untuk persamaan kalimat terakhir itu, tapi tak elok untuk sebuah awal perjumpaan.

“Aku ingin bertemu Tuhan. Aku menggugatNya” kataku tegas, seakan tiada waktu lagi.

“Bukankah kasihNya melingkupi kita semua disini, di surga. Berbahagialah orang percaya tapi tak melihat” Dia sepertinya mencoba mensugestiku.

“Aku hanya ingin memuaskan Nietzsche, tentang pendapatnya bahwa Tuhan sudah mati,” aku coba berkelit.

“Justru Tuhan sangat ingin berjumpa dengannya, agar ia tahu bahwa Tuhan itu hidup”

“Ajak aku menuju taman di Eden ketika sang tukang kebun hidup”

Dan kami berpindah ke sebuah waktu yang berjalan, pelan dan indah. Kedamaiaan yang mengalir menghanguskan segala gelisah dan pada cahaya yang berpendar ada sejuta garis-garis pengharapan yang menembus segala pikiran dan hati. Kami berhenti diatas sebuah taman. Disebelah timur Eden. Ada suatu sungai mengalir dari Eden membasahi taman. Berbagai pohon tumbuh indah. Sesubur negeriku. Hewan-hewan hidup damai tiada kebuasan. Apakah tidak ada hewan pemakan daging? Sebuah tanya yang urung aku tanyakan, ketika aku melihat sebuah pohon ditengah taman. Mungkin itu pohon yang memikat Hawa. Dimanakah kau ular? Aku mencari dengan sudut mata.

“Apa yang ingin kau tanyakan anakku?”, ia menatapku lembut.

“Aku ingin bertanya tentang penciptaan manusia. Sepertinya Tuhan salah memilih tanah yang menjadi bahan pembentuk manusia. Kini manusia tak ubahnya dengan setan. Semakin berkuasa semakin biadab. Semakin bersenjata semakin buas. Mungkinkah tanah itu telah tercemar sebelumnya oleh kotoran setan atau Singa atau binatang buas lainnya?”

Dia tersenyum, “Tidak anakku, Tuhan itu benar adanya. Allah melihat segala yang dijadikanNya dan semua itu sungguh amat baik”

“Tapi mengapa Hawa begitu gampangnya dihasut oleh ular. Bukankah tak ada teori-teori kehidupan yang telah menyesatkannya.”

“Ular adalah hewan yang paling cerdik dari segala binatang darat dan setan berada padanya. Setan memberinya janji untuk menjadi sama dengan Allah. Bukankah Tuhan menciptakan manusia sebagai mahluk yang tertinggi. Mempunyai akal.”

“Bagaimana dengan malaikat dan setan?”

“Malaikat melayani Tuhan, hidupnya selalu melakukan hal yang benar. Setan jatuh ke dalam dosa, hidupnya menghasut manusia untuk menemaninya nanti di neraka.”

“Sungguh yang terjadi di negeriku, para politikus itu ingin menjadi Tuhan. Mereka memaksa rakyat untuk menjadi malaikat. Mereka ingin membuat aturan agama menjadi aturan politik, undang-undang. Mungkin suatu saat akan mengundang-undangkan agama. Karena agama sendiri telah dipolitisir. Bukankah manusia diberi akal untuk memilih yang benar dan salah. Menjadi pengikut setan atau Tuhan. Tuhan bisa membinasakan manusia bila terlalu kotor seperti Sodom dan Gomora. Atau menghancurkan menara Babel untuk mimpi berlebihan internationale atau globalisasi”

Dia hanya tersenyum.

“Sepertinya buah itu telah menjadi mimpi nyata bagi mereka. Keinginan menjadi sama dengan Allah. Dan mereka terpengaruh oleh mimpi Hawa. Sungguh wanita telah menggodanya.”

“Tapi Adam tak mencegahnya, bukankah mereka menginginkan. Dan Adam mempersalahkan Hawa untuk dosanya. Hawa mempersalahkan setan. Begitulah keturunannya. ”

“Seperti suatu saat nanti, dengan gampangnya akan mempersalahkan bujukan bantuan asing itu, padahal mereka telah lama tahu akibatnya. Mereka mengatakan suara rakyat adalah suara Tuhan, tapi mereka sendiri menjadi Tuhan bagi mereka. Sesungguhnya aku ingin menggugat kembali, tidakkah Tuhan salah mengambil tanah untuk menjadi pembentuk manusia? Mungkin tanah itu telah terkontaminasi kotoran setan atau singa buas.”

“Tidak anakku. Setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa, Tuhan mengutuk tanah. Manusia dengan bersusah payah akan mencari rezeki dari tanah seumur hidup, dengan berpeluh akan mencari makanan, sampai kembali ke tanah, karena dari situlah manusia diambil, sebab engkau debu dan akan kembali menjadi debu”

“Dan kami adalah tubuh yang terkutuk. Seperti ada tanah yang subur, ada yang gersang. Tapi tanah kami subur, mengapa rezeki kami tidak subur pula?”

“Tuhan menghembuskan nafas hidup yang sama ke pada manusia.”

“Seperti panas yang dimiliki oleh bumi, seperti dingin dimiliki bumi, hidup kami tidak damai lagi. Mungkinkah tanah-tanah itu telah dikontaminasi oleh kesuburan, oleh minyak yang melimpah, oleh emas yang tertanam, oleh perak yang terpendam, oleh air yang mengalir. Atau oleh dendam mayat-mayat mati tak bersalah, tak jelas kuburannya. Atau oleh jerit darah yang terkucur deras dari perang saudara. Tanah kami yang subur telah dikutuk kembali. Oleh keserakahan, oleh pembangunan, oleh air liur yang menetes, oleh dendam, oleh kebiadaban sepatu berderap, oleh bayi-bayi tercekik, oleh mani-mani kaum sundal. Oleh decak kagum kepongahan akan masa lalu”

Dia hanya kembali tersenyum.

“Kami tak lagi memelihara tanah kami, dan tubuh kami menjadi jahat, terkutuk kembali. Dan kembali berlipat peluh ditulahkan pada kami. Tiada lagi damai. Oleh karena apa yang kami miliki, mereka menjadi serakah karena mereka punya kuasa. Sungguh mereka menikmati semua itu. Dan nun jauh di negeri lain, mereka menatap segala kesuburan dan kekayaan tanah dan air kami. Dengus rakusnya panas terasa. Tapi mengapa politisi itu mau menjadi budaknya?”

“Anakku, Adam dan Hawa telah memakan buah itu. Engkaupun menjadi tahu mana yang baik dan jahat”

“Kembalikan aku ke tubuhku, aku akan mengatakan pada bangsaku untuk memelihara tanah agar tak terkutuk ketiga kalinya. Aku ingat sesuatu, hmm…..apa yang terjadi dengan ular setelah ia berhasil membujuk Hawa?”

“Ular menjadi terkutuk. Manusia akan meremukkan kepala ular, dan keturunan ular akan meremukkan tumit manusia.”

“Baiklah. Kembalikan aku ke tubuhku”

Aku kembali menjadi cahaya yang terbang, melayang menghinggapi tubuhku. Meregang dan menyatu. Sedikit bergoncang.
Suara-suara itu menyentuh telinga, menampar ketidaksadaran. Mereka masih berkerumun, menatapku penuh tanya. Mulutnya membentuk kata-kata.

“Apa yang anda dapatkan di sana?”. Mereka menantikan hasil perjalananku. Seperti janjiku pada mereka untuk keinginanku menggugat Tuhan.

“Mari kita remukkan kepala ular di parlemen, sebelum tumit kita diremukkan mereka. Sebelum kita tak dapat lagi berjalan, berdiri pada hidup kita. Aku tak lagi melihat ular di sana. Ia telah diusir dari Eden. Mungkin ada di gedung itu, dikantung baju mereka, di mulut mereka, di hati mereka, di kelamin mereka”

Pkl 2.30 wib, 23 Agustus 2002

Thursday 22 August 2002

surat cinta ke 11

oleh ihsan abdul salam 

ada orang yang masuk ke dalam kehidupan kita
dan berlalu dengan cepat,
ada yang tinggal beberapa lama dan meninggalkan jejak dalam hati kita
dan diri kita pun tak akan pernah sama seperti sebelumnya
kita akan menemukan kata-kata baru,
pengertian-pengertian baru dan juga sikap-sikap yang baru
kenal dan bersahabat dekat dengan seseorang
itu memang membutuhkan banyak pengertian, waktu dan rasa percaya
sahabat adalah harta yang paling berharga
sahabat adalah duka yang paling nestapa

Bukankah Surat Cinta Itu....

Bukankah surat cinta itu manis,
Manis menutupi luka teriris
Seperti mendung mendinginkan
Tanah retak yang haus akan hujan

Bukankah surat cinta itu indah,
Indah menyimpan seribu kenangan nanti
Seperti janji matahari pada sejuta pagi
Lalui siang tanpa mimpi, sudah nyata kini

Bukankah surat cinta itu masih ku tunggu
Ku tunggu engkau di tiap lonceng sang rabi
Seperti waktu yang terus menggerogoti,
Sampai kapan aku masih bertahan?

Pkl 2.15 wib, 21 Agustus 2002
Aku putus rokok malam ini, lebih sakit dari putus cinta

Siapakah yang Berdiri di Kabut Itu?

Siapakah yang berdiri di kabut itu?
Tuhan ataukah mereka

Tapak tak lagi berbekas
Tanah jijik oleh tetes keringat
Tapi kami perlu makan :
Anak-anak terus menjerit

Siapakah yang masih berdiri di kabut itu?
Perlahan turun untuk dilupakan
Tuhan ataukah mereka

Kota telah penuh, sejuta mimpi
Sawah pulas tertidur
Tapi Tuhan menanaminya
Untuk dilupakan?

Pkl. 1.30 wib, 21 Agustus 2002
Kemarau panjang, asap putih

Bulang

Kakiku menapak pada aspal , sedikit gamang dan telinga masih berdengung. Ada sedikit efek yang timbul dari penerbangan kali ini, yang memakan waktu berkisar dua jam kurang. Landasan telah menguap tampak dikejauhan. Udara panas kota ku kembali menyengat. Untuk sepuluh tahun lamanya aku telah tinggalkan. 

Bandara ini tak mengalami perubahan yang amat berarti, hanya polesan cat-cat ditembok dan jeruji pagar yang makin kekar. Aku ingat, dulu ada anak kebun di Dolok Masihul yang coba melihat Jakarta dengan menumpang pada sebuah pesawat udara. Bersembunyi pada ruangan roda dibawah badan pesawat. Dan dari ujung parit dekat tepi pagar sana, mereka berdua mengendap-endap ditengah malam. Sungguh perjuangan yang sulit dan berbahaya, tapi keingin tahuan mereka terpuaskan. Tipikal anak batak umunya. Dan jelas terlihat betapa rapuhnya pengamanan pada sebuah bandara sebesar ini. 

Aku tak perlu harus menunggu ngantri mengambil bagasi, karena bawaanku hanyalah tas koper kecil ini. Pakaian seadanya, karena memang itu yang ku perlukan. Aku mencari taksi yang akan mengantarkanku menuju kota di luar Medan. Kabanjahe, ibukota kabupaten Karo. Tak ada yang menjemputku, aku tak mau merepotkan kolega-kolegaku. Untuk memberitahukan kedatangan pun aku tak lakukan, hanya seorang wanita tua yang menantiku. 

Kota Medan masih tetap sama, tiada yang berubah selain makin banyaknya rumah toko (ruko) dibangun, tiada keindahan dari segala bangunan itu. Tidak ada mempertimbangkan nilai estetis lagi, hanya fungsi belaka. Malahan kerangkeng besi memagari jendela-jendela dari luar, seperti ketakutan yang berlebihan ataukah mungkin teraumatik dibulan Mei tahun 1998 dulu. Ketika melewati Padang Bulan, memancing lamunan melayang belasan tahun silam, saat aku masih menjadi mahasiswa di kota ini, masyarakatnya begitu menyatu dengan mahasiswa, karena mereka memang hidup dari kehidupan kampus. 

Itu sebabnya daerah ini tak pernah terjamah oleh para penjarah, karena semua ruko-ruko itu dihuni anak kost dan malahan banyak mahasiswa atau para pengangguran yang patungan mendirikan usaha kecil-kecilan. Biasanya rental, warnet atau photo copy. Dan ketika di bulan Mei itu juga, mahasiswa menyatu dengan penduduk setempat mengusir aparat yang coba menyerbu kampus untuk meredam aksi yang telah berlangsung berhari-hari. Perlawanan berlangsung makin memanas ketika kampus dikepung dan mahasiswa terpaksa harus tidur dikampus, sementara para pemilik kost kesepian di rumah, khawatir akan keselamatan mereka. Dan pengusiran pada aparat terjadi, membuahkan pemandangan baru di simpang kampus, dua motor polisi dibakar dan dipajang diatas pos kecil milik polisi di sudut perempatan jalan itu. Sebuah saksi.


Wanita tua menunggu di depan pintu, bibirnya masih mengunyah, berwarna merah oleh daun sirih. Irama yang berjalan lambat memelihara tubuhnya yang memang jelas-jelas sudah usang Wanita tua itu memiliki nada tanya.. Bangkit berdiri pada tulang punggung yang jelas-jelas telah rapuh, seakan tahu irama akan kedatangan. Sepertinya kami mempunyai getar yang sama, kerinduan akan tertumpah. Aku memeluknya, badan yang cukup ringkih itu. Bibirnya mengecup pipiku, kebiasaan lamanya. Mengusap bekas merah hasil kunyahannya.

“Mejuah-juah, apa kabar yang di Jakarta?” senyumnya sungguh tua sekali. 

“Baik. Nini (nenek) sehat-sehatkan?” aku menggamit lengannya mengajak masuk menuju rumah, setelah aku menyelesaikan pembayaran pada pengemudi taksi itu.

“Sehat, badanmu masih seperti dulu, kurus. Kapannya kau kawin?” dia tak putusnya menatapku. Seperti merayuku. Atau ingin mengunyahku.

“Hehehe…kalau soal yang satu itu, jangan lagi ditanyakan. Aku masih ingin sendiri untuk beberapa lama” aku coba berkelit.

“Kau cucu lelaki tertuaku. Kebahagiaanku adalah melihat keturunan mu”, ucapan yang telah biasa ku dengar dari mulutnya di setiap perjumpaan tiba.

“Akan ku beri semua tanah ku bila kau kawin. Anak-anaku tak akan berani meminta warisan itu, bila aku beri padamu” dia memberi aku janji atau sekedar basa-basi.

“Wah…. nyogok nih. Sejak kapan kebahagiaan ditukar dengan lembaran tanah. Dan lagian aku belum siap menyepi di desa, mungkin suatu saat kelak ketika aku tak punya nyali lagi di Jakarta “ kataku sambil merebahkan diri di kursi yang cukup tua itu. Kursi ini melebihi usiaku dan udara dingin desa ini telah mengawetkannya.

Wanita tua itu menyemburkan isi mulutnya ke dalam kaleng susu bekas itu. Mengambil yang baru dan membuat ramuann berikutnya. Kecanduan yang tak jauh beda dengan kebiasan merokok ku. Tapi sungguh nikmat, hangat asap rokok yang kurasakan di udara sedingin ini. Dengan secangkir kopi pahit tentunya.

“Kau bawa yang aku pesan itu” tagihnya

Adam

Aku masih berkata-kata, mengalir, membanjiri. Lautan yang terus mencari palung-palung. Mata yang tak henti mencari tepi cakrawala, diujung sana bumi dibentuk. Bulat tidak lagi kosong. Tapi ruh Nya tidak lagi melayang-layang. Adam lahir ketika lelah di hari ketujuh. Dan dosa lahir dari bibir wanita.

Sungguh engkau lelaki lemah,
Mengapa ‘tak usir saja wanita itu dari tamanmu?
Sudah cukup untuk sebuah rusuk yang hilang

Bukankah ada rusuk-rusuk yang lain
Hingga dadapun tak lagi berbentuk
Tuhan takkan marah untuk itu
Karena dosa bukan untuk dipelihara
Walau merahnya masih menggoda
Air liurmu akan mengering

Bila itu hanya sandiwara
Bukankah lakon akan dipentaskan pada epik-epik berbeda

Dan cerita masih tetap sama
Semua lelaki, lemah dan dungu
……….dengan cinta

Tetapi bukankah Hawa telah diperkosa Adam?

19 Agustus 2002

Adam dan Hawa

Bila dikatakan lelaki kejam, marahlah pada Adam. Tiadalah harus keluar dari firdaus yang kekal, tiada lain bukan oleh karena bujuk Hawa. Kalah oleh kaum peng-ingin, mengidam sebelum waktunya. Mata wanita yang buas akan hal terlarang, seperti para janin sejenisnya akan benda baru. Makanan para pedagang yang mengumpulkan seketip demi seketip ujung liur mereka.

Bila dikatakan lelaki itu kejam, tamparlah Adam. Karena hanya itu yang bisa dilakukan, sebelum tangis mengalir. Dari turunan Adam yang lemah, bibir yang kelu, lahirlah banyak kaum peng-iya. Akal mati, bukankah surga lebih indah dari wanita?

Bila dikatakan lelaki itu tak setia, bunuhlah Hawa. Telah cukup Adam berkorban demi seorang Hawa, untuk taman firdausnya. Dan ia meninggalkan majikannya. Bukankah Adam tercipta sebagai kaum yang lemah akan bujuk wanita, dan wanita tercipta oleh Hawa sang penggoda.

Dan sekali lagi, Adam dungu oleh cinta.
Atau itukah nilai terbesar yang dimiliki oleh lelaki?
Pengorbanan…..…
Menjadi santapan wanita.

19 Agustus 2002

Dan setan apakah kelaminmu?

Dan setan apakah kelaminmu?
Bukankah kau telah menggoda Hawa, yang lapar akan buah kebajikkan.
Dan mereka malu atas ketelanjangannya. Sungguh kini mereka tahu mana yang benar dan jahat.

Bukankah mereka kaum yang haus akan kebenaran? Puan segala keturunan, dari ari-ari yang ditanam. Orok yang berenang sembilan bulan lamanya. Sesungguhnya bayi-bayi itu telah mendengar segala bisikan akan kebenaran milik ibunya. Detak jantung itu yang memperpanjang kasih mereka pada sang puan.

Tiadalah mungkin lelaki akan menyakiti ibunya, tapi Adam tak memiliki ibu?
Tiadalah mungkin lelaki akan menyakiti wanita seperti ibunya,
tetapi Adam telah ditipu Hawa?

Dan setan apakah kelaminmu?
Sehingga harus ada lelaki yang menyakiti wanita, seperti kelamin ibunya.
Sehingga harus ada wanita yang melukai lelaki, sungguh mereka telah memakan buah kebajikan itu

Tetap saja wanita tak terbuka, mereka tahu itu jahat.
Buah apalagi yang kau beri pada nya?

20 Agustus 2002

Di sebuah Agustus yang merangkak

Di sebuah Agustus yang merangkak
Ada banyak tanya membengkak

Tentang waktu bergulir lambat
detik yang malas berputar
Angin masih berbisik terus
kehati-hatian…..
mungkinkah kematian?

Bandul terlalu menarik maju
Kaki terkekang erat pada nisan
tulisan kaum terkubur
Baunya milik ku
dan mayat-mayat menyingkir

Dan nadi masih berdegup
Otakku bukan milik kaum pemalas
Tapi pusara masih digerayangi belukar
Akankah sebuah mawar ku nanti?

seperti ada yang tertulis :

Cintaku seperti merah, merahnya Mawar
Yang keharumannya memenuhi udara
Ia menuntunku pada cahaya
Bukan kegelapan putus-asa


Atau waktu akan berlari
Dan kau tak ada lagi

19 Agustus 2002
Sebuah catatan
dari Konser Rock Opera Indonesia :

dipenghujung…

Bagaimana bisa percaya, jika harapan tak ada

Bagaimana bisa bicara , jika lidah tak ada
Bagaimana bisa melihat, jika mata tak ada
Bagaimana bisa mendengar, jika telinga tak ada
Bagimana bisa berjalan, jika kaki tak ada
Bagaimana bisa bersalaman, jika jari tak ada
Bagaimana bisa duduk, jika pantat tak ada

Bagaimana bisa memilih, jika nurani mati
Bagaimana bisa percaya, jika harapan tak ada

Mereka berarakan…..

Nabi-nabi palsu, politikus tukang catut
Seniman dan mahasiswa
Polisi dan militer
Bebicara satu kata, Indonesia Raya
ketika seminar dibuka dengan botol-botol anggur
ditutup dengan senggama
ahhhhh….

Jangan takut bila kita masih bernafas!!!

Jiwa-jiwa haus mencari lirik,…….bernyanyi

Nyanyian jiwa,
Sayap menembus awan jingga
Mega-mega terberai diterjang halilintar

Mata hati,
Bagai pisau merubah sangsi
Hari ini kutelan semua masa lalu

Biru-biru ku
Hitam-hitam ku
Aku sering ditikam cinta
Pernah dilemparkan badai
Tapi aku tetap berdiri

Nyayian jiwa haruslah dijaga
Mata hati haruslah diasah
Menjeritlah selagi bisa
Jika itu dianggap penyelesaian

Dan sang burung berceloteh……..

Mata kejora, kejora, kejora, kejora…
Mata kekasih berkerjap-kerjap
…………
Mata badik membelah uang
Mata sangkur, menghujam mata hati,
Padang rumput terbakar, mata api
Tetapi kekasihku dalam kalbu ini,
engkau mata angin harapanku

suara jerit mahluk terluka, luka, luka, luka……

Banyak orang dirampas, haknya
Aku bernyanyi menjadi saksi
Mereka dihinakan
Tanpa daya,
terbiasa hidup sangsi…

Banyak orang harus dibangunkan
Aku bernyanyi menjadi saksi
Banyak orang dirampas haknya
Aku bernyanyi menjadi saksi

23.58 wib, 20 Agustus 2002
Dari kamar ini aku nyatakan…

Kemerdekaan yang teraniaya
Buat bangsaku…….
Dan penyair menjadi saksi, dongeng pengantar tidur kelak

Monday 19 August 2002

Kita masih bermimpi

Kota diam
Semua terpekur, mati terlentang
Matahari telah hitamkan malam
Tapi kita masih bermimpi
Dunia yang indah di balik sana

Tuhan, mengapa kami harus bahagia?

Dirgahayu RI ke 57, dirgahayu RIS ke 1 ciptaan setan begundal parlemen

jangan nanti

Beri aku bunga sekarang
sekarang !
sekarang !
Jangan nanti ketika aku harus menghirup
tanah...

Aku masih menunggu gadis itu

Aku masih menunggu gadis itu. Menunggu langkahnya yang anggun memasuki gerbang pintu. Sementara manusia lainnya duduk hikmat, ada yang bersenda gurau dengan nafas tertahan. Dan yang berpakaian kebesaran hitam sedang berkonsentrasi dari balik ruangan lain. 

Alunan musik tidurkan mimpi duniawi di keset kaki di luar pintu. Pujian bergema getarkan setan yang mengintip dari tiap jeruji jendela, siapakah yang tak merinding kuduknya bila kepala ular telah diremukkan oleh gembala yang setia pada dombaNya?. Sesungguhnya bukan keselamatan yang ada pada kehidupan, tetapi kematianNya menyelamatkan. Sebuah penebusan.

Langkah yang kukenal itu belum terdengar, masih langkah-langkah lain yang berat dan terkesan disendat, mungkin diseret. Rutinitas terkadang menjemukan, ataukah ada keterpaksaan ? Bukankah disediakan waktu 6 hari bagi mereka, dan satu hari bagi penciptanya. Walau ada yang meyakini tanpa tembok dan atap, pujianpun bisa dialamatkan.

Ah, gadis itu sudah datang. Bergaun coklat muda dengan rok hitam, sungguh anggun. Rambutnya yang sedikit panjang tak menutupi pandangannya padaku. Seperti minggu-minggu yang lalu-lalu dia tersenyum padaku sebelum langkahnya berakhir di kursi itu. Kepalanya tertunduk, matanya terpejam. Seucap kata, berbisik pelan.

Lidah menyala-nyala, kata-kata mengalir. Keheningan dalam penemuan penciptaan, pujian tak terbendung. Lautan rahmat mengalir pada mereka yang meminta. Kuasa menjadi nyata pada yang mengetuk dibalik pintu, diberi pada yang meminta. Dan sang pengkotbah memuaskan jiwa-jiwa yang haus.

Disudut sana, aku melihat seorang lelaki kurus masih terpekur. Menunduk dalam kegamangan. Sepertinya dia ada disini untuk beberapa minggu-minggu yang lalu. Mungkinkah ia seorang musafir, pengembara untuk seluruh hidupnya. Dan kali ini jiwanya tumpah di sini. Sedikit pelan, namun masih sayup kudengar, “Tuhan, bila harus semua ini kujalani, jangan beri aku cobaan yang lebih berat lagi. Jauhkan cawan pahit itu dari ku”. Bibirnya kelu berucap.

Tapi aku sadar, lelaki kurus itu pernah datang setahun yang lalu di bulan Desember. Saat itu wajahnya penuh kasih, mekar berseri. Ucap doanya penuh syukur. “Tiada tempat yang layak aku memuji, hanya namaMu. Terima kasih untuk rencana Mu akan hidupku dan gadisku”.

Sepertinya tiada pengharapan menguasainya, perasaan tidak layak menghinggapinya. Mungkinkah ia orang yang merasa kalah? Dari mimbar, seruan terucap:

“ Sungguh, seperti tanah liat di tangan tukang periuk, demikian lah kamu ditanganKu (Yer. 18.6). Gumpalan tanah liat yang dingin dan tak berbentuk mungkin kelihatan tak berguna, tapi ditangan penjunan yang ahli bisa menjadi sesuatu yang langka dan sangat berharga. Anda mungkin ada yang berkata “mengapa hidup terasa begitu susah?”. Ensiklopedia Britannica menjelaskan “Keramik yang dikeringkan dengan sinar matahari tidak akan sekeras keramik yang dipanaskan dengan api, selain itu akan mudah meleleh jika terkena air. Pembakaran dengan suhu yang sangat tinggi, akan menghasilkan bejana yang benar-benar tahan terhadap kerusakan. Itu sebabnya Allah berkata “Aku telah memurnikan engkau…..Aku telah menguji engkau dalam dapur kesengsaraan”(Yes. 48:10). Hali ini dilakukan karena Dia ingin membentuk anda menjadi sesutau yang bernilai kekal. Bersandarlah pada Tuhan dengan dengan segenap hatimu, jangan bersandar pada pengertianmu sendiri. Jalan orang bodoh lurus dalam anggapannya sendiri, tetapi siapa yang mendengarkan nasihat ia, bijak (Amsal 12:15)”

Dan lelaki kurus itu menatap jauh ke dalam hatinya, dia berbisik “Maafkan aku telah meninggalkanMu dalam kebahagianku”. Sebuah senyum mengantar keraguannya tinggal dibangku itu, ketika mereka mulai beranjak bangkit dan keluar. Kebahagiaan memancar dari bulir-bulir kasih yang terurapi. Dan mereka saling bersalaman. Gadis itu menyalaminya, lelaki kurus yang tadi meringkih sendiri. Tersenyum. Dan meninggalkanku, tergantung di dinding ini. Dan aku masih menunggu senyum gadis itu, untukku dan untuk lelaki kurus itu. Walau itu hanya untuk tiap minggu.

Anak tiri ayah dan ibu pertiwi

Ada begitu banyak guru dimuka bumi ini dan ada begitu banyak juga teori tentang kehidupan. Semua saling menarik semua melirik. Tapi adakah mereka memiliki kesetabilan akan hidupnya? Tidak adakah keresahan pada diri mereka? Bisakah mereka menjadi bentuk nyata dari mimpi yang mereka tawarkan tentang kehidupan? Bilakah yang mungkin terjadi, kita akan menjadi bagian dari orang-orang buta yang dituntun oleh orang buta pula. 

Guru yang baik tidak akan menyuruh muridnya menjadi pengikut. Karena mereka akan menelan habis kepercayaan orang lain dan berhenti berpikir akan dirinya sendiri. Akan menjadi tidak merdeka, menjadi budak akan segala gagasan dan kepercayaan orang lain. Mereka mencari emas orang tolol.

Dikerimbunan perkebunan ini aku menjadi guru bagi mereka. Kaum marjinal yang puas akan hari ini. Sementara esok itu urusan lain. Dan nafas pengharapan hanya ada pada detik-detik yang baru berjalan. Bukan mengingkari takdir atau nasib, tapi kehidupan yang justru membentengi mereka.

Tidak ada lagi jiwa yang hidup, jiwa yang haus akan pemberontakan diri. Semua berhenti memikirkan dirinya sendiri. Keinginan untuk memperbaiki diri dan mencari kebenaran pada jiwa. Seperti seorang pendeta yang berusaha memurnikan jiwa kita dan kaum terapis yang berusaha memurnikan kesadaran kita. Dan seperti ahli psikologi yang justru memusatkan pada tingkah laku. Sesungguhnya mereka membuat kita menjadi korban pasif dari kehidupan dan menjauhkan dari penemuan kearifan batin diri sendiri. Adalah perbedaan yang besar antara menemukan kearifan batin diri sendiri dengan mengadopsi kepercayaan orang lain. Mendengarkan perkataan orang bijak adalah satu hal, menjadi pengikut adalah hal lain yang sangat berbeda.

Sebuah trauma akan masa lampau, menjadi cerita tak terucap. Bisikanpun akan membuat mereka menangis tanpa ada satupun meratap. Sebab ratapan mengundang maut, dan bibir akan terkunci selamanya. Kehidupan yang mengajarkan begitu.

Aku hidup dan nyata hidup untuk desa ini, kelahiranku 35 tahun lalu. Tiada yang berubah sekembalinya aku dari kota setelah 5 tahun lamanya mengejar mimpi menjadi seorang guru di sebuah institut keguruan negeri. Dan begitu beruntungnya aku memiliki orang tua yang menghargai nilainya ilmu, sebuah keinginan yang tertumpu padaku. Bisikannya selalu memenuhi otakku “merdeka kan kaum mu”.

Pada usia 6 tahun, aku telah diseberangkan ayah ke desa tetangga yang memiliki sebuah SD. Sedikit jauh dan aku terpaksa mengayuh sepeda kecilku untuk 2 jam lamanya. Sebuah perjuangan untuk seusiaku. Aku sering menangis, bila pagi muncul. Terbayang medan yang akan aku tempuh. Tapi itupun tak melunturkan semangatku karena ayah selalu menatap buas padaku bila aku enggan berangkat.

Sungguh aneh yang kudapat ketika di buku raport aku tak menemukan nama ayah dan ibu, aku dikatakan sebagai anak yatim piatu. Begitu teganya mereka menganggapku sebagai anak angkat. Dan aku masih mencari jawab hingga saat aku beranjak duduk di kelas 2 SMP. Aku dicalonkan mendapat beasiswa Supersemar karena nilai-nilaiku. Ayah sangat marah mendengar itu, tapi aku ingin meringankan bebannya. Sepertinya ayah tak sudi akan semua bantuan itu, karena dirasa keringatnya masih bisa mengalir.

Tapi mimpi tak lagi berujung, aku gagal melengkapi persyaratan. Ayah tak mampu menulis lembaran kertas permohonan. Bukan karena dia buta huruf. Tapi oleh sebuah pertanyaan yang sejak dulu belum terjawab. Ayah, anak siapakah aku sebenarnya?

Ketika aku kembali setelah segala perkuliahan aku selesaikan, terbentang jelas sebuah kematian yang masih berjalan. Ritual kehidupan yang tak pernah berubah selain lahir, besar dan dikuburkannya penduduk di desaku. Pagi beranjak untuk membangunkan, malam tenggelam untuk melelapkan. Tiada irama yang lain, selain itu. Selebihnya hanya berita ditemukannya si Murni di Batam digarap tamu Malaysia yang haus perawan. Atau si Anto jadi bandar ganja - pasokkan dari Aceh - tertangkap di Medan. Tak ada yang baru, semisal ditariknya kabel listrik ke desa kami, atau diaspalnya jalanan. Kaki mereka masih berdebu.

Dan akhir-akhir ini, mereka yang bersepatu hitam dan jalan berderap mulai lagi tampak muncul. Menimbulkan tanya walau debu bekas roda-roda mobil hijau telah bersatu dengan tanah. Dari si Mahmud, aku tahu akan ada pengukuran tanah, dan tanah mereka akan dihargai. Ini perintah dari Jakarta. Tidak bisa ditolak dan ditawar.

Atas nama pembangunan, pak lurah berkoar-koar di balai desa. Dadanya membusung menyerupai bapak gubernur. Bahkan mungkin melebihi.

“Saudara-saudaraku, Jakarta meminta kita memberikan tanah buat negara. Akan ada pembangunan bandara internasional disini. Sebuah kebanggan bagi kita, karena tanah kita yang dipilih. Ini sebuah rahmat. Mari kita sukseskan pembangunan”, bicaranya membual. 

Seakan ini sebuah rahmat, dan Jakarta itu Tuhan.

Dan seminggu kemudian, tampak patok-patok telah dipancang. Batas-batas tanah telah diukur. Semua dihargai sama, dengan alasan kita harus sama menjinjing. Tak ada nilai untuk tanaman yang tumbuh, tak ada nilai lebih untuk tanah dipinggiran jalan yang membelah desa. Ini menimbulkan geram di setiap malam, beberapa penduduk datang padaku.

Wednesday 14 August 2002

Mengenang 100 tahun Bung Hatta

HATTAl
lagu oleh Iwan Fals

Tuhan terlalu cepat semua
Kau panggil satu-satunya yang tersisa
Proklamator tercinta...

Jujur lugu dan bijaksana
Mengerti apa yang terlintas dalam jiwa
Rakyat Indonesia...

Hujan air mata dari pelosok negeri
Saat melepas engkau pergi...
Berjuta kepala tertunduk haru
Terlintas nama seorang sahabat
Yang tak lepas dari namamu...

Terbayang baktimu, terbayang jasamu
Terbayang jelas... jiwa sederhanamu
Bernisan bangga, berkapal doa
Dari kami yang merindukan orang
Sepertimu...

Lima Komposisi tentang Belajar Mencintai Tuhan


oleh Ahmad Yulden Erwin

1

selamat pagi, tuhan. biarkan aku berjalan.

2

han, harus kuakui, saat ini bagiku segala yang ada di langit dan di bumi telah tak berarti. hidup yang terus-terusan dihantam obesesi, ditendang ke kanan dan ke kiri, dipermainkan ilusi.
han, semakin kucari makna hidup ini, semakin aku tersesat di dalam rimba kontradiksi. kebaikan atau kejahatan? kenyataan atau pembodohan? kebenaran atau kebohongan? kebebasan atau penindasan? keadilan atau perbudakan?
han, siang ini: tak ada yang bisa kupahami.

3

tuhan, kulihat kelaminku berwarna-warna.

4

han, malam ini: aku berdosa.
namun, aku tak tahu, apakah saat ini engkau tengah menangis atau tertawa. hanya sebatas kesadaran yang tersekat dalam waktu, selebihnya aku sama sekali tak mengenalmu.
han, malam ini: aku terluka.

5

tuhan pun menjelma pada sekuntum bunga: akulah madunya!

Saturday 10 August 2002

Cintaku Singgah di Himalaya

Nepal, August 2002 

Pagi itu, matahari malu-malu menampakkan wajahnya, namun perjalanan kami dari Kathmandu menuju Nagarkot, sebuah desa 36 km ke arah Kathmandu, berjalan dengan pasti menuju arahnya bersembunyi. Melaju dengan kencang, debu berterbangan semakin menambah sesak pada kenderaan yang kami tumpangi. Bis kecil tanpa pendingin dengan penumpang berkisar 15 orang, yang sarat dengan koper-koper membawa kami melalui jalan-jalan pedesaan. Suara klakson tiada henti mengusir ayam, sapi dan pejalan kaki. Para pengendara sepeda dan rikshaw menutup hidung, pada sisa deru bis yang melaju zig zag. Tapi sepertinya hidungku juga mencium aroma yang lain, aroma khas ampas kehidupan, sisa kelezatan yang hanya singgah di bibir. Angin membawa masuk wangi kotoran sapi, parfum keluguan alam pedesaan. 

Selepas kota Bhaktapur, bis berjalan mulus mencium aspal yang berpasir, naik turun perbukitan, membuat perutku mual. Sesekali kami berpapasan dengan kenderaan yang lebih tak manusiawi, sarat dengan manusia dan kambing hingga ke atapnya. Mengingatkanku pada ribuan mil dari sini, sebuah daerah kelahiranku, yang katanya sekarang sudah menjadi negara sok maju. Dengan mengandalkan hutang-hutangnya. Padahal sudah menjadi hal yang tabu dan memalukan bagi adat ketimuran yang kukenal dulu. Seperti yang selalu diingatkan ibu pada ayah, memakan uang dari hutang sama dengan menerima kutukan dari setan. Sedikit kolot dan tak logis, tapi hidup kami tak pernah dikejar dengan ketakutan, karena uang takkan pernah habis beredar dan terus dicetak, mengapa harus ketakutan untuk mengantri hidup. Dan ayah mengajarkan untuk tidak serakah pada hidup, bila esok kita harus mati dengan perut berbunyi, hadapi saja. 

Lamunanku bersandar di depan Hotel Liberty Mountain Nagarkot, bis berhenti, suaranya mendecit keras. Aku berkemas membawa koper-koperku, dan mendapatkan kamar, dipojok pada lantai dua. Hotel ini tidaklah terlalu besar, tapi cukup bagus dibanding yang lainnya. Dari kaca kamarku, tampak jelas rentangan Langtang Lirung pegunungan Himalaya, menjulang tinggi menembus awan, puncaknya berselimutkan salju abadi seperti kapas yang putih. Sejauh mata memandang Himalaya menawarkan jutaan misteri, lekuk bumi yang menyimpan wajah dingin dibalik sangarnya terjal menjulang. Sungguh aku binasa dengan segala sudut yang terbentuk dari jutaan tahun bebatuan hitam yang hidup pelan dengan nafas bumi yang masih merayap. Sementara aku masih terus merasa rapuh di usiaku yang cukup berumur, yang terus mencari perhentian, karena mimpiku belum berakhir. Dan aku terjaga di ketegaran prasasti bebatuan itu. 

********

Dua hari kulalui di kota ini, keinginanku cukup besar untuk melihat dari dekat puncak Himalaya. Ini sebuah keharusan, karena aku telah menjejakkan kakiku pada tanahmu. Pada berjam-jam perjalananku, pada bermil-mil yang membawaku terbang. Dan untuk mendakinya mungkin aku tak sanggup, karena kakiku telah rapuh dan tulang punggungku sudah tak liat lagi. Namun kenikmatan yang tak terhingga justru menelusuri lekuk-lekuk tebingnya, menantikan misteri di depan mata. Seperti menikmati tubuh wanita dengan pakaian tertutup rapat, ada sejuta misteri yang menanti di ujung bibir yang menjalar. Sungguh eksotisnya yang merambat pelan dari imajinasi yang dibawa melayang, melambung mental.

Di lobby hotel aku memesan minuman, secangkir kopi hitam dan aku memilih untuk bersembunyi di sebuah pojok. Patjar Merahku belum habis kubaca, Matu Mona menarikku akan perjalanan sang revolusioner yang kesepian itu. Lampunya sedikit temaram, dan Tan Malaka membawaku berterang-terang dalam gelap. Tapi Tan, mengapa kau juga bilang bergelap-gelap dalam terang?

Perjalananku terganggu, pada pertemuan Tan Min Kha atau Vichtria atau Tengku Rahiddin dengan kawan lama Soe Beng Kiat, dengan Paul Musotte, Ivan Alminsky, Darsonoff atau Semounoff. Beragam penyamaran. Tapi yang ini bukan lagi samar, nyata asli bentuknya. Jelas terlihat lekuknya, karena dia bulat sedikit menyembul keluar di sela pakainnya yang memang agak ketat. Dan sepertinya kopiku tak perlu ditumpahi oleh isinya. Aku sedikit malu menyadari pandanganku terlalu memagut miliknya.

“Kamu dari Indonesia?” tanyanya sambil duduk didepanku, sebelum aku mempersilahkannya.

“Benar, kamu kok bisa yakin begitu?” tanyaku, menatap lekat padanya. Seperti mimpi.

“Bukumu, Pacar Merah Indonesia “ ucapnya, sambil membakar sebatang rokok. Bibirmu membasahinya, memberi rona merah pada ujungnya. Mengisapnya pelan dan menghembuskan asap putih.

Monday 5 August 2002

Parade Puisi di Kamar Remang


(celoteh dinding II)

Desahmu, nikmatku

Hidup di desa damai, di kamar ini surga

Sampai kapan aku harus begini………

Aku tak mau dimadu, ku tunggu dudamu

Ibu aku salah, maafkan aku

Badanku milikmu, kantongmu aku yang punya

Bang Joni jangan lupakan aku

Semua lelaki sama, hanya jujur di ranjang

Sungguh indah janjimu, perawanku kau renggut

Jangan pernah berharap cintaku, aku milik semua

Anakku, jangan pernah ikuti ibumu

Turunkan sewa kamar, naikkan tarif perjam

Goyang dombreeetttt……..

Sesama sundal dilarang saling memotong

Jaga langganan, beri goyangan terbaik

Jangan lupakan kami kaum TERTINDIH

Hidup Soekarno, hidup Soendal!!!

Bahasa yang sama hanya di ranjang, desah……

Satu hati satu rasa , sama-sama enak tenaaaann…

Hanya satu kata, LELAKI ITU BABI!!

Tetesan

Semua meratap, semua mengais
Pasrah lucuti akal yang mati
Dari mendung yang melingkupi, langitpun menangis
Tetesan bayi-bayi jatuh dalam pelukan
Dimana bayi Mesias?

Dan bumi masih menangis

Dan bumi masih menangis,
sang empu telah hilang akal
Rantai-rantai kepala tidur terpasung
Tanah masih retak dan kering
Semua meratap di liang kuburnya
Dan benalu-benalu tak pernah mati
Meranggas di tiap nafas.

Barisan manusia bertambah di depan pintu nasib
Kami telah lebih buas dari binatang
Gambaran dari wajah Mu kah?

(selamat datang saudaraku (600.000 orang telah kembali) mari bergabung bersama kami
dalam parade jutaan pengangguran)

Parade puisi di Toilet

(celoteh di dinding)

Apa yang telah kau ucap jangan dikecap

Oh…Jane I love U

Jangan lupa kirimkan kabarmu, batin ini takkan lupa

Indahnya tubuhmu, sungguh palsu janjimu

Deritamu, deritaku

Bilakah suatu hari kita akan bertemu?

Setinggi-tingginya burung terbang akhirnya ke toilet juga

Reformasi mandul, Amien masturbasi

Jangan beri kami janji, tapi mimpi

Jangan buang pembalut sembarangan

Mega, perut kami sudah terlalu sering mules, kami lapar

Mulutmu bau, seperti kotoranmu

Besar kecil Rp. 500,-

Dilarang ONANI, apalagi korupsi

Setelah dipakai, jangan lupa membersihkan

Jaga kebersihan, demi kemakmuran bersama

Turunkan harga barang, tinja kami terlalu keras

Suara yang memanggil

Gadisku sudah terlelap. Senyum masih menghias di bibirnya yang kecil. Rambutnya tergerai di atas bantal. Ujung bajunya sedikit tersibak. Aku merapikannya, dan memberi selimut, yang merangkul hangat.

“Hmm…. selamat tidur sayang, dewi mimpi akan mengajakmu terbang ke peraduannya.” Dan aku beranjak menuju kamarku. Yang sepi dan tak ada gairah. Kekosongan yang terhampar, sedingin kasur yang terbentang.

* * * * *
“Semua sudah siap? Makan yang banyak ya sayang. Jangan takut gemuk, itu ketakutan milik orang dewasa,” kataku di meja makan pagi itu. Aku memandang lahapnya bidadari kecilku. Kecantikannya sedikit terusik dengan noda makanan di pipi. Aku menyingkirkannya dengan ujung sapu tangan.

Seperti biasa setelah makan, aku membiasakannya untuk menyambut pagi dengan keceriaan. Dan gadisku pun mulai bernyanyi,

“Dikepak-kepakkan tanganku. Digoyang-goyangkan badanku. Agar tubuh sehat dan kuat. Untuk dapat memuji Tuhan. Digoyang-goyangkan kakiku. Digeleng-gelengkan kepalaku. Agar tubuh sehat dan kuat. Untuk dapat memuji Tuhan. Goyang kiri, goyang kanan. Putar kiri, putar kanan.”

Tawanya berbinar. Aku terkekeh sendiri memandang badannya yang sedikit gemuk berlenggak-lenggok ke sana kemari. Aku rasa sudah cukup olahraga paginya, sebelum isi perutnya akan tersedak ke luar. Dan selanjutnya seperti biasa aku mengantarnya pergi, ke tempat tuntutan ilmu yang bermuara.

* * * * *
“Pa aku takut sendiri tidur di kamar,” katanya sambil merapatkan tubuh di pinggangku. Seperti biasa aku selalu memberinya dongeng sebelum matanya redup terpejam.

“Takut pada apa? Tuhan akan menjaga mu. Kan kamu selalu berdoa sebelum tidur,” kataku menenangkannya.

“Suara-suara yang memanggilku. Sudah seminggu begini terus Pa,” katanya sambil menatapku. Ada ketakutan di bening bola matanya yang kecil itu. Matanya tak menipu.

“Itukan hanya mimpi. Tuhan memberimu bunga-bunga malam. Sungguh indah teman yang diberikannya,” kataku menjelaskan, mengusap keningnya. Mencubit pipinya yang bulat. Dan bibirnya mengingatkanku pada seseorang yang meninggalkanku, yang mencari jawab atas segala keresahan. Aku mengajarkannya sebuah lagu lagi.

“Dengar Dia panggil nama saya. Dengar Dia panggil namamu. Dengar Dia panggil nama saya. Juga Dia panggil namamu. O…giranglah. O…giranglah. Tuhan amat cinta pada saya.. O…giranglah. Ku jawab ya, ya, ya. Ku jawab ya, ya, ya. Ku jawab ya Tuhan, Kujawab ya Tuhan, Ku jawab ya, ya, ya.”

Gadisku tertawa senang mendapatkan lagu barunya. Dia terpingkal manja, sambil duduk di pangkuanku.

“Kalau ada yang memanggilmu, kau harus ingat itu. Nyanyikan. Mungkin Tuhan memanggilmu dan kau belum menjawabnya,” kataku sambil tersenyum. Gadisku menganggukkan dagunya yang indah. Kuncirnya bergoyang. Dan matanyapun mulai redup.

* * * * *
“Pa aku sudah menjawabnya,“ suara kecil itu membangunkanku. Rambutnya mengenai muka dan jalan nafasku. Aku mengangkat badannya tinggi-tinggi, dia menjerit manja dan terpingkal-pingkal. Aku terbangun olehnya.

“Dia bilang apa?” tanyaku mencoba menanggapi celotehnya.

“Hanya tersenyum, tapi indaahhh bangett…. Papa mesti menjumpainya.”

Aku coba menyimak isi mimpinya, tapi yang pasti tak ada lagi ketakutan itu di matanya. Dan kami pun seperti biasa menyambut pagi dengan ritual yang sama.

* * * * *
Setiap kali aku menemukan gadisku, dia tak lelah menceritakan mimpinya. Keceriannnya makin bertambah, milik wajah-wajah lugu. Tak ada lagi ketakutan akan malam. Sungguh aku telah memberikannya keberanian. Tidak seperti yang aku alami di masa kecil. Aku selalu ketakutan akan malam. Pada bayangan di kaca luar kamarku. Dibawah kolong tempat tidur. Seakan-akan ada makhluk malam yang memperhatikanku. Akan menculikku ke dalam mimpi hingga tak bangun lagi. Dan ibu hanya bisa menjagaku hingga aku lelap, tanpa bisa membuatku percaya akan penjelasannya.

“Pa, sepertinya papa harus bertemu dengannya,” kata gadisku, menyentakkan lamunan.

Saturday 3 August 2002

Creeping coup d’etat

Ibu, masihkah kau ingat,
Dengan memakai celana piyama berwarna krem
Dan kaos oblong cap Cabe
Lelaki tua itu meninggalkan istana
Menyeret sendal cap Bata yang sudah usang

Ibu masihkah kau ingat
Tangannya tidak memegang tongkat lagi,
Hanya koran besar, gulungan bendera pusaka
Dan telah lama hawa lembab mengikis kebesarannya
Dan kudeta sedang merangkak

Tiada lagi yang berteriak lantang
“Ganyang komprador kapitalis”
Kaum jelata tak punya induk semang
Marhaen mati muda ditanahnya
Dikandang sapinya

Dipersimpangan kelabu bulan Juli
Barisan rakyat membakar dupa
Membesarkan namamu pada panji yang berkibar
Semua merah, semua marah
Tangan keras tak mampu keluarkan isi otak mereka
Isi perut dan dendam
Tapi ibu kamu ada dimana saat itu?

Ditepi titi perubahan, kau berpagutan
Telah terlihat ranum, giurkan penjilat
Ucapanmu penuh keringat kami

Tapi ibu, kakimu tidak lagi menapak
Telah berjarak pada bayangan terpisah
Senyum diam tinggalkan jelata terkapar
di liang kubur masing-masing
Dan kami pun sadar
Kudeta sedang belajar merangkak
Rakyat terkudeta.

Gadis kecilku

Gadis kecilku berlari-lari
Dia tak mau minum susu
Dada ibunya sudah terbentang
Tinggal dijamah dan direngkuh
Putingnya dingin bergerigi

Gadis kecilku masih berlari
Jauhi ibunya, gua kelahiranmu
Mungkin ‘kah kau sudah bosan
Dengan bentuk dan rasanya
Sementara aku merindukan

Kau mencemburui ku

Meditasi Kamar Mandi

Di bawah pancuran aku pasrah
Pada air yang mengalir membasuhi tubuh
Mengenangi kepala, mengalir menjilati telinga
Membasahi bibir, mata terpejam
Nafas tersenggal tak karuan
Merayap dileher, mengusap-usap dada
Halus meliuk-liuk di perut, terpental jatuh ke bawah
Ada yang bergantungan, ada yang terjebak di kerimbunan
Akarnya menyerap semua butir-butir
Mereka sibuk mempermainkannya.
Mengitarinya tak henti, lembut
Nafasku tersenggal tak karuan
Aahhh………….

“Pa ini handuknya “ gadis kecilku menendang anganku

Oppsss, aku lupa tutup pintu dan…. Buka baju

Kau Memikirkanku?

Selama aku menatapnya, senyum itu masih bergayutan di bibir. 

“Kau memikirkan ku?”

Dia menatap, seperti semula aku menjumpai dan menyapa, hanya tersenyum. Kali ini aku tidak menanti senyuman, tapi kata yang terkuak dari bibirnya.

“Bukan….. Dia “, kata itu tertahan. Kau menggigit pelan bibirmu.

“Begitu berartikah dia, hingga kau tak putus tersenyum”

Dia gugup, disibakkan anak rambutnya. Jari mungilnya usap bibir yang basah. Sedikit ragu dia menatapku pelan, hanya dengan sudut mata. Kembali tertunduk.

Aku mendesah panjang. Menghadapi keheningan aku jadi gila.

“Terserah kamu. Kalau itu yang terbaik, aku tak memaksa mu”

Aku berlalu. Gadisku diam menatap langkahku, menjauh. Tak ada panggilan yang kuharap, walau itu sayup-sayup.

Sudah tiga bulan aku tinggalkan desaku, jalan yang berdebu. Kakiku menapak ditanah,perjalananku tiba dari kota. Aku menatap pohon nangka itu, ada kerinduan. Apa kabar gadisku? 

Di sudut yang sedikit tertutup, masih dengan rambut yang dikepang dan anak rambut yang jatuh, aku mengenal pemiliknya. 

Tersenyum di pojok teras depan, di kursi rotan tua.

“Kau memikirkan ku?” sapaku dengan kerinduan.

Tak berubah, bibirnya masih disitu, sedikit terbuka. Hanya tersenyum.

“Bukan…..Dia”. Kali ini bibirnya tak lagi basah dan merah. Mengering dijilat angin.

“Dia siapa?” aku menatapnya lekat.

”Dia yang tersenyum pada suatu malam”, senyumannya memastikan sebuah ketakjuban.
Aku cemburu. Kaki ku gemetar dan tanganku terkepal.

“Apa yang tidak aku ketahui tentangnya?” nada suaraku sedikit meninggi.

“Sebuah janji yang pasti. Tidak diucapkan. Karena dia tak berkata-kata. Hanya tersenyum.”. Dia berucap pelan, tak terusik marahku. Matanya menatap langit, memeluk hangat.

“Apa janjiku bukan kepastian. Perantauanku demi kita. Aku akan menikahimu secepatnya”, aku mengikatnya dengan kata.

“Tak mungkin. Dia telah memilihku, aku mempelai wanitanya. “ gadisku menatap tajam.

“Sehebat apa dia hingga bisa mengikatmu” aku balas menatap tajam, mencari kebenaran pada matanya yang membesar.

“Dia yang sanggup memberi malam dan siang”

“Pertemukan aku dengan dia “

“Jangan kau cari dia. Dia tidak kemana-mana” ejek nya

Aku bangkit beranjak. Batinku terusik.

Sebelum aku melangkah jauh aku bertanya “Sehebat apa dia? Lebih menarikkah dari aku?”

“Dia lebih menarik dari mu. Sangat tampan”. Ada sebuah kebanggaan diujung ucapannya.

Pekerjaan menyebabkan aku hanya mampir untuk beberapa saat. Ekspedisi barang antar pulau yang memakan waktu berbulan-bulan. Tak selalu pasti yang dituju, sesuai dengan keinginan Babah Acong. Tapi aku masih memikirkan mu, disetiap perhentianku, bayangmu tameng godaan dari sundal-sundal instan. Aku harus meminta ijin untuk cuti beberapa lama, kembali ke desaku. Desa yang tandus, yang dipenuhi oleh wanita dan anak kecil. Para pria pergi merantau untuk mengasapi dapurnya.

Kali ini aku tak menjumpainya di teras depan. Rumahnya seperti tak berpenghuni, tak ada yang menjawab.

Pada wanita yang menjinjing ember aku bertanya keberadaan gadisku. Gadis yang akhir-akhir ini selalu tersenyum di teras depan rumah itu. Dia menujuk ke ujung sana, dibalik bukit.

Aku berlari. Segunung rindu akan meletus. Apa kabar gadisku?

Di balik bukit, ditepi sungai aku menatapmu. Punggungmu putih terbuka, kakimu yang indah dijilati air yang mengalir. Impian banyak pria pada lekuk yang semakin jelas dibalik kain tipis basah pembalut tubuhmu. Ingin aku memelukmu dan memagut dadamu yang bulat. Siapa yang berani marah, karena kau memang calon istriku. Semua orang tau tentang hubungan kita. Tapi yang ku takutkan justru kamu, kau menolak setiap aku ingin melumat bibirmu. Katamu kesucian indah dimalam pertama.

“Apa kabar gadisku?” aku menyapa.

Dia berbalik, terkejut. Segera diselesaikannya ritual mandi.

“Aku bukan gadismu lagi. Itu sudah aku katakan dulu” katanya ketus berlalu tinggalkanku, membawa perlengkapan mandinya.

Kegembiraan ku mencair. Rinduku menguap pada didih amarahku. Hasratku melayang jauh.

Pada ibuku aku bertanya tentang kelakuan gadisku. Dia diam. Tangannya sibuk menyumpal ranting kering, mulutnya meniup bara api. Asap perapian menyesakkan mengalahkan isi dadaku yang telah terburai.

“Bu, semua tahu dia milikku. Pemuda mana yang berani mendekatinya?” tanyaku

Ibuku menatap, sedikit termangu, susah berucap. Dia menghampiri, duduk disamping. Sambil membetulkan letak kainnya.

“Sudahlah. Dia bukan milik mu lagi “ nafasnya berat, ada nada sayang milik seorang ibu.

“Siapa pemuda itu?” tanyaku menyelidik penasaran

“Kau sudah mengenalnya. Yang datang pada malam dan memberi mimpi. Gadismu hamil” ucap ibu pelan.
Aku tercengang, bibirku berat.

“Sayang bayinya gugur. Tapi itu sudah ditakdirkan. Dan pada kuburannya mengalir kembali kesuburan desa. Tidakkah kau lihat, padi sudah hijau, cabai mulai memerah, bunga kol mengeluarkan wanginya.” Ibuku tersenyum, sebuah kerinduan yang berabad-abad.

“Bukankah itu zinah?” aku coba mengetuk mata keberadaban ibu.

“Sungguh kemuliaan yang ada pada gadismu diantara gadis yang lain. Zinah melekat pada kemolekan tubuh mereka, pada dada yang ranum terpaksa, pada bibir yang merah oleh pagutan kekasihnya. Pada bokong yang rata, serata peraduan oleh tubuh yang menghimpit. Pada vagina yang kosong ” ibu sedikit berang oleh gugatanku.

“Kemana akan kucari pemuda itu?” ucapku tak tertahan

“Jangan kau cari. Dia tidak pernah pergi ke mana-mana”

“Apakah dia lebih tampan dariku?”

“Ya. Dia maha tampan”

“Seperti apa dia?”

“Kau tercipta segambar denganNya. Dan Dia pencemburu”

Tubuhku lunglai tak bertungkai.