Saturday 14 September 2002

1001 tahun lagi

Malam ini langit begitu kelam, bintang tak ada lagi yang bercanda. Mereka pergi entah ke mana. Langit berjubah hitam begitu dingin, hawanya membuat segala mahluk menggigil. Begitu kencang angin menggoyang-goyangkan dedaunan. Pelepah pohon sawit melambai-lambai, bersorak-sorai bagai sebuah tarian meminta hujan. Mungkin akan turun hujan malam ini.

Lelaki muda itu mengeluarkan sesuatu dari kantong kiri celananya. Lembaran uang lusuh, beberapa koin recehan. Bibirnya bergerak-gerak menyebut beberapa angka. Menghitung butir-butir keringat. Menyusun carikan-carikan penat. Nafasnya berat terhembus, seperti hari-hari kemarin, hidup seperti memanggul beratus-ratus kilo batu besar. Badan membungkuk pada nasib. Tulang bukan lagi dibanting, sudah hancur. Serpihannya justru mengaburkan mimpi-mimpi. Sebuah mimpi yang mungkin terwujud 1001 tahun lagi, kenyataannya bagai sebuah dongeng Abunawas. Akankah kau masih mau menungguku?

Angin malam ini begitu nakal. Menusuk-nusuk tulang. Kaki masih terasa kebas, terasa sendi-sendi mau lepas. Dia menarik sarung lusuhnya. Baunya sungguh tak sedap. Bau keringat mengenyangkan perut, sungguh nikmat, gantikan lezatnya wangi ikan teri goreng atau terasi bakar. Sungguh nikmat dengan nasih bungkus hangat. Tapi malam ini ia puasa, cukuplah siang tadi ia menikmati. Dan bibirnya tak lagi merasakan asap tembakau pengusir sepi, dadanya terasa sesak sudah sejak tiga minggu yang lalu. Sementara ia harus bisa terus bekerja. Atau ia akan kalah.

Kalah? Ini bukanlah sebuah pertarungan, bukan pula sebuah kesombongan. Tapi sebuah janji, dan ia akan kembali untuk memenuhi itu. Aku akan mengawinimu, bisiknya. Gadisnya tersenyum indah, matanya yang kecil mencari kebenaran pada ucapan lelaki itu. Ia tak meragukan, tapi ia menatap sebuah lautan yang luas. Beribu ombak dengan bibir-bibirnya yang begitu ganas. Dan pulau impain nun jauh di sana, di sebuah mimpi yang terkapar, terkubur.

Sungguhkah bijaksana kehidupan yang kita jalani? Adat yang begitu agung, terasa sangat kaku. Untuk sebuah perkawinan, belasan malah bisa puluhan babi harus tersaji. Aku tak mampu untuk itu, tapi aku harus mengawinimu, biarkan aku pergi untuk membayar mimpi, katanya kembali. Jangan ragukan aku, kasihmu ini bukan ahli nujum, tapi aku bisa menciptakan pundi-pundi uang dari butir-butir keringat.

Gadisnya hanya bisa tersenyum, ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia senasib dengan puluhan mungkin ratusan gadis-gadis lain. Dan para pemuda, pergi berlari jauh dari pulau ini. Mengumpulkan keping-keping keberuntungan dari dompet-dompet mereka yang bernasib baik. Terasa mahal sebuah keinginan, sebuah alur kehidupan mereka. Walau banyak yang kembali melunasi janji-janji. Banyak pula yang tak jelas kabarnya. Anginpun tak pernah kembali membawa jawab atas ratap kerinduan mereka. Angin tak sampai hati mendapati gadis-gadis masih runtuh pada puing-puing harapan.

Angin masih kembali tak bersahabat, ia membuyarkan lamunan. Bersamaan dengan itu, gumpalan awan hitam berteriak nyaring, menyeringai malam. Jutaan butiran air terjatuh ke tanah. Semua berhamburan. Belasan mahasiswa yang dari sore berkumpul di bawah pohon-pohon sawit itu, tampak jelas di kejauhan berlari mencari perlindungan. Permainan judi mereka buyar, lilin-lilin mereka padam. Tak jauh dari dirinya, di atas sebuah becak, pasangan itu masih mengayuh birahi, mereka tak terusik. Masih berdekapan, makin mendekap, dingin menambah birahi mereka.

Lelaki itu kembali menarik sarung, badannya melingkar mencari hangat. Ia tak terusik dengan taburan uang di tanah pada permainan mereka. Dentingan uang mereka. Ia tak terusik oleh suara-suara birahi pasangan temannya. Ia sama seperti pasangan itu, menikmati malam di atas sebuah becak. Dan pada tempat parkir sepeda motor kampus ini, mereka berteduh. Atap ini adalah rumah mereka. Ia harus beristirahat, esok adalah kerja dan kerja. Untuk membayar mimpi, hidup.

Gadis itu masih menunggu. Untuk waktu yang tak pasti. Mungkin ia akan bernasib sama dengan gadis-gadis lain, menjadi penunggu kembalinya mereka para pengembara. Atau mungkin kelak harus menjadi perawan tua. Dan ombak-ombak masih terus berlari-lari, menjilati sang mpu, di sebuah pantai Sorake, Nias.

No comments: