Monday 30 December 2002

Di Penghujung Masa

Di penghujung masa, sebuah rindu terserak bersimbah darah
yang mengalir dari mata hati yang lama kering.
“………………..selamat tahun baru…………………..”

Langkah bergegas meninggalkan bayangan, semilir udara dingin terus memeluk tiada jera. Dekapku makin rapat, nafas terengah membaui malam. Ku gosok-gosokkan kedua tapak tangan mencari hangat. Sia-sia, dingin menjadi raja. Kehidupan menjadi pengembara di perjalanan bumi yang mati sesaat. Hanya bintang yang hidup dengan kerlap-kerlipnya, jauh di atas sana tiada perhentian, kemarin atau esok waktu tak lagi bermasa.

Perhentian tak lagi jauh, bayangan hitamnya bersandar di balik kedua pohon raja yang menjadi gerbangnya. Kebekuanku kian mencair meninggalkan tetes-tetes jejak yang tersapu bersama angin yang terus menerpa. Pilar kehangatan menyeruak di beberapa puluh langkah ke depan. Perapian yang menyambut dengan peluk dan sapa, kecupan dari bibir istriku tak kan terlewatkan. Melumat dan mengigit bibirnya, tak memberi ruang untuk berucap lagi. Tak akan aku sudahi untuk setengah jam pertama. Si sulung pasti akan marah dan berlomba mencari dadaku. Untuknya aku sudah siapkan tenaga untuk melemparkannya ke atas kepala, ia suka bila aku permainkan begitu. Seperti biasa putri bungsuku hanya akan menatap, menguji mataku yang tak akan pernah lupa mencari tubuhnya yang gembul.

Sudah seminggu lebih aku meninggalkan mereka bertiga. Di malam penghujung tahun ini, aku akan melewatkan waktu bersama mereka. Biarlah proyek akan dilanjutkan kembali untuk beberapa hari berikutnya. Sejak siang tadi istriku sudah wanti-wanti agar malam ini sudah ada di Bandung bersama mereka. Dia berjanji malam ini akan hadir surga di kamar kami, dibaui dupa birahi yang dimiliki oleh Adam saat Hawa tercipta telanjang di pagi hari. Kesepian yang dipunahkan oleh Nya. Sesungguhnya tahun tak akan pernah berganti karena waktu akan terhenyak oleh pagutan rindu. Nafas-nafas berkubang kata dan lirih memburu detik-detik yang berjalan lambat. Oleh asmara cinta kan bertambah muda walau waktu angkuh menawan umur menuju ufuk akhir zaman.

Gerbangnya sudah kudapatkan, langkahku terhenti mengantar ketukan tangan di helai pintu. Tak usah menunggu masa, cahaya lampu menyeruak keluar dari baliknya. Seraut wajah menyambut hangat, memeluk diriku yang masih mematung.

“Apa kabar sayang? Kami sudah menunggumu, mari masuk. Kamu pasti sudah kedinginan di perjalanan. Tubuhmu tampak membeku.” Tangannya membimbingku memasuki rumah. Tangan wanita itu kemudian terlepas saat wajah-wajah lain berhamburan ke arahku.

“Wah yang ditunggu sudah datang. Bawa oleh-oleh apa nih dari Jakarta?”

“Iya nih, sejak di Jakarta kamu makin cantik aja. Udah banyak order ya sekarang.”

“Mbak, ajak aku dong kalau lagi shooting sinetron. Aku pengen juga jadi selebritis nih.” Ucapan centil yang terakhir membangkitkan tawa, membius suasana menjadi lebih ceria.

Di sudut sana, di samping pohon natal yang masih terpasang, lelaki tua itu melebarkan tangannya. Menatapku penuh rindu, raut tuanya tak mampu sembunyikan sebuah penantian. Di kakinya aku bersimpuh, memeluknya hangat. Tangan tua itu bergetar mengusap kepalaku, menjemput tubuhku. Ada kerinduan menangis di pangkuannnya. Di penghujung tahun yang terus berjalan, tubuh tua itu masih mampu meredam kematian bersama penyakit yang telah melumpuhkan syaraf-syaraf motoriknya.

“Jam berapa dari Jakarta cah ayu?” tanya ayah.

“Sore, yah. Ayah sehatkan?” tanyaku balik.

“Ayah tak akan lengkap sehatnya tanpamu. Dari tadi ia hanya menatap pintu, kalau-kalau wajah putri kesayangannya tersembul dari balik pintu. Mbak Santi, Bella aja dicuekin, padahal mereka jauh-jauh datang dari Bali. Kalau si bontot emang sudah menjadi dayangnya, tak perlu ditunggu-tunggu mungkin,” canda ibu.

“Iya nih, padahal aku sudah bawakan baju kesayangan ayah. Tapi yang diresahkan kau melulu, dikit-dikit Ratna. Emang anak ayah hanya Ratna doang?” ucap Santi, si sulung. Bibirnya menari tak kalah hebat.

“Ah mbak, jangan gitu dong. Yah, aku nggak bawa apa-apa nih. Hanya kehadiranku pengobat rindu ayah,” kataku agak malu-malu.

“Yeee…. Kalau itu mah jangan disebut-sebut. Emang kau udah tahu, kalau ayah itu nggak butuh apa-apa, selain kehadiran gadis kesayangannya,” ejek Bella.

Aku hanya bisa tersenyum malu-malu di goda oleh ibu dan saudara-saudaraku. Pelukku kian rapat padanya, menyembunyikan merah mukaku. Entah mengapa, perhatian ayah terlalu berlebih hanya padaku. Mungkin secara fisik aku memang paling ayu di antara kami berempat yang kesemuanya wanita. Dan untuk itulah ia takut bila aku tak bisa menjaga diri oleh daya pikatku pada lawan jenis yang menatap padaku tentunya. Ia pernah berkata, lelaki manapun pasti menginginkanmu, untuk itulah kamu mesti berjaga diri dari kerakusan itu.

Berbaur dengan ketiga gadis yang tak putus-putusnya bercerita membuat suasana rumah kian ceria. Masing-masing berceloteh tentang pengalamannya sambil menyiapkan santapan malam menjelang tutup tahun. Kerinduanku pada suasana inilah yang terkadang membuat hambar segala gemerlap Jakarta yang menawarkan tawa-tawa semu. Bibir-bibir merah dan perona wajah tak mampu lukiskan keramahan, di baliknya gurat-gurat kemunafikan masih membayang. Kamuflase segala persahabatan, hanya sebatas saling membutuhkan. Selebihnya kalaupun ada kejujuran itu adalah keajaiban.
Tapi waktu begitu mengunci rapat oleh ritualitas pekerjaan. Uang menjadi pecut hidup, dan jiwa-jiwa dinilai sebagai angka. Begitu terlatihnya manusia-manusia mengais lubang-lubang tempat bangkai uang yang terpendam rapat. Sehingga terkadang untuk sebuah lubang, akan ada sebuah kematian. Uang milik sang pemenang dan lubang kubur bagi yang terkalahkan. Untuk semua kenyataan yang aku hadapi itu, aku merasa sudah saatnya aku hadir bersama mereka di sini tidak lain untuk sekedar mengetahui bahwa masih ada kehidupan yang mungkin purba bagi mereka.

Sebuah ketukan di pintu menyentak lamunan ku. Siapa gerangan yang datang pada saat waktu akan memberi tahun baru untuk satu jam ke depan? Tidakkah ia berniat melepas tahun dengan keluarganya sendiri?

Sebuah tubuh menggigil berdiri di depan pintu. Kudapatkan sebuah wajah yang menawarkan keraguan. Apakah aku bermimpi?

“Apa kabar sayang? Biarkan aku menyelesaikan langkah untuk mendapatkanmu di kehangatan rumah.” Suara yang lama hilang itu kini hadir bersama pemiliknya, aku menjadi malu oleh tatapku yang begitu rakus. Seakan saat itu aku ingin memeluk mimpi yang lama sembunyi di balik bayangan. Dan aku mempersilahkannya masuk, sambil tak lepas memandang langkahnya yang tak pernah ragu-ragu.

Ayah bagai mendapatkan sebuah kado yang melengkapi gunung kerinduannya. Baginya pemuda ini adalah putra kesayangannya yang lama bertapa di ujung jagad sana. Ya, di Papua untuk sekian tahun lamanya, bekerja pada sebuah pertambangan. Dan selain ayah, akulah yang tak mampu sembunyikan gemuruh dadaku yang kian berguncang hebat. Lelaki itu mampu membuatku untuk sekian lama menepis segala rayu wangi tubuh-tubuh tampan lelaki yang mencoba menggodaku. Tidak sedikit yang menawarkan segudang mimpi dan danau kebahagiaan. Tapi sudah lama jantungku ditambat olehnya.

Tanpa menunggu masa, aku menariknya menjauh. Ayah dan ibu hanya bisa tersenyum, sementara ketiga gadis itu makin menggodaiku. Kami terjebak pada suasana saling menatap di beranda belakang rumah, tempat yang sedikit tertutup bagi mereka yang berniat mencuri tatap pada kami.

Ia tersenyum sungguh indah. Ahh…. aku kian terkulai pada rengkuhnya. Pinggangku dipeluk tangannya yang kekar, tak ada niat meronta tubuhku kian merapat. Kian jelas bibir itu di depanku, membuka dan berjalan. Menyapa, menawarkan sentuh. Dengusku menjawab pasrah, kian membiusnya. Memberinya magnit yang menautkan kutub-kutub tak berjarak. Kian hangat menyapu bibirku, melumat tak lekang. Tak meninggalkan celah, bibir tak lagi berbatas. Aku menarik kepalanya kian merapat, menghabiskan basah di bibirnya, menghisap hangat pagut, menyapu rindu yang lama tercekat di langit-langit. Aku tak mampu lagi menatap matanya, yang ku tahu kami tak lagi berbibir. Kami telah sebibir. Untuk setengah jam lamanya nafas-nafas kami telah saling meracuni, saling memberi sentuh yang memagut.

Di rengkuhnya aku dapatkan kembali sebuah kehangatan purba. Jiwa yang bangkit dari kubur yang lama. Gairah milikku kian bangkit pada dekapnya, pada dadanya yang menawarkan degup bergelora. Aku bisa membaca irama detak jantungnya, bagai mantera yang mengucapkan sejuta kata-kata sihir yang kian memasungku. Begitu lemahnya aku pada pikat sihirmu sehingga bagiku hidup tertahan hanya pada detik ini. Bila pun aku berkenan, untuk detik-detik selanjutnya hanyalah detak jantung ini yang menjadi petunjuknya. Aku akan mengabarkan pada waktu, bila detak telah menjadi detik. Bila rindu telah menjadi peluk. Bila bayang telah menjadi kasih. Pelukku kian erat. Aku tak memberi waktu baginya untuk bercerita, seolah waktu hanya akan berniat memisahkan kami.

Di rengkuhnya, aku mencium pipinya dengan lembut. Sebaris bisik aku usapkan ke telinganya, “kapan kita tak kan terpisah lagi?”

“Kalau ego kita terkalahkan oleh rindu.”

“Kapan ego kita terkalahkan oleh rindu?”

“Ketika waktu menahan detik dan akal tak lagi berbicara. Hanya hati yang menjadi kejujuran.”

“Mengapa kita tak bisa mencoba untuk jujur?”

“Kita punya hati, tapi melupakan kejujuran. Rindulah yang bisa merekatkannya. Mari kita bicara rindu, kita tak kan terpisahkan.”

Kami terdiam sesaat, hanya peluk yang berbicara di keheningan.

“Kapan rindu kita kian menebal?”

“Ketika rindu tertahan pada detik, aku ada di hatimu dan kau ada di hatiku.”

Tapi detik kian tak tertahankan, walau rindu kian menambatkan cengkramnya. Bandul waktu menyelesaikan menit, dan penghujung tahun telah tiba.

* * *

Nyeri itu kian terasa, tanganku mengusap luka yang membekas di dahi. Perihnya kian tak tertahankan. Mataku masih nanar, bintang-bintang berpendar pada pandangan. Jalan nafasku berat berlalu, remuk di dada melahirkan sesak. Untuk sekian lamanya aku mencoba mengatur nafas, merangkai waktu mencari sebab. Aku masih tertegun di depan kemudi mobil yang terperosok kedalam parit dalam. Pandangan mendapatkan kaca yang pecah berserakkan, serpihannya mengotori luka dan tubuh.

Ahh….. mobilku telah membentur dinding parit ini. Ya, jalanan yang becek kian membuatnya limbung tak karuan. Andai aku tak gelisah mungkin kejadian ini tak kan tercipta. Sisa pertengkaran tadi menyebabkan mataku tak awas lagi. Otakku entah mencari apa. Otakku muak mengingat ucapan gadis muda itu. Serapahnya masih mengiang, ia tak ingin aku tinggalkan sendiri di kota ini, Bandung. Matanya sungguh tajam menatap kepergianku, meninggalkannya sendiri di hotel itu. Tapi masih ada rindu-rindu yang menanti di kotaku, istri dan kedua anakku. Dan gadis muda itu tak mau menerima kenyataan hanya sebagai teman penghantar tidur selama aku berdinas di sini. Walau sungguh aku akui, di kesepian aku tak bisa melupakan lekuk tubuhnya yang indah dari gairah yang ditawarkannya.

Tak perlu lama gelisahku melahirkan petaka. Baru lima belas menit meninggalkan hotel, ketika penat masih berkecamuk, aku mendapati tubuh gadis muda yang lain. Yang berjalan di rintik hujan menyebarang jalan. Otakku tak dapat memberi perintah yang benar, nalarku lumpuh sedari tadi. Depan mobil menjemput tubuhnya, roda-roda menindih dan meninggalkan tubuh menggelepar. Pandanganku terhenti membentur dinding parit dalam itu. Bagaimana keadaannya?

Aku mencoba membuka pintu dengan sekuat tenaga, dan mencari bayangannya. Tak jauh di belakang sana, seonggok tubuh wanita tergeletak pasrah terhampar di aspal yang basah. Kini bukan oleh rintik hujan, oleh genangan darah yang anyir. Tak ada senyum kudapatkan pada wajahnya, tak ada mata yang menatap rindu. Tak ada bibir yang haus akan kecup pada mimpi yang masih bergayut pada bayangan. Di ketidaksadaranku sesaat tadi, aku dibawa oleh rindu yang mati. Ketika puluhan langkah lagi, wanita itu akan mendapatkan rumah kediaman jiwanya. Rumah hatinya, menunggu rindu yang tak pernah terjawab oleh takdir. Di penghujung masa, sebuah rindu terserak bersimbah darah yang mengalir dari mata hati yang lama kering.

Bekasi,29desember2002

Thursday 19 December 2002

Jikalau kita harus mati malam ini

: selamat Natal

Di langit yang tiada awan semakin jelas membentang ruang yang tiada bertepi. Bumi bagai bayi di dalam ketubannya, dibaluti alam yang menawarkan berjuta misteri. Dan jauh di atas sana kemahaluasan bertahta, semakin terlihat kecil wujud dari kehidupan yang berjalan di bumi.

Seperti sukacita yang tampak pada wajah-wajah yang bernaung dalam gedung ini, malam menambah suci dari hati-hati damai pada jiwa-jiwa yang berserah pada penciptanya.

Di barisan dekat jendela yang terbuka, sepasang suami istri muda saling bertatapan. Ada keraguan pada wajah sang istri.
"Akankah malam ini sedamai langit yang indah di luar sana?"
"Damai menyelimuti pada hati yang berserah."
"Mas.......haruskah malam ini kita bertahan di sini?"
"Mengapa harus takut sayang. Bukan hanya karena aku ada di sisi mu tapi kita berada di keselamatan itu sendiri."
"Jika kita harus mati, masihkah engkau akan ingat namaku di sana nanti?"
"Di Firdaus yang suci, akan tersucikan nama-nama yang melekat di diri kita. Kita menjadi sama bernama kasih. Dan aku akan ingat engkau yang bernama kasih."

Sang istri tersenyum, digenggamnya erat tangan sang kasih. Hanya maut yang dapat memisahkan, karena mereka telah dipersatukan Tuhannya.

Tak jauh di barisan belakangnya, sepasang kakek dan nenek duduk bersanding tak kalah tenangnya. Bukan hanya oleh usia, tapi sepertinya makna kehidupan telah lama mengendap di jiwa-jiwa mereka.

"Nek, kita tak bisa bersama-sama anak dan cucu kita. Semoga mereka baik-baik saja di sana. Mungkin mereka sama dengan kita di waktu ini, mencari keselamatan padaNya."
"Jangan risau, berserahlah, tidak lama lagi kita akan berjumpa dengan mereka. Hingga kelak kita berada pada jarak dan waktu yang tak terpisahkan. Tanganmu akan kelelahan merangkul cucu-cucu kita yang kian bertambah banyak. Kasihmu tak perlu kau bendung lagi, saatnya tiba kita akan berkumpul bersama lagi untuk selamanya."
"Benarkah itu? Pada kehidupan yang abadi?"

Si Nenek mengangguk, senyum pada pipinya yang menua menyiratkan kepastian tiada menawarkan ilusi semusim.

Tak seperti mereka, di sudut sana sepasang belia tercekat dalam kesunyian. Bukan oleh nada-nada gita surgawai yang berkumandang, tapi sepertinya mereka menahan detik-detik agar tak melaju cepat.

"Gadis, akan kah esok kita masih bisa berjumpa lagi?"
"Mengapa harus kau tanyakan itu. Bukankah aku ada pada setiap tatapanmu?"
"Kuakui, aku tak bisa berpaling. Aku seperti seorang buta yang menatap hanya pada satu bentuk. Menatapmu dengan penuh kesadaran. Bukan bayangan lagi. Dirimu. Dan malam ini...... aku ingin ucapkan kata yang terpendam lama di hatiku. Tuhan penuh dengan kasih, ijinkan aku memenuhimu dengan kasih ku. Maukah kau jadi kekasihku? Cawan penyimpan tetes deras kasih milikku?"

Sesaat gadis itu terdiam, mukanya menunduk seperti kodratnya puan-puan di detik pada lakokn yang sama.

"Bila kasihmu seperti Dia yang mati bagi keselamatan mereka yang dikasihiNya, aku berserah pada darah cinta yang mengalir dari jantung yang ditombak. Aku juga sayang kamu. Sungguh ucapmu lama kunanti."

Tak terasa tangan keduanya bertautan. Mengalir sudah bulir-bulir kasih bagai burung yang lama menanti dahan.

"Bang apa benar berita-berita itu? Tentang berton-ton bahan peledak yang belum terungkap keberadaannya?"
"Yang terungkap hanya segelintir, itupun kalau benar hanya mereka pemiliknya. Mungkin malam ini gereja-gereja akan merayakan Natal dengan penuh kekhawatiran. Tapi kita semua yakin di rumah Bapa kita menuju ke keselamatan itu sendiri. Biarlah gedung-gedungnya hancur rata di muka bumi, Tapi Tuhan masih hidup di hati kita. Gereja bukanlah gedungnya, gereja adalah jemaatnya. Sama seperti lilin yang memberikan terang bagi sekelilingnya, begitulah kita menjadi sumber kasih. Dan rela memberikan diri bagi kebenaran seperti lilin yang cair menghilangkan ujudnya, tapi kita merasakan pengorbanannya."
"Jikalau kita mati malam ini. Tunggu aku di tepi taman Eden, di sumber kasih yang tak berkesudahan. Kita bersama akan menjaga beningnya kasih yang mengalir."

19desember2002

Tuesday 17 December 2002

Kala Kabut Telah Pulang

Entah apa yang menyebabkan kami hanya berdiam diri padahal sebelumnya tak ada kata yang salah ucap atau tingkah tak pada tempatnya, tak mungkin ada kecemburuan atau bibit perselingkuhan yang terkuak, wong bercerita panjang saja belum dinaskahkan, hanya sebatas kenal dia bernama gadis, ya, teman sepupuku yang berbaur menikmati indahnya kebun teh yang luas telanjang di depan.

Aku hanya bisa curi pandang selama itu tak dilarang, mencuri hatinya baru niatan sebelum akhirnya aku jadi penjahat pencuri jiwanya, ‘kan ku kurung di kamar-kamar hatiku yang tak berbatas karena hukum nabi pun tak mampu pancung niatan ku sebab kejahatan yang satu ini tak bersaksi, alibiku tercetak pada delapan penjuru angin, geraknya tiada berbayang bersama waktu kan tersusun ingin, pinta dan harap tindik menindik menjelma menjadi buku hidup.

Wujudmu tak samar jelas ada di antara empat tubuh yang mengantarai kita, memandang kabut yang malas turun menyembah pada embun-embun yang kian menua, aaaahhh…… mungkin seperti itulah harapku engkau hadir di balik kabut itu, berdiri, kan kuhampiri tubuhmu. Ijinkan aku menyeka embun yang nakal hinggap di rambut hitammu, lengkaplah sudah keindahan senyummu kelak saat jemariku usai mengusap tetes air yang bergulir ke pipimu.

Tapi bayangmu tak kujumpai di sana, hanya tapak-tapak kecil yang lincah berlari menyusuri jalan setapak di antara kumpulan pohon-pohon teh dan tangisan langit yang lalu melukis jejak sungguh pasti. Sungguh lincah langkahmu tinggalkan aku yang kian merapuh mencoba mengendus gerakmu, mungkinkah aku yang lama menepi mampu telusuri irama hatimu sementara cinta bagiku bukan lagi bagai permen yang hanya mampu meninggalkan manis atau asam di bibir saja. Bagiku cinta seperti buah larangan di taman eden yang dikerat oleh hawa dan adam, setelahnya kita sadar telanjang, sadar ‘tuk berniat sama, menjalani kutukan bersama, bukan sekedar mabuk oleh dawai-dawai petikan cinta dan jikalau nada menjadi sumbang kita ‘kan pasrah menyerah pada jalan yang bercabang-cabang.

Lambat laun langkahmu dapat kutarikan, tarian lalu yang pernah racuni sendi-sendi lututku, terjerembab di langkah terakhir. Kini tak kaku lagi, wangi tubuhmu terserak pada dada yang berguncang hebat, oleh ketidaksadaran mungkin atau keragu-raguan? Otakku menepis semua kepasrahan, selagi hidup bukan kendi-kedi berlubang, tak ada waktu tersisa.

* * * *

Tak terasa baju hangat ini kian menipis, angin nakal mencubit tubuhku, menyelesap lalui pori-pori membius kulit. Hangat tubuh kian terhantar keluar menjadi sama dinginnya dengan angin yang lalu. Angin itu membawa teman, kabut yang masih bermantel putih, kian lama kian manja menari di antara daun-daun teh yang pasrah pada pelukan alam.

Tapi di mata lelaki itu aku jumpai kehangatan, ribuan binar-binar yang terbang pada setiap pandangan. Adakah pemilik tanur keabadian itu? Seseorang yang setia menjaga ranting-ranting tetap marak melelehkan kebekuan. Keteduhan yang menghangatkan. Bila Tuhan ijinkan biarlah mata itu dikutuk menjadi milikku saja.

Kabut ya tetap kabut yang masih putih, entah dari mana mereka bertiup yang pasti lereng dan lembah juga bebukitan kian terwarnai. Tutupi pandangan bagi kaum pejalan yang lama merindukan teduhnya sebuah naungan, ya rumah keabadian. Peneduh yang lama aku impikan di usiaku yang masih belia, tapi aku masih was-was pada bayang-bayang di antara asap putih yang tersamar. Aku bukan kaum peragu, aku telah membangun rumah jiwa dari mimpi-mimpi. Sketsanya sungguh jelas, pondasinya kuat menahan, dinding dan atapnya tak tergoyahkan. Kesetiaan bagi mereka yang ingin bernanung di dalamnya bersamaku.

Penantianku di kursi tua di depan pendiangan api tak berbekas nyanyi, hanya percik-percik ranting yang terbakar dan suara angin kian mengusik di luar sana. Jendela telah terkunci rapat, tak kan ada suara dentuman daunnya yang saling menghantam, hanya sesekali burung hantu mencoba menggoda nakal. Akankah ada jejak-jejak melangkah mendekati pintu dan mengetuk? Andai ada suara yang memanggil namaku, kan ku buka baginya. Sebab rumahku tak bernama, tentu ia telah mengenalku. Dan biarlah di depan pendiangan ini aku berbagi kehangatan, mengisi kekosongan waktu yang kian menambah tebal debu-debu di peraduan. Merajut cerita kalahkan simpul-simpul di sudut-sudut langit rumah milik laba-laba hitam.

Oh, mungkin aku meracau. Mana mungkin ada petualang mampu tembusi badai kabut tebal itu. Langkah mereka akan terseok-seok terjegal akar-akar kayu yang lama menyelonjorkan zaman, kelelahan. Sementara mata angin lama tertidur, berputar bersama mimpinya. Mencariku adalah kesia-siaan bila mata hatinya tak lagi menjadi lentera. Dan aku bukan puan kaum penggoda yang menyalakan api unggun di padang yang luas terbuka. Aku tak mampu menjadi penari-penari bagai dewi-dewi turun ke bumi mandi di pancuran menjadi incaran kaum pengintai cinta.

Biarlah rumah jiwaku tersembunyi, rapat menjadi teka-teki bagi kejujuran cinta. Walau penat memakan waktu sendiri, tapi aku yakin akan ada langkah yang menghampiri. Seperti di detik ketika penantianku buyar di keping-keping keraguan, engkau berdiri di depan pintu hatiku. Melangkah pada tempat tubuhku bersandar. Engkau mengenaliku, mengucap nama dan menawarkan kehangatan yang aku rindukan. Matamu melelehkan penantian, menguap jauh bimbang.
Kala kabut telah pulang, engkau berkata, “Gadis, pakai baju hangat milikku ini. Kau kelihatannya mengigil sejak tadi. Mari kita pulang, teman-teman telah menunggu di mobil.”

Puncak, 7desember2002

Monday 16 December 2002

Mereka Menguliti Bulan

--- menuju revolusi di bulan ke enam

Nafas malam itu
bukan lagi sebuah tafsir.
Tidur sudah terjaga, kunang-kunang
berlutut di kelahirannya.

Suara-suara menjadi batu
di tiap detik yang membunting jadi gunung.
Kian melambung, kian membumbung,
nasib tak mau lagi disunting.
Kuali retak tak bisa menanak.
Teranak perih bayi-bayi dendam
berkalung kapak-kapak.

Bernama massa, mereka merangkak.
Nurani terpanah di satu titik.
Malam ini,
nafas bukan lagi sebuah tafsir.
Di mulut gunung
kapak-kapak teracung
menguliti bulan
di purnama yang ke enam.
Bernama kota tak berbekas.
Darah berbayang di rembulan

16desember2002

Kini Saatnya

Muda tiada lagi masa,
bila hari kian tua
keringkan jejak-jejak menuju
mimpi bunda.

Tiada waktu,
inilah saatnya.
Setelah musim menanggalkan jubahnya
borok kian membekas.
Pintu zaman lapuk oleh syair-syair.
Benteng itu sama tuanya
dengan sejarah yang kita ciptakan

Pada jalan yang kian samar
mata muda menuntun angin
rangkul bahu ayah dan bunda
jabat tangan kasar milik petani
cium asinnya keringat nelayan
bangkitkan sadar sang buruh
untai semua harap yang kian cemas
berbekas di ujung mata

Bila kita telah lurus berbaris
Apa lagi yang kita tunggu?

Wednesday 11 December 2002

Sore bersandar pada lamunan

Sore bersandar pada lamunan
sementara angin kian menggigil.
Hanya titah terucapkan
: berikan aku air kehangatan.

Bukan sepoci air terhantar,
tapi senyum terucap
: pandang titik-titik di balik asap putih.

Ketika kabut lelah melayang, tanyaku tiada lenyap.
Seheran tatapan pada dua pasang sinar di kejauhan,
di barisan pohon-pohon teh berdiri rapat.

Kupingku kembali tersentuh nafasmu
: mereka telah lampaui badai putih.

Bukan. Bukan telah.
Mereka tak pernah lampauinya.
Binar kasih lumeri kebekuan.
Ada sekelumit waktu kelabui alam.

Toh mereka punya nyali,
tetap dua ekor anjing hitam yang berlari.

Pada senyummu tiada berpindah
Akalku mati rasa, saat ingin mengucap
: berikan aku kehangatanmu.

Tuesday 3 December 2002

Sejumput Rindu Buat Bunda di Hari Lebaran

Bunda, apa kabarmu? Kabar yang aku nanti di setiap pagi hanyalah semoga bunda baik-baik saja di sana. Usah pikirkan uban yang makin banyak usil menyeruak, sebanyak itulah kerinduan hadir untukmu.

Bunda, mungkindalam lebaran kali ini aku tak bisa datang bersama mantu dan cucu-cucumu. Bukan tiada ingin berkumpul dengan mu di hari agung ini, tapi keadaan yang benar-benar memaksa. Mantumu rindu merasakan lezatnya olahan tanganmu, ia kadang cemburu bila aku membandingkan masakannya dengan buatan bunda. Aku rindu suasana rumah yang selalu kau hadirkan kedamaian. Dan dua cucumu rindunya kian menebal, terbayang di pelupuk mata mereka tanganmu akan terkembang memeluk dan membawa mereka ke pangkuan mu. Kuping mereka rindu akan dongeng-dongengmu.

Bunda, lima bulan lalu kami telah pindah. Kini rumah yang baru telah luas, halamannya juga lebar. Aku pikir suatu saat bunda pasti tiada bosan lagi bermalam di sini, biarlah halaman itu menanti jamahanmu. Pasti akan kau hadiahkan pada kami pagi yang indah. Dari balik jendela kamarku di lantai dua, aku akan menatap bulir-bulir embun pada kelopak-kelopak bunga. Mereka membagi kasih yang kau racuni pada kehidupannnya. Sungguh damai ada di setiap belaian kasihmu.

Sebelumnya aku minta maaf tiada kabar akan kepindahan kami. Kami disibukkan olehnya. Pusing memikirkan perabotan-perabotan yang pantas untuk ruang tamu. Perabotan yang lama tiada patut dikurung megahnya rumah bergaya Eropa ini. Otomatis semua harus disesuaikan agar layak bersanding. Istrikulah yang paling berjasa dalam menatanya.

Begitu juga dengan luasnya garasi mobil yang tersedia. Kami terpaksa menambah tiga mobil lagi. Kijang yang lama tiada kontras bila berbaring di halaman. Kami memilih tiga mobil Eropa terbaru. Walau perawatannya sangat manja, tapi sungguh anggun berjalan. Bunda pasti tiada bisa berkelit bila kuajak berpesiar di Jakarta, ketakutan muntah di jalan takkan terjadi. Dan tentang mobil ini, maafkan aku lupa mengabarinya. Karena kembali kami dibingungkan untuk memilih warnanya, semua tampak sama indahnya. Untung istriku punya selera bagus. Jadilah kami pilih yang berwarna merah, hitam dan biru.

Mungkin di lebaran kali ini bunda akan dipasung sepi tanpa kehadiran kami di sisi mu. Kami pun merasakan hal yang sama, tapi tak eloklah bila kami meninggalkan rumah dan mobil-mobil itu. Kejahatan di Jakarta hadir di setiap detiknya. Kami terpaksa harus menjaganya sendiri, karena tiga pembantu, dua tukang kebun dan dua satpam pada mudik. Rumah dan isinya tak aman bila ditinggalkan.

Di lebaran kali ini mungkin kami akan menghabiskan waktu hanya di rumah, menikmati acara-acara TV, yang bertambah bagus gambar dan suaranya dari perangkat audio terbaru yang komplit di ruang khusus home theatre kami. Dan sepanjang hari cucu-cucumu dapat berenang di kolam buatan di dalam rumah, membayangkan kali di belakang rumah kita dulu. Tiada lupa aku sempatkan membersihkan mobil-mobil sambil berkaca di bodinya.

Bunda, aku tiada bisa kirimkan apa-apa untuk beli bajumu. Sudah sebulan rekeningku dibekukan dan aku tak boleh melakukan transaksi apapun. Bapak-bapak itu ingin memeriksanya, katanya ada aliran dana yang salah alamat. Bukankah yang telah masuk ke kantung kita tanpa paksaan adalah milik kita? Itu pemberian bosku, karena kemarin rekening istriku telah aku pinjamkan pada beliau. Ia ingin menitipkan sementara uangnya.

Bunda, aku tak bisa pulang ke tempat kelahiranku. Aku sedang dalam pengawasan, mereka katakan tahanan kota. Mungkin di luar kota tak aman. Tapi sebenarnyapun aku sedang menanti bosku yang hilang entah kemana, semenjak ia dicurigai punya banyak uang. Bukankah kita bekerja untuk mencari uang? Tapi aku masih merahasiakan titipan itu. Berjaga-jaga jikalau beliau membutuhkannya.

Bunda, sejumput rindu aku hadirkan bagimu. Biarlah masa mempertemukan kita kelak entah kapan, karena mungkin aku akan dipindahkan ke sebuah pulau yang menurut mereka lebih aman bagiku. Mohon maaf lahir dan bathin. Sembah sujudku bagimu. Jangan engkau ingkari aku anakmu, aku cinta mu, bunda.

Dari yang telah lama menghilang,

Anakmu

3desember2002

Monday 2 December 2002

Pada Lalu

Sisa-sisa apa yang kau lihat pada lalu?
Aku? Aku bukan Tuhanmu.
Jangan kau katakan aku jalim.
Perompak yang terus mengarung, menggerayangi lautan.
Aku tak ciptakan apa-apa akan nasibmu.
Hidup terus bermula, pagi dan siang hanya rintik-rintik.

Sia-sia apa yang kau telan pada lalu?
Aku? Aku bukan Tuhanmu.
Pedih dan perih itu bara tanur kebajikan.
Simpan rapat tiada berbau. Toh esok mata tiada lagi berdusta.
Kerikil-kerikil tajam nanahi pelupukmu.
Jangan pernah langkah kembali gontai.

Si apa yang kau tatap pada lalu?
Aku? Ya, aku abdimu.
Bayangan yang mengantar mimpi bangkit dari rebah panjang.
Tapi aku tetap hanya bayangan. Setia hanya mencumbui langkahmu.

2desember2002

Thursday 28 November 2002

Kubus-kubus

Garis-garis datang memagari nafas sunyi. Membentuk
kubus yang tentu sama sisi. Kamarku berbentuk kubus,
jiwaku berwujud kubus, hatiku menyerupai kubus, bayangan
di cermin retak tetap kubus. Isi dompetku bukan lembaran-lembaran lusuh,
tapi kini kubus-kubus yang masih juga lusuh. Gambarmu juga kubus,
sungguh tak elok hidung mancungmu tersihir kubus.

Entah dentang apa waktu menjadi gila. Logikaku terkotak-kotak
sama sisi. Logika kubus. Debar jantung berdentum di delapan sisi.
Sudut-sudutnya runcing menusuk langkah yang bolak-balik. Sekali
berjalan ku harus berguling di tiap sisi. Sulit menjadi petak-petak bermuka sama.
Nyeri-nyeri terlukis dari delapan penjuru angin. Tapi sesal tetap sesal.
Hidup buntung bukan bunting menanti orok.

Aku terpasung tanpa rantai. Oh.... jiwa-jiwaku dipagari delapan sisi yang sama
jahanamnya. Nafasku tersenggal berat. Bulu-bulu hidungku menggelitik nakal
merayu bersin. Haaatttssyimm..... Kubus-kubus tak memasung bandul lagi.
Berubah wujud menjadi kubus yang panjang.
Kutu Busuk.

28november2002

Wednesday 27 November 2002

LIMA SURAT UNTUK IBU

Surat Pertama: Jakarta Bertambah Harum
Kapal telah terantuk di dermaga. Kakiku pincang melangkah di antara sampah-sampah Jakarta. Di antara bualan politik di serambi istana, botol-botol parum globalisasi, liur-liur yang menetes di pinggiran real estate, map-map lusuh bundelan lamaran, mayat-mayat hidup di kolong-kolong. Udaranya menyesakkan, tidak seperti nafasmu bu. Pagi tadi saudara kita juga tiba di kota ini. Aku sambut tidak dengan sirih, tapi lirih yang menetes. Tes. Tes. Tes..... Sungai memeluknya, menghantarkan mayat di tepi ini. Jakarta bertambah harum. Keringat, tangis, liur, bangkai penuh belutang.

Surat Kedua : Siapa Yang Menanak Nasiku Kelak?
Ingatkah ibu pada nasi yang dulu ditanak? Tutupnya naik turun, uap panas menyeruak. Rinduku pun tak bisa tersimpan rapat. Padamu dan manusia berkelamin sepertimu. Aku yakin dia cantik - seperti ibu - dalam gaun pengantin putihnya, setetes darah di sudutnya. Darah itu milik suaminya kini. Aku tak menyisakan apa-apa, perih-perih dari gaun putih di jemuran esok. Airnya menetes pelan, lamat, lambat, mampat benak sesaat. Mungkin pagi-pagi berikutnya, nasi di tanak untuk lelaki yang memeluk tubuh bugilnya. Dan tutunya naik turun. Siapa yang akan menanak nasiku?

Surat Ketiga : Kelelawar Menari di Purnama
Aku berada di antara keringat-keringat. Di antara dengus-dengus. Di sela-sela mimpi dan ronta tercekat. Tangan tak diam, otak menari gila. Beratus-ratus rantai mengikat jiwa-jiwa pada pilar-pilar roda yang meludahi keping-keping emas. Tiada yang berani berbisik akan gaji tak cukup atau istri yang belum pernah menggoreng ayam, atau anak-anak menanti baju baru di gerbang sore. Ada kelelawar berbaju emas menari cha cha di bumbungan atap. Telinga lebar amat awas. Taringnya meneteskan mazmur-mazmur nabi palsu, ia penetrasikan ruh-ruh kemerdekaan diri. Mandul dan robot berjalan, menanti di akhir bulan, ketika kelelawar menari di purnama.

Surat Keempat : Hewan Itu Tertawa Puas
Dulu si Iwan jadi gila karena menggigit anjing gila. Orang-orang menertawai ulahnya dan jadilah dia gila yang sejati. Dikumpulkan bersama manusia-manusia gila di rumah yang gila. Kemerdekaan ada di sana, kebebasan santapan utama layak dicicipi. Manusia adalah harimau bagi dirinya, harimau adalah manusia bagi dirinya? Mereka tercipta berkulit manusia. Mereka bukan bangkai walau jiwa dikucilkan bagai binatang. Dan binatang itu tampil di TV sore. Tertawa puas. Sebuah kemerdekaan tersimpul di bibirnya dari panggung dagelan. Bersama binatang-binatang lain, mereka berhasil memusnahkan manusia-manusia di Legian.

Surat Kelima : Biarlah Aku Kembali Lalui Vaginamu.....
Sepi di antara mimpi. Akal-akal yang palsu terselubung debu waktu. Malam dan siang bagiku kembar. Gendang telinga rindu akan omelan ibu atau cerewetnya betinaku dulu. Memakan hari, memuntahkan syair-syair. Tapi syair-syair tak kan menyilaukan betina-betina yang tak berpemilik. Peta harta karun di kain lurik lusuhmu telah menipu, walau bapak memukul manja pantatku untuk beranjak ke kota ini dan tapaknya jelas terlihat Mungkin Desember ini aku tak pulang, jangan risaukan aku. Jangan kirimi aku Sinterklas. Aku tak mengidam itu. Yang kuingin bila Tuhan ijinkan, biarlah aku kembali melalui vaginamu dan tidur untuk selamanya di hangat rahimmu. Aku rindu peluk dan kasihmu, bu. Di situlah kejujuran bersumber dari seorang wanita.

Bekasi, 27 November 2002

Tuesday 26 November 2002

ANDAI IA TAHU

Andai ia tahu,
mungkin ini bukan sebuah onggokan muntah
yang baunya mengecutkan nyali semut-semut hitam itu.
Tersedak sudah sumpalan yang tercekat lama.
Gema jiwa dibaui himpitan gunung es galau.
Entah kapan 'kan mencair, basuhi lereng curam,
menyusuri mata hati yang lama kering merentang,
isi pundi-pundi sang musafir di oasenya.

Andai ia tahu,
mungkin ini bukan sebuah igauan sang pemabuk,
dari berbotol-botol kekosongan mimpi yang berlubang.
Tarian ku lincah dengan sayap-sayap patah.
Bumi usil tanah tiada landai.
Ahh....jiwaku adalah gempa yang mengabarkan racau.
Jangan tatapi aku dengan sinar tajam dari atap berlubang.
Biarkan angin membawa bisik ku di antara
buluh-buluh yang saling cemburu.

Andai ia tahu,
aku adalah anak sang waktu.
Pagi adalah kesadaran yang celikkan matamu,
aku nuzumkan embun basuhi asamu.
Malam adalah peraduan kasih setiamu,
aku selimuti engkau dengan pekat cinta
setiada sinar kebohongan di langit hitam
kita warnai malam dengan garis-garis keabadian.

Andai ia tahu,
kata itu belum pernah terucap,
tapi mulutku telah membauinya.
Dan aku hanya bisa menatap,
sang bulan di dalam botol arak

26 November 2002, 23.40 wib.

Friday 15 November 2002

buat tanya yang meruap

kerakkerakkerakyatan
kepikkepikkepicikan
diamdian kebajikan
samasara di bumi prahara
jauh di ufuk sana
akankah sang fajar mati muda?

Kita sang hamba

Kaki kita masih kaki yang dulu
dua tungkai yang tak letih berjalan
Dan kerikil-kerilik tajam teman yang lalim

Tangan kita masih tangan yang lalu
tak tahan terlena sedetik pun jua
Mengais di tepi kemakmuran yang terpenjara

Mulut kita masih tetap mulut terkunci
Baunya sesakkan nafas yang terhirup
Bungkam menelan aroma kenikmatan
bongkahan emas di lumbung sang tuan.

Ajal kita masih ajal yang meretas
Menanti tak pasti, berharap tak berbekas
Sirik bukan milik kita, tapi mimis masih mengalir
Akankah kita menjual diri,
bagai kambing-kambing sang kurban nabi kebajikan

Di tepi kemakmuran, kita berdiri
Menjadi hamba hina di negeri sendiri

14 november 2002

Aku adalah lautan kata

Aku adalah lautan kata, kubangan mimpi yang mencari jejak mu
pada lukisan tapak kaki yang ditelan oleh gelombang nakalku.
Sejuta tanya akan mu masih meninggalkan doa-doa
Atau kini mungkin ketakutan untuk mati muda
oleh hujan tombak bagai titik-titik sinar di seberang kegelapan.
Mari bercerita akan tangis yang menyelimuti daratan.
Tanah merekah membelah, liang-liang kubur yang merindu.
Jahanamlah jasad tak bernisan.

Aku adalah lautan kata, kubangan sampah dari daratan.
Sumpah serapah bagai buih ocehan alun dari selatan.
Ongokkan sisa-sisa hidup yang tak lagi terberi ruang.
Ketika pasang dan surut masih bersahabat,
mengapa kau tak beri damai yang dulu menjadi santapan.
Biarlah dunia binasa oleh kutukan damaimu,
bukan kebinatangan yang melahirkan manusia-manusia baru.
Karena setan telah lama berganti kelamin,
tidakkah kau tahu itu?

Aku adalah lautan kata, jajaran membentang di sepanjang waktu
tepian yang tak lagi mampu memiliki sebuah harapan.
Dari sini aku bersaksi akan kota-kota yang terbakar,
akan asap-asap hitam perangsang nafsu sang nazar,
akan jerit dan tangis mengalir bersama sungai.
Di langit tak ada lagi kerlap-kerlip rasi sang bintang,
hanya gelap, sekelam benak anak manusia yang dinaunginya.

Ketika camar masih terus tertawa dan nyiur memberi salam perpisahan.
Sang lanun hanya menjadi teman,
saksi bagi bulan yang bugil mematut diri
Dan aku masih tetap hanya lautan kata, yang bercermin pada kealpaanku,
mencari kasih yang lama menguap
milikmu, tuhan.

14 november 2002

Ziarah sebuah larangan

Lincah mendayu suara kecil itu menyapa pagi di Minggu yang tenang. Siulan angin bagai seruling mengisi kekosongan tangga nada dari hari yang baru di mulai. Pucuk-pucuk hijau menari bagai menikmati ruh-ruh yang bangun dari kubangan malam. Gerakannya sungguh meresap bersama embun yang berkilau bagai permata diterpa garis-garis sinar mentari. Binatang-binatang pemakan biji kepalanya menoleh kiri kanan, siulannya mencari nada-nada pelengkap makna. Terlukislah pagi dengan bingkai kebangkitan, aroma nafas kehidupan bermula.

Suara mendayu itu terhenti, digantikan bunyi kecipak air di permukaan kolam. Lingkaran-lingkaran makin membesar menyentuh tepi yang melingkari kolam. Ikan-ikan bersisik keemasan itu berenang menjauhi batu kecil yang lamat-lamat tenggelam. Bersembunyi pada gua buatan di dasarnya. Dan sang jantan mencoba melindungi dengan mengitari betinanya.

Kepalanya mendongak ke atas ketika melihat sebuah bayangan muncul membekas bersama bayangannya di permukaan air kolam. Ia menatapku, ada nada keheranan mendapatkan ku persis di belakang tubuhnya yang sedari tadi jongkok di tepi kolam. Tanpa memberi kesempatan sebuah tanda tanya berlanjut menjadi sebuah ketakutan, aku menyapanya, “sedang mengagumi mahluk-mahluk yang gembira itu?”

“Tidak, mereka justru mahluk malang yang terkukung pada kehidupannya. Tak jauh beda dengan burung di dalam sangkar. Kolam ini pasti sebuah dunia yang membosankan bagi diri mereka, seumur kehidupannya akan terus melingkar pada tepian yang sama, yang itu-itu saja,” dia membantah, nadanya sangat cerdas.

Aku mencoba bersahabat, duduk di batu besar dekatnya. Kolam itu sungguh sangat asri, di kelilingi oleh taman yang penuh bunga-bunga dan pepohonan. Serangga dan binatang-binatang taman menemukan surga kebebasan, walau tak jauh dari situ gedung-gedung pemukiman angkuh memagarinya. Pada masing-masing rumahpun terdapat taman-taman kecil, tapi itu terkesan hanya menjadi penghias, gambaran keindahan hanya menjadi pelengkap saja.

“Bersyukurlah kalau kau masih menghargai hidup. Tinggal bagaimana kita menjalaninya, seperti ikan itu yang tak mampu memberontak untuk kehidupan yang diterimanya. Bila mereka hendak menyangkalnya, kematian akan diterimanya. Melompat dan mati kehausan,” aku mencoba menariknya untuk lebih bersahabat lagi.

“Kita yang memberi mereka kehidupan walau mereka tercipta bukan untuk menjadi sebuah tontonan. Keindahan milik mereka yang kita inginkan, bukan keajaiban akan kehidupannya. Apakah kita tak bisa menghargai kehidupan mereka seperti kita menghargai kehidupan kita. Kita mencoba untuk menjadi tuhan-tuhan kecil,” nadanya begitu menyindirku yang hanya sebuah ciptaan dari debu yang di beri nafas kehidupan. Aku sedikit tertegun, mencoba menyusun kata untuk dialog-dialog berikutnya. Sebelum kernyit di dahiku kembali hilang, kata-katanya mulai memburu.

“Sama seperti orang tua dari anak-anaknya, mereka telah menjadi sang pencipta dari bayi-bayi yang mereka lahirkan. Keilahian mereka begitu merasuki, mereka memberi dogma dan aturan-aturan pada boneka-bonekanya. Hidup ada dari kata-kata dan perintah mereka, nasehat menjadi kekang untuk tak lari jauh ke depan.”

“Itu sebagai wujud akan kasihnya, seperti Tuhan memberi nabi-nabi sebagai penerang umatnya, orang tua yang tak mau sang anak menjadi liar pada imajinasi yang sesat. Atau seperti ikan ini, kita tak mau mereka kekeringan dan mati menjadi santapan sang predator. Janganlah kau berpraduga buruk pada orang tuamu, mereka mengasihimu,” aku mencoba menebak kerisaunnya. Sepertinya kalimat terakhirku menyapa galaunya.

“Aku tak pernah menyalahkan mereka. Hanya aku merasa mereka telah mengingkari waktu. Mengingkari aku sebagi buah kasih mereka,” ada sebuah mendung bergayut di wajahnya.

“Mereka tak mengakuimu sebagai anak?” tanyaku memburu.

“Tepatnya tidak seperti itu. Tapi pertengkaran mereka meniadakan kasih yang menciptakan aku, mereka meracuni kelembutan hati yang membesarkanku. Aku terjebak dalam persoalan masa lalu mereka.”

“Masa lalu seperti apa?” tanyaku berusaha mencari jawab.

“Ketika cinta mekar dan bersemi, buahnya tumbuh dan membesar, sementara akar lama tak pernah terpelihara. Terciptalah tanaman yang kerdil pada wadah perkawinan yang agung dan sakral. Mereka meracuni akar dan menyangkal jenis tanaman itu. Aku terjebak dalam kelahiran tanpa cinta.”

Dia terpakur menatap di kedalaman dasar kolam, mencemburui sepasang ikan bersisik keemasan yang berenang mengitari tepian kolam. Aku tersudut diam, tak mencoba mengusik galaunya terlampau jauh. Biarlah ia yang mengungkapkan sendiri di deti-detik yang berjalan. Lelaki kecil itu, sejenak menikmati keheningan. Siulan binatang-binatang pemakan biji terdengar bagai nada sendu, seakan tahu gundah gulana yang menaungi.

“Ibu tak menemukan cinta pada ayah, ia tak menemukan bayangan yang diimpikannya. Dan aku menelan semua mimpi yang dipaksakan untuk menjadi sama dengannya. Menjadi sama dengan manusia abadi yang mengisi relung-relung hatinya. Ada manusia masa lalu yang menghantuinya,” katanya datar.

“Dan aku terjebak dalam dunia kasih yang berjalan sendiri-sendiri. Terkukung pada mimpi-mimpi mereka dan segala kepalsuannya.” Ia tertunduk jatuh, tubuhnya bergerak bangkit menjauhiku. Gontai berjalan menuju rumah di seberang taman.

Aku mengejarnya, sahabat baruku pagi ini terjebak dalam kesedihannya. “Jangan pernah menyerah pada keadaan bukankah waktu yang menciptakan kita. Sobat kecilku, terimalah ini sebagai kenangan bagimu. Berjanjilah untuk tak menyakiti ke dua orangtuamu, dan kiranya kalung ini akan mengabadikan pemaknaan kasih yang sesungguhnya.”

Tangan kecilnya menggenggam erat pemberianku itu, sebuah kalung dengan mata batu hijau dan berlalu menuju rumah dengan dua kursi di teras depan, sebuah pot bunga dan asbak di atas meja kecil di antara kedua kursi. Tanaman mawar masih tetap tertata rapi di pinggiran lantai teras dan sebuah guci besar tetapseperti dulu terduduk di sebelah kanan dekat pintu masuk.

* * * * *
Itu rumah ayah, beratap genteng merah yang sudah tua. Tak jauh beda dengan sepuluh tahun yang lalu, masa yang cukup lama aku tiada mendapati senyum kerinduannya yang selalu mengembang walau sehari saja aku menghilang. Dan tangannya akan memeluk rapat tanpa setetes tangis yang jatuh. Tangannya yang kekar akan mengusap-usap pundakku, membaluri kasih di kepala pada usapan-usapan lembutnya.

Halaman samping rumah tertata rapih, sebuah ayunan tua tetap berdiri di bawah pohon mangga itu. Mainan itu buatan ayah sendiri di pabrik tempatnya bekerja. Dengan memanfaatkan sisa-sisa pipa besi yang tak berkarat lagi setelah diolesi cat hijau. Tapi ayah mendapat teguran keras akan tindakannya memakai pipa besi tua itu. Untung saja ayah punya sedikit tabungan untuk mengganti nilainya.

Apa kabar ayah? Engkau pasti merindukanku. Engkau pasti akan tergopoh-gopoh lari bila tahu aku ada di sini. Binar matamu menutupi kerisauan tuamu, dan bibirmu akan bergerak-gerak mengucap sapa, keheranan akan tubuhku yang telah mekar dan sebuah pertanyaan apakah anak ayah tak lagi manja. Engkau selalu menganggapku anak manja, sesungguhnya engkaulah yang memanjakanku. Sebelum aku berpikir, engkau telah mengendus pikiranku. Sebelum aku melangkah, engkau telah membukakan pintu. Sejuta cara kau buat agar aku merasa nyaman bersamamu. Tapi tidakkah kau tahu, aku merasa risih akan itu semua. Mukaku merah padam menahan malu ketika teman-teman SMU ku dulu tahu aku selalu kau antar di tiap pagi dan ritual peluk dan cium pipi tak pernah tertinggal. Dan di luar rumah aku belajar untuk lari dari bayang-bayangmu, aku mencari jawab sendiri akan segala pertanyaan hidup.

Suara tembang lama dari piringan hitam berhamburan dari kisi-kisi jendela rumah. Ayah pasti sedang mengenang masa mudanya dulu bersama Elvis Presly, Beatles, Everly Brothers dan tembang-tembang yang tak begitu ramah ku kenal. Engkau pasti sedang duduk di sofa merah tua itu, di dekat jendela yang selalu kau buka lebar. Matamu tak kan lepas memandang kumpulan kata-kata bagai semut beriring di koran hari ini. Dan secangkir kopi ada di atas meja di sisi kananmu. Sebatang rokok pasti kau biarkan terus menyala di asbak, karena berita hari ini begitu mencuri perhatianmu. Gambaran hidupmu tak pernah berubah, mungkin kau merasa nyaman dengan waktu yang berjalan dan kau menganggap hidup tak perlu dipersulit.

“Mengapa kau tak masuk saja? Menyapa rindu dan memeluk bongkahan kenangan,” suara tua menghasutku. Aku menatap asalnya, sebuah bibir kering milik wanita dengan uban yang tak malu-malu. Wanita itu adalah sebuah lukisan dari umur yang berjalan tegap tanpa hendak berpaling, sisi kehidupan telah dilalui semua, sepertinya kematian yang sudah jauh lama merindukannya. Cukup untuk merasakan kenikmatan eksperimen waktu dan menciptakan lembaran-lembaran sejarah yang tak kan pernah usang bagi keturunannya. Usianya tak jauh beda dengan ayah.

“Aku ingin mengenang kembali masa-masa yang kami jalani bersama. Buntelan cerita-cerita yang tersusun rapi dalam ingatan. Saat ini aku merasakan hawa kerinduan melingkupi rumah kami, dan seonggok tubuh tua itu bukan lagi terdiri dari tulang dan daging, tapi ia adalah sejarah dan jam waktu. Ia bagai pena dan cermin waktu yang menciptakan lika-liku hidup. Hingga akhirnya aku dipaksa oleh ayah untuk tak kembali ke kota ini, meninggalkan jejak-jejak langkah tersapu oleh waktu.”

“Adakah kau merasa membencinya ketika ia melarangmu kembali ke kota ini?” tanya wanita tua yang telah duduk di sampingku, di sebuah bangku di taman kecil seberang rumahku.

“Sebuah pilihan berat yang aku hadapi dulu, mengikuti keinginannya akan menyiksaku, mengeringkan sungai cintaku. Menyangkal keinginannya akan membuat ia terbunuh oleh rasa bersalah, menenggelamkan harapannya. Hingga akhirnya aku memilih ayah dan membiarkan kekasihku diambil oleh lelaki pilihan orang tuanya,” sejarahku menerawang jauh di pelupuk mata.

“Mengapa ia begitu yakin itu yang terbaik bagimu?” tanya wanita itu.

“Ia tahu aku begitu keras hati, bila aku di kota ini dengan segala cara aku akan menghempang perkawinan mereka. Itu tak diinginkan oleh ayah, karena akan ada jiwa-jiwa yang terluka dari mereka yang melahirkannya. Membiarkan mereka menikah di depan mataku akan menyumbat mata hatiku. Untuk itu ia melarangku kembali ke kota ini, menghindari puing-puing hati menjadi meranggas.”

“Sungguh mulia hatinya. Sepertinya ia menemukan pembelajaran dari makna kasih yang sesungguhnya, ia mengenal dekat wujud cinta yang sesungguhnya. Sungguh berbahagia wanita yang menjadi istri ayahmu,” wanita itu mengucap puji.

“Aku tak mengenal siapa kekasihnya yang akan ku panggil ibu. Ia tak memberiku ibu, ia memberiku lebih dari ibu. Sedangkan aku hanyalah anak angkat yang diambil dari sebuah panti asuhan, itupun baru ku tahu ketika aku telah dewasa. Tapi... sedari tadi aku bercerita, aku belum mengetahui siapa ibu sebenarnya?” aku menatap pada mata teduhnya.

“Aku hanyalah seorang peziarah. Berjalan dan menemukanmu di menit-menit yang lalu. Aku kagum pada binar matamu yang menyemburatkan kerinduan yang mendalam. Dan aku terhenti untuk itu,” katanya lembut menjelaskan.

“Sama seperti aku, meninggalkan danau kenangan di kota ini?” selidikku.

“Seperti itulah, lebih tigapuluh tahun aku tak menyapa kota ini. Tak lagi pernah menyapa pagi hari karena aku lenyap bersama malam kota ini. Membiarkan sejuta kehidupan berjalan tanpa mencoba untuk mencekokinya. Membiarkan seorang lelaki menghadapi hari-harinya tanpa pernah menawarkan janji akan tiba ‘masanya bila’ aku kembali ke pelukannya,” mata wanita tua itu berkaca-kaca, bibirnya bergetar.

“Engkau mematikan mimpi-mimpi lelaki itu. Begitu kejamnya,” aku memvonisnya. Ia tertawa kecil sambil menutup mulut menahan tawanya. Ia mengusap dua tetes air mata di pipinya yang terukir guratan waktu. Ia menarik nafas yang terasa tertahan di tenggorokannya. Tapi ia tak bisa menahan tawa kecilnya kembali.

“Tidak, aku tak kejam. Aku hanya seorang wanita petualang yang tak bisa hidup di satu tempat. Aku bosan dengan kota ini, dan aku mencari suasana baru di kota lain. Aku mengabarinya sesampai aku di Jakarta, mencari kerja. Tapi aku tak menjanjikan akan kembali ke sini. Tapi kalau kau mau menyimpulkan, jangan katakan aku kejam, katakan saja aku mengabaikan ketulusan cintanya. Mungkin saat itu aku tak begitu yakin akan cinta kami, aku coba biarlah waktu yang menjadi cermin pembelajaran diri. Tapi ternyata.....” ucapannya terhenti, wajahnya menengadah ke langit entah mencari apa.

“Tapi apa?” aku mencoba mencari jawab kegusaran akan cerita-ceritnya tadi.

“Cinta tulus yang aku abaikan berubah menjadi karma. Aku terlantar untuk obsesi yang aku ciptakan sendiri, hingga di detik ini aku baru merasakan akan nilai-nilai itu semua. Sungguh mahal nilai sebuah kesetiaan, aku malu pada mu dan cerita tentang ayahmu. Hai.... tunggu apa lagi. Jemputlah kerinduan yang menantimu, jangan biarkan ayahmu menahan kerinduan lebih lama lagi, walau itu untuk beberapa detik yang kau tunda sejak tadi.” Wanita itu seperti mencoba menghentikan pembicaraan akan rasa bersalahnya dan ia memaksaku pergi. Aku hanya tersenyum, dan beranjak pergi menyeberangi jalan raya ini, jalan yang membelah rumahku dan taman itu.

Kakiku terhenti ketika ia meneriakkan sesuatu, “sampaikan salamku padanya. Aku tak mampu berinya janji karena ‘masanya bila’ hanya di sebuah keabdian kelak di sumber kasih itu mengalir. Aku akan menantinya di sana.” Sebelum aku mendapatkan wujudnya, sebuah bayangan besar menjemputku, melemparkan ketidaksadaranku.

“Mas, mas........ bangun. Jangan tinggalkan aku,” rengek tangis mengisi relung sadarku. Tetes airmatanya jatuh di wajah. Lamat aku tersadar dan menatap wajahnya, hidungnya nyaris menyentuh pipiku. Aku memeluknya dan pasrah pada dekapannya.

“Bagaimana aku bisa ada di sini?” Aku menatap ruangan putih dengan wangi obat yang menyengat.

“Wati yang beri kabar ke kantor, jantungmu berdetak lemah. Aku hanya berdua dengan paman. Dan paman sedang mengurus obat di apotik. Kata paman ada berita duka dari kampung yang ia kabarkan padamu, itu yang membuat sakit jantungmu kambuh,” tangisnya menjadi, memelukku begitu erat. Ada rasa bersalah menggerogoti nuraninya.

Aku tersadar oleh ziarah di sakratul mautku. Kerinduan mendapatkan ayah - yang kembali sendiri untuk hari-hari tuanya. Aku menoreh luka yang dalam padanya, dan membiarkan luka itu tetap abadi menganga.

Aku menatap istriku, wanita dengan kalung mata batu hijau. Hanya dia yang aku miliki kini, biarlah ayah tenang menemukan wanita tua kekasihnya yang abadi di sebuah sumber kasih mengalir. Dan aku mengerti arti sebuah larangan itu, ketika ia mendapati dirinya telah luka cukup lama oleh cinta dulu.

Jakarta, 8 Nopember 2002

Saturday 9 November 2002

DEKAP

ketiga
DEKAP

Di balik rambut ikal mayangmu
Kau sembunyikan wangi surgawi
Arak yang menggetarkan sendi hasratku
Anak-anak rambut yang aku jemput
oleh bibir yang lama kering
Lumatku habiskan bulir didihmu
Candu yang menjadi bara ingin
Getar yang menyapa menarik lebih dalam

Dekapku tak niat lepas
Nafasku cumbui ragamu
selipkan sejuta mantra-mantara penjinak
Pagutku makin lekat
sedekat bayangannya yang kian menghinggap

Di balik ikal mayangmu
Rinduku bersandar pada bayangan
jauh di seberang sana
.: apa kabar pagutku yang lalu?

BISIK

kedua
BISIK

jangan tinggalkan aku
sembunyikan senyummu di kulumku
agar aku bisa berkumur-kumur pada ucapmu

lidahmu menarik yang tercekat
berjuta ingin yang karam lalu
sehingga ketika kau tanya cinta
aku bisa menjawab setia
ketika kau jemput hangat malam
aku tak lagi menepi dingin
tubuhku telah terbaring pasrah
bukan untuk tatapmu

pada rengkuhmu
kita menjadi satu
pada dua kemaluan yang berbisik malu-malu
.....tersipu-sipu

LIRIH

pertama
LIRIH

Yang datang padaku adalah perih
Yang lalu dariku adalah perih
Yang diam hanyalah lirih

Detik-detik yang menitik
Kelam menelan alam yang tertatih
Samar bulan binal berputar-putar
Cemburui lolongan panjang serigala ganas

Dan dari arah utara,
angin menancapkan beribu-ribu sengat
selubungi udara penuh kerasukan
Malam dibaui oleh mani-mani
milik dua daging menancapkan diri

Aku ada dalammu
Kau ada dalamku
Kita adalah perihperih
Namun lirih yang terucap.

Wednesday 6 November 2002

DOA

Met' menjalankan ibadah puasa....

DOA
Berjamaah menyebut nama Allah
Saling asah saling asih saling asuh
Berdoalah sambil berusaha
Agar hidup tak jadi sia-sia
Badan sehat jiwa sehat
Hanya itu yang kami mau
Hidup berkah penuh gairah
Mudah-mudahan Allah setuju
Ini lagu pujian nasehat dan pengharapan
Dari hati yang pernah mati
Kini hidup kembali

by Iwan Fals

Friday 1 November 2002

Kebebasan di sebuah pagi

pejalan kaki tergesa-gesa, mobil putih berhenti sebuah kaki yang putih menjejakkan aspal.
wanita mematung dengan sebuah buku yang telah tiga hari berturut-turut tak habis di baca
pekerja-pekerja yang menunggu bis jemputan, mahasiswa dikejar waktu
asap rokok, bungkus rokok, tukang rokok, knalpot bis bernyanyi, putiiihhhhhhhhh......
lelaki garang berjalan mengangkang, kelaminnya terbuka


tiga buruh menanti resah kabar thr yang tak jelas
sebuah mobil berhenti lagi, pemuda yang mencium wanita tua itu sebelum berpisah
Bom di legian, FBI main film di Indonesia, kotoran yang berbaris di cerita media pagi ini
Rambutan, Kp. Melayu, Depok, Tanggerang..............
dari arah yang berlawanan, lelaki garang berjalan mengangkang, kelaminnya bergoyang-goyang
klewer-klewer, masuk angin


Prittttt......
Bus kena damprat polisi, mobil hitam itu kena tilang
kantuk supir truk gandengan hilang,
supir kopaja ciut nyalinya


lelaki garang dengan jalan mengangkang berhenti :
mematung di tengah jalan
dengan rambut gimbal, badan jelaga pekat bercahaya
di tengah jalan
kemaluannya sungguh bersinar
ejek manusia-manusia robot para pekerja pagi

catatan di sebuah halte

Saturday 19 October 2002

Sebelum waktu membenci dan berlari

Sebelum waktu membenci dan berlari,
ijinkanlah detik menyelesaikan menit
kelak masa tiada berpaling lagi.

Simpul rapat bukan lagi kekang tua menyiksa
Batasannya samar terseret dalam labirin
Erotisnya pagi pecut semua kesadaran
Bermula atau berakhir sudah

Sebelum waktu membenci dan berlari,
ijinkanlah sapaku menanti kabar
urapanku pada tergenapnya mimpimu dan dia.

Kelak bayangan akan menguap di ujung jaman,
langkahku akan berlari jauh.
Jejak kaki merapuh taburi syair-syair perjalanan
Musafir tua dengan sekantung air berlubang
dan pada oase yang terakhir,
tergeletak sebuah hati yang mengering.

Lelaki malam terkapar di sudut malam

Lelaki malam terkapar di sudut malam,
bayangan biru, tangan menari lamat sungguh lunglai
denting gelas kosong, gaung sejuta hampa.
Kecamuk yang mengamuk,
dengus rakus debat kusir nalar dan mimpi yang meracau.
Tetes menitik kikis sisi karang rapuh, tapaan segala teriakan sunyi,
……bedebah waktu yang belari cepat.

Lelaki malam terkapar di sudut malam,
mimpi,
botol arak kosong,
gelas retak,
dan sebuah bayangan
…di sana

Bekasi, 19oktober2002, pkl.1.25

Sunday 13 October 2002

Pada detik yang terhenti, lelaki itu membunuhnya

Pada detik yang terhenti, ia putuskan untuk membunuhnya. Menghunus tombak, racun yang akan menjalar, tubuh menegang, membiru, mata meninggalkan dendam, senyum yang berbuih. Habis perkara, dunia nyata tak cukup luas bagi mereka berdua. Sekarang atau mati berdiri.

Detik masih terhenti. Angin menahan nafas, binatang hutan meringkuk di gua-gua gelap yang lembab. Mereka sadar, malam ini akan ada yang terbunuh. Tapi, siapa itu yang menjadi tanya. Melihat dengus lelaki itu, seperti melihat Simson yang meremukkan beratus-ratus kepala serigala dan singa. Matanya merah seperti lautan larva yang akan menghanguskan semua jilatan yang dilewatinya.

Awan hitam berbisik, sungguh pelan, tak berani menggeserkan diri. Wujudnya samar di ujung malam. Matanya lelah menatap kaki bumi, tubuhnya memberikan kegelapan. Ruang-ruang waktu lamat berjalan, nadinya terasa berdenyut lirih. Pelan merambat. Sungguh terasa benci yang ada dari bentuk hitam yang bersandar pada batu besar itu. Tangannya terkepal seakan matahari telah digenggamnya, dan hidup menghamba pada kakinya. Tapi ada satu perkara yang mengusiknya, dan itu adalah hantu kehidupan malamnya.

Aku harus membunuhnya, bisiknya pelan. Tak pernah ia merasa seyakin ini. Dan matanya masih terus mencari mangsa buruannya, tapi malam sungguh pekat. Bayangan sudah melekat di tubuh semangnya, atau mungkin tak ada lagi tubuh, hanya bayangan-bayangan diam yang mematung.

Tak ada waktu lagi, sungguh aku telah terjajah oleh sejuta mimpi yang ditawarkannya. Aku muak oleh kerinduan akan janji esok pagi atau pertemuan yang terhenti oleh gerhana semusim. Bisik lembutnya kini adalah muntahan tinjaku, lukisan tangannya yang mengusik dadaku adalah bukan lagi tebaran bintang yang berkerlap-kerlip. Karena aku tak lagi perlu bintang-bintang itu, bongkahan gunung api sudah cukup banyak aku telan. Dari mataku tampak bara merahnya, anak sungai telah hangus olehnya, air mataku mengering lama sudah. Haruskah aku takut dalam kegelapan? Seribu tanya menyapa tak berjawab, hanya angin yang mampir dan berlalu.

Tangannya mengelus tombak, sejuta kebencian tersusun pada serpihan-serpihan yang membentuk gagang tombak. Ujungnya adalah logam meruncing yang bersinar, bukan lagi syair-syair indah yang mendamaikan. Tapi mantra-mantra sang pembebas kehidupan, ayat-ayat sakti pemberian sang dewa kematian. Dan racun itu melekat erat pada ujung tombak, bisanya akan menghentikan mimpimu, bisanya menyingkirkan sejuta keinginan. Karena membiarkanmu menelan mimpi akan membuatmu mati, ya mati kelaparan, ransummu adalah cinta yang telah basi ditanganku. Lelaki itu telah muak oleh rindumu dan ia tak ingin membuatmu dungu oleh ilusi cintamu. Racun itu menjalar pelan, memberimu kematian, menistakan bayangan cinta yang jauh dulu telah dibuang di sumur kering di pinggir jalan pulang menuju keabadian.

Langit masih hitam, awan tak bergerak duduk termangu. Bintang-bintang itu sudah tak lagi memukau sama kelamnya dengan panggung tempatnya menari. Angin sungguh penat, siulannya kini tak jelas bagai Adam baru melepaskan orgasmenya dan Hawa menahan keinginan yang belum berujung. Sungguh angin engkau takut? Atau tak sabar akan kematian yang akan ia sembahkan?

Di Timur gemuruh menderu, suara perang telah bertalu. Bala tentara angin bergerak pasti, dadanya membusung gagah, derapnya menyentuh pohon-pohon cemara yang limbung ke kiri dan kanan. Mereka menapak turun dari puncak pertapaan pada lereng-lereng gunung keabadian, berlari-lari penuh kepastian. Persembahannya telah disantap oleh mereka, dan pintanya adalah bagai lolongan serigala di puncak bukit.

Musuh yang dinanti tak lagi bisa bersembunyi. Hawa amarah lelaki itu telah membakar senyum pongahnya di tengah kegelapan. Angin mengusir awan-awan gelap itu, sekejap melemparkannya ke seluruh penjuru. Dan kini mahluk itu tak lagi mampu bersembunyi, ia menggigil sendiri. Sebuah tombak telah terayun kencang, angin menghantarkan padanya. Pada dadanya yang bulat penuh. Dan sungguh bulan telah mati di ujung malam.

Kini tak perlu ada lagi tipuan mimpi. Bulan telah menabur racun-racun pengharapan. Dan itu membius para pemimpi-pemimpi, mereka kerasukan oleh janji-janji di tiap malam. Para penyair tak perlu menyusun bait-bait dusta tentang kemolekan bulan yang sungguh tak memiliki pengharapan, hanya sebuah sinar di samudera kegelapan. Dan tak ada lagi cerita akan indahnya sinar rembulan, hanya mayat-mayat busuk yang menanti kebangkitannya oleh mantra sinar itu. Burung hantu menyimpan semua rahasia itu, matanya membelalak menatap segala dusta, dan manusia memandang penuh sayu menelan impian.

Bulan telah membuat marah lelaki itu, bulan menghujat mataharinya. Sang kekasih yang bukan lagi pemimpi. Matahari sungguh membakar sadar dan menerangi jalan yang tak lagi meraba-raba. Malam ini tak perlu ada tangis, karena awan kelam telah jauh diusir sang angin, dan mendung tak akan lagi hadir, baginya maupun para pemimpi.

Dan pada detik yang terhenti, lelaki itu membunuh bulan. Sang pemimpi.

Bekasi, 12 Oktber 2002, pkl. 4.35

Monday 7 October 2002

Quo Vadis

Aku pernah menikmati ini, wajah manis yang kecerdasannya jujur melekat tak bercelah. Ketermanguanku bukan ilusi atau mimpi yang mencari peri. Aiihhh...... otakku tak usil bersiul nakal, belalak mataku tak rakus, pandanganku tak mampu menyapa. Bukan tak sudi, tapi kilaumu tak sanggup kulewati.

Aku pernah merasakan ini, sebuah kerinduan menanti pagi. Kehangatan Timur memangkas kebekuan, gelombangnya mengalir deras di kaki bukit penantian. Pagi menawarkan harapan, embunnya membasuh jiwa yang kerontang. Sabdamu adalah nafas yang menebas pertapaan. Saat ini kerinduan akanmu adalah penantian pada setiap pagi.

Di titik nol, ratusan kata merangkai puisi, jemari menari melukis bait-bait gundah gulana. Seperti dulu, kinipun berulang. Syair itu sungguh klise, semoga tak ada kata yang tergambar, tapi perulangan mencibirkan harapan. Sungguh kecut yang sakit memecut.

Dan kakiku hanya menari di titik nadir, menatap di balik keraguan.

Seperti dulu, kini pun aku merasakan.
Bayangan yang sama,
wajah yang berulang......

Quo Vadis Cintaku?

Sunday 29 September 2002

IF

By Bread

If a picture paints a thousand words
Then why can't I paint you
The words will never show
The you I've come to know

If a face could launch a thousand ships
Then where am I to go
There's no one home but you
You're all that's left me too
And when my love for life is running dry
You come and pour yourself on me

If a girl could be in two places at one time
I'd be with you tomorrow and today
Beside you all the way

If the world should stop revolving
Spinning slowly down to die
I'd spend the end with you
And when the world was through

Then one by one the stars would all go out
Then you and I would simply fly away

Saturday 28 September 2002

Nyanyian semut pekerja

Remahan beronggok-onggok bertimbun,
dikelilingi tarian tetesan-tetesan liur
Keringat tak mampu meluberkannya, utuh harus dijamah
Tiada suara, senyap, kaki dan tangan tak lelah
otak tak perlu dipintal, berpikirpun tak sempat
Pecut dan senyum sangar jilati wajah-wajah keras,
kaku terpancar...

Kapan semi berakhir, berganti dingin di bawah lubang-lubang kelam
tapi barisan belum terpencar, cahaya itu hanya di satu titik
ujung sebuah perjalanan curi masa yang menjepit
Hidup dan waktu sama berdenting
nyaring sungguh menyakitkan...

Suara perut tak lebih menggelegar,
istri dan anak bukan binatang peminta
Lautan keringat tak mampu sekedar basahi bibir mereka
atau hentikan mimik belas di muka pintu
Pagi dan senja bagai neraka dan kubur
sungguh terpasung.....

Barisan masih panjang, di batasan cakrawala yang terbentang
Memanggul remahan yang beronggok-onggok milik sang tuan
di tiap detik, hidup masih dikungkungi kumpulan onak marah
di tiap detik mereka masih bertanya-tanya
Bertahan atau mati!

Thursday 19 September 2002

Tuhan Telah Mati

Bayangan dirinya terlihat jelas di dinding kusam yang tak dapat lagi ditebak warnanya. Tubuh kurus yang sedikit membungkuk, rambut putih yang sudah menghilangkan kemudaannya, nafasnya terdengar saling tarik menarik. Terkadang batuk, gemanya tak kalah nyaring. Terkadang menggumam sendiri. Tubuh-tubuh lain terbujur di lantai diam tak terusik. Malam dan siang tak ada ubahnya, sinar matahari tak pernah mau singgah, pengap dan lembab. Butiran-butiran pasir pada jam kehidupan lamban berjatuhan, tercekat pada mulut pipa kaca. Tiada yang pernah perduli pada hari dan waktu, sebab kemarin, hari ini dan esok tiada bedanya. Semua cerita usang.

Bayangan itu masih jelas terlihat di dinding kusam, seakan telah terpatri untuk seumur zaman, tiada berpindah, tiada berubah. Seperti lukisan kelam pada ruang-ruang waktu, hantu-hantu masa lalu yang melekat di semua benak. Bagi mereka yang kalah, pada bayangan tak ada tangisan Bagi mereka kaum pemenang, pada bayangan tak ada senyum kepongahan. Semua sama, sebuah sisi gelap dari kehidupan adalah bayangan.

Baginya bayangan adalah hantu masa lalu yang selalu mengikuti. Tapi bayangan itu telah menjadi teman untuk seumur hidupnya, sejak ia berlari ketakutan ke dekapan ibunya, mendapati manusia hitam yang menyeret-nyeret langkahnya dalam keheningan. Kelak akhirnya ia sadar, bayangan adalah kejujuran. Ia tak pernah menikam, ia teman yang jujur di saat sepi. Andai bayangan dapat berbicara, ia akan bercerita banyak tentang bentuk yang diserupainya. Mungkinkah bayangan adalah malaikat sang pencatat buku putih kehidupan?

Bayangan itu masih terlihat jelas di dinding kusam, tangannya bergerak-gerak. Menuliskan sesuatu. Terkadang terhenti, mengusap-usap matanya. Lampu itu jelas terlihat redup seperti mata tuanya. Pandangannya kembali tertuju pada lembaran-lembaran kertas putih. Belum sebaris katapun ia toreh. Otaknya buntu mencari awal kata yang bagus. Ia tak ingin pada kalimat awal akan mencerminkan kedangkalan isi, atau akan membosankan untuk membaca kelanjutannya. Nafasnya mencari kata-kata, dan ia mulai menulis :

Buat sahabatku,

Sungguh malam ini (bila saat ini memang malam) aku susah untuk memulai. Dari mana awal kata aku akan menuliskannya. Karena hingga kinipun kita masih memperdebatkan tentang awal. Apakah dimulai dari telur atau ayam? Apakah dimulai dari monyet Darwin atau Adam? Tapi kali ini aku tak ingin memperdebatkan soal penciptaan itu, aku hanya ingin mengatakan tentang Sang Pencipta. Aku telah temukan bahwa Tuhan telah mati. Ya, sudah mati.

Sahabatku, jangan engkau cepat tertawa, mengatakanku si atheis yang tak pernah berubah. Karena aku telah lama menderita oleh simbol-simbol atheis itu. Aku muak dengan sikap arogan para pengawal-pengawal tuhanmu. Bukankah kebenaran yang mereka katakan itu melebihi dari dari kuasa tuhannya? Penghakimanan yang mereka lakukan mendahului nereka yang kalian hayalkan. Aku takut di neraka nanti (bila neraka itu ada), justru mereka akan menjadi kayu bakarnya. Aku tahu surga dan neraka itu adalah ciptaan manusia, seperti penjara untuk kaum “pendosa” dan istana untuk kaum “yang benar”. Klaim kebenaran yang tunggal tak ubahnya dengan kekuasaan yang tunggal. Sama-sama menyesatkan. Adalah hak setiap orang bertanya tentang penciptaan dirinya, hak setiap orang memandang tentang tuhan.

Sahabatku seandainya saat ini mulutku dipaksa berkata saya adalah manusia yang bertuhan, aku akan mengatakan tuhan itu adalah saya. Tapi aku akan muntah berkata seperti itu, karena aku tak mau seperti tuhan. Bukankah tuhan simbol dari keabsloutan, sesuatu yang tak bisa dipertanyakan, esa adanya (itu teori-teorimu). Dan aku adalah mahluk yang masih terus berpikir dan bertanya-tanya. Aku bukan manusia absolut, kebenaranku masih bisa di perdebatkan, aku tak ingin menyesatkan oleh klaim-klaim kebenaran tunggal. Tapi aku pun bukan nabi, walau nabi selalu tak bisa diterima pada jamannya. Karena kebenaran bukanlah milik tunggal sang nabi, kebenaran adalah pencarian dari pencerahan kehidupan. Mata sang nabi saat itu mungkin lebih beruntung dapat membaca kebenaran itu, tapi sekali lagi aku katakan, kebenaran itu bukan miliknya. Dan itu bukan harga mati lagi.

Aku tak akan memberi nubuatan-nubuatan atau perkara-perkara keajaiban. Tak akan ada ramalan akan masa depan, atau akhir dari dunia ini yang akan aku katakan. Aku hanya berpikir dan berbicara. Melihat dan mendengar. Merasakan dan menyimpulkan. Semua itu penuh gejolak, seperti saat menerima kotbah-kotbahmu pada puluhan-puluhan kertas surat yang aku terima sepanjang hidupku. Aku berperang dengan diriku sendiri, hingga akhirnya logika-logika ku pun kalah. Dan pada suratmu yang terakhir kau berkata, bahwa tuhan menciptakan manusia bukan untuk menderita, tapi untuk bahagia.

Sahabatku, aku mencari kebahagiaan yang kau tawarkan. Aku ingin merasakan cuilannya. Tapi aku tak pernah mendapatkannya, aku tak menemukan kebahagian itu, aku tak menemukan tuhanmu. Apakah ia telah tuli dan buta? Aku telah terus mengetuk pintunya, dan tanganku telah bernanah. Aku telah meminta, mulutku berbusa tak ubahnya bagai orang kesurupan (mungkinkah aku kerasukan setan tuhanmu).

Jangan kau katakan aku terlalu lemah dan tak penyabar, bukan hanya aku yang merasakan itu. Jutaan anak negeri ini pun seperti itu. Negeri ini tak bertuan, negeri ini tak bertuhan lagi. Aku tak sendiri. Jutaan orang sudah muak dengan dogma usang yang mengatakan setiap penderitaan adalah kehendak tuhan, cobaan darinya. Tidakkah dia tahu bahwa manusia juga punya batas kelemahan dan kesabaran. Aku rasa dogma itu membunuh pikiran kita. Membunuh kesadaran kita untuk berusaha dengan akal sehat sendiri. Aku bukan mengajak berpikir soal materialis. Aku juga tak mau diajak berpikir tentang hal-hal suci yang semu, terlalu mistik bagiku.

Aku juga bukan hendak membujukmu untuk berpaling pada komunisme yang tak bertuhan. Justru komunisme itu bertuhan, malah bertuhan dari orang-orang yang bertuhan. Komunis memberhalakan tuhan, tuhan yang paling tolol dibanding tuhan-tuhan lainnya. Mereka memperjuangkan sistim aturan kehidupan, yang diperjuangkan itu adalah tuhan mereka. Komunis adalah tuhan yang dibangun dengan cara paling sadar. Kesadaran bahwa mereka adalah lemah, penuh ketakutan sehingga memerlukan sang penolong, sesuatu yang lebih agung dari mereka. Tuhan adalah kesadaran akan kelemahan. Tuhan adalah sistim aturan yang abadi bagi mereka. Sama seperti tuhan milik agama-agama yang menakuti manusia dengan neraka dan surga, tuhannya komunisme pun menciptakan surga dan neraka.

Neraka dan surga itu diciptakan untuk menimbulkan kekhawatiran, sehingga ketakutan pada hukuman dan ketidakpastian itulah yang menyebabkan berlindung di bawah ajaran-ajaran yang dianggap sebagai kebenaran dan kepastian. Aku bisa menyimpulkan, komunis bukanlah pilihan hidup seperti juga halnya dengan agama-agama, selama kalian berpikir dengan cara pandang hasil yaitu surga. Sebuah perjuangan kebenaran yang suci tidak mengenal perhitungan, tidak memikirkan imbalan, semua seharusnya penuh pengorbanan dan kasih.

Kembali ke perkataanku tadi bahwa negeri ini tak bertuan, tak bertuhan lagi. Aku telah menyaksikan kaum penyabar ini telah menjadi berang. Doa-doa tak mempan lagi, puja-puji pada tuhan tak didengar lagi. Kebenaran yang diyakini menjadi pedang bermata dua, melukai sekaligus terlukai. Semua mencoba untuk bertahan di jalan kebenaran, semua mencoba untuk menghadapi cobaan, karena katanya sang penyabar akan mendapat rahmat yang berlimpah. Tapi ketika kita menarik nafas, kitapun harus bergantian menghembuskannya. Ketika dada kita mulai sesak, kita pun harus mengosongkannya. Kita tak bisa menerima sekaligus, cobaan yang bertubi-tubi dan rahmat yang tak kunjung datang.

Sahabatku, kemanakah tuhanmu? Apakah ia telah bosan mendengar doa-doa kita? Atau tuhan telah lama mati? Manusia berserakkan kelaparan, negeri ini kaya tapi kita bodoh. Tak seperti Israel yang miskin tapi pintar, mereka tak bertanah tapi diakui keberadaannya. Negeri ini subur tapi banyak yang mati diatasnya (tapi aku tak mau bila kita disamakan dengan semut yang mati di dalam karung gula). Kita bukan mati kekenyangan, kita mati kelaparan. Tak ada lagi peruntungan di negeri ini.

Jutaan manusia resah dengan harga yang makin melambung, semua tak terbeli. Barang-barang itu dihasilkan oleh keringat kita, tapi kita tak mampu mengecapnya, memimpikannyapun akan memenjarakan kita. Melihatnya akan menimbulkan iri, sirik. Bukankah itu dilarang oleh tuhanmu? Tapi kita tak buta oleh itu, kita perlu makan. Kita perlu hidup. Dan agama tak mampu mengenyangkan itu. Surga hanya untuk orang mati, apakah neraka untuk orang hidup?

Dan banyaklah orang yang memilih jalan itu. Perampasan milik orang lain menjatuhkan korban. Pembunuhan tak lagi menakutkan. Semua menikam untuk dapat bertahan hidup detik itu. Semua bersenjata untuk dapat membela diri. Lapar membunuh kesabaran. Keputusasaan mengiris keyakinan bahwa tuhan masih mau mendengar doa-doa mereka.

Lihatlah moral tak lagi ada, nilai-nilai itu semua telah sirna. Kakek memperkosa cucunya, paman meniduri keponakannya, bapak menindih anaknya. Para suami berselingkuh, istripun tak mau kalah (mungkin bentuk emanispasi gaya baru). Para gadis tak mau lama-lama menyandang gelar perawan, para pemuda matanya buas. Aborsi jadi barang mainan. Para sundal bukan lagi barang langka, ia jadi dagangan laris bak menjual kacang tanah yang dimasak pada pasir panas. Lembaran-lembaran media penuh gambar telanjang, media elektronik mempertontonkan erotisnya senggama. Dengusnya merasuki hari-hari, udara sangat najis penuh dengus nafas, kini tak lagi tertahan sudah lepas.

Penipuan tak lagi menyajikan simbol-simbol seram, seperti cerita dongeng-dongeng pengantar tidur dulu. Mereka tak lagi bertaring, air liurnya tak kelihatan menetes. Mulut mereka manis walau tak ada desis seperti ular atau setan. Tak bau. Mereka lebih mulia terlihat dari para malaikat. Terdidik dan sopan. Tapi otaknya sungguh lihai mencari kaum yang lemah. Mulutnya sungguh pintar mengumbar janji mengalahkan pemuka agama yang menjanjikan surga. Surga dunia lebih realistik dari pada surga milik tuhan untuk saat ini. Hari-hari saling menipu, saling mengintip, saling mencari kelemahan.

Kesabaran juga tak bisa ditahan oleh sistem. Demokrasi menjadi setan bertopeng badut. Buruh tak mau lagi berlama-lama bertahan dalam perjuangannya. Mogok kerja seperti pekerjaan sia-sia. Mogok makan pada saat perut telah lama lapar sama saja dengan kebodohan. Dialog sama saja memberi mimbar agar mereka dibohongi selalu, janji-janji sudah jadi mitos pembelaan tanpa hasil. Sakit hati mengalahkan niatan yang suci. Mereka ramai-ramai membakar pabrik, membakar lumbung padi mereka, membakar meja makan mereka, menjungkir balikkan tempat menanak nasi. Dan menari di atas perapian dapur, mengencingi tungku api. Sungguh mereka mematikan jalan hidup mereka sendiri, dendam dan emosi yang lebih berkuasa.

Sahabat kemana tuhanmu?

Tapi aku tak juga pungkiri di daerah sana ada yang masih menaikkan panji-panji kebesaran tuhan-tuhan mereka. Mereka saling berperang demi nama besar tuhan masing-masing. Apakah tuhan mereka mahluk lemah sehingga harus dibela? Mungkin sama seperti para preman yang saling membunuh untuk merebut daerah kekuasaannya, lahan parkir. Mungkin mereka pikir, tuhan juga perlu wilayah kekuasaan baru. Perlu manusia-manusia jajahan baru untuk dijadikan bala tentara tuhannya. Sungguh sebenarnya mereka melemahkan harga diri tuhan mereka. Atau ada hal lain selain itu? Atau tuhan sedang menikmati segala tontonan pertempuran itu sehingga melupakan daerah lainnya?

Aku tadi telah mengatakan negeri ini tak bertuan, negeri ini tak bertuhan lagi. Sungguh itulah yang terjadi, negeri ini tak bertuan. Bukankah tuan negeri ini adalah rakyat. Itu telah lama dikebiri, rakyat menjadi obyek bukan subyek. Kekuasaan telah menjadi milik penguasa, kekuasaan adalah tuhan mereka. Kuasa tuhan telah diganti dengan kuasa uang. Sesuatu yang maha suci diganti dengan yang maha hina. Rakyat dipecah berserakkan dan meratap pada perut mereka. Kedaulatan tak mampu lagi diambil rakyat, karena rakyat tak lagi bisa bersatu, semua memikirkan perut-perut mereka. Sungguh negeri ini tak lagi bertuan, tak ada lagi kedaulatan rakyat. Yang ada hanyalah, negeri ini dikuasai oleh mereka yang menetapkan dirinya sendiri menjadi wakil rakyat. Mereka menjadi tengkulak negeri ini, mereka para pedagang-pedagang keringat rakyat, mereka menggadaikan negeri ini.

Sungguh cermin negeri ini bertuhan tak ada lagi. Lihatlah para pemimpin-pemimpin itu. Mereka bertuhan, mereka panutan, mereka tokoh-tokoh agama. Apakah prilaku cermin manusia yang suci ada pada mereka? Melihat suatu negeri bertuhan atau tidak dapat di lihat pada tindak laku pemimpinnya. Mereka mengangkat panji-panji agama, merekapun menyuarakan suara-suara kebohongan. Mereka mengobral janji-janji pada pemilu seperti mengobral surga. Agama telah dijadikan komoditi politik, agama dipakai untuk menenangkan kaum tertindas (memakai tameng takdir). Tuhan telah dipakai sebagai bodyguard, cecunguk yang akan dibuang bila tak lagi jawara.

Sahabatku, mungkin dari mulutmu sudah terlontar berjuta kata maki padaku. Aku tahu perasaanmu, ketika aku mengatakan tuhan telah mati. Aku tahu perasaan mereka yang telah terbius agama tanpa pernah berpikir merdeka dan mempertanyakan kebenaran yang diyakininya. Jangan pernah jadi pengikut agama, karena kau akan seperti kerbau yang dicucuk hidungnya dan ditarik kesana ke mari tanpa berontak, pasrah. Menjadi pengikut agama akan membutakan akal sehatmu, memenjarakan kemerdekaan pikiranmu untuk mempertanyakan yang kau yakini itu. Kalau aku boleh memberi saran, mungkin ini yang terbaik bagimu dan yang terjelek bagiku, jangan pernah jadi pengikut siapa pun (menjadi pengikutku pun jangan pernah), jadilah bertuhan saja.

Sahabatku akhir kata aku ucapkan banyak terimakasih atas waktu yang telah kau berikan untuk membaca surat ini atau surat-surat yang terdahulu. Jangan pernah ejek aku sebagai atheis (karena aku telah lama menderita oleh simbol-simbol atheis itu), aku tidak atheis. Dari awal telah aku katakan, bahwa tuhan telah mati, bukankah itu berarti aku mengakui keberadaan tuhan? Kalau dadamu saat ini berdegup marah, dadaku saat ini berdegup kencang. Aku sedih. Aku menangis sahabat, akan kematian tuhan. Semoga aku salah duga, kalau tuhan masih hidup kabari aku segera, aku telah rindu jamahanNya, kasihNya yang tulus. Telah lama aku tak memanjatkan pujian suci padaNya, telah lama pula Tuhan tak bersenandung di hatiku, menghibur resahku, mengusir galauku. Tapi aku masih ragu akan itu, jikalau tuhan hidup bukankah ia akan mendengar darah yang menangis, jerit kesakitan, nyawa-nyawa yang melayang entah di mana, tangis kaum lemah yang tertipu, dengus najis birahi, doa-doa pengobral kebohongan.

Di sini aku mendapatkan banyak manusia-manusia yang di hatinya tuhan itu telah lama mati, mungkin juga di tempatmu dan di tempat lainnya. Dan aku masih mencari kuburannya.

Dari sahabatmu,


Pagi itu adalah hari kemerdekaan yang telah lama dilupakan, kebebasannya. Hampir separuh hidup lelaki tua itu dihabiskan di sini, bersama mimpi dan bayangannya. Tak ada kekhawatiran, karena hidup tak lagi mau menjamahnya. Tak lagi ada masa lalu, kini dan masa depan. Semua telah lenyap dalam keterbatasannya.

Pria yang berseragam rapi itu masuk ke dalam biliknya, menyerahkan sebuah surat pembebasan. Di atas meja ia mendapatkan lelaki tua itu kaku tertelungkup bersama sebuah surat yang kemarin malam ditulisnya. Untuk seorang sahabatnya, teman seperjuangan dulu di tahun 1965. Di balik amplop tertulis sebuah pesan :

Bila aku mati lebih dahulu, aku tak akan mencari kuburNya,
biarlah Tuhan yang mencari kuburku.
Dan aku akan mencoba untuk bertemu dengan Tuhan, semoga Ia mau
.

Saturday 14 September 2002

Bayi kita mati

Saat ini, hari begitu lama dan panjang berjalan,
Tidak seperti dulu lagi kawan,
ketika bayi revolusi telah bergeliat di kandungan,
Kita menjaganya, penetrasi kita menyuburkan rahim harapan jelata
bukan impian kaum semusim, gejolak itu telah membunting, menggunung
Perut telah lama berisi tanah, cacing-cacingnya sangat gemuk
tapi tinja kita sangat bau, nafas sangat busuk
Kerajaan angin sungguh terusik, menaranya menebar wangi
membaui udara dengan segala kebohongan, sungguh harum

Saat ini, hari begitu lama dan panjang berjalan,
Tidak seperti dulu lagi kawan,
ketika bayi revolusi masih di kandungan, geliatnya mulai lemah
Tubuhnya tak lagi memerah, tangannya bukan lagi terkepal, kakinya tak mampu menerjang
Sampai saatnya tinja terlalu banyak teronggok di depan istana, di jalanan
anjing-anjing itu menghabiskannya, sangat buas, liar mencari mangsa
Bayi kita tak berteriak, ia diam
Darah membanjiri, revolusi mati
Revolusi aborsi

Kawan, bayi itu sungguh lemah
Mungkinkah penetrasi kita tak punya gairah, tak punya jiwa
Atau kita kaum penghayal, revolusioner pingitan
ini dosa kita, sebuah kutukan dari jaman keemasan dulu

Kawan,
Walau bayi itu kelak lahir,
Ibu pertiwi sudah tak punya susu lagi,
Dadanya telah rata, mungkin ia akan mati muda
Karena negeri ini telah lama digadaikan


11 September 2002

Pada Mulanya Tuhan Menciptakan Uang

Suasana kelas begitu gaduh, murid-murid semua mengangkat tangan. Berlomba menjawab pertanyaan sang guru. Mereka sungguh tampak cerdas, tak ada ketakutan seperti yang diramalkan dahulu. Oleh ahli-ahli pangan, ahli kesehatan dan gizi. Atau para politikus sang juragan kambing hitam. Tak didapatkan kini, apa yang dikatakan lost generation. Yang tumbuh saat ini adalah generasi muda yang cepat berpikir dan bernalar tinggi.

“Tommy Soeharto pak” jawab seorang anak yang pipinya tembem.
“Mengapa, kamu jawab begitu?” tanya gurunya kembali.

“Tommy Soeharto adalah bapak otomotif Indonesia. Ia berusaha memberikan kesempatan pada bangsa kita agar dapat memiliki mobil yang murah harganya. Ia mendirikan industri mobil nasional. Dan sungguh sayang rencana itu tak dapat berjalan, hingga akhirnya ia rela dibungkam di Nusakambangan dengan segala alibi baru yang dijeratkan padanya. Sebuah konspirasi jahat menghadangnya” kata anak berpipi tembem itu dengan berapi-api. Ia membayangkan bila rencana itu berjalan, mungkin ayahnya tak akan pergi ke tempat kerja dengan naik bis kota, berpanas-panasan di dalamnya.

“Pertanyaan berikut. Siapa bapak pangan kita?” tanya sang guru lagi. Murid-murid menunjukkan tangan. Berlomba menjawab. Sang guru menunjuk pada gadis kecil berponi di kursi dekatnya berdiri.

“Bapak Ir. Akbar Tanjung pak” katanya mantap.

“Mengapa kamu bilang begitu?” tanya gurunya, memancing anak itu memberi alasan dan jawabannya.

“Beliau membagi-bagikan sembako pada rakyat miskin. Milyaran rupiah dibelanjakan. Saat itu tak ada yang memperhatikan rakyat miskin, semua sibuk dengan politik, dengan reformasi. Dan bapak kita yang baik ini, peka akan suara-suara perut rakyat dari pada suara-suara demokrasi yang kebakaran jenggot” jawabnya sambil mengelus perut, terasa sudah lapar, tadi pagi dia hanya minum air putih. Kata bapak itu akan memutihkan pikiran kita sepanjang hari.

“Mengapa bapak Wiranto disebut sebagai bapak pemersatu bangsa?” tanya sang guru kembali. Anak yang hitam legam dengan rambut keriting itu telah duluan menunjukkan tangannya.
“Ya kamu Alberto” tunjuk sang guru.

“Atas perjuangannya mempertahankan Timor Timur sampai tetes darah terakhir. Pertempuran terus dikobarkan demi merah putih. Perjuangan untuk tetap merdeka atau kembali dijajah Portugis. Musuh dihancurkan dan dibakar. Ketika referendum kita kalah, beliau memerintahkan pembumi hangusan Timor Timur, agar para separatis itu tak merampok hasil-hasil pembangunan yang kita miliki selama ini di sana” katanya. Terbayang olehnya kuburan Sang Opa masih di sana. Papa dan mamanya sangat rindu akan kampung halaman.

“Mengapa bapak Sutiyoso namanya diabadikan sebagai nama jalan protokol yang mengelilingi Tugu Selamat Datang, menggantikan nama jalan yang lama?”tanya sang guru kembali. Anak yang di sudut sana dengan antusias berdiri, dari awal sepertinya guru tak melihatnya.
“Ya, kamu yang berdiri di sudut” tunjuk gurunya.

“Bapak Sutiyosolah yang membangun Jakarta lebih indah lagi. Menjadi kota yang bermartabad dan manusiawi. Air mancur yang maha karya hadir di tengah-tengah kota. Taman-taman terpagar rapi. Tak ada lagi daerah-daerah kumuh, semua telah digusur demi pembangunan. Tak ada lagi sampah-sampah semua telah dibuang ke sebuah pulau yang disewa. Tak ada lagi gelandangan, semua telah dibuang ke laut. Tak ada lagi kemacetan, karena semua jalanan di depan rumah kita telah dijadikan jalan-jalan tol bebas hambatan. Tak ada judi gelap, karena telah dilokalisir di sebuah pulau kecil miliknya, agar dapat dijaga langsung. Tak boleh lagi sembarangan orang masuk ke Jakarta untuk mencegah kepadatan penduduknya. Tak ada lagi demo-demo di depan istana, karena jalan menuju ke sana telah dipagar tinggi, hingga ratusan meter. Yang paling penting, mensukseskan kepala Negara menyambut pemilu berikutntya” katanya bangga, ternyata ia masih didengar.

“Baiklah itu tadi pemanasan awal membuka cakrawala kalian. Berikutnya mari kita lanjutan pada pelajaran mengarang. Bapak melihat karangan yang terbaik ada pada Aldamegasari, coba kamu ke depan. Silahkan kamu bercerita pada teman-temanmu tentang topik karangan kalian yang menjadi tugas kemarin” kata gurunya sambil kembali duduk di kursinya. Gadis kecil yang bernama Aldamegasari beranjak ke depan. Tangannya menuliskan sesuatu di papan tulis.

“Kita diberi tugas menceritakan tentang Malingkundang. Saya akan mencoba bercerita tentang Malingkundang” katanya dengan mantap.

“Pada jaman dahulu kala di sebuah pulau kecil yang sangat subur, tinggallah di sebuah gubuk seorang anak dan ibunya. Ayahnya telah lama mati, diculik dan dibunuh para perompak. Kehidupan sungguh damai di sana. Alam yang tenang mengajarkan mereka untuk mengucap syukur atas apa yang dapat mereka makan hari itu, atas kehidupan yang masih diberikan. Penduduk lain tak obahnya dengan mereka, mencari hidup dari menangkap ikan dan menjualnya. Tak ada keserakahan, tak ada iri dan dengki. Mereka sama-sama hidup bergantung pada sang pasang dan sang surut. Bintang-bintang menjadi penanggalan akan bulan muda dan tua. Mereka tak diburu oleh uang, mereka tabu untuk berhutang. Karena uang telah lama bersemayam dengan setan.

Ada sebuah sejarah penciptaan bumi yang diturun temurunkan sejak dahulu kala. Menurut cerita nenek moyang mereka dulu, pada mulanya Tuhan menciptakan uang. Lalu ia menciptakan langit dan bumi. Kegelapan masih menyelimuti alam semesta. Lalu Tuhan menciptakan terang. Mulailah Tuhan menciptakan cakrawala, lautan, tumbuh-tumbuhan, benda-benda langit, siang dan malam, binatang-binatang, dan terakhir manusia. Tuhan ingin beristirahat pada hari terakhir penciptaan, ia menyimpan uang ciptaannya di tengah sebuah taman, di dalam buah larangan. Setelah beristirahat, Tuhan berjalan-jalan di taman, mencari dua manusia ciptaannya. Ternyata mereka bersembunyi, bagai seorang pencuri. Mereka takut mengetahui diri mereka telah telanjang. Dan Tuhan marah mengetahui buah larangan telah dimakan. Mereka mencuri uang ciptaanNya. Maka Tuhan meminta kembali uang itu. Melempar uang itu ke udara. Tak terhingga bilangannya memencar berserak ke seluruh pelosok bumi. Jatuh di permukaan tanah dan di dalam tanah. Jatuh pada lautan dangkal dan dalam. Jatuh pada dataran tandus dan subur. Jatuh di tepi pantai dan dataran tinggi. Jatuh pada sungai, danau, sawah, kolam. Dan manusia akan bersusah payah mendapatkannya dengan keringat. Kedua manusia itu di usir keluar dari taman bersama sang ular yang bernama keserakahan.

Penduduk pulau itu tahu Tuhan marah pada keserakahan. Pada kegilaan akan uang. Untuk itu mereka hidup pada kesederhanaan, tidak ada mimpi yang muluk-muluk yang melahirkan iri dan dengki. Tak ada kejahatan di pulau itu. Mereka menikmati alam sebagai sumber kehidupan yang dapat dipakai dan harus dijaga, tentunya dengan keseimbangan alam.

Ketika beranjak dewasa Malingkundang tampak selalu termenung. Di sudut malam ia masih menatap ke arah laut dari jendela kamarnya. Matanya bukan menghitung bulan atau mencari letak rasi-rasi bintang. Bukan pula mengucap sebuah permintaan pada bintang jatuh. Ia menatap sebuah garis di tengah lautan. Gerangan apakah di balik garis horizontal itu. Adakah sebuah kehidupan? Adakah sebuah gadis yang cantik? Cerita-cerita di balik sana dibawa terbang oleh burung-burung camar. Celoteh-celoteh mereka yang bertengger pada dahan kelapa dekat kamarnya terdengar jelas. Sebuah negeri nan makmur terhampar di balik sana. Penduduknya rajin bekerja, bagai semut-semut yang keluar dari lubang-lubang tanah. Berkerumun pada onggokkan kemakmuran. Dan sang gadis di atas sebuah kastil selalu bernyanyi menyambut hari. Bersama-sama burung-burung, ia menciptakan bait-bait puisi perjalanan hidup. Puisi akan kegemerlapan dan kemewahan hidupnya.

Malingkundang jatuh cinta pada kisah-kisah itu. Niatnya telah membatu. Ia berangkat diringi linangan air mata ibunya. Dengan perahu satu-satunya milik ayahnya dulu, ia berangkat menuju negeri seberang. Melampaui karang-karang yang berbaris dan ombak-ombak yang mengayun keras.

Terdamparlah ia di sebuah pantai yang putih. Ia ditolong oleh seorang nelayan yang lama hidup sebatang kara. Malingkundang begitu gembira mendapatkan dirinya masih hidup. Dan bapak angkatnya begitu bahagia mendapatkan teman yang lama diharapkannya. Bagai sebuah pinta yang telah terkabulkan. Malingkundang berbakti pada penolongnya, tapi matanya tak lepas memandang istana itu. Sungguh angkuh letaknya di sebuah tebing yang tinggi. Atapnya berlapiskan emas, dindingnya bertahtahkan berlian.

Masyarakatnya tak ubahnya dengan pulau kelahirannya dulu. Mereka hidup dari nelayan, dari perdagangan. Jauh di tengah pulau mereka memiliki tanah-tanah yang subur, sawah dan ladang membentang luas. Tambang-tambang emas dan minyak banyak berdiri. Mereka semua rajin bekerja tak ada yang malas. Keringat mereka berkilau membasahi tubuh. Benar apa yang dikatakan oleh sang camar. Penduduk negeri ini rajin bekerja, bagai semut-semut pekerja yang berkerumun pada onggokan kemakmuran.

Tapi ia belum melihat sang gadis, sang putri. Kapankah ia akan bernyanyi dari jendela kastilnya? Syahdan terdengar kabar, kalau sang putri telah terkena penyakit. Ia tergeletak berminggu-minggu di ranjangnya. Sang raja sangat berduka sepanjang hari. Ia lelah mencari obatnya pada tabib-tabib istana maupun dari penjuru pelosok negeri. Belum ada yang bisa menyembuhkannya. Sebuah pengumuman tersebar luas pada tembok-tembok pasar. Sebuah janji bagi yang dapat menyembuhkan sang Putri. Dijanjikan akan dinikahkan dengan sang Putri, bila dapat menyembuhkannya.

Malingkundang begitu gembira, sebuah jalan didapatkannya. Tapi ia tak punya obat, sakitnya saja ia tak tahu. Ia terus berpikir, ia termenung di bawah sebuah pohon. Keningnya berkerut, jantungnya berdegup kencang, ia sudah tak sabar. Tapi otaknya buntu. Suara-suara burung camar tak dihiraukannya, terasa sungguh sumbang kini. Sesaat ia tertegun, ia menelan ludah. Sang camar berceloteh tentang mimpi sang putri. Sang putri bermimpi melihat sebuah gemerlapan dari dasar laut. Butiran-butiran yang sangat berkilau yang ditelan oleh binatang laut. Kadang menganga. Kadang mengatup.

Benda apakah itu? pikir Malingkundang. Otaknya berpikir cepat. Beruntung ia punya kelebihan mampu mendengarkan percakapan hewan-hewan. Ia belajar dari ibunya. Sedikitnya ia mengetahui penyebab sakitnya sang putri. Tapi ia tak pernah melihat butiran-butiran itu di dasar laut. Ia penyelam ulung seperti layaknya nelayan-nelayan lainnya. Kakinya cepat berlari bersama otaknya yang menemukan titik cerah. Menyelamlah ia ke dasar yang dalam.

“Hai anak muda, apa yang kau bawa itu? Apakah itu penyembuh penyakit putriku?” tanya sang Raja. Malingkundang telah berdiri di dalam istana, diantar oleh dua orang pengawal isatana.
“Benar tuanku Raja. Ijinkah hambamu menyembuhkan sang Putri” kata Malingkundang dengan sikap hormat, matanya tak sanggup memandang sang Raja.

“Kau tahu hukumannya bila gagal? Kau akan dipancung dan mayatmu akan dicampakkan sebagai makanan ikan-ikan hiu. Tapi bila kau berhasil, akan aku kawinkan dengan putriku, anakku satu-satunya” kata sang Raja memberi ultimatum.
“Saya siap menerima peraturan yang Tuanku tetapkan” kata Malingkundang, tak ada gentar lagi dihatinya.

“Mendekatlah kepadaku, putriku berbaring tak jauh dariku. Sembuhkan ia” kata sang raja, ada sebuah kerinduan mendapatkan putrinya dapat kembali sembuh.

Malingkundang beranjak menghampiri sang Putri. Ia memandang sang Putri. Ada kecantikan yang sungguh tak terbayangkan. Parasnya adalah kumpulan dari segala kecantikan yang dimiliki oleh para wanita di seluruh negeri. Sesempurna pagi yang dirindukan kedatangannya, selembut malam yang setia mendekap penghuni negeri.

“Anak muda, silahkan anda melakukan tugasmu,” suara sang raja mengejutkan lamunannya. Ia bergegas membuka buntelan yang dibawanya. Membawa butiran-butiran indah itu ke hadapan sang Putri. Keindahannya terpancar sungguh. Mata yang indah milik sang Putri mulai terbuka. Memandang yang terhampar dihadapannya. Mimpinya tak lagi mimpi. Mimpinya kini nyata. Keindahan dari dasar laut kini telah hadir. Cemburunya telah lenyap. Kini ia lengkap memiliki semua keindahan yang ada di muka bumi. Kini ia pemilik segala perhiasan gemerlap yang dikandung bumi.

Malingkundang sungguh gembira mendapatkan binar-binar mata itu. Sang putri telah kembali sehat. Dan ia ditakdirkan akan menjadi pendamping sang putri. Sang Putripun tak terlalu kecewa dengan penolongnya. Malingkundang juga lelaki yang gagah, senyumnya sungguh menggoda semua wanita. Rajapun mengumumkan sembuhnya sang Putri, dan akan dilanjutkan pernikahan dengan sang penolong yaitu Malingkundang.

 
Wanita tua terduduk di tepi pantai, matanya memandang kejauhan. Pada garis lurus yang menyentuh langit. Apakabarmu yang di balik sana? Suaranya begitu lirih, kalah oleh debur ombak yang menghempaskan diri ke pantai. Sudah beberapa purnama tiada kabar yang terdengar, hanya celoteh-celoteh sang camar. Akahkah kau menikah dengan anak sang Raja. Menjadi penghuni istana keserakahan. Menjadi salah satu dari mereka. Memeras sang semut-semut pekerja, yang berbaris memanggul cuilan-cuilan kemakmuran menuju gudang harta milik sang Raja. Rakyatnya sungguh telah menjadi budak-budak sang Raja. Mereka dipaksa bekerja dengan segala upeti yang harus diserahkan pada Raja. Lihatlah betapa sombongnya istana, dindingnya bertahtahkan emas dan berlian. Sang putri dicemburui oleh mimpi akan sebuah mutiara yang tak dimiliknya. Ia sungguh rakus akan permata, ia tak ingin ada yang dapat menandingi keindahannya. Menandingi perhiasan yang dimilikinya.

Tidakkah kau dengar nyanyiannya di jendela kamarnya. Gadis di atas sebuah kastil selalu bernyanyi, bersama-sama burung-burung, ia menciptakan bait-bait puisi perjalanan hidup. Puisi akan kegemerlapan dan kemewahan hidupnya. Ia menyanyikan lagu kesombongan. Sementara di bawah sana, rakyatnya rajin bekerja membanting tulang, tak ada yang malas. Keringat mereka berkilau membasahi tubuh berkerumun pada onggokan kemakmuran. Namum itu tak milik mereka. Itu milik sang penguasa negeri. Mereka sudah lama diajarkan oleh mitos dan dogma usang, bahwa mereka tercipta sebagai semut-semut pekerja yang harus mengabdi pada sang ratu, ratu keadilan. Mereka tak mau kualat untuk itu, atau akan dikutuk selamanya.

Siang itu di kejauhan tampak sebuah kapal mewah berlayar mendekati pulau. Layarnya besar dihembus angin, membawa menuju tepi pantai. Seorang lelaki muda dan penumpang lainnya turun. Lelaki muda itu matanya awas. Ia mencari seseorang, dan ia berteriak,

“Ibu, aku pulang”. Lelaki itu menghambur ke arah wanita tua yang duduk di depan gubuknya. Wanita itu sungguh terkejut, ia pun tergopoh-gopoh berlari sambil membuka tangan, menyambut cahaya malamnya.

“Malingkundang anakku. Aku rindu kamu sayang. Kamu baik-baik saja kan?”kata ibunya sambil memeluk, tangis kerinduan tak tertahankan.

“Aku baik-baik saja bu. Aku kini sudah kaya, aku punya calon istri yang cantik Anak seorang Raja” kata anaknya tak kalah kuat mendekap. Ia menunjuk sang Putri, Raja dan Ratu yang telah berjalan menghampiri mereka.

Sang ibu walau ada rasa canggung, tak bisa menolak untuk menyambut mereka. Menyalami sang tamu. Sungguh mereka sangat indah, wanginyapun tak ditemukan di pulau ini. Kulit mereka begitu lembut, tiada kening yang berkerut.

“Aku datang memohon doa restu ibu. Mari kita berangkat ke negeri seberang. Sebuah istana menanti kita,” bujuk Malingkundang.

“Malingkundang, lahir, hidup dan matiku di sini nak. Di sini sungguh damai. Kami tak kekurangan, alam mengajarkan untuk mengucap syukur atas apa yang dimakan hari ini. Di sini tak ada keserakahan, tak ada iri dan dengki. Kami tak diburu oleh uang. Karena uang telah lama bersemayam dengan setan. Kami bukan semut-semut pekerja negerimu, yang menggemukkan penghuni istana dengan keringat rakyatnya. Aku tak mau hidup di atas keringat mereka. Sungguh jiwa mereka telah lama mati oleh pembodohan yang kalian lakukan. Aku bukanlah setan yang menjaga gudang uang kalian. Dan aku tak sudi memiliki anak seperti setan” kata ibunya menolak ajakan Malingkundang.

Malingkundang sungguh malu mendengarkan itu. Harga dirinya jatuh di hadapan Raja, Ratu dan sang Putri. Mukanya merah padam, bibirnya gemetar. Tangannya teracung tinggi, menunjuk langit dan dia berucap keras,

“Ibu, engkau telah menyangkal aku anakmu. Engkau durhaka. Demi langit yang menaungi bumi, aku mengutukmu menjadi seperti yang kau katakan kepada kami. Engkau adalah kami!” Malingkundang marah, ia mengutuk ibunya.

Sekilas cahaya berkelebat memenuhi ibunya. Asap putih mengelilingi jiwanya, jiwanya yang dulu telah terbang jauh, kini jiwa setan merasuki dirinya. Ibunya menjadi seperti mereka, manusia-manusia yang terkutuk pula. Dan ibu Malingkundangpun tak mau berlama-lama lagi di pulau ini, kakinya begitu jijik melihat pulau yang tak terurus.

Matanya rindu pada gemerlap, dan mulutnya haus untuk menghardik dan memerintah semut-semut pekerja. Bersama mereka, ibu Malingkundang berlayar jauh, menuju kegelapan di balik garis yang menyentuh langit. Bagai batas antara surga dan neraka.

13 September 2002