Tuesday 10 September 2002

Sobat Lamaku Masih Sang Pemberontak

Angin berbisik pelan, suaranya seperti tertahan. Malam begitu kelam. Bintang-bintang hanya berpendar, tak bersuara. Nyanyian malam hanyalah puji-pujian serangga malam. Didalam gelaplah malam lahir. Malam sering ditafsirkan sebagai kesepian, kekosongan, kehampaan mungkin juga ketiadaan. Malam mengundang kecurigaan, semua awas dikeheningan. Sungguhkah akal manusia mati di istirahat malamnya?

Cahaya yang berpendar dari lampu itu hanyalah seperti lilin yang menari. Kekuatannya hanya bergantung pada putaran roda. Sepeda tua mengantarkanku membelah areal perkebunan penduduk dan suaranya menimbulkan ritme mirip detak jantungku yang berpacu. Pandanganku agak terganggu oleh penerbangan para serangga malam dan kunang-kunang.

Seperti biasa di malam-malam sebelumnya, gadis itu duduk diberanda, mencoba untuk mewujudkan impian-impian kedua lelaki kecil itu. Mengulangi kembali pelajaran-pelajaran di sekolah yang materinya sungguh sangat tertinggal jauh dari mereka yang bernasib baik di kota-kota.

“Apakah hari ini ibu Budi sedang pergi ke pasar?”candaku memecah keseriusan mereka. Mereka hanya tertawa dan sudah terbiasa kalau kemudian kedua adiknya harus melanjutkan di dalam rumah.

Hingga saat ini aku tak mengerti, mengapa materi-materi usang yang sudah lebih belasan tahun itu masih diajarkan. Sepertinya saat ini, ibu-ibu tak lagi pergi ke pasar, karena sudah banyak supermarket atau hypermarket, malah para pembantu menggantikannya. Atau imajinasi anak-anak yang diplot untuk menggambarkan sebuah jalan yang membelah dua gunung dan matahari tersenyum di atasnya. Begitu statiskah kehidupan desa?

“Mau minum apa bang?” tanyanya. Tanpa perlu dijawab sepertinya dia sudah tahu kebiasaanku. Senyumku sudah menggambarkan.

Kantukku sedikit hilang oleh kopi ini. Hangat dan pahit. Aku bercerita tentang penjualan kakao hari ini. Tidak terlalu banyak untung, tapi cukuplah untuk memutar perdagangan.

“Sepertinya pak Timbul tak senang dengan penjualan kita. Orang-orang desa satu persatu telah mempercayakan penjualan pada kita. Yang belum hanya karena merasa tak enak dengannya. Maklum pak Timbul orang pertama yang merintis penanaman pohon coklat di sini. Dan dia yang mendirikan Koperasi,” aku mencoba menjelaskan apa yang aku rasakan.

“Dia telah menipu kita semua. Awalnya memang hanya dia yang tahu tentang pembeli. Dan hingga kini kita tetap dibodohi,” nafasnya melemah, ada nada kecewa.

Bukanlah hal yang aneh kalau yang kuat akan akan mampu bertahan. Dari segi modal dan pengalaman, pak Timbul tak diragukan. Tapi dari segi moral belum tentu. Pembelian yang dilakukan dari petani sungguh-sungguh dimanipulasi sangat tinggi. Dan pembeli menutup rapat nilai pembelian sebenarnya. Semuanya hanya karena prinsip simbiosis mutualisme atau mungkin karena takut oleh kuasa pak Timbul yang kebetulan punya banyak centeng.

Semua ini terjadis sejak belasan tahun lalu. Dari hanya memiliki setengah hektar hingga lima ribu hektar kebun coklat. Dan para petani di sini tak lebih seperti pada keadaan awalnya. Bukan cemburu tapi ketimpangan yang sungguh sangat jauh. Dan malahan petani yang tetap miskin itu, harus memecah-mecah tanahnya kepada anak-anak mereka, ahli warisnya.

“Sudah ada kabar tentang abangmu?” tanyaku sambil kembali membakar sebatang rokok.
“Belum bang. Sudah genap empat bulan tak ada kabar tentang ia” jawabnya agak sedikit berat. Ada sebuah kekhawatiran dan matanya mencuri pandang ke dalam, menatap ibunya dan kedua adiknya. Setelah sekian banyak masalah yang mereka hadapi, kepergiannya abangnya kali ini sangat menyita pemikiran. Dari lulus SMU, kepergian abangnya untuk kuliah di Medan bukanlah suatu kehilangan dikebersamaan mereka. Mungkin ada sebuah janji, dikesunyian yang bertahun-tahun dan membawa kabar datangnya sarjana di keluarga mereka di suatu saat. Walau terkadang ada kepasrahan, karena ibupun tak mampu membiayainya. Hanya uang kiriman Rp. 50.000,- tiap bulannya di tahun pertama, setelah itu tak ada sama sekali.
***
“Lop, aku ingin kawin kali” teriakan di kuping itu mengusik tidurku. Menampar mimpiku. Apalagi aroma mulut yang keluar dari celah-celah giginya yang kuning, sisa asap rokok murahan, sangat menusuk. Membekap nafasku.

Walau sedikit kesal, aku tak sampai hati memukul kepalanya. Apalagi membayangkan kaca mata tebalnya akan pecah.

“Kapan kau sampai bangsat!” tanyaku sambil memakai celana pendekku. Karet celana dalamku sudah tak sanggup lagi menahan isinya.
“Lima menit yang lalu. Hei dengar dulu, aku mau kawin kali ini” teriaknya tanpa perlu merasa malu mempertunjukan giginya yang tak jelas susunannya.
“Bah, yang keluar dari mulutmu tak jauh beda dengan yang menghasilkannnya. Kacau!” aku beranjak ke kamar mandi, air seniku sudah tertahan satu malam ini.
“Kau dengarlah ucapanku dulu, aku serius ini” suaranya masih mengikutiku.
“Aku ingin kawin kali” lanjutnya memburu berjalan menyajariku.
“Mau kawin sama siapa kau? Sama aku? Makan buritku ini” ejekku.
“Sialan kau” tawanya sambil menendang pantatku. Celana pendekku basah oleh cipratan air seniku, badanku terhuyung. Pagi-pagi musibah sudah datang. Tidur terganggu, celana basah. Sialan.

Setelah sarapan Maradu semakin semangat bercerita. Binar-binar matanya terlihat jelas dari kaca mata tebal itu. Masih seperti dulu, gagang hitamnya patah dan diikat karet untuk menyambungnya kembali. Maklum pecinta bola ini tak bisa melepaskan kaca matanya agar tendangan tak lari, ketika ada pertandingan bola kaki yang diadakan oleh Imabohal. Ikatan Mahasiswa Bocor Halus. Dan gagangnya patah waktu terjadi perebutan bola.

Dan yang masih kuingat jelas, ketika kami iseng-iseng melepaskan malam di sebuah kedai kopi. Hiburan yang termurah bagi mahasiswa. Televisi yang ada di depan agak tergantung diatas, hampir menyentuh langit-langit, menampilkan sebuah film. Kebetulan atau memang disengaja, tak bisa dipungkiri itu pasti film semi porno. Maradu dengan semangatnya mendongakkan leher sambil memegang gagang kaca matanya yang patah itu. Aku tertawa sendiri mengingat hal itu, begitu keras niat hatinya. Syukurlah, polisi telah membubarkan tontonan seperti itu, kalau tidak mungkin memandang wanita seperti melihatnya tembus pandang.

“Kenapa kau mau kawin? Sudah bosan hanya sekedar menonton film?”tanyaku.
“Bukan sekedar mau. Tapi pingin kali. Aku mau kawin kali” katanya tertawa.
“Hahaha…..dengan siapa? Gadis desa yang kau kerjai di kebun ubi itu?” tanyaku mengejeknya.
“Walah cerita itu sudah selesai. Aku sudah punya pacar yang baru, penjual kopi di kampungku”
“Nggak jauh dari kedai kopi. Aku takut kalau kau jadi suaminya, pemuda kampungmu akan rusak. Mungkin akan kau tambah pemutaran acara after nine. Film
porno” kataku mengejeknya kembali.

“Sialan. Apa kau pikir aku mau, kalau istriku dipandang orang begitu buas. Dengan otak kotor?” dia sedikit marah dengan ejekkanku.
“Mana lebih cantik dengan kakakmu?” aku mencandainya kembali.
“Kalau cantik sih, cantikkan pacarmu. Tapi segi keaslian, ini masih original” ejeknya lagi.
“Setan. Emang pacarku nggak perawan lagi?” sepertinya aku tak terima guyonannya.
“Mana aku tahu. Isi otakmu aku sudah tahu, hahahha…..” tawanya.

Menghadapi candaan-candaan, sepertinya Maradu tak terkalahkan. Kekurangan pada dirinya bukan lagi dianggap sebagai ejekkan, tapi anugerah dari pada harus menyesali hidup yang diterimanya.
“Jadi hubungan kawin mu dengan aku apa?” tanyaku serius, sepertinya bila diajak bercanda terus mungkin takkan selesai-selesai.
“Aku minta bantuanmu,……carikan aku kerja” katanya dengan nada berharap.
“Kalau itu, kau mengejekku. Sejak kapan pengangguran punya kerja. Di kampungmu apa tidak bisa berusaha?”
“Kalau dari kedai kopi mungkin pas-pasan. Ibu dan tiga adikku kan harus tetap makan. Mana ibu sudah sakit-sakitan dan adikku perlu sekolah”
“Dengan ijasah SMU mu susah cari kerja. Kerja di supermarket saja sekarang harus minimal D3. Aku saja yang sarjana masih menganggur. Salahmu juga sih, mengapa kuliahmu dulu tak kau selesaikan”
“Itu cerita lama Lop. Kalau mikir susah, untuk apa aku datang minta tolong padamu. Aku hanya minta bantuan, mana tahu sedikit peluang yang kau tahu”
“Ada sih, tapi agak berat. Kuli kasar bagaimana?”tanyaku.
“Lebih baik di Perdagangan. Walau di ibukota kecamatan. Jadi kuli nggak harus ke Medan”
“Hmmm….. ya sudahlah nanti kita cari sama-sama. Mungkin teman-teman yang lain juga bisa bantu” kataku memberinya harapan.
***
Hari ini aku tak tahu kemana saja perjalanan Maradu. Menurutnya dia akan menjumpai teman-teman di kampus atau sekalian menagih hutang-hutang lama yang mungkin sudah dianggap hangus. Suara ketukan di pintu kostku mengejutkan. Bukan sekedar ketukan, tapi seperti ingin menghancurkan.

“Buka, anda sudah terkepung!” sebuah teriakan nyaring terdengar di luar. Sedikit terusik aku membukanya. Dan manusia dengan kaki lebar itu tertawa sama lebarnya.
“Hahaha….aku pikir kau pasti masih alergi dengan aparat” katanya.
“Bajingan! Masuklah. Dari mana saja kau, sejak kita pisah di kampus tadi?” tanyaku tanpa perlu melayani candaannya.
“Menagih hutang-hutang sambil cari info kerjaan. Aku sudah hampir keliling kota, mana tahu ada lowongan kerjaan” katanya sambil merebahkan diri di kursi. Di hidupkannya tape, All My Love milik Led Zeppelin lembut melantun.
“Oh ya, itu tak kusangsikan. Hobi jalan kakimu” ejekku. Aku masih tak habis pikir, ada manusia nasibnya seperti ini. Sejak dulu ke mana pun dia pergi tak pernah naik angkutan umum, pasti jalan kaki. Lebih berharga uang dipakai membeli rokok. Dan sungguh begitu nikmat merokok sambil berjalan kaki. Terkadang aku kasihan, dia tak punya uang lebih, semua didapat dari berhemat dan keringatnya sendiri. Kasihan dia.

“Dari melamar jadi tukang satpam hingga tukang jaga di toko-toko. Semua menolak. Tampangku mungkin tak meyakinkan. Sedikit mirip perampok kali ya?” katanya sambil tersenyum, terbayang panas membakar niatnya tadi itu. Senyumnya begitu pahit. Diminumnya pelan air putih dari gelas.
“Biasalah Du. Mereka juga belum mengenalmu, wajar ada kehati-hatian. Tak bisa dipungkiri kalau nepotisme itu masih tetap ada dan perlu ada rekomendasi dari yang menjamininya. Mengapa tak mencoba di kampungmu saja? Kalau bertani bagaimana?” tanyaku mencoba membesarkan hatinya.
“Hasil kebun kami hanya cukup untuk hidup selama ini. Bagaimana kalau aku mau kawin nanti? Aku kan harus punya penghasilan lebih lagi. Tapi sebenarnya ada yang menarik perhatianku, ini juga aku mau diskusikan denganmu”
“Tentang apa? Aku juga lagi menganggur, mana tahu di kampungmu juga menghasilkan duit” aku mencoba menyimak. Saat itu pikiranku juga bercabang menyimak suara dari speaker kecil, masih melantun lagu milik Led Zeppelin, Babe I’m Gonna Leave You.
“Iya. Aku juga berpikir begitu. Mana tahu, kau mau bergabung. Ini, kami kebingungan dengan pelemparan hasil kakao kami. Koperasi tak jujur dalam harga pembelian. Koperasi membeli terlampau murah dari penduduk dan menjualnya dengan harga sangat berlipat ke pembeli. Dan koperasi tak mau membeberkan harga sebenarnya. Bagaimana kalau kita ambil alih, sekalian membantu penduduk sana, kita cari pembeli barunya. Dan kita ciptakan pasar yang sehat di sana. Harga yang bersaing.”

“Wah, ide yang bagus itu. Aku pikir itu karena penduduk sudah terlalu sering dibodohi sehingga mempertanyakan hak mereka sendiri saja mereka bingung. Aku punya kenalan yang pernah terlibat jual beli kakao. Akan aku hubungi dia, kau masih lama di sini?” tanyaku.
“Tergantung sampai kapan kau masih sanggup menghidupiku. Aku tak banyak bawa uang, hanya cukup untuk ongkos pulangku” katanya sambil tersenyum lebar. Aku sudah terbiasa dengan keadaannya.
“Aku malah takut bila makin lama di sini, justru ongkos pulangmu pun akan amblas. Tapi ya terserah, dalam tiga hari ini aku coba jajaki ke temanku. Sepertinya aku sudah bosan menganggur, ingin sekali-sekali hidup tenang di pedesaan.”

“Pacarmu bagaimana? Apa dia mau kau tinggalkan?” tanyanya.
“Sebelum aku tinggalkan, dia sudah meninggalkanku. Dia selingkuh”
“Hahaha…..kan sudah aku bilang sejak dulu. Jangan pernah percaya dengan perempuan. Mereka itu setan”dia mengejekku.
“Dan sekarang mengapa kau begitu ngebetnya ingin kawin dengan mahluk yang kau namakan setan itu”
“Hahaaa…..ternyata setan perlu teman. Biar bertobat. Baru sekarang aku rasakan nikmatnya bergaul dengan setan. Kok nggak dari dulu ya,” candanya membela diri.
***
Areal perkebunan coklat (kakao) di desa ini tak begitu luas. Hanya ada sekitar 80 kepala keluarga yang mengerjakannya. Tapi bila di lihat ke desa-desa lainnya tak jauh berbeda dengan desa ini. Mereka pun hidup dari menanam pohon coklat dan selebihnya dari tanaman palawija dan beternak. Kehidupan penduduknya begitu tenang, ritme hidup yang ada begitu statis. Bangun, bekerja di ladang, pulang, tidur. Tak lebih dari itu, tak ubahnya dengan ayam dan kambing. Begitu juga dengan keluarganya, balita, remaja, dewasa dan kembali jadi petani. Seperti kambing, balita kambing, kambing gemuk dan digorok. Tak ada yang mencoba merantau atau mencari pendidikan di luar, hanya segelintir.

Tapi disini aku merasa hidup tak begitu memburu. Hidup begitu panjang tak ada mati. Tak ada kerakusan, karena tak ada yang lebih dan kurang. Jembatan waktu begitu akrab. Semua bisa dikerjakan hari ini atau besok. Semua bisa ditunda. Tak ada yang menjajah dan terjajah. Otak begitu bebas. Di sini tak perlu ada mimpi, tak perlu ada prediksi, alam sudah berbicara. Dikerjakan atau jawaban akan menyusul nanti.

Apa yang kami rencanakan sudah terwujud. Temanku di Medan telah memberi aku jalur, dan pembeli berani datang jauh-jauh ke sini. Tentunya dengan perhitungan jumlah stok barang yang sanggup kami sediakan untuk setiap kalinya pembelian. Dimulai dengan hasil kakao dari perkebunan milik keluarga Maradu ditambah tujuh keluarga lainnya. Dari mulut ke mulut tersebarlah berita harga pembelian yang kami lakukan dengan petani cukup tinggi dibanding yang dilakukan oleh Koperasi itu. Sedikit demi sedikit petani mulai terbuka matanya dan berani menjualkan hasilnya pada kami. Walau masih ada yang takut dengan pak Timbul sang manajer Koperasi itu. Tapi itu memang kesalahan dia yang tak berpihak pada anggotanya dan tak transparan dengan pembukuan Koperasi. Kami mencoba membuka pasar yang terbuka. Mungkin bila sudah besar nanti kami akan coba usulkan untuk diadakan tempat pelelangan kakao agar harga lebih kompetitif lagi.

Dari hasil yang mulai nampak, kami coba untuk lebih menjaga mutu. Di atas tanah milik keluarga Maradu, dibantu penduduk desa, kami membuat sebuah gudang penyimpanan yang tentunya terjaga kelembabannnya. Aku mengajak teman kuliahku dulu untuk membantu kami dalam hal pengolahan mutu pengeringan. Standart mutu yang diharuskan. Para petani juga diberi kesempatan untuk belajar mulai dari perawatan pohon coklatnya sampai proses pengeringan. Terjadi interaksi yang saling mengisi.

Kedekatanku di desa ini dengan Maradu hanya berjalan delapan bulan. Suatu ketika Maradu permisi akan ke Medan. Ada sebuah panggilan yang mengharuskannnya pergi. Aku tak bisa mencegahnya. Dan dia menitipkanku pada keluarganya. Aku melepaskannya, tapi ada sebuah kekhawatiran. Sudah seminggu lebih, sebelum keberangkatannya, ia terlihat banyak termenung. Entah apa yang dipikirkannya. Dan aku meneruskan usaha kami ini dengan keluarganya dan penduduk desa yang lainnnya.


Masih di beranda rumah, gadis itu terpekur sendiri. Aku menjumpainya setiap malam menjelang. Sejak kepergian Maradu aku tak tidur di rumah ini lagi. Selain tak enak hati dilihat warga penduduk, aku juga tak mau merepotkan mereka. Aku menyewa sebuah rumah dekat gudang kami. Selain tempat tinggal juga supaya lebih mudah mengamati gudang penyimpanan itu.

Gadis itu tak seperti Maradu, abangnya. Kemolekkan milik para gadis masih ada padanya. Keayuan yang cukup primitif tapi sungguh sebuah keasrian padanan alam dengan embun-embun paginya dibaui aroma mentari yang menciptakan pendar-pendar cahanya berkilau. Wajahnya jujur sesetia ucapannya yang jujur pula. Seperti angin yang tak pernah berubah walau tak bisa dijamah. Tapi aku yakin ia mempunyai bentuk, entah apapun itu.

“Yanti, abang pulang dulu ya. Sudah malam” kataku memecahkan keheningan. Dia menatapku. Ada sebuah keraguan di hatinya, binar-binar matanya tak bisa berbohong. Ada kerinduan untuk lebih bisa berlama-lama lagi, walau hanya menikmati keheningan.

Dia tak bisa mengucapkan kata tunggu dulu, walau pandangannya sungguh meminta seperti itu. Tangannya pun tak kuasa mencegah, walau niatnya sudah bulat. Haruskah aku percaya pada apa yang aku rasa dari pada yang akan aku dengar? Sebuah suara yang tergesa-gesa berucap. Memecah keheningan, keraguan.

“Bang gudang terbakar. Apinya melalap semua isinya” teriak orang yang berlari ke arah kami. Aku berlari menghampirinya sang pembawa berita maut.
“Ada apa Tak. Kenapa bisa terbakar?”tanyaku panik.
“Nggak tahu bang. Tiba-tiba api menjalar tinggi dan panasnya mengejutkan kami,” kata Poltak lebih panik lagi.
“Ayo kita ke sana. Abang pergi dulu ya dik,” kataku sambil berlari menuju sepeda. Bersama Poltak aku meninggalkan Yanti yang termangu sendiri, keraguannya tak tertahankan. Dia tetap tak ingin melepaskaku.
***
“Du ngapain kau di sini?” aku sungguh heran mendapatkan Maradu, kawan dekat yang telah menghilang.
“Kau juga Lop. Untuk apa kau ada di sini?” tanyanya lebih heran lagi. Kami saling berpelukkan kerinduan yang sangat lama. Seperti menjumpai kekasih yang hilang di suatu pagi dari sebuah ranjang.
“Bagaimana dengan ibu dan adikku?” tanyanya. Tapi aku yakin dia tak hanya bertanya tapi menangis. Dia terisak-isak. Dadanya berguncang hebat.
“Baik-baik saja. Mereka menunggumu. Apa kabarmu kawan, mengapa menghilang sekian lama?” tanyaku tak tertahan, kerinduanku meluber deras. Pelukkanku sangat erat. Tapi kami tak kuasa berkata-kata lagi, kami menangis. Pertemuan yang tak terduga, di tempat yang tak terduga pula. Pada pelukkannya aku merasakan, sebuah nafas yang mati telah kembali, sahabat yang hidup dan mati dalam jiwaku. Untuk sekian lama aku jalan sendiri tanpa mu kawan juangku.

Kami terduduk lelah, pada dinding tembok. Bersandar pasrah pada pertemuan dan nasib yang kami alami bersama. Di ruangan ini kami coba untuk saling bersaksi, mencari kebenaran pada hidup kami masing-masing.
“Aku telah meninggalkan kalian. Sebuah surat dari temanku memaksa aku pergi menjumpainya. Ada sebuah kerja-kerja pendampingan. Buruh perkebunan membutuhkan pengorganisiran. Dan aku terjebak di dalamnya karena aku sendiri yang ingin menjebakkannya. Mereka menuntut kelayakkan hidup, hanya itu. Karena mereka bukan manusia manja. Mereka semut-semut pekerja. Mereka mogok berhari-hari. Aku ada di dalamnya,” katanya menjelaskan, sebuah hal yang bagi kami sudah biasa dilakukan ketika di gerakan mahasiswa dulu.

“Mengapa tak kau ajak aku? Bukankah aku bisa bantu kau. Kita sudah saling kenal sejak dulu,” tanyaku sedikit marah.
“Aku takut kau marah. Karena kita juga punya misi kerja yang baru berjalan. Aku takut itu terbengkalai, sementara penduduk desa telah merasakan gunanya. Terkadang sulit memilih untuk tak lepas dari persoalan masyarakat kaum tertindas dengan keberpihakkan pada kebutuhan hidup kita. Sepertinya kita harus mulai berpikir mana yang lebih penting. Perut kita atau kerja-kerja pendampingan, politik.”
“Apa yang terjadi padamu hingga kita bertemu di sini?” tanyaku heran.

“Aku ada di dalam mereka. Saat itu aku tak bisa memetakan keadaan setelah mereka mogok kerja untuk enam hari lamanya. Massa semakin bertambah, semakin menguatkan perlawanan. Tapi mereka cair. Beberapa orang mulai menyulut ketidaksabaran. Mereka membakar amarah ketidakpuasan atas penerimaan aspirasi mereka. Sang provokator yang tak jelas siapa orangnya, mulai melempari kantor Direksi. Mereka membakar gedung-gedung itu. Aku tak bisa menahannya. Aku tak bisa mencegahnya. Dan aparat merangsek kami. Menangkapku yang dituduh sebagai sang provokator. Apalagi aku terbukti bukan pekerja perkebunan itu. Dan aku ditahan di sini. Maafkan aku…… tak mengabari kalian. Aku malu…… Aku takut sakit ibu akan lebih parah. Dari siapa kau tahu aku ada disini? Akhirnya apa yang ditutupi akan ketahuan juga. Terima kasih atas jengukannya.” katanya sambil tersenyum.

“Sobat lamaku masih sang pemberontak. Tapi Du, aku di sini bukan untuk menjengukmu. Aku menemanimu. Aku membunuh pak Timbul”
“Ha? Kok bisa? Apa yang terjadi?” tanyanya begitu memburu.
“Gudang kita dibakar di suatu malam. Dan yang membakar adalah pak Timbul dan centengnya. Api menjalar hingga bumbungan atap, tak ada yang bersisa. Semua lenyap, hanya bara api yang tersisa. Keringat-keringat kita terbakar, jelas terdengar merekah dan memercik. Tangis kita pun tak sanggup memadamkannnya. Aku mengejar nya bagai anjing pemburu babi. Babi berlari ke hutan di pinggir desa. Anjing masih membaui nafas busuk yang terengah-engah penuh ketakutan. Babi terus berlari walau kadang terjatuh, tapi kakinya tetap menjauhiku. Sampai suatu saat sang anjing mendengar sang babi melengking. Melenguh kesakitan. Merintih minta ampun. Terjerembab. Darahnya mengucur deras. Pada jeratan pemburu babi hutan, pak Timbul mati tertusuk dadanya. Dan hanya sang anjing yang memburu. Aku ditangkap dan dituduh membunuh. Aku tak bisa membeli pengacara. Kebenaranku tak dipercayai mereka. Mereka hanya percaya pada bukti yang ada. Gudang terbakar dan aku marah. Haruskah orang marah dituduh pembunuh?” aku menceritakan semua. Kejadian malam itu.

“Kita ternyata ditakdirkan bernasib sama. Waktu tak berpihak pada kita,” Maradu mencoba membesarkan hatiku. Sebuah pertemuan yang tak terduga di sebual sel penjara. Menjadi terasing dari kehidupan. Mungkin orang-orang seperti kami tak layak menikmati kebebasan, karena isi kepala kami, pikiran kami. Sebab senjata yang paling mematikan adalah pikiran. Dan ketakutan akan pikiran itu menimbulkan tindakan pencegahan, yang mengekang pikiran itu agar tidak menjadi “liar dan bebas”.
Diluar jeruji terdengar sebuah lagu lama, yang pernah dinyanyikan kasihku dulu, milik Iwan Fals dan aku hingga kini aku pun tak habis mengerti mengapa diberi judul “Belum Ada Judul”

Pernah kita sama-sama susah, terperangkap di dingin malam
Terjerumus dalam lubang jalanan, digilas kaki sang waktu yang sombong
Terjerat mimpi yang indah, lelah…..

Pernah kita sama-sama rasakan, panasnya mentari hanguskan hati
Sampai saat kita nyaris tak percaya, bahwa roda nasib memang berputar
Sahabat, masih ingatkah kau,
Sementara hari terus berganti, engkau pergi dengan,
dendam membara di hati

Cukup lama aku jalan sendiri, tanpa teman yang sanggup mengerti
Hingga saat kita jumpa hari ini, tajamnya matamu tikam jiwaku
Kau tampar bangkitkan aku, sobat…

Sementara hari terus berganti
Engkau pergi dengan dendam, membara di hati

“Du, aku jatuh cinta. Aku ingin kawin kali” aku membuyarkan lamunannya.
“Oh ya, selamat datang kehidupan baru. Mau kawin dengan siapa? Sama aku? Makan buritku ” ejeknya. Seperti ejekanku dulu padanya.
“Dengan gadis desa. Adikku mu” kataku coba menjelaskan, meminta restu..
“Selamat datang di keluarga pemberontak,” katanya sambil memelukku.
“Kau tak jalan sendiri lagi, sobat!” sebuah bisikan ditelingaku.

Bekasi, Maret-September 2002

No comments: