Wednesday 31 July 2002

Aku Membebaskanmu...


1
Aku datang dengan kebingungan
Kau menghampiriku dengan mata cinta
Disebuah pojok yang tersudut, aku menatapmu tanpa sembunyi
Aku menawarkan pembicaraan tapi bukan untuk menyudutkanmu
"Cinta seperti sebuah keping yang jatuh pada sumur. Berdenting nyaring diujung sana, pelan merambat" katamu. Binarmu tunjukkan lembaran-lembaran, milikku untuk mu. Syair yang lalu, obat rindumu.
Juga seperti keping yang hilang digelapnya aku menatap ragu.
"Kita terjerat didalamnya. Bukankah cinta itu membebaskan?" asap rokokku membentuk kata
"Membebaskan untuk memiliki mu," senyummu.
Ada binar diujung mimpimu, tersangkut manis diujungnya
Ada kegelisahan padaku, haruskah aku mengatakannya.
Aku takut berandai-andai, namun aku tak pandai menyimpannnya.
Cinta membuatku hampa.

2
"Jangan tegang, karena kita telah berjumpa. Cinta tak menegangkan karena tak menakutkan," senyummu
Cinta bagiku bukan misteri, tapi waktu yang jadi bandul kiamat.
Seperti saat aku ingin mengatakan bahwa aku tak ingin mengikatnya.
"Begitu besarkah kau percaya pada cinta? Dan menghamba padanya?"
"Kau yang ajarkan ku pada syair-syair. Pada huruf-huruf yang menari, pada desahmu"
Dia telah terjerat pada kata. Dan aku memiliki segudang kata-kata.
"Aku tak menyesatkanmu dalam permainan kata. Dan aku tak harus menipu demi kata-kata."
Dahimu mengernyit, menggangu keindahanmu. Menunggu kalimat berikut yang akan meluncur.
"Aku tak ingin memenjarakanmu dalam kata" ucapku pelan, tertahan.
Aku membayangkan ada yang mengalir didadamu, merembes dimatamu.

3
"Begitu cepatkah, sebelum aku puas melumat semua syair-syairmu?" ucapmu pelan
Saat itupun aku ingin melumat bibirmu, tapi aku tak ingin menawan bibirmu lebih jauh.
Cukup hanya hatimu, saat ini.
Kita mencari keindahan dalam hening, dalam beku. Aku tak bisa menyingkir dalam tatapanmu. Ada getir, tiris di pipi.
Tanganku ingin menyapunya, kau mengelak
"Aku tau kau tak suka wanita cengeng. Tapi biarlah mata yang menangis"
Aku lihat kau berusaha kalahkan perasaan mu, tapi pasti ada lumpur rindu yang menggenangi hatimu. Setelah sekian lama kita saling mencari kata-kata yang terindah dari bentuk hubungan ini.

4
Duka masih mengalir, belum menepi.
Dan aku masih bersandar pada sedihmu.
"Cinta membuat harus ada yang terluka. Seperti pelangi yang menipu kita. Bukankah cinta itu membahagiakan. Aku mencintaimu, aku membebaskanmu."
Sudah takdir wanita yang menangis, dan pria yang meringis.
Ah..Tuhan gunung tumpukan kata cinta. Cinta telah jadi candu bagi sang pemadat, tarikan yang tenangkan nafas-nafas. Ketaksadaran lambungkan mimpi sejuta tarian.
Sayapnya tutupi kesalahan, tapi kibasan mengukung. Dan aku mematahkan belenggu berabad-abad. Kembali ada yang luka.

Sementara saat ini aku masih bersenggama dengan diriku, tak lebih. Memilih untuk menepi, sendiri...

Monday 29 July 2002

Mimpimu Berwarna-warni


1
Malam belum penuh
Mimpi-mimpi masih berjalan mundur
Jutaan hitam dan putih dilumati diri
Kau bilang, "mimpiku berwarna warni.


2
Anak rambutmu sedikit
"Tapi rambutku tebal."
Yang kutahu otakmu itu yang bebal
Merah itu bukan bekas bibirku

3
Nabi bilang bunga bakung dari taman Tuhan
Yang ku tahu, Tuhan bukan tukang kebun
Tapi bumi masih subur
Dan jutaan muara air
Air mata

4
Semut dipaksa berjalan beriringan
Waktu tak pernah tidur
Bunga pasrah diperkosa
"Aku tak pernah memaksa, kau yang mengerang."

5
Setiap pagi bumi selalu bersolek
Embun tak pernah diseka, angin yang menjilatinya
Walau esok harus datang pagi lagi
Debu masih menutupiku, aku gelisah
Jejakmu masih basah

6
Simpan saja namaku
Aku pasrah lalui liku rahim kehidupan
Bumi tak bertepi, tapi aku ingin merapat
"Tidak cukup besarkah kah cinta ku?"

7
Bila kau rindu aku (bila kah?)
Tetesan darah masih menapak di lingkaran
Sebelum lidah-lidah menghapusnya
Air liur mereka menghabiskan mu

8
Masih pada mimpi yang berjalan mundur
Kau tetap bilang : "Mimpiku berwarna warni."
Dan aku masih putih
Titik putih
Di nol

Pada Recehan

"Pelangi-pelangi alangkah indahmu, merah kuning hijau dilangit yang biru. Pelukis mu sakti siapa gerangan. Pelangi-pelangi jelmaan ORBA"

Aku selalu geleng-geleng kepala mendengarkan suara itu. Cempreng dengan nada minor, irama kecrekan menyertai.

"Permisi pak, bu, kak, bang." Tangannya menjulur. Kecil dan dekil, dengan kantongan platik permen.

Uang logamku berdenting di dalamnya. Lampu hijau memaksa meninggalkannya.

*************

Dicari:
Untuk posisi Management Trainee
Syarat : S1 segala jurusan, mampu bekerja keras, berjiwa pemenang, pengalaman tak dibutuhkan, bersemangat dalam tekanan, mampu menyenangkan atasan, mempunyai lidah yang berair.
PO BOX. 1234 JKT

"Shit !"

Dibutuhkan segera :
Mechanical Engineering
Syarat : S1 T. Mesin, usia min. 30 tahun, pengalaman 7 tahun, menguasai bahasa Inggris lebih disukai yang menguasai bahasa Mandarin, mampu menghadapi cobaan, halangan, gangguan dan rintangan baik dari dalam maupun dari luar.
PO. BOX 1996.

"Gila, gimana bisa pengalaman, kalau belum pernah diberi kesempatan dan sepertinya terlalu patuh pada GBHN."

Anda yang kami cari :
Sales Executive
Pria/Wanita dengan pendidikan minimum S1, semua jurusan, IPK minimum 2,8, pengalaman tidak diperlukan. Disukai yang menguasai bidang pemasaran, mampu menarik konsumen dan dapat memperdayanya.
PO. BOX 666 STN

"Masih juga kau berkutat dengan segala lamaran itu?"

"Coba yang lebih baik lae. Ijasahku entar habis dimakan rayap," ucap Sanggam membela diri

"Coba kau tiru aku, ijasahku tak kuambil. Kusimpan di kantor Dekan, biar dia yang jaga," Lae Marbun mengejekku.

"Apa kabar dengan gembala manusia?" goda Sanggam

Sepertinya dia gerah dengan ucapanku. Dihentikannya ketikan pada mesin ketik usangnya. "Baik, terima kasih atas perhatiannya." Diisapnya dalam-dalam rokok murahan itu.

"Beberapa hari ini, ada banyak pengamen yang aku jumpai di perempatan lampu merah. Itu salah satu objek mu?" Aku meminum sedikit kopi dari gelasnya. Mungkin ia lagi tak punya uang, tak terasa ada gulanya.

"Jangan kau katakan objek. Justru kau yang jadi objek penderita majikanmu. Aku masih coba cari funding, kontrakan rumah ini juga tinggal 3 minggu lagi." Lae Marbun coba serius. Keningnya berkerut menggusur letak kaca mata pantat botolnya.

"Kapan bisa kau buat mereka bermusik yang lebih beradab? Tutup botol hanyalah sampah. Itu pula yang dipungut buat krecekan."

"Manalah aku punya uang buat itu. Cukup aku ajarkan mereka lagu-lagu yang lebih variatif. Dan tingkah mereka juga lebih sopan, lebih baik dari begundal-begundal pemeras itu," kata lae Marbun.

Lae Marbun pernah cerita dulu, kalau anak-anak pengamen itu sering menjadi korban pemerasan. Dasar orang Batak, ia sempat beberapa kali terlibat perkelahian dengan bajingan-bajingan itu. Sepertinya tato yang menjadi hiasan tubuh mereka tak menggetarkannya. Untungnya aku dan beberapa teman yang mangkal di depan Hero melihat kejadian itu, kalau tidak aku berbicara dengan hantunya.

"Kebahagian mereka itulah mimpiku. Ingat yang dikatakan Einstein, ilmu eksaknya sering kau pakai. Dia bilang, jangan pernah berharap menjadi orang sukses, jadilah orang yang berharga bagi orang lain. Siapa yang masih mau memelihara mereka? Pemerintah sibuk mencetak uang kertasnya."

Sepertinya obrolan mereka bagai orang yang bertengkar. Kasar dan kuat. Seharusnya dua orang batak berkumpul itu bermain catur. Kalau satu jadi pengacara. Kalau tiga main kartu. Kalau empat ya berantam. Lalau lima, mungkin revolusi. Hahaha.....

*******************

Kali ini Sanggam masih menanti mereka. Angkutan K02 nya ngetem seperti biasa di depan Hero. Angin malam menyengat tulang. Dadanya yang kurus makin menunjukan ruas-ruasnya, rokok masih di bibir yang hitam. Mungkin mereka telah pulang, setelah kelelahan bernyanyi atau krecekannya sudah lelah.

Sanggam teringat percakapan kemarin di dalam perjalanan.

"Otong tadi kemana? Emak cari kok nggak mangkal di stadion?" tanya wanita tua itu sambil mendudukkan anaknya yang balita di pangkuan.

"Otong ke rumah Ujang. Ia ulang tahun, ibunya beri kami singkong rebus. Aku mau bawa pulang untuk emak, tapi malu," jawab Otong sambil menyeka ingusnya yang berlomba turun naik. Kuning cair agak kehijauan, ada yang mengering di sudut hidungnya.

"Enak ya Tong, mana lebih enak dari punya emak?"

"Enakkan dia dong mak. Emak sih, nggak pernah beri garam. Hhukk...hhukuukk.." Batuknya sedikit mengganggu.

"Mana krecekan mu? Itukan bukan milikmu? Hilang ya? Entar nggak ada yang mau beri kita recehan kalau nggak ada musiknya," ibunya menyeka ingus si Otong dengan ujung kain gendongan.

"Ketinggalan di rumah Ujang. Ini aku pinjam punya si Udin, dia lagi sakit. Emak tadi mangkal di mana? Adik nggak rewelkan?" tanya Otong sambil menyeka sisa ingusnya dengan tangan. Tanganya menutup mulut, ketika ia menguap.

"Di perempatan masuk Tol Bekasi Barat. Tapi nggak banyak yang melemparkan recehan. Sepertinya mereka lebih tertarik membeli koran, berita demo dan pembunuhan lebih menghibur. Apalagi gambar wanita berdada bengkak," gerutu ibunya, pada kalimat terakhir ia mengucap pelan. Membayangkan si Asep panen dagangan koran murahannya.

Otong menggoda adiknya yang semakin hitam terbakar matahari, mukanya cukup memelaskan orang. Sunguh susah mencari muka-muka yang memelas seperti mereka. Salon kecantikan manapun tak kan mampu. Semakin memelas semakin baik, cukup mendatangkan hujan recehan. Apa lagi kalau si adik mampu menangis keras.

Pernah si Otong bermimpi, kota ini dijatuhi hujan recehan. Anak-anak jalanan bernyanyi pada malam dan bulan. Bulan tersenyum, langit hitam terbakar.

"Oh bulan, oh bulan, alangkah indahmu, sinar putihmu di langit yang hitam. Pelukismu agung siapa gerangan. Oh bulan oh bulan beri kami recehan." Nyanyian keluar dari mulut-mulut kecil menganga menengadah.

Dan bulan pun beri hujan recehan. Bekasi banjir recehan. Jakarta juga banjir recehan. Yang tinggal di rumah gedongan pada sembunyi takut pada recehan. Mereka takut tetanusan atau benjol karenanya. Hanya anak-anak jalanan yang lari ke luar. Suara nyanyi mereka semakin kuat. Mereka tak takut, karena mereka sudah biasa melihat recehan di lempar.

***********

Sanggam masih menunggu. Sanggam merasa mereka tak kan tampak malam ini. Angkotnya sudah terisi penuh, penumpangnya menggerutu melihatnya melamun.

Sepertinya mata mereka telah lelah, otak mereka telah dipecut seharian. Tak ada lagi keringat mereka, karena sudah habis menjadi minuman malam para majikan.

Hanya sesekali terdengar seseorang yang membalas teleponnya, "Aku dalam perjalanan. Malam ini aku milikmu Mas."

Di perempatan stadion lampu merah menyala di kegelapan pukul 10 malam. Sanggam masih mencari jejak mereka, suara cempreng dan lugu. Ada rasa kagen pada sebuah keajaiban dari mereka yang bertahan hidup. Ibuku bilang, kepergianku ke Jakarta hanya untuk bertahan hidup bukan untuk hidup. Jakarta bukan untuk kita, itu milik robot-robot.

Di sudut tikungan yang berbelok ke kanan dekat semak-semak stasion kereta api, setelah lampu menyala hijau ku dapati tiga mahluk bergumul. Bukan sundal yang melaksanakan tugas, atau waria yang tidak tahan lagi untuk berahi. Dua mahluk menindih dan memijak perut yang terbujur di tanah. Pisau belati menyala tajam dari pantulan sinar mobil.

Sanggam menghentikan angkutannya, berlari keluar dan menghardik mereka.

"Bangsat! Mau kau apakan dia!"

Mereka terkejut dan berlari jauh, secepatnya. Langkah Sanggam tak bisa lampaui mereka, menghilang di belakang gerbong-gerbong gandengan kereta api yang terparkir. Dan dia teringat dengan yang terbujur di tanah. Tak satupun penumpang turun, hanya menatap dari jendela.

Sanggam mendapatinya meronta, kakinya menendang, perutnya berdarah, nafasnya satu-satu. Tersenggal dan darah mengalir dari mulutnya. Di perut yang koyak darah terpompa, mengalir bebas. Tak ada tangis, hanya nafas yang bergetar. Tak ada suara memohon, sebab sakit tak tertahankan lagi. Tak ada tatapan sebab perih tak mampu terlihat lagi. Tak ada nyanyi dan tawa sebab nyawa tak jadi miliknya lagi. Tak ada lagi permintaan recehan, sebab di surga Tuhan punya banyak uang recehan.

Aku hanya bisa membayangkan bungkusan yang aku persiapkan tadi. Seplastik kecil uang recehan, obat batuk pilek murahan, nasi goreng dan sedikit garam. Buat Otong dan ibunya.

Thursday 25 July 2002

Aku Menangis Bersamamu, Rakyat Kecil


Oleh Ahmad Yulden erwin

Aku menangis bersamamu, rakyat kecil: orang-orang miskin yang terpaksa antri beras murah berjam lamanya, yang tak punya biaya buat lanjutkan sekolah anaknya ke kota, yang terisak karena dirampas sawah dan ladangnya, yang semaput digebuk polisi karena terpaksa maling pupuk di gudang negara, yang ditampar yang ditinju yang dibanting serta diperkosa hak-haknya sebagai manusia. 

"Wahai, Tuhan Yang Maha Kaya, beri kami Cinta!"

Aku menangis bersamamu, rakyat kecil: karena kalian hanya sanggup meratapi penindasan yang tak henti menggilas kehidupan tanpa mampu melakukan perlawanan, karena kalian cuma sanggup mengumpat dan mempertanyakan janji-janji keadilan dari bilik-bilik kalian yang kumuh sambil terbaring menahan perut yang kelaparan, karena kalian adalah mahluk kesayangan Tuhan.

"Wahai, Tuhan Pencipta Keadilan, beri kami Kekuatan."

Aku menangis bersamamu, rakyat kecil: yang kecut yang takut yang geram karena telah sekian lama dijadikan sapi perahan milik kaum modal dan penguasa, bangkitlah!, jangan diam saja, sekarang saatnya kita melawan, lawanlah kimiskinan, lawanlah pembodohan, lawanlah penjajahan yang telah berabad menginjak-injak nasibmu dengan sepatu lars kekuasaan, bersatulah wahai kaum yang kalah!, sekarang saatnya mewujudkan segala mimpimu akan keadilan yang telah sekian lama terpendam di dalam batin yang sakit dan terjajah, maju!, majulah rakyat kecil yang terhina, bersatulah, tunjukkan kini kuasa dirimu atas dunia. 

"Wahai, Tuhan Penguasa Jagat Raya, beri kami Senjata."

Dan Duka pun Mengalir seperti Air


Oleh Ahmad Yulden Erwin

Kesaksian bagi Muhtar Ali

1
Di alam terbuka: kita bicara tentang cinta.
Di alam terbuka: kita bicara tentang duka.
"Cinta hanya membuat kita terlibat dalam prasangka, dalam mimpi-mimpi atau kenangan yang mungkin sudah kelewat percuma," ujarmu sambil menundukkan kepala. Ya, kini kulihat kau seperti telah kehilangan kendali, seperti telah kehilangan diri. Hanya garis kecewa yang tersisa pada guratan dahimu, tetapi kau selalu saja gigih mencoba mengalahkan rindu, meski kau selalu saja terjerat oleh perasaan cinta, meski akhirnya cuma duka yang kau terima.
Ada hampa yang menjerat bola matamu.
Ada benci yang mengikat garis senyummu.
Ah, tiba-tiba aku membayangkan: ada sungai yang mengaliri hatimu, ada sungai yang mengaliri dukamu.

2
Dan duka pun mengalir seperti air. Kau berkata: "Mungkin kita harus selalu tertawa, meski hidup cuma permainan yang getir." Kulihat wajahmu menyimpan kebimbangan yang enggan kauucapkan. Kedua bola matamu yang hampa, bersinar gelisah memburu cinta.
Betapa cemas kini kaurasakan perjalanan waktu. Betapa kuasa tangan-tangan sunyi menyekap ruang hatimu. Betapa banyak langkah yang kaupertaruhkan demi menuntaskan dahaga pencarianmu.
Astaga! Kini kulihat kau tak lagi berpijak di bumi. Kini kau telah menjelma kupu-kupu yang hinggap dari bunga ke bunga, namun kau pun merasa makin asing dengan dirimu sendiri: ya, cinta telah membuatmu jadi hampa.

3
"Bila kausakiti hati orang yang kaucintai, maka pedihnya akan menggores hatimu sendiri."

4
Dan duka pun mengalir seperti air. Kini kau jadi seorang lelaki yang berjalan sendirian di bawah gerimis hujan. Betapa pun pedih duka kaurasakan, kau tetap bertahan. Hitam rambutmu basah tergerai di dahi, kini tiada kauhiraukan.
"Kekasih, mengapa cinta, mengapa penuh dengan kebencian?" lirihmu, sambil memandang butiran hujan dan awan hitam yang bergerak perlahan. Namun kini matamu tak lagi basah oleh airmata, maka tak ada lagi duka merayapi sepanjang garis senyummu yang sederhana, maka kebencian berlalu bersama angin yang berhembus perlahan sehabis hujan. Mungkin kini kau berharap cinta sejatilah yang akan menuntunmu menjadi manusia, menghapus cemas pada sukma, membasuh debu-debu hatimu dengan cahaya.
Namun, siapakah kekasih yang selalu kautunggu itu?

Saturday 20 July 2002

seonggok benda santapan lalat hijau

pencarian belum berakhir pada seonggok benda santapan lalat hijau,
berputar putar cari jelajah curi secuil
bau tak berwujud, eyahkan ingin tahu akan partikel pembentuk
tapi tahukan kau kawan, kalau padanya kutemukan apa yang kucari
mualku kusimpan dan kumpulkan berjuta juta pada jutaan benda itu
berharganya engkau di ketidak bernilainya semayammu
dijutaan waktu tak sulit mencarimu di situ, hilangnya akalku


jutaan nurani hilang di ujung usus besar manusia
sesungguhnya mereka bukan jutaan manusia lagi
 
(kurindu belaian kasihmu, rindu usapan sayangmu, nurani di mana dirimu?)

sesak oleh mu

ke gorong gorong
ke lorong lorong
di dorong dorong
di sorong sorong
diboyong diborong
rongga rongga
hati hati ku
(sesak oleh mu)

Medan, February 17, 2002

dibakar rindu


terjebak di keraguan tanpa jawab
kau hanya bisa menguras air mata
tatapmu nanar patungi bayang hitam di pulau impian
seribu mantra terucap bebas
pada angin kau pinta, campakkan ia
pada laut kau pinta, seretkan ia
pada kilat yang menyambar kau pinta hancurkan saja dia
bila harus hangus dibakar rindu

February 20, 2002

menunggu masanya bila

Saatku menunggumu. (foto by : Oscar Madison)

kau tak berdaya saat kau berpengharapan
kau masih tidak mengerti saat jawaban ditelan
tiada lagi keraguan dipenantian malam
karena janji yang pasti untukmu
hanyalah terbitnya matahari di pagi hari
dan tiada sadar mengukur ruang hati
sesak melimpah muntahkan penat
tak seharusnya kau begini
ketika obor ditelan lorong gua kerinduan
sisi gelapmu samar di remah remah cahaya
terpekur di suasana pilu hatimu
sisi ceriamu lenyap di senyap dorongan
lambat launpun cinta takkan membuatmu hidup
bau jasadmu menyelimuti hangat rindu
siapakah kau, yang menarik narik nuraniku
didalam waktu tiada terpakur
saat hanyalah waktu, tapi waktu adalah aku
dan aku masih tetap disini
menunggu masanya bila


Medan, February 20, 2002

sumber gambar : Fotografiponsel.com

Soneta XVII

(oleh Pablo Neruda)

aku tak mencintaimu seolah-olah kau adalah serbuk mawar atau batu topaz
atau panah anyelir yang menyalakan api
aku mencintaimu seperti sesuatu dalam kegelapan yang harus dicintai
secara rahasia, di antara bayangan dan jiwa

aku mencintaimu seperti tumbuhan yang tak pernah mekar
tetapi membawa dirinya sendiri cahaya dari bunga-bunga yang tersembunyi
terimakasih untuk cintamu suatu wewangian padat
bermunculan dari dalam tanah, hidup secara gelap di dalam tubuhku

aku mencintaimu tanpa tahu mengapa, atau kapan, atau darimana
aku mencintaimu lurus, tanpa macam-macam tanpa kebanggaan
demikianlah aku mencintaimu karena aku tak tahu cara lainnya

beginilah: dimana aku tiada, juga kau
begitu dekat sehingga tanganmu di dadaku adalah tanganku
begitu dekat sehingga ketika matamu terpejam akupun jatuh tertidur

Cuaca dari Sebuah Kamar

(oleh Teja Purnama)

mari manis,
lihat, darah menggerimis anggun pagi ini
begitu tenang menjejaki mawar mawar
hingga bergeletar ingkari embun.

cepat mendekatlah ke jendela
tinggalkan ranjang tetap telanjang.
jangan sampai kau kehilangan ricik di kolam ikan,
jangan pula termangu.

dengarlah derap-derap di atap
rumah yang kubangun dengan cuaca
dan entah tangis siapa; barangkali suamimu
atau ibumu yang setia menjanda.

tak usah lara, manis
masih ingin kuresapi desahmu,
walau tak semerdu suara cuaca
terus gayutkan mulutmu pada batang cuaca
tarikan kehangatan lidah, ikuti irama cuaca

aaa....terus, jangan berhenti, manis
biar semua memerah rumput taman,
batu-batu, kandang kuda dan burung.
pagar, aspal jalanan,
biar, biarkan matahari mati.

(dari buku "Tengok 2," arisan sastra independen di medan)

Poster Setengah Telanjang

~ untuk AM

Si kecil yang suka makan es krin itu sudah besar
dan perawan, sudah tidak pemalu dan ingusan
Ia gemar melucu dan pintar juga menggodamu
"Kau penyair ya? Kutahu itu dari kepalamu yang
botak dan licin seperti semangka."

Kau tergoda dan ingin lebih lama terpana ketika
matanya mengerjap dan bulan muncrat di atas
rambutnya yang hitam pekat.

Malam heboh sekali. Orang-orang mulai
resah menunggu kereta.
"Perempuan, kau mau ikut?"
"Emoh ah," katanya.

Kereta sudah siap. Para pelayat berjejal di dalam
gerbong sambil melambai-lambaikan bendera.
"Perempuan, ikutlah bersama kami.
Kita akan pergi menyambut revolusi."

"Ah revolusi. Revolusi telah kulipat
dan kuselipkan ke dalam beha."

"Lancang benar ia. Berani menantang kita
dengan senyumnya yang sangat subversif.
Ia sungguh berbahaya."

Lonceng terakhir telah selesai menyanyikan
Sepasang Mata Bola. Tinggallah malam yang redam,
langit yang diam. Tinggallah air mata yang menetes
pelan ke dalam segelas bir yang menempel pada
dada yang setengah terbuka, setengah merdeka.

(1997)
Joko Pinurbo 


~ dikutip dari kumpulan Joko Pinurbo " Celana" (1999)

barangkali

barangkali namaku telah kau hapus
dengan bulir didih asmaramu
oleh hembusan kepak birahi

barangkali namaku telah kau hapus
di tepi ingatanmu di sebuah titik merah
urutan lembut geser aku di isi hati mu

barangkali namaku telah kau hapus
dengan ucapan nama yang baru
oleh muaknya busa mulut makimu

namaku takkan luntur oleh tangismu
karena tak ada tangis di detik itu
seperti hilangnya gelap di pagi hari
tunggu aku di ujung sore
entah kapan itu..............

Aku yang ada dalam dirimuU

Aku yang ada dalam dirimu
temani nyawa dan raga licinkan kata
api bagi nafsu angin bagi angan
mari berontak pada dogma tikami sumpah
sama bentuk tiada harus sama mengalir

Aku yang ada dalam dirimu
memuncak ketika menurun
harga diri bukanlah angka hidup dan mati
mari hajar musuh musuh akalmu
sebab esok tak perlu ada lagi sesal

Aku yang ada dalam dirimu
gerayangi nurani dan mata moral
di titik senja karamnya asa
mari berlakon arakan binatang jalang
benteng akhir jubah peradaban

Aku yang ada dalam dirimu
berapi dan membeku dikilatan waktu
jauhkan aku dari aliran cintamu
kan mengering lahirkan birahi
karena cinta milik hati

Aku.............
emosi yang menjejali tempurung kepalamu

Here, There and Everywhere





(Lennon - McCartney)

To lead a better life I need my love to be here...


Here, making each day of the year
Changing my life with the wave of her hand
Nobody can deny that there's something there


There, running my hands through her hair
Both of us thinking how good it can be
Someone is speaking but she doesn't know he's there


I want her everywhere and if she's beside me
I know I need never care
But to love her is to need her everywhere
Knowing that love is to share
Each one believing that love never dies
Watching her eyes and hoping I'm always there


I want her everywhere and if she's beside me
I know I need never care
But to love her is to need her everywhere
Knowing that love is to share
Each one believing that love never dies
Watching her eyes and hoping I'm always there


I will be there and everywhere
Here, there and everywhere

Thursday 18 July 2002

wanita

jujur ku katakan kalau wanita adalah 
mahluk yang paling radikal

mengatakan mungkin pada tidak
mengatakan tidak mungkin pada mungkin

ya untuk iya
tidak untuk tidak

kau berkata "aku pertimbangkan dulu"
....? oh puan....

Saturday 13 July 2002

Apa Kabarmu yang Meminta pada Bulan?

 Apa kabarmu yang meminta pada bulan?

Di matanya malam hening bergumam. 
Penghuni bumi menikmati ilusi mimpi setelah hari terbakar matanya siang. 
Bumi berkeringat dan berpendar oleh cahanya. 
Semua akal dan kepongahan beristirahat, sementara sel-sel tak mau mengalah diam.

Ingatan yang menyiksa akan dirimu. Tapi tersisakah bagimu?

Dulu ada jejak pada sebuah taman, tempat kau mendekapku. 
Katamu, aku ada karena bulan.. 
Dengan pagutmu kau tunjukan syukur pada malam. 
Pada malam yang bersih, kunikmati sempurna liukmu di cerminnya bulan. 
Tubuhmu mengkristal oleh embun yang turut campur. 
Kau peluk tubukku dan ku merasukimu.

Tapi kau masih terus bertanya tentang bulan. Adakah warna lain dibaliknya?

Mungkin ada rasa bosan diritual bulan purnama yang kesekian puluh kalinya. 
Bermandi di cahaya yang sama.
Pencarian akan kemustahilan. 
Warna yang ada hanyalah merahnya muka ayahmu. 
Dikeritingnya nalar tentang kita. Kilau pedangnya kalahkan bulan, 
tarik kau ke kastil keraguan. Pasungin cinta pada jarak berabad-abad.

Mungkin cinta kita adalah akarnya pohon di taman. 
Menembus ke bawah di guanya tanah, mencapai langit-langit dicengkraman mahluk malam. 
Janji tersimpan rapi di lorongnya, dipekatnya. Membesar bagai batu berlumut. 
Bayangan tak ada tempat untuk sembunyi. Hanya pada malam kau berlindung. 
Tapi hidup bukan hanya untuk malam.

Cinta bagai kata kata yang bergema. 
Seperti kerikil yang jatuh di sumur kosong. 
Dimana harapan terkubur dalam. Dan jawab yang tiada pernah utuh.

Apa kabarmu yang meminta pada bulan?

Pagi Juga Berarti Keragu-raguan

Arakan asap putih itu memaksaku merapatkan kedua lengan ke dada. Padahal bau hangat matahari telah tercium dari tadi di timur laut dan cahanya mulai menelanjangi bumi. Itu bukan asap sang penikmat tembaku atau lolongan kereta api pagi. Pagi adalah saat waktu harus berawal dan gelap lari ke barat. Ada aroma kebangkitan, aroma penantian dan aroma perhentian.

“Pagi juga berarti keragu-raguan.” Lelaki dengan uban yang dipelihara itu menyadarkan lamunanku. Sorotan matanya menerobos aliran yang berputar di otakku. Tak sadar tubuh tua itu telah lama bersandar di kursi ini dan getaran kaki kirinya bukanlah usilnya tusukan dingin pagi. Mungkin syaraf tuanya tidak bisa diajak kompromi. 

“Kereta api terlambat seperti biasanya. Dan perhentian pagi ini membawa segerbong kerinduan. Penantian yang telah lama kutunggu, bertahun-tahun.” Senyum di pipi yang hitam memandang ke arah datangnya para pengais pagi. Penjual makanan, tukang becak, ojek,dan penjaja koran dengan beritanya yang sudah basi. 

“Menantikan anak?” tanyaku, walau sedikit terusik oleh getar kaki kirinya di kursi panjang ini. 

“Putriku satu-satunya. Kedua abangnya pergi menuju Gusti Allah. Pagi hari delapan tahun lalu diculik dan dihabisi. Guru pesantren yang dituduh dalang terbakarnya kebun tebu. Mereka bilang api itu bukan milik tentara, yang mereka miliki senjata api..” Tak ada tersirat rasa sedih dimukanya. Guratan tua itu menelan kerasnya kenyataan hidup yang disimpannnya. Tiada niat bertanya lagi, kenangan itu mungkin terlalu berat baginya.

“Yang ini kesayangan Mboknya. Kerasnya desa mengeraskan niatnya ke kota, ke Jakarta. Sudah dua belas tahun tak kembali, mungkin usianya sudah 30 tahun. Kuliah dan jadi kuli tinta. Dan dua belas tahun pula tak selembar uang kukirim. Dia pergi ditelan pagi tanpa aku tau alamatnya. Dari surat-suratnya ku tahu dia bekerja di percetakan koran bersama temannya, dan syukurlah bisa kuliah.” Tawaran panganan dari penjaja itu menghentikannya. Tanpa tanggapan sang penjaja berlalu sambil ngedumel

“Anak yang mandiri dan keras hati,” kataku. Terbayang oleh ku teman wanitaku di kamar petak di sebuah gang, tak hentinya menagih uang membeli lipstik, celana dalam yang katanya sudah bolong dan robek karena ulahku. 

“Kiriman kabar dan uangnya tak bisa menghiburku. Dalam 6 tahun terakhir ini, sudah banyak negara yang dikunjunginya. Cantiknya pakaian di Perancis, indahnya tanah penjajah para Londo, negerinya Abah Aliong si tukang beras di Tiongkok, entah apa lagi. Katanya banyak berita yang bisa dicari biar mata kita celik. Nggak hanya bangga dijuluki punya negeri makmur, subur, tapi nggak mampu ngolah, miskin.”

Cerita yang mengalir bagai ejekan buatku. Kebanggan jadi mahasiswa membuatku tetap bertahan di tahun ke sembilan. Mungkin cita-cita kanakku dulu mahasiswa. Kiriman yang tak pernah cukup apalagi dibagi dua dengan siluman itu. Setan! 

Asap putih itu sedikit mengganggu. Bukan embun atau asap rokok daun jagung. Si kepala hitam dengan deretan pengikutnya dengan pongahnya menjerit penuh penat. Seperti ada tenaga udara pagi menahan laju dari kecepatan awalnya. Dan ritme gerit roda pada sambungan rel yang melambat semakin mempercepat keraguanku. Kepergianku pagi ini, seperti embun yang mengering. Tinggalkan keegoisan bapakku di desa ini, kembali ke kehidupanku di kota. 

Si bapak tua itu menghampiri pintu gerbong. Aku masih duduk disini mengamati manusia pagi. Dari kusamnyanya kaca jendela, cahaya lampu menyirami wajah-wajah penumpang. Ada yang tersenyum di kantuk yang belum menghilang. Ada yang resah memikirkan perjalanan berikutnya. Satu persatu turun dan si Bapak hanya tersenyum di tepi pintu.

Sang Masinis menyapanya seakan sudah kenal lama. Diajaknya menuju gerbong yang lain. Dan enam orang menyambutnya seakan sebuah pengawalan agung. Senyum itu masih terkembang ketika enam orang itu mengawal dan membawa anak gadisnya. Bapak itu menyambut dengan senyum pada anaknya, pada putrinya, pada peti itu. Kerinduan yang menggumpal dibaluti dengan ketabahan. Tiada tangis di muka tua itu. Hanya getar di kaki kiri tuanya. 

Iringan berlalu dan si bapak tua berjalan sambil mengelus peti itu.

Pagi adalah saat waktu bermula ada aroma kebangkitan, aroma penantian dan perhentian. “Pagi juga berarti keragu raguan...” kata bapak itu sejam yang lalu.

Ibu aku ingin pulang!

ORANG ASING

Di kulit tubuh itu ia temukan sebentuk gambar biru, dan orang asing itu berkata,
"Aku pernah melupakan seseorang, tapi aku tak tahu setiap orang melupakan seseorang."
(Goenawan Mohamad, 2001)