Saturday 19 October 2002

Sebelum waktu membenci dan berlari

Sebelum waktu membenci dan berlari,
ijinkanlah detik menyelesaikan menit
kelak masa tiada berpaling lagi.

Simpul rapat bukan lagi kekang tua menyiksa
Batasannya samar terseret dalam labirin
Erotisnya pagi pecut semua kesadaran
Bermula atau berakhir sudah

Sebelum waktu membenci dan berlari,
ijinkanlah sapaku menanti kabar
urapanku pada tergenapnya mimpimu dan dia.

Kelak bayangan akan menguap di ujung jaman,
langkahku akan berlari jauh.
Jejak kaki merapuh taburi syair-syair perjalanan
Musafir tua dengan sekantung air berlubang
dan pada oase yang terakhir,
tergeletak sebuah hati yang mengering.

Lelaki malam terkapar di sudut malam

Lelaki malam terkapar di sudut malam,
bayangan biru, tangan menari lamat sungguh lunglai
denting gelas kosong, gaung sejuta hampa.
Kecamuk yang mengamuk,
dengus rakus debat kusir nalar dan mimpi yang meracau.
Tetes menitik kikis sisi karang rapuh, tapaan segala teriakan sunyi,
……bedebah waktu yang belari cepat.

Lelaki malam terkapar di sudut malam,
mimpi,
botol arak kosong,
gelas retak,
dan sebuah bayangan
…di sana

Bekasi, 19oktober2002, pkl.1.25

Sunday 13 October 2002

Pada detik yang terhenti, lelaki itu membunuhnya

Pada detik yang terhenti, ia putuskan untuk membunuhnya. Menghunus tombak, racun yang akan menjalar, tubuh menegang, membiru, mata meninggalkan dendam, senyum yang berbuih. Habis perkara, dunia nyata tak cukup luas bagi mereka berdua. Sekarang atau mati berdiri.

Detik masih terhenti. Angin menahan nafas, binatang hutan meringkuk di gua-gua gelap yang lembab. Mereka sadar, malam ini akan ada yang terbunuh. Tapi, siapa itu yang menjadi tanya. Melihat dengus lelaki itu, seperti melihat Simson yang meremukkan beratus-ratus kepala serigala dan singa. Matanya merah seperti lautan larva yang akan menghanguskan semua jilatan yang dilewatinya.

Awan hitam berbisik, sungguh pelan, tak berani menggeserkan diri. Wujudnya samar di ujung malam. Matanya lelah menatap kaki bumi, tubuhnya memberikan kegelapan. Ruang-ruang waktu lamat berjalan, nadinya terasa berdenyut lirih. Pelan merambat. Sungguh terasa benci yang ada dari bentuk hitam yang bersandar pada batu besar itu. Tangannya terkepal seakan matahari telah digenggamnya, dan hidup menghamba pada kakinya. Tapi ada satu perkara yang mengusiknya, dan itu adalah hantu kehidupan malamnya.

Aku harus membunuhnya, bisiknya pelan. Tak pernah ia merasa seyakin ini. Dan matanya masih terus mencari mangsa buruannya, tapi malam sungguh pekat. Bayangan sudah melekat di tubuh semangnya, atau mungkin tak ada lagi tubuh, hanya bayangan-bayangan diam yang mematung.

Tak ada waktu lagi, sungguh aku telah terjajah oleh sejuta mimpi yang ditawarkannya. Aku muak oleh kerinduan akan janji esok pagi atau pertemuan yang terhenti oleh gerhana semusim. Bisik lembutnya kini adalah muntahan tinjaku, lukisan tangannya yang mengusik dadaku adalah bukan lagi tebaran bintang yang berkerlap-kerlip. Karena aku tak lagi perlu bintang-bintang itu, bongkahan gunung api sudah cukup banyak aku telan. Dari mataku tampak bara merahnya, anak sungai telah hangus olehnya, air mataku mengering lama sudah. Haruskah aku takut dalam kegelapan? Seribu tanya menyapa tak berjawab, hanya angin yang mampir dan berlalu.

Tangannya mengelus tombak, sejuta kebencian tersusun pada serpihan-serpihan yang membentuk gagang tombak. Ujungnya adalah logam meruncing yang bersinar, bukan lagi syair-syair indah yang mendamaikan. Tapi mantra-mantra sang pembebas kehidupan, ayat-ayat sakti pemberian sang dewa kematian. Dan racun itu melekat erat pada ujung tombak, bisanya akan menghentikan mimpimu, bisanya menyingkirkan sejuta keinginan. Karena membiarkanmu menelan mimpi akan membuatmu mati, ya mati kelaparan, ransummu adalah cinta yang telah basi ditanganku. Lelaki itu telah muak oleh rindumu dan ia tak ingin membuatmu dungu oleh ilusi cintamu. Racun itu menjalar pelan, memberimu kematian, menistakan bayangan cinta yang jauh dulu telah dibuang di sumur kering di pinggir jalan pulang menuju keabadian.

Langit masih hitam, awan tak bergerak duduk termangu. Bintang-bintang itu sudah tak lagi memukau sama kelamnya dengan panggung tempatnya menari. Angin sungguh penat, siulannya kini tak jelas bagai Adam baru melepaskan orgasmenya dan Hawa menahan keinginan yang belum berujung. Sungguh angin engkau takut? Atau tak sabar akan kematian yang akan ia sembahkan?

Di Timur gemuruh menderu, suara perang telah bertalu. Bala tentara angin bergerak pasti, dadanya membusung gagah, derapnya menyentuh pohon-pohon cemara yang limbung ke kiri dan kanan. Mereka menapak turun dari puncak pertapaan pada lereng-lereng gunung keabadian, berlari-lari penuh kepastian. Persembahannya telah disantap oleh mereka, dan pintanya adalah bagai lolongan serigala di puncak bukit.

Musuh yang dinanti tak lagi bisa bersembunyi. Hawa amarah lelaki itu telah membakar senyum pongahnya di tengah kegelapan. Angin mengusir awan-awan gelap itu, sekejap melemparkannya ke seluruh penjuru. Dan kini mahluk itu tak lagi mampu bersembunyi, ia menggigil sendiri. Sebuah tombak telah terayun kencang, angin menghantarkan padanya. Pada dadanya yang bulat penuh. Dan sungguh bulan telah mati di ujung malam.

Kini tak perlu ada lagi tipuan mimpi. Bulan telah menabur racun-racun pengharapan. Dan itu membius para pemimpi-pemimpi, mereka kerasukan oleh janji-janji di tiap malam. Para penyair tak perlu menyusun bait-bait dusta tentang kemolekan bulan yang sungguh tak memiliki pengharapan, hanya sebuah sinar di samudera kegelapan. Dan tak ada lagi cerita akan indahnya sinar rembulan, hanya mayat-mayat busuk yang menanti kebangkitannya oleh mantra sinar itu. Burung hantu menyimpan semua rahasia itu, matanya membelalak menatap segala dusta, dan manusia memandang penuh sayu menelan impian.

Bulan telah membuat marah lelaki itu, bulan menghujat mataharinya. Sang kekasih yang bukan lagi pemimpi. Matahari sungguh membakar sadar dan menerangi jalan yang tak lagi meraba-raba. Malam ini tak perlu ada tangis, karena awan kelam telah jauh diusir sang angin, dan mendung tak akan lagi hadir, baginya maupun para pemimpi.

Dan pada detik yang terhenti, lelaki itu membunuh bulan. Sang pemimpi.

Bekasi, 12 Oktber 2002, pkl. 4.35

Monday 7 October 2002

Quo Vadis

Aku pernah menikmati ini, wajah manis yang kecerdasannya jujur melekat tak bercelah. Ketermanguanku bukan ilusi atau mimpi yang mencari peri. Aiihhh...... otakku tak usil bersiul nakal, belalak mataku tak rakus, pandanganku tak mampu menyapa. Bukan tak sudi, tapi kilaumu tak sanggup kulewati.

Aku pernah merasakan ini, sebuah kerinduan menanti pagi. Kehangatan Timur memangkas kebekuan, gelombangnya mengalir deras di kaki bukit penantian. Pagi menawarkan harapan, embunnya membasuh jiwa yang kerontang. Sabdamu adalah nafas yang menebas pertapaan. Saat ini kerinduan akanmu adalah penantian pada setiap pagi.

Di titik nol, ratusan kata merangkai puisi, jemari menari melukis bait-bait gundah gulana. Seperti dulu, kinipun berulang. Syair itu sungguh klise, semoga tak ada kata yang tergambar, tapi perulangan mencibirkan harapan. Sungguh kecut yang sakit memecut.

Dan kakiku hanya menari di titik nadir, menatap di balik keraguan.

Seperti dulu, kini pun aku merasakan.
Bayangan yang sama,
wajah yang berulang......

Quo Vadis Cintaku?