Monday 30 December 2002

Di Penghujung Masa

Di penghujung masa, sebuah rindu terserak bersimbah darah
yang mengalir dari mata hati yang lama kering.
“………………..selamat tahun baru…………………..”

Langkah bergegas meninggalkan bayangan, semilir udara dingin terus memeluk tiada jera. Dekapku makin rapat, nafas terengah membaui malam. Ku gosok-gosokkan kedua tapak tangan mencari hangat. Sia-sia, dingin menjadi raja. Kehidupan menjadi pengembara di perjalanan bumi yang mati sesaat. Hanya bintang yang hidup dengan kerlap-kerlipnya, jauh di atas sana tiada perhentian, kemarin atau esok waktu tak lagi bermasa.

Perhentian tak lagi jauh, bayangan hitamnya bersandar di balik kedua pohon raja yang menjadi gerbangnya. Kebekuanku kian mencair meninggalkan tetes-tetes jejak yang tersapu bersama angin yang terus menerpa. Pilar kehangatan menyeruak di beberapa puluh langkah ke depan. Perapian yang menyambut dengan peluk dan sapa, kecupan dari bibir istriku tak kan terlewatkan. Melumat dan mengigit bibirnya, tak memberi ruang untuk berucap lagi. Tak akan aku sudahi untuk setengah jam pertama. Si sulung pasti akan marah dan berlomba mencari dadaku. Untuknya aku sudah siapkan tenaga untuk melemparkannya ke atas kepala, ia suka bila aku permainkan begitu. Seperti biasa putri bungsuku hanya akan menatap, menguji mataku yang tak akan pernah lupa mencari tubuhnya yang gembul.

Sudah seminggu lebih aku meninggalkan mereka bertiga. Di malam penghujung tahun ini, aku akan melewatkan waktu bersama mereka. Biarlah proyek akan dilanjutkan kembali untuk beberapa hari berikutnya. Sejak siang tadi istriku sudah wanti-wanti agar malam ini sudah ada di Bandung bersama mereka. Dia berjanji malam ini akan hadir surga di kamar kami, dibaui dupa birahi yang dimiliki oleh Adam saat Hawa tercipta telanjang di pagi hari. Kesepian yang dipunahkan oleh Nya. Sesungguhnya tahun tak akan pernah berganti karena waktu akan terhenyak oleh pagutan rindu. Nafas-nafas berkubang kata dan lirih memburu detik-detik yang berjalan lambat. Oleh asmara cinta kan bertambah muda walau waktu angkuh menawan umur menuju ufuk akhir zaman.

Gerbangnya sudah kudapatkan, langkahku terhenti mengantar ketukan tangan di helai pintu. Tak usah menunggu masa, cahaya lampu menyeruak keluar dari baliknya. Seraut wajah menyambut hangat, memeluk diriku yang masih mematung.

“Apa kabar sayang? Kami sudah menunggumu, mari masuk. Kamu pasti sudah kedinginan di perjalanan. Tubuhmu tampak membeku.” Tangannya membimbingku memasuki rumah. Tangan wanita itu kemudian terlepas saat wajah-wajah lain berhamburan ke arahku.

“Wah yang ditunggu sudah datang. Bawa oleh-oleh apa nih dari Jakarta?”

“Iya nih, sejak di Jakarta kamu makin cantik aja. Udah banyak order ya sekarang.”

“Mbak, ajak aku dong kalau lagi shooting sinetron. Aku pengen juga jadi selebritis nih.” Ucapan centil yang terakhir membangkitkan tawa, membius suasana menjadi lebih ceria.

Di sudut sana, di samping pohon natal yang masih terpasang, lelaki tua itu melebarkan tangannya. Menatapku penuh rindu, raut tuanya tak mampu sembunyikan sebuah penantian. Di kakinya aku bersimpuh, memeluknya hangat. Tangan tua itu bergetar mengusap kepalaku, menjemput tubuhku. Ada kerinduan menangis di pangkuannnya. Di penghujung tahun yang terus berjalan, tubuh tua itu masih mampu meredam kematian bersama penyakit yang telah melumpuhkan syaraf-syaraf motoriknya.

“Jam berapa dari Jakarta cah ayu?” tanya ayah.

“Sore, yah. Ayah sehatkan?” tanyaku balik.

“Ayah tak akan lengkap sehatnya tanpamu. Dari tadi ia hanya menatap pintu, kalau-kalau wajah putri kesayangannya tersembul dari balik pintu. Mbak Santi, Bella aja dicuekin, padahal mereka jauh-jauh datang dari Bali. Kalau si bontot emang sudah menjadi dayangnya, tak perlu ditunggu-tunggu mungkin,” canda ibu.

“Iya nih, padahal aku sudah bawakan baju kesayangan ayah. Tapi yang diresahkan kau melulu, dikit-dikit Ratna. Emang anak ayah hanya Ratna doang?” ucap Santi, si sulung. Bibirnya menari tak kalah hebat.

“Ah mbak, jangan gitu dong. Yah, aku nggak bawa apa-apa nih. Hanya kehadiranku pengobat rindu ayah,” kataku agak malu-malu.

“Yeee…. Kalau itu mah jangan disebut-sebut. Emang kau udah tahu, kalau ayah itu nggak butuh apa-apa, selain kehadiran gadis kesayangannya,” ejek Bella.

Aku hanya bisa tersenyum malu-malu di goda oleh ibu dan saudara-saudaraku. Pelukku kian rapat padanya, menyembunyikan merah mukaku. Entah mengapa, perhatian ayah terlalu berlebih hanya padaku. Mungkin secara fisik aku memang paling ayu di antara kami berempat yang kesemuanya wanita. Dan untuk itulah ia takut bila aku tak bisa menjaga diri oleh daya pikatku pada lawan jenis yang menatap padaku tentunya. Ia pernah berkata, lelaki manapun pasti menginginkanmu, untuk itulah kamu mesti berjaga diri dari kerakusan itu.

Berbaur dengan ketiga gadis yang tak putus-putusnya bercerita membuat suasana rumah kian ceria. Masing-masing berceloteh tentang pengalamannya sambil menyiapkan santapan malam menjelang tutup tahun. Kerinduanku pada suasana inilah yang terkadang membuat hambar segala gemerlap Jakarta yang menawarkan tawa-tawa semu. Bibir-bibir merah dan perona wajah tak mampu lukiskan keramahan, di baliknya gurat-gurat kemunafikan masih membayang. Kamuflase segala persahabatan, hanya sebatas saling membutuhkan. Selebihnya kalaupun ada kejujuran itu adalah keajaiban.
Tapi waktu begitu mengunci rapat oleh ritualitas pekerjaan. Uang menjadi pecut hidup, dan jiwa-jiwa dinilai sebagai angka. Begitu terlatihnya manusia-manusia mengais lubang-lubang tempat bangkai uang yang terpendam rapat. Sehingga terkadang untuk sebuah lubang, akan ada sebuah kematian. Uang milik sang pemenang dan lubang kubur bagi yang terkalahkan. Untuk semua kenyataan yang aku hadapi itu, aku merasa sudah saatnya aku hadir bersama mereka di sini tidak lain untuk sekedar mengetahui bahwa masih ada kehidupan yang mungkin purba bagi mereka.

Sebuah ketukan di pintu menyentak lamunan ku. Siapa gerangan yang datang pada saat waktu akan memberi tahun baru untuk satu jam ke depan? Tidakkah ia berniat melepas tahun dengan keluarganya sendiri?

Sebuah tubuh menggigil berdiri di depan pintu. Kudapatkan sebuah wajah yang menawarkan keraguan. Apakah aku bermimpi?

“Apa kabar sayang? Biarkan aku menyelesaikan langkah untuk mendapatkanmu di kehangatan rumah.” Suara yang lama hilang itu kini hadir bersama pemiliknya, aku menjadi malu oleh tatapku yang begitu rakus. Seakan saat itu aku ingin memeluk mimpi yang lama sembunyi di balik bayangan. Dan aku mempersilahkannya masuk, sambil tak lepas memandang langkahnya yang tak pernah ragu-ragu.

Ayah bagai mendapatkan sebuah kado yang melengkapi gunung kerinduannya. Baginya pemuda ini adalah putra kesayangannya yang lama bertapa di ujung jagad sana. Ya, di Papua untuk sekian tahun lamanya, bekerja pada sebuah pertambangan. Dan selain ayah, akulah yang tak mampu sembunyikan gemuruh dadaku yang kian berguncang hebat. Lelaki itu mampu membuatku untuk sekian lama menepis segala rayu wangi tubuh-tubuh tampan lelaki yang mencoba menggodaku. Tidak sedikit yang menawarkan segudang mimpi dan danau kebahagiaan. Tapi sudah lama jantungku ditambat olehnya.

Tanpa menunggu masa, aku menariknya menjauh. Ayah dan ibu hanya bisa tersenyum, sementara ketiga gadis itu makin menggodaiku. Kami terjebak pada suasana saling menatap di beranda belakang rumah, tempat yang sedikit tertutup bagi mereka yang berniat mencuri tatap pada kami.

Ia tersenyum sungguh indah. Ahh…. aku kian terkulai pada rengkuhnya. Pinggangku dipeluk tangannya yang kekar, tak ada niat meronta tubuhku kian merapat. Kian jelas bibir itu di depanku, membuka dan berjalan. Menyapa, menawarkan sentuh. Dengusku menjawab pasrah, kian membiusnya. Memberinya magnit yang menautkan kutub-kutub tak berjarak. Kian hangat menyapu bibirku, melumat tak lekang. Tak meninggalkan celah, bibir tak lagi berbatas. Aku menarik kepalanya kian merapat, menghabiskan basah di bibirnya, menghisap hangat pagut, menyapu rindu yang lama tercekat di langit-langit. Aku tak mampu lagi menatap matanya, yang ku tahu kami tak lagi berbibir. Kami telah sebibir. Untuk setengah jam lamanya nafas-nafas kami telah saling meracuni, saling memberi sentuh yang memagut.

Di rengkuhnya aku dapatkan kembali sebuah kehangatan purba. Jiwa yang bangkit dari kubur yang lama. Gairah milikku kian bangkit pada dekapnya, pada dadanya yang menawarkan degup bergelora. Aku bisa membaca irama detak jantungnya, bagai mantera yang mengucapkan sejuta kata-kata sihir yang kian memasungku. Begitu lemahnya aku pada pikat sihirmu sehingga bagiku hidup tertahan hanya pada detik ini. Bila pun aku berkenan, untuk detik-detik selanjutnya hanyalah detak jantung ini yang menjadi petunjuknya. Aku akan mengabarkan pada waktu, bila detak telah menjadi detik. Bila rindu telah menjadi peluk. Bila bayang telah menjadi kasih. Pelukku kian erat. Aku tak memberi waktu baginya untuk bercerita, seolah waktu hanya akan berniat memisahkan kami.

Di rengkuhnya, aku mencium pipinya dengan lembut. Sebaris bisik aku usapkan ke telinganya, “kapan kita tak kan terpisah lagi?”

“Kalau ego kita terkalahkan oleh rindu.”

“Kapan ego kita terkalahkan oleh rindu?”

“Ketika waktu menahan detik dan akal tak lagi berbicara. Hanya hati yang menjadi kejujuran.”

“Mengapa kita tak bisa mencoba untuk jujur?”

“Kita punya hati, tapi melupakan kejujuran. Rindulah yang bisa merekatkannya. Mari kita bicara rindu, kita tak kan terpisahkan.”

Kami terdiam sesaat, hanya peluk yang berbicara di keheningan.

“Kapan rindu kita kian menebal?”

“Ketika rindu tertahan pada detik, aku ada di hatimu dan kau ada di hatiku.”

Tapi detik kian tak tertahankan, walau rindu kian menambatkan cengkramnya. Bandul waktu menyelesaikan menit, dan penghujung tahun telah tiba.

* * *

Nyeri itu kian terasa, tanganku mengusap luka yang membekas di dahi. Perihnya kian tak tertahankan. Mataku masih nanar, bintang-bintang berpendar pada pandangan. Jalan nafasku berat berlalu, remuk di dada melahirkan sesak. Untuk sekian lamanya aku mencoba mengatur nafas, merangkai waktu mencari sebab. Aku masih tertegun di depan kemudi mobil yang terperosok kedalam parit dalam. Pandangan mendapatkan kaca yang pecah berserakkan, serpihannya mengotori luka dan tubuh.

Ahh….. mobilku telah membentur dinding parit ini. Ya, jalanan yang becek kian membuatnya limbung tak karuan. Andai aku tak gelisah mungkin kejadian ini tak kan tercipta. Sisa pertengkaran tadi menyebabkan mataku tak awas lagi. Otakku entah mencari apa. Otakku muak mengingat ucapan gadis muda itu. Serapahnya masih mengiang, ia tak ingin aku tinggalkan sendiri di kota ini, Bandung. Matanya sungguh tajam menatap kepergianku, meninggalkannya sendiri di hotel itu. Tapi masih ada rindu-rindu yang menanti di kotaku, istri dan kedua anakku. Dan gadis muda itu tak mau menerima kenyataan hanya sebagai teman penghantar tidur selama aku berdinas di sini. Walau sungguh aku akui, di kesepian aku tak bisa melupakan lekuk tubuhnya yang indah dari gairah yang ditawarkannya.

Tak perlu lama gelisahku melahirkan petaka. Baru lima belas menit meninggalkan hotel, ketika penat masih berkecamuk, aku mendapati tubuh gadis muda yang lain. Yang berjalan di rintik hujan menyebarang jalan. Otakku tak dapat memberi perintah yang benar, nalarku lumpuh sedari tadi. Depan mobil menjemput tubuhnya, roda-roda menindih dan meninggalkan tubuh menggelepar. Pandanganku terhenti membentur dinding parit dalam itu. Bagaimana keadaannya?

Aku mencoba membuka pintu dengan sekuat tenaga, dan mencari bayangannya. Tak jauh di belakang sana, seonggok tubuh wanita tergeletak pasrah terhampar di aspal yang basah. Kini bukan oleh rintik hujan, oleh genangan darah yang anyir. Tak ada senyum kudapatkan pada wajahnya, tak ada mata yang menatap rindu. Tak ada bibir yang haus akan kecup pada mimpi yang masih bergayut pada bayangan. Di ketidaksadaranku sesaat tadi, aku dibawa oleh rindu yang mati. Ketika puluhan langkah lagi, wanita itu akan mendapatkan rumah kediaman jiwanya. Rumah hatinya, menunggu rindu yang tak pernah terjawab oleh takdir. Di penghujung masa, sebuah rindu terserak bersimbah darah yang mengalir dari mata hati yang lama kering.

Bekasi,29desember2002

Thursday 19 December 2002

Jikalau kita harus mati malam ini

: selamat Natal

Di langit yang tiada awan semakin jelas membentang ruang yang tiada bertepi. Bumi bagai bayi di dalam ketubannya, dibaluti alam yang menawarkan berjuta misteri. Dan jauh di atas sana kemahaluasan bertahta, semakin terlihat kecil wujud dari kehidupan yang berjalan di bumi.

Seperti sukacita yang tampak pada wajah-wajah yang bernaung dalam gedung ini, malam menambah suci dari hati-hati damai pada jiwa-jiwa yang berserah pada penciptanya.

Di barisan dekat jendela yang terbuka, sepasang suami istri muda saling bertatapan. Ada keraguan pada wajah sang istri.
"Akankah malam ini sedamai langit yang indah di luar sana?"
"Damai menyelimuti pada hati yang berserah."
"Mas.......haruskah malam ini kita bertahan di sini?"
"Mengapa harus takut sayang. Bukan hanya karena aku ada di sisi mu tapi kita berada di keselamatan itu sendiri."
"Jika kita harus mati, masihkah engkau akan ingat namaku di sana nanti?"
"Di Firdaus yang suci, akan tersucikan nama-nama yang melekat di diri kita. Kita menjadi sama bernama kasih. Dan aku akan ingat engkau yang bernama kasih."

Sang istri tersenyum, digenggamnya erat tangan sang kasih. Hanya maut yang dapat memisahkan, karena mereka telah dipersatukan Tuhannya.

Tak jauh di barisan belakangnya, sepasang kakek dan nenek duduk bersanding tak kalah tenangnya. Bukan hanya oleh usia, tapi sepertinya makna kehidupan telah lama mengendap di jiwa-jiwa mereka.

"Nek, kita tak bisa bersama-sama anak dan cucu kita. Semoga mereka baik-baik saja di sana. Mungkin mereka sama dengan kita di waktu ini, mencari keselamatan padaNya."
"Jangan risau, berserahlah, tidak lama lagi kita akan berjumpa dengan mereka. Hingga kelak kita berada pada jarak dan waktu yang tak terpisahkan. Tanganmu akan kelelahan merangkul cucu-cucu kita yang kian bertambah banyak. Kasihmu tak perlu kau bendung lagi, saatnya tiba kita akan berkumpul bersama lagi untuk selamanya."
"Benarkah itu? Pada kehidupan yang abadi?"

Si Nenek mengangguk, senyum pada pipinya yang menua menyiratkan kepastian tiada menawarkan ilusi semusim.

Tak seperti mereka, di sudut sana sepasang belia tercekat dalam kesunyian. Bukan oleh nada-nada gita surgawai yang berkumandang, tapi sepertinya mereka menahan detik-detik agar tak melaju cepat.

"Gadis, akan kah esok kita masih bisa berjumpa lagi?"
"Mengapa harus kau tanyakan itu. Bukankah aku ada pada setiap tatapanmu?"
"Kuakui, aku tak bisa berpaling. Aku seperti seorang buta yang menatap hanya pada satu bentuk. Menatapmu dengan penuh kesadaran. Bukan bayangan lagi. Dirimu. Dan malam ini...... aku ingin ucapkan kata yang terpendam lama di hatiku. Tuhan penuh dengan kasih, ijinkan aku memenuhimu dengan kasih ku. Maukah kau jadi kekasihku? Cawan penyimpan tetes deras kasih milikku?"

Sesaat gadis itu terdiam, mukanya menunduk seperti kodratnya puan-puan di detik pada lakokn yang sama.

"Bila kasihmu seperti Dia yang mati bagi keselamatan mereka yang dikasihiNya, aku berserah pada darah cinta yang mengalir dari jantung yang ditombak. Aku juga sayang kamu. Sungguh ucapmu lama kunanti."

Tak terasa tangan keduanya bertautan. Mengalir sudah bulir-bulir kasih bagai burung yang lama menanti dahan.

"Bang apa benar berita-berita itu? Tentang berton-ton bahan peledak yang belum terungkap keberadaannya?"
"Yang terungkap hanya segelintir, itupun kalau benar hanya mereka pemiliknya. Mungkin malam ini gereja-gereja akan merayakan Natal dengan penuh kekhawatiran. Tapi kita semua yakin di rumah Bapa kita menuju ke keselamatan itu sendiri. Biarlah gedung-gedungnya hancur rata di muka bumi, Tapi Tuhan masih hidup di hati kita. Gereja bukanlah gedungnya, gereja adalah jemaatnya. Sama seperti lilin yang memberikan terang bagi sekelilingnya, begitulah kita menjadi sumber kasih. Dan rela memberikan diri bagi kebenaran seperti lilin yang cair menghilangkan ujudnya, tapi kita merasakan pengorbanannya."
"Jikalau kita mati malam ini. Tunggu aku di tepi taman Eden, di sumber kasih yang tak berkesudahan. Kita bersama akan menjaga beningnya kasih yang mengalir."

19desember2002

Tuesday 17 December 2002

Kala Kabut Telah Pulang

Entah apa yang menyebabkan kami hanya berdiam diri padahal sebelumnya tak ada kata yang salah ucap atau tingkah tak pada tempatnya, tak mungkin ada kecemburuan atau bibit perselingkuhan yang terkuak, wong bercerita panjang saja belum dinaskahkan, hanya sebatas kenal dia bernama gadis, ya, teman sepupuku yang berbaur menikmati indahnya kebun teh yang luas telanjang di depan.

Aku hanya bisa curi pandang selama itu tak dilarang, mencuri hatinya baru niatan sebelum akhirnya aku jadi penjahat pencuri jiwanya, ‘kan ku kurung di kamar-kamar hatiku yang tak berbatas karena hukum nabi pun tak mampu pancung niatan ku sebab kejahatan yang satu ini tak bersaksi, alibiku tercetak pada delapan penjuru angin, geraknya tiada berbayang bersama waktu kan tersusun ingin, pinta dan harap tindik menindik menjelma menjadi buku hidup.

Wujudmu tak samar jelas ada di antara empat tubuh yang mengantarai kita, memandang kabut yang malas turun menyembah pada embun-embun yang kian menua, aaaahhh…… mungkin seperti itulah harapku engkau hadir di balik kabut itu, berdiri, kan kuhampiri tubuhmu. Ijinkan aku menyeka embun yang nakal hinggap di rambut hitammu, lengkaplah sudah keindahan senyummu kelak saat jemariku usai mengusap tetes air yang bergulir ke pipimu.

Tapi bayangmu tak kujumpai di sana, hanya tapak-tapak kecil yang lincah berlari menyusuri jalan setapak di antara kumpulan pohon-pohon teh dan tangisan langit yang lalu melukis jejak sungguh pasti. Sungguh lincah langkahmu tinggalkan aku yang kian merapuh mencoba mengendus gerakmu, mungkinkah aku yang lama menepi mampu telusuri irama hatimu sementara cinta bagiku bukan lagi bagai permen yang hanya mampu meninggalkan manis atau asam di bibir saja. Bagiku cinta seperti buah larangan di taman eden yang dikerat oleh hawa dan adam, setelahnya kita sadar telanjang, sadar ‘tuk berniat sama, menjalani kutukan bersama, bukan sekedar mabuk oleh dawai-dawai petikan cinta dan jikalau nada menjadi sumbang kita ‘kan pasrah menyerah pada jalan yang bercabang-cabang.

Lambat laun langkahmu dapat kutarikan, tarian lalu yang pernah racuni sendi-sendi lututku, terjerembab di langkah terakhir. Kini tak kaku lagi, wangi tubuhmu terserak pada dada yang berguncang hebat, oleh ketidaksadaran mungkin atau keragu-raguan? Otakku menepis semua kepasrahan, selagi hidup bukan kendi-kedi berlubang, tak ada waktu tersisa.

* * * *

Tak terasa baju hangat ini kian menipis, angin nakal mencubit tubuhku, menyelesap lalui pori-pori membius kulit. Hangat tubuh kian terhantar keluar menjadi sama dinginnya dengan angin yang lalu. Angin itu membawa teman, kabut yang masih bermantel putih, kian lama kian manja menari di antara daun-daun teh yang pasrah pada pelukan alam.

Tapi di mata lelaki itu aku jumpai kehangatan, ribuan binar-binar yang terbang pada setiap pandangan. Adakah pemilik tanur keabadian itu? Seseorang yang setia menjaga ranting-ranting tetap marak melelehkan kebekuan. Keteduhan yang menghangatkan. Bila Tuhan ijinkan biarlah mata itu dikutuk menjadi milikku saja.

Kabut ya tetap kabut yang masih putih, entah dari mana mereka bertiup yang pasti lereng dan lembah juga bebukitan kian terwarnai. Tutupi pandangan bagi kaum pejalan yang lama merindukan teduhnya sebuah naungan, ya rumah keabadian. Peneduh yang lama aku impikan di usiaku yang masih belia, tapi aku masih was-was pada bayang-bayang di antara asap putih yang tersamar. Aku bukan kaum peragu, aku telah membangun rumah jiwa dari mimpi-mimpi. Sketsanya sungguh jelas, pondasinya kuat menahan, dinding dan atapnya tak tergoyahkan. Kesetiaan bagi mereka yang ingin bernanung di dalamnya bersamaku.

Penantianku di kursi tua di depan pendiangan api tak berbekas nyanyi, hanya percik-percik ranting yang terbakar dan suara angin kian mengusik di luar sana. Jendela telah terkunci rapat, tak kan ada suara dentuman daunnya yang saling menghantam, hanya sesekali burung hantu mencoba menggoda nakal. Akankah ada jejak-jejak melangkah mendekati pintu dan mengetuk? Andai ada suara yang memanggil namaku, kan ku buka baginya. Sebab rumahku tak bernama, tentu ia telah mengenalku. Dan biarlah di depan pendiangan ini aku berbagi kehangatan, mengisi kekosongan waktu yang kian menambah tebal debu-debu di peraduan. Merajut cerita kalahkan simpul-simpul di sudut-sudut langit rumah milik laba-laba hitam.

Oh, mungkin aku meracau. Mana mungkin ada petualang mampu tembusi badai kabut tebal itu. Langkah mereka akan terseok-seok terjegal akar-akar kayu yang lama menyelonjorkan zaman, kelelahan. Sementara mata angin lama tertidur, berputar bersama mimpinya. Mencariku adalah kesia-siaan bila mata hatinya tak lagi menjadi lentera. Dan aku bukan puan kaum penggoda yang menyalakan api unggun di padang yang luas terbuka. Aku tak mampu menjadi penari-penari bagai dewi-dewi turun ke bumi mandi di pancuran menjadi incaran kaum pengintai cinta.

Biarlah rumah jiwaku tersembunyi, rapat menjadi teka-teki bagi kejujuran cinta. Walau penat memakan waktu sendiri, tapi aku yakin akan ada langkah yang menghampiri. Seperti di detik ketika penantianku buyar di keping-keping keraguan, engkau berdiri di depan pintu hatiku. Melangkah pada tempat tubuhku bersandar. Engkau mengenaliku, mengucap nama dan menawarkan kehangatan yang aku rindukan. Matamu melelehkan penantian, menguap jauh bimbang.
Kala kabut telah pulang, engkau berkata, “Gadis, pakai baju hangat milikku ini. Kau kelihatannya mengigil sejak tadi. Mari kita pulang, teman-teman telah menunggu di mobil.”

Puncak, 7desember2002

Monday 16 December 2002

Mereka Menguliti Bulan

--- menuju revolusi di bulan ke enam

Nafas malam itu
bukan lagi sebuah tafsir.
Tidur sudah terjaga, kunang-kunang
berlutut di kelahirannya.

Suara-suara menjadi batu
di tiap detik yang membunting jadi gunung.
Kian melambung, kian membumbung,
nasib tak mau lagi disunting.
Kuali retak tak bisa menanak.
Teranak perih bayi-bayi dendam
berkalung kapak-kapak.

Bernama massa, mereka merangkak.
Nurani terpanah di satu titik.
Malam ini,
nafas bukan lagi sebuah tafsir.
Di mulut gunung
kapak-kapak teracung
menguliti bulan
di purnama yang ke enam.
Bernama kota tak berbekas.
Darah berbayang di rembulan

16desember2002

Kini Saatnya

Muda tiada lagi masa,
bila hari kian tua
keringkan jejak-jejak menuju
mimpi bunda.

Tiada waktu,
inilah saatnya.
Setelah musim menanggalkan jubahnya
borok kian membekas.
Pintu zaman lapuk oleh syair-syair.
Benteng itu sama tuanya
dengan sejarah yang kita ciptakan

Pada jalan yang kian samar
mata muda menuntun angin
rangkul bahu ayah dan bunda
jabat tangan kasar milik petani
cium asinnya keringat nelayan
bangkitkan sadar sang buruh
untai semua harap yang kian cemas
berbekas di ujung mata

Bila kita telah lurus berbaris
Apa lagi yang kita tunggu?

Wednesday 11 December 2002

Sore bersandar pada lamunan

Sore bersandar pada lamunan
sementara angin kian menggigil.
Hanya titah terucapkan
: berikan aku air kehangatan.

Bukan sepoci air terhantar,
tapi senyum terucap
: pandang titik-titik di balik asap putih.

Ketika kabut lelah melayang, tanyaku tiada lenyap.
Seheran tatapan pada dua pasang sinar di kejauhan,
di barisan pohon-pohon teh berdiri rapat.

Kupingku kembali tersentuh nafasmu
: mereka telah lampaui badai putih.

Bukan. Bukan telah.
Mereka tak pernah lampauinya.
Binar kasih lumeri kebekuan.
Ada sekelumit waktu kelabui alam.

Toh mereka punya nyali,
tetap dua ekor anjing hitam yang berlari.

Pada senyummu tiada berpindah
Akalku mati rasa, saat ingin mengucap
: berikan aku kehangatanmu.

Tuesday 3 December 2002

Sejumput Rindu Buat Bunda di Hari Lebaran

Bunda, apa kabarmu? Kabar yang aku nanti di setiap pagi hanyalah semoga bunda baik-baik saja di sana. Usah pikirkan uban yang makin banyak usil menyeruak, sebanyak itulah kerinduan hadir untukmu.

Bunda, mungkindalam lebaran kali ini aku tak bisa datang bersama mantu dan cucu-cucumu. Bukan tiada ingin berkumpul dengan mu di hari agung ini, tapi keadaan yang benar-benar memaksa. Mantumu rindu merasakan lezatnya olahan tanganmu, ia kadang cemburu bila aku membandingkan masakannya dengan buatan bunda. Aku rindu suasana rumah yang selalu kau hadirkan kedamaian. Dan dua cucumu rindunya kian menebal, terbayang di pelupuk mata mereka tanganmu akan terkembang memeluk dan membawa mereka ke pangkuan mu. Kuping mereka rindu akan dongeng-dongengmu.

Bunda, lima bulan lalu kami telah pindah. Kini rumah yang baru telah luas, halamannya juga lebar. Aku pikir suatu saat bunda pasti tiada bosan lagi bermalam di sini, biarlah halaman itu menanti jamahanmu. Pasti akan kau hadiahkan pada kami pagi yang indah. Dari balik jendela kamarku di lantai dua, aku akan menatap bulir-bulir embun pada kelopak-kelopak bunga. Mereka membagi kasih yang kau racuni pada kehidupannnya. Sungguh damai ada di setiap belaian kasihmu.

Sebelumnya aku minta maaf tiada kabar akan kepindahan kami. Kami disibukkan olehnya. Pusing memikirkan perabotan-perabotan yang pantas untuk ruang tamu. Perabotan yang lama tiada patut dikurung megahnya rumah bergaya Eropa ini. Otomatis semua harus disesuaikan agar layak bersanding. Istrikulah yang paling berjasa dalam menatanya.

Begitu juga dengan luasnya garasi mobil yang tersedia. Kami terpaksa menambah tiga mobil lagi. Kijang yang lama tiada kontras bila berbaring di halaman. Kami memilih tiga mobil Eropa terbaru. Walau perawatannya sangat manja, tapi sungguh anggun berjalan. Bunda pasti tiada bisa berkelit bila kuajak berpesiar di Jakarta, ketakutan muntah di jalan takkan terjadi. Dan tentang mobil ini, maafkan aku lupa mengabarinya. Karena kembali kami dibingungkan untuk memilih warnanya, semua tampak sama indahnya. Untung istriku punya selera bagus. Jadilah kami pilih yang berwarna merah, hitam dan biru.

Mungkin di lebaran kali ini bunda akan dipasung sepi tanpa kehadiran kami di sisi mu. Kami pun merasakan hal yang sama, tapi tak eloklah bila kami meninggalkan rumah dan mobil-mobil itu. Kejahatan di Jakarta hadir di setiap detiknya. Kami terpaksa harus menjaganya sendiri, karena tiga pembantu, dua tukang kebun dan dua satpam pada mudik. Rumah dan isinya tak aman bila ditinggalkan.

Di lebaran kali ini mungkin kami akan menghabiskan waktu hanya di rumah, menikmati acara-acara TV, yang bertambah bagus gambar dan suaranya dari perangkat audio terbaru yang komplit di ruang khusus home theatre kami. Dan sepanjang hari cucu-cucumu dapat berenang di kolam buatan di dalam rumah, membayangkan kali di belakang rumah kita dulu. Tiada lupa aku sempatkan membersihkan mobil-mobil sambil berkaca di bodinya.

Bunda, aku tiada bisa kirimkan apa-apa untuk beli bajumu. Sudah sebulan rekeningku dibekukan dan aku tak boleh melakukan transaksi apapun. Bapak-bapak itu ingin memeriksanya, katanya ada aliran dana yang salah alamat. Bukankah yang telah masuk ke kantung kita tanpa paksaan adalah milik kita? Itu pemberian bosku, karena kemarin rekening istriku telah aku pinjamkan pada beliau. Ia ingin menitipkan sementara uangnya.

Bunda, aku tak bisa pulang ke tempat kelahiranku. Aku sedang dalam pengawasan, mereka katakan tahanan kota. Mungkin di luar kota tak aman. Tapi sebenarnyapun aku sedang menanti bosku yang hilang entah kemana, semenjak ia dicurigai punya banyak uang. Bukankah kita bekerja untuk mencari uang? Tapi aku masih merahasiakan titipan itu. Berjaga-jaga jikalau beliau membutuhkannya.

Bunda, sejumput rindu aku hadirkan bagimu. Biarlah masa mempertemukan kita kelak entah kapan, karena mungkin aku akan dipindahkan ke sebuah pulau yang menurut mereka lebih aman bagiku. Mohon maaf lahir dan bathin. Sembah sujudku bagimu. Jangan engkau ingkari aku anakmu, aku cinta mu, bunda.

Dari yang telah lama menghilang,

Anakmu

3desember2002

Monday 2 December 2002

Pada Lalu

Sisa-sisa apa yang kau lihat pada lalu?
Aku? Aku bukan Tuhanmu.
Jangan kau katakan aku jalim.
Perompak yang terus mengarung, menggerayangi lautan.
Aku tak ciptakan apa-apa akan nasibmu.
Hidup terus bermula, pagi dan siang hanya rintik-rintik.

Sia-sia apa yang kau telan pada lalu?
Aku? Aku bukan Tuhanmu.
Pedih dan perih itu bara tanur kebajikan.
Simpan rapat tiada berbau. Toh esok mata tiada lagi berdusta.
Kerikil-kerikil tajam nanahi pelupukmu.
Jangan pernah langkah kembali gontai.

Si apa yang kau tatap pada lalu?
Aku? Ya, aku abdimu.
Bayangan yang mengantar mimpi bangkit dari rebah panjang.
Tapi aku tetap hanya bayangan. Setia hanya mencumbui langkahmu.

2desember2002